Di sebuah desa di salah satu
kabupaten antara Jakarta dan Bandung tim investigasi dari salah satu stasiun tv
swasta melaporkan adanya praktik penjualan keperawanan gadis remaja. Harganya
relatif terjangkau, bahkan sama dengan harga laptop saya ini, sekitar 5 juta
rupiah si hidung belang sudah bisa mendapatkan menu keperawanan. Tapi itu belum
seberapa, mata akan makin terbelalak dan kening akan kian mengerenyit tatkala
mendengar siapa yang menawarkan keperawanan sang gadis. Ternyata ”marketing
manajer”nya adalah ibu si gadis itu sendiri?!!!
Lain lagi kisah Zaniyah (bukan nama
sebenarnya), gadis 16 tahun asal sebuah daerah terpencil di sebuah daerah ini
merantau ke Jakarta lantaran tergiur pekerjaan yang dijanjikan orang
kampungnya. Sebagai anak tertua dari 8 bersaudara dan kedua orangtua hanya
sebagai buruh tani tanpa sawah dapat dipastikan gadis yang hanya tamat SD ini
tak kan berpikir dua kali bila ada yang mengajaknya bekerja mencari uang,
apalagi di ibukota. Menurut teman kampungnya yang memabawanya ke Jakarta, dia
akan dipekerjakan di sebuah restoran dengan gaji yang lumayan. Apa daya
ternyata dia dipekerjakan di sebuah panti pijat dengan spesialisasi memijat dan
juga bisa ”dipijat”. Tapi daripada pulang dengan tangan hampa, padahal keluarga
sudah sangat membutuhkan maka si Inem hanya sempat berpikir dua kali dan pada
kali ketiga diapun menerima pekerjaan tersebut.
Alasannya klise, kemiskinan. Sekali
lagi kemiskinan dijadikan kambing hitam legam untuk pemakluman sebuah tindak
kriminal. Tapi ini bukan mengada-ada, demi kebutuhan hidup orang rela menempuh
berbagai cara, dari menjual koran sampai menjual kehormatan. Sungguh ter la lu. Apalagi kemiskinan yang diderita seseorang adalah miskin
3 in 1, miskin harta, miskin ilmu, miskin pula iman. Kloplah sudah, setanpun
tak perlu berkeringat untuk menggodanya.
Sebenarnya anak-anak model Zaniyah dan
penjual keperawanan di atas adalah korban, meski bukan berarti perbuatan mereka
bisa dilegalkan. Mereka adalah korban ketidakadilan perilaku segelintir orang
yang seharusnya bisa menyejahterakan mereka meski secara tak langsung. Andai
pihak terkait bisa lebih peduli, dan tidak menjadikan mereka semata wacana atau
komoditas menjelang event tertentu, mungkin ada sedikit perbaikan yang bisa
diharapkan.
Sekali lagi, kemiskinan bukan
satu-satunya faktor penyebab seorang gadis terjerumus dalam lembah pelacuran. Rendahnya
pendidikan, keterampilan, mentalitas dan moralitas juga punya andil besar dalam
menenggelamkan remaja putri ke dalam lembah nista tersebut. Tapi faktor ekonomi
tetaplah harus dikedepankan bila ingin mengurangi keputusasaan orang-orang
miskin sehingga menganggap maksiat adalah tindakan darurat.
Orang-orang semacam ini harusnya
menjadi salah satu target proyek pengentasan kemiskinan dengan cara yang
mendidik dan elegant. Bila proyek itu berasal dari pemerintah, mungkin bisa
dipikirkan program subsidi untuk berbagai pemberdayaan masyarakat agar tak
jatuh melarat. Dengan syarat, tak boleh lagi ada
korupsi dari para pejabat.
LSM juga hendaknya lebih proaktif
membantu penyelesaian masalah tanpa harus menimbulkan masalah baru. Tindakan
sebagian pihak yang membela hak-hak anak dan perempuan dengan secara tak
langsung membiarkan mereka untuk tetap melacur bukanlah solusi, melainkan penyalaan
bara api. Para orangtua yang menjual anaknya mesti mendapat penyadaran dan
pelatihan mentalitas agar mereka bisa menjadi pribadi-pribadi yang punya harga
diri, sehingga tak akan menjual kehormatan demi kenikmatan duniawi.
Yang tak kalah penting, ini juga
seharusnya menjadi sasaran para pengelola dana umat terutama zakat, infaq dan
sedekah. Pemanfaatan dana ZISWAF untuk keperluan orang-orang miskin 3 in 1 di
atas selain membantu penyelamatan hidup generasi bangsa yang nota bene juga
umat Islam juga merupakan sarana dakwah yang paling akurat. Orang tidak akan
mau mendengar ceramah agama kalau perutnya lapar, sehingga ada pepatah para
zending (missionaris Kristen) mengatakan, ”Kenyangkan dulu perut orang baru
ajak mereka ke gereja”.
Semoga catatan kecil ini bisa
menjadi bahan renungan, bahwa masih banyak komponen umat yang perlu
diselamatkan dan menuntut kepedulian, baik dalam bentuk harta maupun pemikiran.
Lalu semua itu disinergikan menjadi sebuah tindakan nyata yang bermanfaat, sehingga
dakwah tersebarkan dengan rona lebih humanis dan jauh dari kesan eksklusif dan tak asal main sikat.
Bekasi, 11 Maret 2009
Anshari Taslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar