Selasa, 19 November 2013

Bolehkah Wanita Berjual-beli Setelah Azan Jum’at?


Bolehkah Wanita Berjual-beli Setelah Azan Jum’at?

        Sebagaimana diketahui ada larangan berjual beli ketika azan Jum’at dikumandangkan sampai selesai shalat dalam firman Allah Ta’ala
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) šÏŠqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqtƒ ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù 4n<Î) ̍ø.ÏŒ «!$# (#râsŒur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 bÎ) óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ  
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Qs. Al-Jumu’ah : 9)
        Akan tetapi mayoritas ulama kalau tidak bisa dikatakan semua ulama madzhab sepakat bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada mereka yang terkena kewajiban shalat Jum’at. Sementara mereka yang tidak kena kewajiban shalat Jum’at dan dibolehkan shalat Zuhur di rumah maka tidak terkena larangan tersebut.
        Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 9 hal. 225-226 disebutkan,
“Larangan yang mengakibatkan hukum haram atau makruh ini terikat dengan beberapa syarat:
1.    Mereka yang terlibat jual beli adalah yang wajib melaksanakan shalat Jum’at. Artinya, jual beli tidak diharamkan bagi orang wanita, anak kecil. Bahkan madzhab Hanafi menegaskan bahwa larangan ini tidak berlaku bagi yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at. Meski demikian Ibnu Abi Musa –dari kalangan Hanabilah - telah mengatakan ada dua riwayat tentang orang yang tidak kena kewajiban Jum’at. Tapi berdasarkan pendapat yang benar di kalangan mereka (madzhab Hanbali) bahwa pengharaman itu berlaku khusus untuk mereka yang terkena kewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Itu karena Allah Ta’ala hanya melarang jual beli dengan perintahnya untuk bersegera menghadiri. Sehingga mereka yang tidak diperintahkan untuk menghadiri tidak terkena larangan tersebut. Sebab, larangan jual beli mempunyai sebab yaitu adanya kesibukan yang melupakan orang dari Jum’at dan ini tidak terdapat pada diri mereka yang tidak wajib itu.
2.    Orang yang sibuk dalam urusan jual beli itu adalah orang yang tahu akan larangan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam oleh Syafi’iyyah.
3.    Tidak adanya keadaan darurat untuk melakukan jual beli seperti orang yang terpaksa harus melakukannya demi makan, atau membeli kain kafan mayat yang dikhawatirkan kondisinya berubah kalau diperlambat. Kalau ada keadaan darurat maka tidak ada keharaman (bertransaksi) meski dia harus ketinggalan Jum’at sebagaimana yang dinashkan oleh Al-Jamal dari kalangan ulama Syafi’iyyah.
4.    Jual beli yang terlarang itu dilakukan setelah dikumandangkannya azan khutbah –sebagaimana ungkapan jumhur- atau bertepatan dengannya –sebagaimana ungkapan ulama Malikiyyah pula. Akan tetapi madzhab Hanafi tidak mengemukakan syarat ini kecuali bahwa itu dilakukan setelah azan tergelincirnya matahari.

Penegasan para ulama:

        Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitab Al-Umm jilid 1 hal. 224 (cetakan Darul Ma’rifah tahun 1990):
وَإِذَا تَبَايَعَ مَنْ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِ فِي الْوَقْتِ الْمَنْهِيِّ فِيهِ عَنْ الْبَيْعِ لَمْ أَكْرَهْ الْبَيْعَ؛ لِأَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمَا، وَإِنَّمَا الْمَنْهِيُّ عَنْ الْبَيْعِ الْمَأْمُورُ بِإِتْيَانِ الْجُمُعَةِ
“Apabila orang yang tidak punya kewajiban shalat Jum’at melakukan transaksi jual beli pada waktu terlarang maka aku tidak membencinya, karena tidak ada kewajiban Jum’at atas diri mereka berdua. Larangan jual beli itu hanyalah disertakan dengan perintah untuk mendatangi Jum’at.”
        Ibnu Qudamah mengatakan dalam kitab Al-Mughni (2/72, cetakan Dar Ihya` At-Turats 1985):
وَتَحْرِيمُ الْبَيْعِ، وَوُجُوبُ السَّعْيِ، يَخْتَصُّ بِالْمُخَاطَبِينَ بِالْجُمُعَةِ، فَأَمَّا غَيْرُهُمْ مِنْ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَالْمُسَافِرِينَ، فَلَا يَثْبُتُ فِي حَقِّهِ ذَلِكَ. وَذَكَرَ ابْنُ أَبِي مُوسَى فِي غَيْرِ الْمُخَاطَبِينَ رِوَايَتَيْنِ. وَالصَّحِيحُ مَا ذَكَرْنَا ; فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إنَّمَا نَهَى عَنْ الْبَيْعِ مَنْ أَمَرَهُ بِالسَّعْيِ، فَغَيْرُ الْمُخَاطَبِ بِالسَّعْيِ لَا يَتَنَاوَلُهُ النَّهْيُ، وَلِأَنَّ تَحْرِيمَ الْبَيْعِ مُعَلَّلٌ بِمَا يَحْصُلُ بِهِ مِنْ الِاشْتِغَالِ عَنْ الْجُمُعَةِ، وَهَذَا مَعْدُومٌ فِي حَقِّهِمْ.
فَإِنْ كَانَ الْمُسَافِرُ فِي غَيْرِ الْمِصْرِ، أَوْ كَانَ إنْسَانًا مُقِيمًا بِقَرْيَةٍ لَا جُمُعَةَ عَلَى أَهْلِهَا، لَمْ يَحْرُمْ الْبَيْعُ قَوْلًا وَاحِدًا، وَلَمْ يُكْرَهْ.
“Pengharaman jual beli dan wajibnya berangkat (menuju shalat) hanya dikhususkan kepada mereka yang terkena kewajiban Jum’at. Sedangkan yang tidak seperti wanita, anak-anak dan musafir maka tidak ada kewajiban itu atas diri mereka. Ibnu Abi Musa menyebutkan adanya dua riwayat tentang orang yang tidak terkena kewajiban Jum’at. Tapi yang benar adalah seperti yang kami sebutkan, karena Allah Ta’ala hanya melarang jual beli disertai perintah untuk menuju shalat, maka mereka yang tidak diperintahkan untuk menuju shalat tidak terkena larangan tersebut. Juga karena larangan jual beli itu disebabkan adanya kesibukan yang melalaikan dari Jum’at dan itu tidak terjadi pada mereka (yang tidak wajib shalat Jum’at –penerj).
Kalau ada seorang musafir yang kebetulan berada di luar pemukiman (padang pasir, lautan dan sebagainya –penerj) atau orang yang mukim di sebuah perkampungan yang tidak diwajibkan shalat Jum’at kepada penduduknya maka itu tidak diharamkan berdasarkan semua pendapat dan tidak pula dimakruhkan.”
        Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya,
ومن لا يجب عليه حضور الجمعة فلا ينهى عن البيع والشراء.

“Siapa yang tidak berkewajiban menghadiri Jum’at maka tidak dilarang melakukan jual beli.”
        Demikianlah pendapat para ulama mengenai jual beli yang dilakukan oleh mereka yang tidak terkena kewajiban Jum’at seperti wanita, anak-anak atau orang kafir, atau musafir yang tidak boleh melaksanakan shalat Jum’at karena ketiadaan masjid, misalnya ketika mereka di atas kapal. Mereka semua sah dan halal melakukan jual beli.
        Yang jadi persoalan adalah kalau salah satu dari keduanya wajib Jum’at dan satu lagi tidak. Misalnya wanita muslimah dengan lelaki muslim. Maka pendapat yang paling kuat keduanya berdosa, yang wajib Jum’at berdosa karena telah melanggar larangan jual beli, sedangkan yang tidak wajib berdosa karena telah membantu orang lain melakukan dosa, padahal Allah telah berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنوْا عَلَى الإِثْمِ والعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan…..”
(Qs. Al-Maidah : 2).
        Lalu apakah jual beli yang terlarang ini bila dilakukan oleh yang wajib Jum’at menjadi batal atau hanya berdosa tapi tidak batal? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini yang mungkin ada baiknya dibahas terpisah dari sini.
       
Demikian sekilas yang dapat kami paparkan semoga ada manfaatnya terutama sebagai pedoman bagi pedagang muslim yang ingin konsekuen menjalankan ajaran agama dalam bisnisnya.
Semoga Allah mengampuni bila ada kesalahan paparan kami karena yang benar hanya dari Allah dan yang salah adalah kelalaian manusia.


Bekasi, 22 September 2012

Anshari Taslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar