Senin, 18 November 2013

Mertua Tiri Mahram atau Bukan?

Pengertian Mahram

Mahram (
مَحْرَمٌ) artinya, sebuah keharaman. Yang dimaksud mahram dalam hubungan pria dan wanita adalah lawan jenis yang haram dinikahi. Inilah yang disebut dalam hadits, “Jangan sekali-kali seorang pria berduaan dengan seorang wanita, kecuali (wanita itu) bersama mahramnya.” (Muttafaq ’alaih). 
Dalam bahasa sehari-hari sering disebut muhrim, dan ini adalah sebuah kesalahan. Sebab, muhrim artinya orang yang sedang ihram untuk haji atau umrah. Maka sudah semestinya penggunaan bahasa yang benar untuk kata ini disosialisasikan ke masyarakat Indonesia.
Jumlah mahram semua sudah diatur dalam Al-Qur`an surah An-Nisa` ayat 22 – 24. Selain itu, juga ada beberapa hadits yang menjelaskan beberapa rincian. 
Allah Ta’ala berfirman, 

22. Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. (Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.......” (Qs. An-Nisa` : 22-24).
Sedangkan dari hadits adalah riwayat dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, 

لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

“Tidak boleh mengumpulkan (memadu) antara seorang wanita sekaligus bibinya dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.” (Muttafaq ‘alaih). 

Mahram itu sendiri terbagi dua,
1. Mahram mu`abbad, mahram selama-lamanya
2. Mahram mu`aqqat, atau mahram sementara, karena dia mahram berdasarkan statusnya saat ini.

Berdasarkan ketiga ayat di atas serta hadits yang menjelaskan tentang mahram, maka para wanita yang mahram mu`abbad, haram dinikahi selama-lamanya adalah:
1. Leluhur, meliputi ibu, nenek dan seterusnya ke atas.
2. Wanita yang pernah dinikahi oleh ayah, (ibu tiri, meski sudah bercerai).
3. Keturunan, meliputi anak kandung, cucu dan seterusnya ke bawah.
4. Saudari baik kandung, seayah ataupun hanya seibu.
5. Bibi, yaitu saudari ayah (’amah) dan saudari ibu (khaalah), dan juga meliputi saudari kakek dan nenek dan seterusnya ke atas baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
6. Keponakan yaitu anak kandung saudara laki-laki dan perempuan dan meliputi pula keturunan mereka seterusnya ke bawah.
7. Ibu yang menyusui kita, dianggap sama dengan ibu sendiri dalam hal kemahraman.
8. Saudari sesusuan, dianggap sama dengan saudari sendiri dalam hal kemahraman.
9. Anak dari wanita yang pernah dinikahi, anak tiri, meski sudah bercerai dengan ibunya.
10. Mertua, meski sudah bercerai dengan anaknya.
11. Menantu, baik istrinya anak ataupun istri cucu dan seterusnya ke bawah.
Mahram selamanya (mu`abbad) tidak boleh dinikahi untuk selama-lamanya dan berlakulah hukum mahram padanya yaitu kebolehan melihat aurat kecil (perhiasan) berupa rambut dan lain-lain, boleh bersalaman, boleh berduaan dan lain sebagainya.

Sedangkan yang mahram untuk sementara adalah,
1. Saudari ipar, yaitu saudari istri baik sekandung, atau hanya seayah atau hanya seibu. Selama masih berstatus suami dari seorang wanita maka haram menikahi saudarinya atau berpoligami dengan memadu antara dua saudari.
2. Bibi istri, selama masih menjadi suami seorang wanita maka haram menikahi bibinya, atau berpoligami dengan memadu antara bibi dan keponakan.
3. Keponakan istri, ini adalah hukum kebalikan dari yang di atas.
4. Istri orang lain, selama masih berstatus istrinya.
5. Wanita yang sedang berada dalam masa iddah atau istibra`.

Bila kedudukannya sudah bukan lagi seperti yang disebut di atas, barulah dia boleh dinikahi. Tapi meski masih sebagai mahram mu`aqqat (sementara) maka tetap berlaku hukum larangan wanita asing kepada mereka, seperti larangan berduaan, larangan bersentuhan, dan tidak boleh menampakkan aurat kecil.

Selain ini bukan mahram, sehingga berlakulah hukum wanita asing, termasuk di dalamnya mertua tiri. Yaitu, kalau kita menikah dgn seseorang yg punya ayah atau ibu tiri, maka ayah tirinya itu bukan mahram bagi kita bila kita perempuan, dan ibu tirinya bukan mahram bagi kita bila kita laki-laki. Sehingga, tetap wajib pakai jilbab, tidak boleh bersentuhan (bagi yg mengharamkan jabat tangan), dan tidak boleh berduaan.

Memadu antara ibu tiri dengan anak tirinya.

Maksudnya mempoligami keduanya. Ini pernah dilakukan di masa salafus shalih yaitu, ketika Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib yang merupakan keponakan Ali bin Abu Thalib. Dia menikahi Ummu Kultsum puteri Ali dari Fathimah ra, lalu menikahi pula mantan istri Ali bernama Laila binti Mas’ud An-Nahsyaliyyah. Ali menikahi Laila setelah Fathimah wafat, kemudian ketika Ali wafat maka Laila ini dinikahi oleh Abdullah bin Ja’far yang saat itu masih berstatus suami dari Ummu Kultsum binti Ali. Tak seorangpun yang mempersoalkannya, sehingga ini menjadi ijmak bahwa hal itu diperbolehkan. Sebab, andai itu tidak boleh mustahil para sahabat Nabi SAW yang waktu itu masih banyak membiarkan itu terjadi.
Memang ada beberapa kalangan tabi’in yang menganggap hal itu makruh seperti salah sati riwayat dari Hasan Al-Bashri dan Ikrimah.

Kasus disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa sanad) di kitab An-Nikah, pada bab: Maa Yahillu min An-Nisaa` wa maa Yahrum.
Sedangkan riwayat lengkap bersanad teradapat pada Sunan Sa’id bin Manshur tahqiq Habiburrahman Al-A’zhami no. 1010 dan 1011, dengan dua jalur yaitu dari Husyaim, dari Mughirah dan jalur Jarir bin Abdul Hamid, keduanya dari Qutsam[1] mawla Bani Hasyim atau mawla keluarga Abbas.
          Sementara Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Az-Zuhri yang berkata, “Abdullah bin Ja’far mempoligami mantan istri Ali (jandanya) dengan puteri Ali dari ibu yang lain, dia menikahi mereka sekaligus.”[2]
Dari jalur Sa’id pula diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra juz 7 hal. 270 dan satu lagi melalui jalur Az-Zuhri[3]. Juga terdapat dalam Sunan Ad-Daraquthni jilid 4, hal. 496, no. 3867[4] (tahqiq Al-Arnauth dkk) dari jalur Abu Bakar bin Ayyasy dari Mughirah, (dia berkata) “Qutsam mawla Abbas menceritakan kepadaku”.         
Sementra itu Ibnu Sa’d meriwayatkan pula dalam At-Thabaqaat Al-Kubra 6/466, no. 7570 (cetakan maktabah Al-Khanji) dari jalur Hajjaj dari Ali bin Sa`ib bahwa Abdullah bin Ja’far menikahi Laila istri Ali bin Abi Thalib dan juga Zainab puteri Ali dari istri yang lain.
Sementara di jilid 10 hal. 432, no. 11856 Ibnu Sa’d meriwayatkannya dari jalur Abdurrahman bin Mihran bahwa Abdullah bin Ja’far menikahi Zainab binti Ali dan juga menikahi janda Ali yaitu Laila binti Mas’ud secara poligami.
          Riwayat Sa’id bin Manshur menyebut Ummu Kaltsum binti Ali sementara Ibnu Sa’d menyebut Zainab binti Ali, terlepas siapa yang benar maka hukumnya sama saja, karena mereka berdua adalah puteri Ali dari Fathimah atau anak tiri Laila binti Mas’ud An-Nashsyaliyyah.
Selain itu, para salaf juga banyak yang melakukan poligami antara ibu tiri dengan anak tirinya seperti seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di Mesir yang bernama Jabalah[5], juga Abdullah bin Shafwan yang menikahi seorang wanita dari Tsaqif dan anak tirinya.[6]

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa dilarang mempoligami antara dua mahram maka ketika boleh mempoligami antara mertua tiri dengan anak tirinya berarti mereka bukan mahram seandainya mereka berlainan gender.

wallahu a'lam bish shawab.

Anshari Taslim.
5 Oktober 2009
Diedit ulang 18 November 2013





[1] Qutsam mawla Abbas ini bernama Qutsam bin Lu`lu`ah, disebut oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir dan Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil tanpa penilaian. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqat 5/321, no. 5043.
[2] Mushannaf Abdurrazzaq jilid 7 hal. 481, no. 13965:
عبد الرزاق عن معمر عن الزهري قال : جمع عبد الله ابن جعفر بين امرأة علي وابنته من غيرها ، تزوجهما جميعا
[3] Redaksi riwayat Az-Zuhri dalam As-Sunan Al-Kubra:
أَخْبَرَنَا أَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ مُكْرَمٍ، ثنا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، ثنا يُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ: أَخْبَرَنِي غَيْرُ وَاحِدٍ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ جَعْفَرٍ، " جَمَعَ بَيْنَ بِنْتِ عَلِيٍّ، وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ، ثُمَّ مَاتَتْ بِنْتُ عَلِيٍّ، فَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا بِنْتًا لِعَلِيٍّ أُخْرَى "، وَقَدْ رَوَاهُ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ، بِنَحْوِهِ

[4] Redaksi Ad-Daraquthni:
نا أَبُو بَكْرٍ الشَّافِعِيُّ , نا مُحَمَّدُ بْنُ شَاذَانَ , نا مُعَلَّى , نا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ , نا مُغِيرَةُ , حَدَّثَنِي قُثَمٌ مَوْلَى عَبَّاسٍ , قَالَ: «تَزَوَّجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ ابْنَةَ عَلِيٍّ , وَامْرَأَةَ عَلِيٍّ النَّهْشَلِيَّةَ»

[5] Sunan Ad-Daraquthni 4/496.
[6] Sunan Sa’id bin Manshur 1/286.
Abdullah bin Shafwan bin Umayyah seorang tabi’in yang dilahirkan di masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, tsiqah, pembesar Quraisy. (Lihat Al-Ishabah 5/12-13).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar