Selasa, 24 Desember 2013

Mendudukkan konsep Rahmatan lil 'Aalamiin

          Salah satu kata yang paling sering kita dengar keluar dari mulut aktivis liberal adalah Islam itu rahmatan lil alamin, Islam adalah rahmat (kasih sayang bagi semesta alam). Kadang mereka menyandangkan kata itu sebagai firman Allah dalam Al-Quran. Padahal tidak ada ayat Al-Quran yang berbunyi persis, ”Islam adalah rahmat bagi seluruh alam”, yang ada hanyalah ayat,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ 
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Qs. Al-Anbiya’ : 107).
          Jadi, fokus pembicaraan dalam ayat ini adalah keberadaan Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai seorang nabi yang diutus sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh alam. Artinya, karena Allah sayang kepada seluruh alam maka diutuslah Muhammad untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju cahaya Islam. Siapa yang mau mengikuti semua ajaran Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam maka dia akan selamat, tapi siapa yang tidak mau, atau hanya mau menuruti sebagian dan kafir pada sebagian yang lain berarti dia menyia-nyiakan rahmat Allah itu. Perumpamaannya adalah ibarat obat kepada orang sakit, obat itu baru akan berguna sebagai penyembuh kalau diminum, tapi bagi yang menolak obat itu, berarti dia tidak akan mendapat kesembuhan. Begitulah orang yang menolak keseluruhan atau sebagian ajaran Muhammad, maka dia tidak akan mendapatkan rahmat Allah, malah akan mendapatkan murka-Nya.
          Dalam tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud seluruh alam dalam ayat ini meliputi orang mukmin dan orang kafir, bagi orang mukmin akan mendapatkan rahmat di dunia dan di akhirat, sedangkan bagi yang kafir mereka hanya akan mendapat rahmat dunia berupa tidak dimusnahkannya mereka seperti yang dialami umat-umat terdahulu yang ditenggelamkan dan dilempari batu dari atas. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya.[1]
          Dengan bermodalkan satu ayat ini maka orang-orang liberal menafikan ajaran jihad, tidak hanya jihad ofensif tapi jihad dalam bentuk pertahanan diripun mulai mereka kaburkan maknanya, sehingga esensi dari pendapat mereka adalah ajakan untuk menyerah dan membiarkan orang kafir menguasai negeri-negeri muslim untuk kemudian kaum muslimin bisa duduk berdampingan dengan orang-orang kafir tersebut membicarakan hal-hal yang positif tanpa kekerasan. Intinya, orang Islam harus lebih banyak mengalah demi merealisasikan konsep rahmatan lil alamin, biarlah tauhid rusak, biarlah hukum Allah diganti dengan hukum jahiliah yang dianggap lebih layak, tak soallah rumah bordil merebak, jangan hiraulah dengan banyaknya orang minum arak yang penting bisa menyebarkan kasih sayang kepada orang-orang kafir tak berakhlak.
          Satu ayat yang mereka tafsirkan secara sesat ini melupakan puluhan ayat lain yang memerintahkan untuk memerangi, membunuh bahkan memenggal kepala orang kafir, seperti dalam surah Muhammad ayat 4, sebagian besar ayat di surah At-Taubah, surah Al-Baqarah dan lain-lain. Di sana terdapat kata-kata, perangilah, bunuhlah, penggallah kepala mereka dan semisalnya. Apakah itu kontradiktif dengan tugas Rasul sebagai rahmat bagi seluruh alam?
          Kalau memakai kacamata kudanya orang-orang liberal jelas kontradiktif sebab mereka menilai hanya melihat sisi lahiriah tanpa menimbang sisi batin dan hikmah ilahiyah yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin mata hati orang yang sudah terkotori dengan pemikiran sekuler jahiliyyah bisa menggali hikmah ilahiyyah?!
          Lebih-lebih ketika membaca ayat 179 dari surah Al-Baqarah, ”Dan dalam hukuman qisash itu ada kehidupan bagi kalian wahai orang-orang yang punya akal agar kalian bertakwa”, mereka tak akan dapat memahami ayat ini karena mereka bukan ulul albab dan tidak pula bertakwa. Bagaimana bisa bertakwa kalau tiap hari ngumpul bersama orang kafir durjana mendiskusikan bagaimana caranya jangan sampai Islam berkuasa??!
          Bagi mereka seorang pembunuh itu idealnya dimaafkan saja, atau kalau bisa dihukum seringan mungkin, dan keluarga korban jangan diberi wewenang sedikitpun menuntut ganti rugi. Mereka harus bersabar, ini musibah, makanya besok-besok jangan mau dibunuh. Kira-kira begitulah pesan tersirat mereka kepada keluarga korban. Hukuman mati harus dihapus karena bertentangan dengan HAM, bukan tugas manusia untuk mengakhiri hidup seseorang, biarkan tuhan yang mencabut nyawa manusia tanpa perlu algojo yang bekerja di bawah undang-undang. Bagi mereka, kerjaan tuhan itu hanya fokus membagi rejeki, mengatur siapa yang lahir dan siapa yang mati, siapa yang dapat jodoh dan siapa yang ditinggal kekasihnya pergi. Tuhan jangan sampai mengurus politik, hukum, budaya dan sistem ekonomi karena mereka sudah mendapat ajaran yang lebih baik daripada ajaran Tuhan, yaitu ajaran kapitalis yang menjadikan riba sebagai insturumen terpenting dalam bisnis.

Jihad sebagai salah satu bentuk rahmatan lil alamin.
          Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَجِبَ اللَّهُ مِنْ قَوْمٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ فِي السَّلَاسِلِ
”Allah kagum dengan suatu kaum yang masuk surga lantaran belenggu.”
(Shahih Al-Bukhari, no. 3010, kitab Al-Jihad wa As-Siyar).
          Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari jilid 6 hal. 145 (cet Darul Ma’rifah 1979) mengemukakan berbagai penjelasan tentang hadits ini dan yang paling meyakinkan adalah penjelasan yang dia nukil dari Ibnu Al-Jauzi bahwa awalnya mereka dibelenggu dan ditawan, lalu ketika mereka sadar akan benarnya Islam merekapun masuk Islam secara sukarela sehingga itu menyebabkan mereka masuk surga. Jadi, ketika pasukan muslimin memenangkan sebuah pertempuran dan berhasil menawan lalu merantai tentara kafir maka ada sebagian tentara kafir ini yang masuk Islam meski awalnya karena mereka dibelenggu sebagai tawanan. Masuknya mereka ke dalam Islam akan menyebabkan mereka masuk surga. Sehingga, jihad kepada orang kafir adalah rahmat Allah kepada mereka agar mereka mau kembali ke pangkuan Islam untuk bisa masuk surga. Dibelenggu tapi akhirnya masuk surga adalah lebih baik daripada tetap jaya menjadi kafir tapi kemudian masuk neraka.
          Makna ini didukung oleh riwayat Abu Hurairah yang juga ada dalam shahih Al-Bukhari nomor hadits 4557 kitab Tafsir bab surah Ali Imran ayat 110, dimana Abu Hurairah berkata menafsirkan firman Allah, ”Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia....”
خَيْرَ النَّاسِ لِلنَّاسِ ؛ تَأْتُونَ بِهِمْ فِي السَّلَاسِلِ فِي أَعْنَاقِهِمْ حَتَّى يَدْخُلُوا فِي الْإِسْلَامِ
”Sebaik-baik manusia untuk manusia lain, karena kalian yang menggiring mereka dengan belenggu di leher mereka sampai (gara-gara itu) mereka masuk Islam.”
          Maksudnya adalah para mujahidin yang berhasil menawan tentara kafir dan membelenggu mereka dan gara-gara ditawan itulah mereka bisa masuk Islam. Al-Aini dalam Umdatul Qari menambahkan, ”Mereka dianggap umat terbaik, karena lantaran sebab merekalah orang-orang kafir ini menjadi masuk Islam dan mendapatkan pangkal semua kebahagiaan dunia dan akhirat.”[2]
          Mungkin orang-orang liberal ini akan terheran-heran, bagaimana mungkin adanya rahmat dengan adanya pertumpahan darah dan kerusakan akibat perang? Justru rahmat itu kalau kita sebagai umat Islam menyerah dan membiarkan orang kafir berbuat sesuka hati lalu kita duduk satu meja dengan mereka untuk dialog, sambil minum-minum, barulah itu yang namanya rahmat. Mereka lupa, kadang untuk kebaikan seseorang itu perlu dipaksa, lihatlah demi kebaikan si anak kecil orang tua harus tega memaksa dan membuka paksa mulut anaknya agar mau minum obat, padahal si anak sudah meronta-ronta tapi si orang tua tetap saja memaksa. Begitulah Allah kadang memaksa hamba-Nya untuk selamat, meski pada awalnya si hamba tadi meronta-ronta tak mau diselamatkan oleh Allah.

Sikap keras Rasulullah kepada sebagian orang adalah rahmat bagi orang lain agar tak seperti orang tersebut.

          Banyak sikap keras dan tegas dari baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada sebagian orang. Semua itu bertujuan memberikan efek jera kepada orang lain agar tak melakukan kejahatan serupa dan hasilnya terciptalah tatanan masyarakat yang sejahtera, dan salah satu tolok ukur kesejahteraan itu adalah berjayanya tauhid dan matinya kekufuran. Jadi, kalau ada masyarakat yang makmur, penduduknya semua kaya, tapi syirik merajalela, maksiat dimana-mana, Al-Quran dan sunnah ditinggalkan begitu saja, maka di mata Allah masyarakat itu masih perlu dikasihani, karena rentan mendapatkan azab dari-Nya.
          Guna menegakkan kesejahteraan versi ilahi inilah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tak segan-segan bertindak tegas dan keras. Misalnya:
§  Beliau membalas tindakan penduduk Uraynah yang membunuh para pengembala yang sebelumnya telah berbaik hati memberi mereka minum susu dan kencing unta sehingga mereka sembuh dari sakit. Mereka murtad dari Islam setelah sembuh lalu Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengejar mereka dan memotong kaki tangan mereka lalu mencongkel mata mereka dan membiarkan mereka mati di padang pasar al harrah (dekat Madinah). Beliau mencongkel mata mereka sebagai qisas karena mereka juga telah mencongkel mata para pengembala yang baik hati kepada mereka itu. Sebuah tindakan yang adil dan begitulah seharusnya diberlakukan kepada para penjahat agar tak ada yang mengulangi kejahatan yang sama.[3]
§  Hukuman rajam yang diterapkan juga sebagai pelajaran bagi yang melihat untuk menjauhi perbuatan zina.
§  Persetujuan beliau terhadap pembunuhan Ka’b Al-Asyraf, dan wanita yang menghina beliau merupakan tindakan tegas dan pelajaran bagi orang kafir untuk tidak berani-berani menodai kehormatan Islam dan Rasul. Sehingga membiarkan tindakan penodaan terhadap agama bukanlah rahmat bagi alam melainkan azab bagi alam itu sendiri.

          Kesimpulannya, menghukum penjahat, memerangi orang-orang zalim, melakukan qisas, memberantah maksiat tidaklah bertentangan dengan tugas Muhamma shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam, justru itulah bentuk rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kalau orang-orang jahat dibiarkan berkeliaran, penodaan terhadap agama didiamkan bertebaran, maksiat dan syirik disahkan dalam aturan maka itu berarti membiarkan kerusakan merajalela. Sebaliknya, memberantas hal-hal tersebut merupakan bentuk rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam.


Anshari Taslim
Bekasi, 26 Nopember 2011.



[1] Tafsir Ath-Thabari 18/552.

[2] Umdatul Qari 18/197, cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 2001 M.

[3] Hadits ini ada dalam shahihain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar