Salah satu kata yang paling sering kita dengar keluar dari mulut aktivis
liberal adalah Islam itu rahmatan lil alamin, Islam adalah rahmat (kasih sayang
bagi semesta alam). Kadang mereka menyandangkan kata itu sebagai firman Allah
dalam Al-Quran. Padahal tidak ada ayat Al-Quran yang berbunyi persis, ”Islam
adalah rahmat bagi seluruh alam”, yang ada hanyalah ayat,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
”Dan tiadalah Kami
mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
(Qs. Al-Anbiya’ :
107).
Jadi, fokus pembicaraan dalam ayat ini adalah keberadaan Muhammad shallallaahu
'alaihi wa sallam sebagai seorang nabi yang diutus sebagai bentuk kasih sayang
Allah kepada seluruh alam. Artinya, karena Allah sayang kepada seluruh alam
maka diutuslah Muhammad untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju cahaya
Islam. Siapa yang mau mengikuti semua ajaran Muhammad shallallaahu 'alaihi wa
sallam maka dia akan selamat, tapi siapa yang tidak mau, atau hanya mau
menuruti sebagian dan kafir pada sebagian yang lain berarti dia menyia-nyiakan
rahmat Allah itu. Perumpamaannya adalah ibarat obat kepada orang sakit, obat
itu baru akan berguna sebagai penyembuh kalau diminum, tapi bagi yang menolak
obat itu, berarti dia tidak akan mendapat kesembuhan. Begitulah orang yang
menolak keseluruhan atau sebagian ajaran Muhammad, maka dia tidak akan
mendapatkan rahmat Allah, malah akan mendapatkan murka-Nya.
Dalam tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud seluruh
alam dalam ayat ini meliputi orang mukmin dan orang kafir, bagi orang mukmin
akan mendapatkan rahmat di dunia dan di akhirat, sedangkan bagi yang kafir
mereka hanya akan mendapat rahmat dunia berupa tidak dimusnahkannya mereka
seperti yang dialami umat-umat terdahulu yang ditenggelamkan dan dilempari batu
dari atas. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya.[1]
Dengan bermodalkan satu ayat ini maka orang-orang liberal menafikan ajaran
jihad, tidak hanya jihad ofensif tapi jihad dalam bentuk pertahanan diripun
mulai mereka kaburkan maknanya, sehingga esensi dari pendapat mereka adalah
ajakan untuk menyerah dan membiarkan orang kafir menguasai negeri-negeri muslim
untuk kemudian kaum muslimin bisa duduk berdampingan dengan orang-orang kafir
tersebut membicarakan hal-hal yang positif tanpa kekerasan. Intinya, orang
Islam harus lebih banyak mengalah demi merealisasikan konsep rahmatan lil
alamin, biarlah tauhid rusak, biarlah hukum Allah diganti dengan hukum jahiliah
yang dianggap lebih layak, tak soallah rumah bordil merebak, jangan hiraulah
dengan banyaknya orang minum arak yang penting bisa menyebarkan kasih sayang
kepada orang-orang kafir tak berakhlak.
Satu ayat yang mereka tafsirkan secara sesat ini melupakan puluhan ayat lain
yang memerintahkan untuk memerangi, membunuh bahkan memenggal kepala orang
kafir, seperti dalam surah Muhammad ayat 4, sebagian besar ayat di surah
At-Taubah, surah Al-Baqarah dan lain-lain. Di sana terdapat kata-kata,
perangilah, bunuhlah, penggallah kepala mereka dan semisalnya. Apakah itu
kontradiktif dengan tugas Rasul sebagai rahmat bagi seluruh alam?
Kalau memakai kacamata kudanya orang-orang liberal jelas kontradiktif sebab
mereka menilai hanya melihat sisi lahiriah tanpa menimbang sisi batin dan
hikmah ilahiyah yang terkandung di dalamnya. Bagaimana mungkin mata hati orang
yang sudah terkotori dengan pemikiran sekuler jahiliyyah bisa menggali hikmah
ilahiyyah?!
Lebih-lebih ketika membaca ayat 179 dari surah Al-Baqarah, ”Dan dalam
hukuman qisash itu ada kehidupan bagi kalian wahai orang-orang yang punya akal
agar kalian bertakwa”, mereka tak akan dapat memahami ayat ini karena
mereka bukan ulul albab dan tidak pula bertakwa. Bagaimana bisa bertakwa kalau
tiap hari ngumpul bersama orang kafir durjana mendiskusikan bagaimana caranya
jangan sampai Islam berkuasa??!
Bagi mereka seorang pembunuh itu idealnya dimaafkan saja, atau kalau bisa
dihukum seringan mungkin, dan keluarga korban jangan diberi wewenang sedikitpun
menuntut ganti rugi. Mereka harus bersabar, ini musibah, makanya besok-besok
jangan mau dibunuh. Kira-kira begitulah pesan tersirat mereka kepada keluarga korban.
Hukuman mati harus dihapus karena bertentangan dengan HAM, bukan tugas manusia
untuk mengakhiri hidup seseorang, biarkan tuhan yang mencabut nyawa manusia
tanpa perlu algojo yang bekerja di bawah undang-undang. Bagi mereka, kerjaan
tuhan itu hanya fokus membagi rejeki, mengatur siapa yang lahir dan siapa yang
mati, siapa yang dapat jodoh dan siapa yang ditinggal kekasihnya pergi. Tuhan
jangan sampai mengurus politik, hukum, budaya dan sistem ekonomi karena mereka
sudah mendapat ajaran yang lebih baik daripada ajaran Tuhan, yaitu ajaran
kapitalis yang menjadikan riba sebagai insturumen terpenting dalam bisnis.
Jihad sebagai salah
satu bentuk rahmatan lil alamin.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَجِبَ اللَّهُ مِنْ قَوْمٍ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ فِي
السَّلَاسِلِ
”Allah kagum dengan
suatu kaum yang masuk surga lantaran belenggu.”
(Shahih Al-Bukhari,
no. 3010, kitab Al-Jihad wa As-Siyar).
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari jilid 6 hal. 145 (cet Darul Ma’rifah
1979) mengemukakan berbagai penjelasan tentang hadits ini dan yang paling
meyakinkan adalah penjelasan yang dia nukil dari Ibnu Al-Jauzi bahwa awalnya
mereka dibelenggu dan ditawan, lalu ketika mereka sadar akan benarnya Islam
merekapun masuk Islam secara sukarela sehingga itu menyebabkan mereka masuk
surga. Jadi, ketika pasukan muslimin memenangkan sebuah pertempuran dan
berhasil menawan lalu merantai tentara kafir maka ada sebagian tentara kafir
ini yang masuk Islam meski awalnya karena mereka dibelenggu sebagai tawanan.
Masuknya mereka ke dalam Islam akan menyebabkan mereka masuk surga. Sehingga,
jihad kepada orang kafir adalah rahmat Allah kepada mereka agar mereka mau
kembali ke pangkuan Islam untuk bisa masuk surga. Dibelenggu tapi akhirnya
masuk surga adalah lebih baik daripada tetap jaya menjadi kafir tapi kemudian
masuk neraka.
Makna ini didukung oleh riwayat Abu Hurairah yang juga ada dalam shahih
Al-Bukhari nomor hadits 4557 kitab Tafsir bab surah Ali Imran ayat 110, dimana
Abu Hurairah berkata menafsirkan firman Allah, ”Kalian adalah sebaik-baik umat
yang dikeluarkan untuk manusia....”
خَيْرَ النَّاسِ لِلنَّاسِ ؛ تَأْتُونَ بِهِمْ فِي السَّلَاسِلِ فِي
أَعْنَاقِهِمْ حَتَّى يَدْخُلُوا فِي الْإِسْلَامِ
”Sebaik-baik manusia
untuk manusia lain, karena kalian yang menggiring mereka dengan belenggu di
leher mereka sampai (gara-gara itu) mereka masuk Islam.”
Maksudnya adalah para mujahidin yang berhasil menawan tentara kafir dan
membelenggu mereka dan gara-gara ditawan itulah mereka bisa masuk Islam.
Al-Aini dalam Umdatul Qari menambahkan, ”Mereka dianggap umat terbaik, karena
lantaran sebab merekalah orang-orang kafir ini menjadi masuk Islam dan
mendapatkan pangkal semua kebahagiaan dunia dan akhirat.”[2]
Mungkin orang-orang liberal ini akan terheran-heran, bagaimana mungkin adanya
rahmat dengan adanya pertumpahan darah dan kerusakan akibat perang? Justru
rahmat itu kalau kita sebagai umat Islam menyerah dan membiarkan orang kafir
berbuat sesuka hati lalu kita duduk satu meja dengan mereka untuk dialog,
sambil minum-minum, barulah itu yang namanya rahmat. Mereka lupa, kadang untuk
kebaikan seseorang itu perlu dipaksa, lihatlah demi kebaikan si anak kecil
orang tua harus tega memaksa dan membuka paksa mulut anaknya agar mau minum
obat, padahal si anak sudah meronta-ronta tapi si orang tua tetap saja memaksa.
Begitulah Allah kadang memaksa hamba-Nya untuk selamat, meski pada awalnya si
hamba tadi meronta-ronta tak mau diselamatkan oleh Allah.
Sikap keras Rasulullah
kepada sebagian orang adalah rahmat bagi orang lain agar tak seperti orang
tersebut.
Banyak sikap keras dan tegas dari baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada sebagian orang. Semua itu bertujuan memberikan efek jera kepada orang
lain agar tak melakukan kejahatan serupa dan hasilnya terciptalah tatanan
masyarakat yang sejahtera, dan salah satu tolok ukur kesejahteraan itu adalah
berjayanya tauhid dan matinya kekufuran. Jadi, kalau ada masyarakat yang
makmur, penduduknya semua kaya, tapi syirik merajalela, maksiat dimana-mana,
Al-Quran dan sunnah ditinggalkan begitu saja, maka di mata Allah masyarakat itu
masih perlu dikasihani, karena rentan mendapatkan azab dari-Nya.
Guna menegakkan kesejahteraan versi ilahi inilah Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam tak segan-segan bertindak tegas dan keras. Misalnya:
§ Beliau membalas tindakan penduduk Uraynah yang membunuh para pengembala
yang sebelumnya telah berbaik hati memberi mereka minum susu dan kencing unta
sehingga mereka sembuh dari sakit. Mereka murtad dari Islam setelah sembuh lalu
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengejar mereka dan
memotong kaki tangan mereka lalu mencongkel mata mereka dan membiarkan mereka
mati di padang pasar al harrah (dekat Madinah). Beliau mencongkel mata mereka
sebagai qisas karena mereka juga telah mencongkel mata para pengembala yang
baik hati kepada mereka itu. Sebuah tindakan yang adil dan begitulah seharusnya
diberlakukan kepada para penjahat agar tak ada yang mengulangi kejahatan yang
sama.[3]
§ Hukuman rajam yang diterapkan juga sebagai pelajaran bagi yang melihat
untuk menjauhi perbuatan zina.
§ Persetujuan beliau terhadap pembunuhan Ka’b Al-Asyraf, dan wanita yang
menghina beliau merupakan tindakan tegas dan pelajaran bagi orang kafir untuk
tidak berani-berani menodai kehormatan Islam dan Rasul. Sehingga membiarkan
tindakan penodaan terhadap agama bukanlah rahmat bagi alam melainkan azab bagi
alam itu sendiri.
Kesimpulannya, menghukum penjahat, memerangi orang-orang zalim, melakukan
qisas, memberantah maksiat tidaklah bertentangan dengan tugas Muhamma
shallallaahu 'alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam, justru itulah
bentuk rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kalau orang-orang jahat dibiarkan
berkeliaran, penodaan terhadap agama didiamkan bertebaran, maksiat dan syirik
disahkan dalam aturan maka itu berarti membiarkan kerusakan merajalela.
Sebaliknya, memberantas hal-hal tersebut merupakan bentuk rahmat bagi seluruh
alam. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Bekasi, 26 Nopember
2011.
[1]
Tafsir Ath-Thabari 18/552.
[2]
Umdatul Qari 18/197, cetakan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 2001 M.
[3]
Hadits ini ada dalam shahihain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar