“Barangsiapa
hendak menasehati penguasa dengan suatu hal maka janganlah dia menampakkannya
terang-terangan, melainkan hendaklah dia raih tangan penguasa itu lalu berduaan
dengannya. Kalau dia menerima nasehat itu maka baguslah, tapi kalau tidak
berarti dia sudah melaksanakan kewajibannya kepada penguasa.”
Hadits ini punya sebab wurud,
yaitu sebagaimana diceritakan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya nomor hadits 15333,
Abu Mughirah menceritakan
kepada kami, Shafwan menceritakan kepada kami, Syuraih bin Ubaid Al-Hadhrami menceritakan
kepadaku, dan lainnya, dia berkata, “Iyadh bin Ghanm mencambuk pemilik suatu
perkampungan ketika berhasil ditaklukkan, lalu Hisyam bin Hakim membentaknya
sampai-sampai Iyadh marah dibuatnya. Berlalu beberapa malam sampai akhirnya
Hisyam bin Hakim dan meminta maaf kepadanya. Kemudian Hisyam berkata kepada
Iyadh, “Tidakkah kau mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا، أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ
“Sesungguhnya manusia yang paling
keras siksanya adalah orang selama di dunia paling keras menyiksa orang.”[1]
Iyadh berkata, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami juga telah
mendengar apa yang kau sampaikan dan kami lihat apa yang kamu lihat, tidakkah
kau mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, ….. (lalu dia
menyebutkan redaksi di atas).
Hadits dengan
tambahan riwayat dari Iyadh bin Ghanm ini diriwayatkan dari dua jalur menuju
Iyadh bin Ghanm:
1.
Jalur
Syuraih bin Ubaid, dari Iyadh bin Ghanm.
2.
Jalur
Jubair bin Nufair dari Iyadh bin Ghanm.
Jalur Syuraih
langsung ke Iyadh diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Abi ‘Ashim
dalam As-Sunnah, Abu Ubaid dalam Al-Amwal, semua dari jalur Shafwan bin Amr,
dari Syuraih bin Ubaid.
Isnadnya shahih sampai kepada Syuraih, tapi ada kelemahan yaitu terputusnya sanad antara Syuraih dengan Iyadh bin Ghanm. Sebagian orang ada yang mengatakan mungkin saja Syuraih mendengar dari Iyadh atau Hisyam, tapi ini akan terbantahkan bila kita melihat beberapa fakta berikut:
Isnadnya shahih sampai kepada Syuraih, tapi ada kelemahan yaitu terputusnya sanad antara Syuraih dengan Iyadh bin Ghanm. Sebagian orang ada yang mengatakan mungkin saja Syuraih mendengar dari Iyadh atau Hisyam, tapi ini akan terbantahkan bila kita melihat beberapa fakta berikut:
Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan, “Dia banyak memursal hadits.”
Muhammad bin Auf pernah ditanya apakah Syuraih ini pernah mendengar dari
seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam? Dia menjawab, “Kurasa
tidak. Itu karena dia tidak pernah mengatakan, “aku mendengar” padahal dia
tsiqah.”[2]
Sementara Abu Hatim Ar-Razi memastikan bahwa dia tidak mendapati masa
Abu Umamah, Al Harits bin Harits dan Miqdam dan riwayatnya dari Abu Malik
Al-Asy’ari adalah mursal.[3]
Al-Mizzi juga menyatakan bahwa dia tidak mendapati masa Abu Dzar
Al-Ghifari. Menurut Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah (7/29) Abu Dzar wafat tahun 31
H.
Iyadh bin Ghanm meninggal pada tahun 20 H[5][4], sedangkan Syuraih
ini tidak mendengar dari Abu Umamah (w 86 H), Al Miqdam (w 87 H). Kalau yang
wafat pada tahun 80-an saja dia tidak mendapati apalagi yang wafat tahun 20 H?!
Jangan-jangan Syuraih belum lagi lahir waktu Iyadh bin Ghanm meninggal dunia.
Jalur kedua dari Jubair bin Nufair ke Iyadh bin Ghanm.
Jalur pertama adalah jalur Syuraih bin Ubaid; diriwayatkan oleh Dhamdham bin Zur’ah. Ini terdapat dalam kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ’Ashim no. 1097.
Riwayat ini sangat lemah karena dua faktor:
Pertama, faktor Muhammad bin Ismail bin Ayyasy, dia ini lemah apalagi berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung dari ayahnya dan inilah yang menyebabkan dia dilemahkan[6]. Dalam kitab Al-Ishabah Al-Hafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya lalu melemahkannya dengan menyatakan, ”Tapi Muhammad (bin Ismail ini –penerj) dha’if jiddan (sangat lemah).”[7]
Kedua, perbedaan Dhamdham bin Zur’ah dengan
riwayat Shafwan bin Amr. Shafwan ini tsiqah, sementara Dhamdham bin Zur’ah
dikatakan oleh Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/298, no. 3306) (صَدوق يَهِم) (jujur tapi
salah). Bisa jadi riwayat ini adalah salah satu bentuk kesalahannya andai lolos
dari kelemahan Muhammad bin Ismail. Riwayat semacam ini adalah syadz dan tidak
bisa dianggap menguatkan riwayat Shafwan, justru riwayat Shafwan melemahkannya.
Muhammad bin Ismail bin Ayyasy dikuatkan oleh Abdul Wahhab sebagaimana disebutkan dalam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm (4/2162, nomor riwayat: 5425):
Muhammad bin Ismail bin Ayyasy dikuatkan oleh Abdul Wahhab sebagaimana disebutkan dalam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Iyadh bin Ghanm (4/2162, nomor riwayat: 5425):
Muhammad bin Ali menceritakan kepada kami, Al-Husaian bin Muhammad bin Hammad menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak menceritakan kepada kami, Ismail bin Ayyasy menceritakan kepada kami, dari Dhamdham bin Zur’ah, dari Syuraih bin Ubaid, dia berkata, Jubair bin Nufair berkata....”
Tapi penguat ini tidak berarti sebab Abdul Wahhab bin Adh-Dhahhak disebutkan dalam At-Taqrib (1/418, no. 4772), ”matruk, dianggap pendusta oleh Abu Hatim.” Lihat pula penjelasan kedustaannya dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/74.
Jalur kedua adalah jalur Abdurrahman bin ’A`idz yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Ibrahim bin Al ’Ala`, Amr bin Al Harits menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Salim, dari Az-Zubaidi, Fudhail bin Fadhalah menceritakan kepadaku, dia mengembalikannya kepada Ibnu ’A`idz, dia mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair.
Jalur kedua ini punya penguat yaitu riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid Al
Himshi yang berkata, Abdullah bin Salim menceritakan kepada kami, selanjutnya
sama dengan isnad Amr bin Harits di atas.
Akan tetapi riwayat Ibrahim bin Abdul Hamid bin Ibrahim ini sama sekali
tidak berguna dan ini akan jelas bila kita baca biografinya dalam kitab Al-Jarh
wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim juz 6 hal. 8 berikut ini:
Abdul Hamid bin
Ibrahim Al-Hadhrami Al-Himshi Abu Taqi meriwayatkan dari Abdullah bin Salim,
murid Muhammad bin Al-Walid Az-Zubaidi. Yang meriwayatkan darinya adalah
Muhammad bin Auf. Abdurrahman berkata, Aku bertanya kepada Muhammad bin Auf Al
Himshi tentangnya maka dia menjawab, ”Dia adalah seorang syekh (orang tua) yang
buta tidak hafal, kami pernah menulis dari tulisannya yang ada pada Ishaq bin
Zibriq yang merupakan riwayat Ibnu Salim lalu kami bawakan kepadanya dan
mendiktenya. Dia tidak hafal isnad tapi hafal beberapa matan maka dia ceritakan
kepada kami. Kami meriwayatkan darinya hanya lantaran keinginan memperbanyak
riwayat hadits.”
Muhammad bin Auf
sendiri kalau menceritakan darinya maka dia menyebut, ”Aku dapatkan dalam kitab
Ibnu Salim yang diceritakan kepada kami oleh Abu Taqi.”
Abdurrahman
menceritakan kepada kami, dia berkata, Aku mendengar ayahku menyebutkan
kepadaku tentang Abu Taqi Abdul Hamid bin Ibrahim,Dia berada pada suatu kampung
di daerah Himsh, aku tidak keluar menemuinya dia juga menyebutkan bahwa dia
mendengar kitab Abdullah bin Salim dari Az-Zubaidi hanya saja buku-bukunya
hilang lalu dia katakan bahwa dia tidak menghafalnya. Mereka ingin mendengar
riwayat itu darinya tapi dia mengatakan, ”Aku tidak hafal”, tapi mereka terus
saja mendesak sampai dia melemah. Kemudian aku datang ke Himsh setealah
peristiwa itu lebih dari tiga puluh tahun ternyata orang-orang sudah
meriwayatkan kitab itu darinya dan mereka katakan bahwa mereka menalqini
riwayat Ibnu Zibriq kepadanya lalu dia pun meriwayatkan hasil talqinan itu. Dia
menurutku bukan apa-apa, tidak hafal dan tidak punya kitab”.”
Tambahan lagi Abu Zur’ah juga menganggap parah kelemahan Abdul Hamid bin
Ibrahim ini sebagaimana dalam kitab Su`aalaat Al-Bardza’i jilid hal. 705 - 706.
Al-Bardza’i berkata,
ذاكرت أبا
زرعة بشيء عن محمد بن عوف عن عبدالحميد بن إبراهيم أبي تقي عن عبدالله بن سالم عن
الزبيدي، فنسبه إلى أمر غليظ، ثم قال لي: محمد بن عوف يحدّث عنه! قلت: نعم،
فاستعظم ذاك جداً، ثم قال: "هو الذي نهاني عنه ولم يدعني أقربه، ونسبه إلى ما
أعلمتك، ثم هو يحدّث عنه! ما هذا بحسن".
Aku berdiskusi dengan
Abu Zur’ah tentang Muhammad bin Auf dari Abdul Hamid bin Ibrahim Abu Taqi, dari
Abdullah bin Salim, dari Az-Zubaidi. Dia lalu mengomentarinya dengan pedas dan
bertanya kepadaku, “Muhammad bin Auf menceritakan itu (dari Abdul Hamid)?” Aku
berkata, “Ya.” Dia (Abu Zur’ah) sangat mengingkarinya dan berkata, “Dialah (Muhammad
bin Auf) yang melarangku untuk meriwayatkan darinya (dari Abdul Hamid) dan
tidak membiarkanku untuk mendekatinya dan menyifatinya dengan sifat yang aku
sebutkan kepadamu, kemudian dia pula yang meriwayatkan hadits darinya?! Ini jelas
tidak baik!”
Dengan begitu maka riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim Al Himshi ini
sebenarnya adalah hasil talqinan dari kitabnya Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq. Maka,
gugurlah riwayat Abdul Hamid bin Ibrahim dan tidak bisa menguatkan riwayat Amr
bin Harits. Demikian yang disimpulkan oleh Syekh Abu Marwan As-Sudani dalam
kitabnya, “Al-Jahr wa Al-I’lan fii Dha’fi Hadits Al-Kitman fii Munashahati
As-Sulthaan”.
Kelemahan jalur-jalur ini:
Jalur Syuraih Al-Qadhi adalah munqathi’ tidak bisa dikatakan dikuatkan
dengan jalur Muhammad bin Ismail bin Ayyasy yang menyambungnya dengan
memasukkan nama Jubair bin Nufair antara Syuraih dan Iyadh, sebab andai dia selamat
dari kelemahan Muhammad bin Ayyasy maka justru itu melemahkan jalur ini karena
riwayat yang bersambung itu melalui jalur Dhamdham bin Zur’ah yang mendapat
predikat shaduq yahim (jujur tapi biasa ragu atau salah). Sementara riwayat
yang terputus bersumber dari Shafwan bin Amr As-Saksaki dan dia tsiqah. Dengan
demikian riwayat Dhamdham ini kalah karena dia menyelisihi orang yang lebih
kuat darinya. Sehingga yang benar dalam riwayat jalur Syuraih Al-Qadhi adalah
munqathi’ atau terputus dan ini lemah tak bisa dijadikan hujjah.
Sementara jalur Ibnu ‘A`idz dari Jubair bin Nufair juga sangat lemah, riwayat
ini melalui dua jalur:
1.
Jalur Ishaq bin Zibriq dari Amr bin Harits
2.
Jalur Abdul Hamid bin Ibrahim Abu Taqi
Kedua jalur ini
tidak bisa saling menguatkan karena kelemahan yang parah pada keduanya.
Penilaian para ulama berbeda-beda mengenai Ishaq bin Ibrahim Ibnu Zibriq
ini, umumnya menganggap lemah, bahkan Muhammad bin Auf memastikan bahwa dia
berdusta dan ini jarh yang mufassar. Sehingga yang paling mendekati kebenaran
tentang penilaian terhadapnya adalah penilaian Adz-Dzahabi dalam Talkhish Al
Mustadrak dengan predikat “waah” (sangat lemah)[8], atau penilaian
An-Nasa`iy, “laisa bi tsiqah” (tidak tsiqah) dan itu berarti haditsnya
sangat lemah. Al-Albani sendiri dalam beberapa tempat di kitab As-Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah menyatakan bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Ala ` Ibnu Zibriq ini
sebagai dhaif jiddan (sangat lemah).[9]
Saya sendiri sudah membuat tulisan khusus mengenainya yang saya posting
ke forum multaqa ahlil hadits (bisa dilihat di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=250659 ) membuktikan bahwa dia banyak bersendirian dalam riwayat yang tidak
diikuti oleh orang lain, dan itu masuk kategori munkar, sehingga dia layak
disebut munkarul hadits. Wallahu a’lam.
Itu belum lagi ditambah adanya kelemahan pada Amr bin Al-Harits yang
dikatakan oleh Adz-Dzahabi “Tidak terkenal keadilannya (dalam riwayat)”, itu
menunjukkan dia majhul haal. Meskipun Ibnu Hibban menyatakan dalam ats-Tsiqaat
dia mustaqimul hadits, tapi kalau kita telusuri banyak hadits-haditsnya yang
diriwayatkan dari Ishaq bin Ibrahim adalah munkar sebagaimana saya bahas dalam
forum ahli hadits di atas.
Jadi, jalur yang menyebutkan adanya Jubair bin Nufair semuanya adalah
dhaif jiddan dan tidak bisa dipakai. Tinggal lagi jalur Syuraih bin Ubaid yang
lemah karena ada keterputusan sanad antara dia dengan Iyadh bin Ghanm. Dengan
begitu hadits ini tidak cukup kuat sebagai hujjah, apalagi tambahan ini tidak
disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Urwah bin Az-Zubair yang diriwayatkan
oleh Muslim, semakin menunjukkan kelemahan tambahan tersebut.
Makanya, syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya Tuhfatul Mujib
cenderung menilai riwayat tambahan ini syadz karena menyelisihi riwayat yang shahih
dari jalur Urwah yang ada dalam Shahih Muslim. Beliau berkata di kitab itu
halaman 164 (cetakan Darul Aatsaar, Shan’a`):
“Sedangkan hadits yang mengatakan, "Siapa
yang ingin menasehati penguasa maka hendaknya dia memberikan nasehat secara
rahasia", memang asalnya ada di Shahih Muslim tanpa tambahan tersebut.
redaksi hadits tersebut yang ada di Shahih Muslim adalah "Sesungguhnya
Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia" tanpa ada
tambahan di atas.
Menyikapi
tambahan ini, kita perlu mengadakan penelitian, jika para perawi yang meriwayatkan
tambahan itu setara dengan para perawi yang yang tidak membawakan tambahan,
maka tambahan tersebut adalah tambahan yang bisa diterima. Demikian pula, jika
perawi yang membawakan tambahan itu lebih kuat dibanding perawi yang tidak
membawakan tambahan maka tambahan tersebut adalah juga tambahan yang diterima.
Akan tetapi, jika tambahan tersebut adalah tambahan yang marjuh (lebih lemah dibanding yang tanpa tambahan) maka status tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Dan redaksi tambahan di atas (riwayat Iyadh bin Ghanm –penerj) adalah tambahan yang syadz.”
Akan tetapi, jika tambahan tersebut adalah tambahan yang marjuh (lebih lemah dibanding yang tanpa tambahan) maka status tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Dan redaksi tambahan di atas (riwayat Iyadh bin Ghanm –penerj) adalah tambahan yang syadz.”
Belum lagi perbuatan Hisyam bin Hakim menegur Iyadh bin Ghanm pada saat
Iyadh melakukan kemungkaran dan itu harus segera dicegah sebelum Iyadh makin
tenggelam dalam kesalahannya, atau jatuh korban dari orang yang disiksa oleh
Iyadh tersebut. Hal itu pula yang dilakukan para sahabat yang lain ketika
menegur kesalahan pemimpin seperti yang dilakukan Abu Sa’id Al-Khudri terhadap
Marwan yang berkhutbah sambil duduk. Khusus untuk masalah mengingkari
kemungkaran yang dilakukan penguasa apakah sama sekali tidak boleh
terang-terangan insya Allah akan kami bahas belakangan.
Anshari
Taslim
Bekasi, 11
Juni 2011.
Dikoreksi ulang
20 November 2013
[1] Redaksi ini diriwayatkan oleh
Muslim dalam shahihnya tapi tanpa ada cerita penolakan Iyadh dan tambahan
riwayatnya seperti yang dibahas di sini. Ini membuktikan kelemahan tambahan
ini, sebab kalau shahih tentu sudah diceritakan oleh Hisyam kepada Urwah bin
Zubiar yang meriwayatkannya dalam shahih Muslim.
Dengan
demikian tambahan yang ada di riwayat ini tidak dapat diterima karena bersumber
dari jalur yang lemah.
[6] Abu
Hatim mengatakan, “Orang-orang memprovokasinya untuk meriwayatkan dari ayahnya
tanpa mendengar langsung lalu dia melakukannya.” (Al Jarh wa At-Ta’dil 7/190). Sementara Al-Hafizh Ibnu
Hajar mengatakan dalam At-Taqrib (2/37, no. 6430): “Mereka mencelanya
gara-gara berani meriwayatkan dari ayahnya tanpa mendengar langsung.” Bahkan
Al-Albani mengatakan dalam Zhilal Al-Jannah, “Perkatannya ‘ayahku menceritakan kepadaku’ seperti itu
adalah dusta”. Aneh kalau kemudian Al-Albani masih menguatkannya dengan riwayat
yang lain padahal Muhammad bin Ismail ini melakukan kesalahan fatal yaitu
berdusta.
[8] Seperti komentarnya terhadap
riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak nomor hadits 5269.
“Dan ayahnya (ayah Amr) yaitu Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq adalah dhaif jiddan. An-Nasa`iy mengatakannya, tidak tsiqah, Abu Daud mengatakannya, “Bukan apa-apa”, bahkan muhaddits daerah Hims yaitu Muhammad bin Auf Ath-Tha`iy yang merupakan orang yang paling tahu tentang penduduk negerinya sendiri menganggapnya pendusta. Sedangkan Abu Hatim mengatakan, “Tidak ada masalah padanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar