Ucapan Ukhti dan Ummi dari suami kepada
istri apakah Berarti Zihar?
Zihar
adalah ucapan suami kepada istrinya, (ظَهْرُكَ عَلَيَّ مِثْلَ ظَهْرِ أُمِّيْ)
(Punggungmu seperti punggung ibuku) atau dengan kalimat senada yang menyamakan
istrinya dengan ibunya, atau para mahramnya yang lain. Tujuannya adalah supaya
istri menjadi haram dia gauli dan pada masa jahiliah ini termasuk kalimat cerai
(talak).
Selanjutnya Allah menurunkan surah Al-Mujadilah (ayat 1-4) yang didalamnya
terdapat pembahasan tentang zihar dan bahwa itu adalah ucapan dusta serta
berdosa, dan bagi yang sudah mengucapkannya dia harus membayar kaffarah berupa
pembebasan budak mukmin, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan 60 orang
miskin.
Lalu, ada keraguan dari sebagian orang tentang panggilan seorang suami kepada
istrinya, ”Ummi” atau ”mama” atau ”bunda” dan sejenisnya, apakah ini termasuk
zihar?
Jawaban ringkasnya ini semua tidak termasuk zihar, karena zihar harus disertai
niat dari pengucapnya bahwa dengan kalimat itu dia bermaksud menceraikan
istrinya. Tapi kalau kalimat itu adalah ungkapan sayang atau menyebutkan sebuah
kenyataan misalnya dengan mengatakan, “Kamu mirip dengan almarhumah ibuku” dan
memang begitu kenyataannya, maka itu bukan zihar.
Beberapa fatwa
ulama dalam masalah ini:
1.Fatwa Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali:
Dalam kitab
Al-Mughni juz 8 hal. 557, Ibnu Qudamah mengatakan,
فصل : وإن قال أنت علي كأمي أو مثل أمي ونوى به الظهار فهو ظهار
في قول عامة العلماء منهم أبو حنيفة وصاحباه و الشافعي و إسحاق وإن نوى به الكرامة
والتوقير أو انها مثلها في الكبر أو الصفة فليس بظهار والقول قوله في نيته
“Pasal: Kalau dia mengucapkan, “Kamu bagiku
seperti ibuku” dan dia mengucapkan itu dengan niat zihar maka itu adalah zihar
menurut semua ulama, antara lain Abu Hanifah dan kedua muridnya, Asy Syafi-i
dan Ishaq. Tapi kalau ucapan itu dia niatkan (maksudkan) sebagai pemuliaan,
penghargaan atau memang kenyataan dia sama dengan ibunya dalam hal usia tua
atau sifat maka itu bukan termasuk zihar. Dalam hal ini harus merujuk kepada
pengakuannya sendiri tentang apa yang dia niatkan dari ucapan itu.”
2.Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah:
Dalam Majmu’ Al-Fatawa juz 34 hal. 5 disebutkan:
سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ
أَحْمَد بْنُ تَيْمِيَّة - قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ - :
عَنْ رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ
: أَنْتِ عَلَيَّ مِثْلُ أُمِّي وَأُخْتِي ؟
فَأَجَابَ :
إنْ كَانَ مَقْصُودُهُ أَنْتِ
عَلَيَّ مِثْلُ أُمِّي وَأُخْتِي فِي الْكَرَامَةِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ . وَإِنْ
كَانَ مَقْصُودُهُ يُشَبِّهُهَا بِأُمِّهِ وَأُخْتِهِ فِي " بَابِ النِّكَاحِ
" فَهَذَا ظِهَارٌ عَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ فَإِذَا أَمْسَكَهَا فَلَا
يَقْرَبُهَا حَتَّى يُكَفِّرَ كَفَّارَةَ ظِهَارٍ .
“Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah –semoga
Allah menyucikan ruhnya- ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada
istrinya, “Kamu bagiku bagaikan ibuku atau saudari perempuanku”?
Dia menjawab,
“Kalau maksudnya adalah “Kamu bagiku
bagaikan ibu atau saudariku dalam hal penghormatan” maka tidak ada apa-apa atas
dirinya (tidak ada masalah). Tapi kalau maksudnya adalah menyamakan istrinya
itu dengan ibu atau sudarinya dalam hal pernikahan maka itu adalah zihar dan
berlakulah hukum zihar kepadanya dan kalau dia tidak juga mencerai istrinya itu
maka dia tidak boleh menggaulinya sebelum membayar kaffarah zihar.”
3.Fatwa Komisi Tetap
untuk Fatwa Arab Saudi:
Dalam kitab kumpulan Fatwa Lajnah Ad-Da`imah yang disusun oleh Ahmad bin
Abdurrazzaq Ad-Duwaisy juz 20 hal. 274 disebutkan:
السؤال
الأول من الفتوى رقم ( 557 )
س1: يقول بعض الناس لزوجته:
أنا أخوك وأنت أختي. فما الحكم؟
ج1: إذا قال الزوج لزوجته: أنا أخوك أو أنت أختي، أو أنت أمي أو
كأمي، أو أنت مني كأمي أو كأختي- فإن أراد بذلك أنها مثل ما ذكر في الكرامة أو الصلة
والبر أو الاحترام أو لم يكن له نية ولم يكن هناك قرائن تدل على إرادة الظهار، فليس
ما حصل منه ظهارا، ولا يلزمه شيء، وإن أراد بهذه الكلمات ونحوها الظهار، أو قامت قرينة
تدل على الظهار مثل صدور هذه الكلمات عن غضب عليها أو تهديد لها فهي ظهار، وهو محرم،
وتلزمه التوبة، وتجب عليه الكفارة قبل أن يمسها، وهي: عتق رقبة، فإن لم يجد فصيام شهرين
متتابعين، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا.
وبالله التوفيق، وصلى الله على
نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية
والإفتاء
عضو ... عضو ... نائب الرئيس
... الرئيس
عبد الله بن منيع ... عبد الله
بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... إبراهيم بن محمد آل الشيخ
Pertanyaan pertama dari fatwa nomor 557:
Tanya: Ada sebagian orang yang berkata kepada
istrinya, “Aku adalah saudaramu dan kamu adalah saudariku” apa hukumnya hal
itu?
Jawab: Apabila seorang suami berkata kepada
istrinya, “Kamu adalah saudariku, atau seperti saudariku, atau kamu adalah
ibuku atau seperti ibuku”, atau “bagiku kau sama dengan saudariku atau ibuku”,
kalau ucapan itu dimaksudkan untuk penghormatan atau penghargaan atau hubungan
baik semata atau tidak ada niat apa-apa serta tidak ada petunjuk yang
mengarahkan bahwa itu diucapkan untuk zihar maka dia bukanlah zihar. Tapi kalau
dia memaksudkannya untuk zihar atau ada petunjuk yang mengawali bahwa ini
adalah zihar, semisal dia mengucapkannya dalam keadaan marah, maka itu adalah
zihar dan itu haram sehingga dia harus bertaubat serta wajib membayar kaffarah
sebelum menggauli istrinya itu, yaitu dengan membebaskan seorang budak, kalau
tidak sanggup maka berpuasa dua bulan beruturut-turut, kalau tidak sanggup maka
dengan memberi makan 60 orang miskin.
Hanya kepada
Allah-lah kami mohon taufik, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, para keluarga dan para sahabat beliau.
Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
Ttd
Ibrahim bin Muhammad
Ali Syaikh (ketua)
Abdurrazzaq Afifi
(wakil ketua)
Abdullah bin Ghudayyan
(anggota)
Abdullah bin Mani’
(anggota)
4.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Jawaban Al-Utsaimin
ini didapat dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb yang banyak dinukil di internet dan
juga sudah dibukukan dalam bentuk e-book yang bisa diunduh di sini:http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=164159 atau di sini:http://shamela.ws/index.php/book/2300
berikut teksnya:
هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته
يا أختي بقصد المحبة فقط أو يا أمي؟
فأجاب رحمه الله تعالى: نعم
يجوز أن يقول لها يا أختي ويا أمي وما أشبه ذلك من الكلمات التي توجب المودة والمحبة
وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب الرجل زوجته بمثل هذه العبارات ولكن لا وجه للكراهة
وذلك لأن الأعمال بالنيات وهذا الرجل لم ينوِ بهذه الكلمات أنها كأخته في التحريم والمحرمية
وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها وكل شيء يكون سبباً للمودة بين الزوجين سواءٌ
كان من الزوج أو من الزوجة فإنه أمرٌ مطلوب.
Apakah boleh seorang laki-laki mengatakan
kepada istrinya, “Wahai saudariku (ukhti) dengan maksud rasa cinta atau “wahai
ibuku (ummi)”?
Syekh rahimahullah menjawab,
“Ya, boleh saja dia mengucapkan “wahai
saudariku, atau wahai ibuku atau yang sejenisnya kepada istrinya itu berupa
kata-kata yang menunjukkan kecintaan, meski ada sebagian ulama yang memakruhkan
hal itu. Tapi tidak ada pembenaran untuk pemakruhan ini, karena amal itu
tergantung niatnya dan orang ini tidak berniat menganggap istrinya itu sama
dengan saudarinya dalam hal kemahraman, dia hanya mengungkapkan perasaan cinta
dan semua hal yang menyebabkan rasa cinta antar suami istri baik dari pihak
suami maupun istri maka itu memang dianjurkan.”
5.Al-Khaththabi dalam Ma’alim As-Sunan juz
3, hal. 249 (cetakan Mathba’ah Ilmiyyah – Halab (Aleppo ) tahun 1932 M) mengatakan,
وذلك أن من قال لامرأته أنت
كأختي وأراد به الظهار كان ظهاراً كما تقول أنت كأمي ، وكذلك هذا في كل امرأة من ذوات
المحارم ، وعامة أهل العلم أو أكثرهم متفقون على هذا إلاّ أن ينوي بهذا الكلام الكرامة
فلا يلزمه الظهار
“Karena
bila seorang mengatakan kepada istrinya, “Kamu seperti saudariku”, dan dengan
itu dia maksudkan sebagai zihar maka itu adalah zihar sama halnya kalau dia
mengatakan, “Kamu seperti ibuku”. Hal yang sama berlaku kepada semua wanita
mahramnya. Kebanyakan ulama atau sebagian besarnya sepakat akan hal itu,
kecuali kalau niatnya dengan ucapan tersebut hanyalah penghormatan maka tidak
ada konsekuensi zihar atas dirinya.”
Hadits Abu
Daud
Ada sebagian ulama menganggap makruh ucapan suami kepada istrinya “Wahai
saudariku”, karena terdapat sebuah hadits riwayat Abu Daud dalam sunannya, no.
2210 bahwa ada seorang laki-laki memanggil istrinya dengan sebutan “Wahai ukhti
(saudariku)” lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Apa dia
memang saudarimu?!” Beliau tidak suka ucapan itu dan melarangnya.”
Akan tetapi hadits ini dianggap lemah oleh Al-Albani sebagaimana dijelaskannya
dalam kitab Dha’if
Sunan Abi Daud di
kitab induk yaitu yang diterbitkan oleh yayasan Ghiras di Kuait cetakan pertama
tahun 1423 H pada juz 2 hal. 240. Alasan utamanya adalah idhthirab (kesimpangsiuran) dalam sanad, bahkan
andaipun tidak idhthirab maka satu delik lagi yang melemahkan hadits ini, yaitu
mursal. Syamsul Haq Azhim Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi
Daudpun mengakui bahwa hadits ini mudhtharib (hal. 1037 yang diterbitkan oleh
Dar Ibnu Hazm tahun 2005 M).
Dengan
demikian, panggilan bang, dek, mama atau papa, dan sejenisnya antara suami
dengan istri tidaklah terlarang dan alasan para ulama yang memakruhkan juga
lemah, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum yang lima . Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar