Sebagaimana diketahui ada larangan
berjual beli ketika azan Jum’at dikumandangkan sampai selesai shalat dalam
firman Allah Ta’ala
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Qs.
Al-Jumu’ah : 9)
Akan tetapi mayoritas ulama kalau tidak
bisa dikatakan semua ulama madzhab sepakat bahwa larangan tersebut hanya
berlaku pada mereka yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Sementara mereka yang
tidak kena kewajiban shalat Jum’at dan dibolehkan shalat Zuhur di rumah maka
tidak terkena larangan tersebut.
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah jilid 9 hal. 225-226 disebutkan,
“Larangan
yang mengakibatkan hukum haram atau makruh ini terikat dengan beberapa syarat:
1.
Mereka yang terlibat jual beli
adalah yang wajib melaksanakan shalat Jum’at. Artinya, jual beli tidak
diharamkan bagi orang wanita, anak kecil. Bahkan madzhab Hanafi menegaskan
bahwa larangan ini tidak berlaku bagi yang tidak wajib melaksanakan shalat
Jum’at. Meski demikian Ibnu Abi Musa –dari kalangan Hanabilah - telah
mengatakan ada dua riwayat tentang orang yang tidak kena kewajiban Jum’at. Tapi
berdasarkan pendapat yang benar di kalangan mereka (madzhab Hanbali) bahwa
pengharaman itu berlaku khusus untuk mereka yang terkena kewajiban melaksanakan
shalat Jum’at. Itu karena Allah Ta’ala hanya melarang jual beli dengan
perintahnya untuk bersegera menghadiri. Sehingga mereka yang tidak
diperintahkan untuk menghadiri tidak terkena larangan tersebut. Sebab, larangan
jual beli mempunyai sebab yaitu adanya kesibukan yang melupakan orang dari
Jum’at dan ini tidak terdapat pada diri mereka yang tidak wajib itu.
2.
Orang yang sibuk dalam urusan jual
beli itu adalah orang yang tahu akan larangan tersebut sebagaimana ditegaskan
dalam oleh Syafi’iyyah.
3.
Tidak adanya keadaan darurat untuk
melakukan jual beli seperti orang yang terpaksa harus melakukannya demi makan,
atau membeli kain kafan mayat yang dikhawatirkan kondisinya berubah kalau
diperlambat. Kalau ada keadaan darurat maka tidak ada keharaman (bertransaksi)
meski dia harus ketinggalan Jum’at sebagaimana yang dinashkan oleh Al-Jamal
dari kalangan ulama Syafi’iyyah.
4.
Jual beli yang terlarang itu
dilakukan setelah dikumandangkannya azan khutbah –sebagaimana ungkapan jumhur-
atau bertepatan dengannya –sebagaimana ungkapan ulama Malikiyyah pula. Akan
tetapi madzhab Hanafi tidak mengemukakan syarat ini kecuali bahwa itu dilakukan
setelah azan tergelincirnya matahari.
Penegasan
para ulama:
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata
dalam kitab Al-Umm jilid 1 hal. 224 (cetakan Darul Ma’rifah tahun 1990):
وَإِذَا تَبَايَعَ مَنْ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ فِي الْوَقْتِ
الْمَنْهِيِّ فِيهِ عَنْ الْبَيْعِ لَمْ أَكْرَهْ الْبَيْعَ؛ لِأَنَّهُ لَا
جُمُعَةَ عَلَيْهِمَا، وَإِنَّمَا الْمَنْهِيُّ عَنْ الْبَيْعِ الْمَأْمُورُ
بِإِتْيَانِ الْجُمُعَةِ
“Apabila orang yang tidak punya kewajiban shalat Jum’at melakukan
transaksi jual beli pada waktu terlarang maka aku tidak membencinya, karena
tidak ada kewajiban Jum’at atas diri mereka berdua. Larangan jual beli itu
hanyalah disertakan dengan perintah untuk mendatangi Jum’at.”
Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab
Al-Mughni (2/72, cetakan Dar Ihya` At-Turats 1985):
وَتَحْرِيمُ
الْبَيْعِ، وَوُجُوبُ السَّعْيِ، يَخْتَصُّ بِالْمُخَاطَبِينَ بِالْجُمُعَةِ،
فَأَمَّا غَيْرُهُمْ مِنْ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْمُسَافِرِينَ، فَلَا
يَثْبُتُ فِي حَقِّهِ ذَلِكَ. وَذَكَرَ ابْنُ أَبِي مُوسَى فِي غَيْرِ
الْمُخَاطَبِينَ رِوَايَتَيْنِ. وَالصَّحِيحُ مَا ذَكَرْنَا ; فَإِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى إنَّمَا نَهَى عَنْ الْبَيْعِ مَنْ أَمَرَهُ بِالسَّعْيِ، فَغَيْرُ
الْمُخَاطَبِ بِالسَّعْيِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ
الْبَيْعِ مُعَلَّلٌ بِمَا يَحْصُلُ بِهِ مِنْ الِاشْتِغَالِ عَنْ الْجُمُعَةِ،
وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي حَقِّهِمْ.
فَإِنْ كَانَ الْمُسَافِرُ فِي غَيْرِ الْمِصْرِ، أَوْ كَانَ
إنْسَانًا مُقِيمًا بِقَرْيَةٍ لَا جُمُعَةَ عَلَى أَهْلِهَا، لَمْ يَحْرُمْ
الْبَيْعُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَمْ يُكْرَهْ.
“Pengharaman jual beli dan wajibnya berangkat (menuju shalat) hanya
dikhususkan kepada mereka yang terkena kewajiban Jum’at. Sedangkan yang tidak
seperti wanita, anak-anak dan musafir maka tidak ada kewajiban itu atas diri
mereka. Ibnu Abi Musa menyebutkan adanya dua riwayat tentang orang yang tidak
terkena kewajiban Jum’at. Tapi yang benar adalah seperti yang kami sebutkan,
karena Allah Ta’ala hanya melarang jual beli disertai perintah untuk menuju
shalat, maka mereka yang tidak diperintahkan untuk menuju shalat tidak terkena
larangan tersebut. Juga karena larangan jual beli itu disebabkan adanya
kesibukan yang melalaikan dari Jum’at dan itu tidak terjadi pada mereka (yang
tidak wajib shalat Jum’at –penerj).
Kalau ada seorang musafir yang kebetulan berada di luar pemukiman (padang pasir, lautan dan
sebagainya –penerj) atau orang yang mukim di sebuah perkampungan yang tidak
diwajibkan shalat Jum’at kepada penduduknya maka itu tidak diharamkan
berdasarkan semua pendapat dan tidak pula dimakruhkan.”
Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya,
ومن لا
يجب عليه حضور الجمعة فلا ينهى عن البيع والشراء.
“Siapa yang tidak berkewajiban menghadiri Jum’at maka tidak
dilarang melakukan jual beli.”
Demikianlah pendapat para ulama mengenai
jual beli yang dilakukan oleh mereka yang tidak terkena kewajiban Jum’at
seperti wanita, anak-anak atau orang kafir, atau musafir yang tidak boleh
melaksanakan shalat Jum’at karena ketiadaan masjid, misalnya ketika mereka di
atas kapal. Mereka semua sah dan halal melakukan jual beli.
Yang jadi persoalan adalah kalau salah
satu dari keduanya wajib Jum’at dan satu lagi tidak. Misalnya wanita muslimah
dengan lelaki muslim. Maka pendapat yang paling kuat keduanya berdosa, yang
wajib Jum’at berdosa karena telah melanggar larangan jual beli, sedangkan yang
tidak wajib berdosa karena telah membantu orang lain melakukan dosa, padahal
Allah telah berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنوْا عَلَى الإِثْمِ والعُدْوَانِ
“Dan
janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan…..”
(Qs.
Al-Maidah : 2).
Lalu apakah jual beli yang terlarang ini
bila dilakukan oleh yang wajib Jum’at menjadi batal atau hanya berdosa tapi
tidak batal? Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah ini yang mungkin ada baiknya dibahas terpisah dari sini.
Demikian
sekilas yang dapat kami paparkan semoga ada manfaatnya terutama sebagai pedoman
bagi pedagang muslim yang ingin konsekuen menjalankan ajaran agama dalam
bisnisnya.
Semoga
Allah mengampuni bila ada kesalahan paparan kami karena yang benar hanya dari
Allah dan yang salah adalah kelalaian manusia.
Bekasi,
22 September 2012
Anshari
Taslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar