Yang dimaksud kawin lari adalah
seorang menikah dengan pasangannya tanpa restu orangtua. Bila yang tidak
merestui itu orangtua pria, maka tak berpengaruh pada keabsahan pernikahan,
meski si pria bisa saja kwalat karena membuat murka orangtua.
Lain
halnya kalau yang tidak merestui itu adalah orangtua wanita terutama ayahnya,
mengingat sang ayah yang berkedudukan sebagai wali merupakan salah satu rukun
pernikahan dan tidak sah menikah tanpa restunya.
Sekitar awal tahun 2000-an, waktu itu saya masih kuliah dan aktif dalam
sebuah organisasi kemahasiswaan, ada kasus dimana salah seorang kenalan dari
kawan kami yang mengalami masalah. Dia ingin menikah dengan pria pujaan hatinya
tapi sang ayah tiada rela. Kedua sejoli ini aktif dalam sebuah pengajian yang
dipimpin seorang ustadz di salah satu daerah pinggiran Jakarta. Ada kemungkinan
di pengajian itulah cinta lokasi bersemi. Ketika rasa naksir sudah dipupuk,
maka pasti jadinya tak terkendali, sehingga prinsip ”sehidup semati, gunung
tinggi akan kudaki dan laut luas pasti kuseberangi” menjadi motivasi dari kedua
sejoli ini.
Menjadi
masalah ketika si pria meminang permaisuri hatinya tapi orangtua si gadis tak
menyutujui. Alasan ketidaksetujuan si ayah gadis ini waktu itu (kalau tidak
salah) masalah ekonomi, dan kedua pihak terutama si gadis sangat berkeras hati,
sehingga konflik ayah anak tak dapat dihindari. Singkat cerita gadis yang sudah
menyandang predikat akhwat (karena aktifis pengajian dengan jilbab panjang) ini
memilih jalan sendiri, yaitu mengajak si ikhwan untuk ”kawin lari”.
Dalam
hal ini dia disupport oleh ustadz mereka. Alasannya, si orangtua tidak berhak
memaksa anaknya untuk menikah atau tidak menikah dengan pria pujaan hati
anaknya itu. Dari itu sang ustadz yang entah seberapa jauh kapasitas keilmuan
syar’inya ini memfatwakan bahwa hak perwalian si ayah sudah gugur dan akhirnya
dia yang menjadi wali untuk kemudian menikahkan ikhwan dan akhwat yang kabur
dari rumah ini. Waktu itu alasan yang mencuat adalah mereka berpegang pada
madzhab Hanafi yang –menurut mereka- membolehkan wanita menikah tanpa wali.
Diatas
sudah diterangkan bahwa wali merupakan salah satu rukun dari akad nikah.
Seorang wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan walinya. Inilah
pendapat yang paling kuat dan harus menjadi pegangan kaum muslimin bila ingin
berada di jalan yang haq.
Akan
tetapi ada satu masalah dimana persetujuan wali seorang wanita bisa saja
diabaikan atau tergantikan secara otomatis, yaitu dalam kasus wali ’adhil.
Wali ‘Adhil
Kata
‘Adhil (عاضِلٌ) (dengan memakai huruf dhad)
artinya mempersulit atau menekan atau menahan. Dalam fikih pernikahan ada
istilah ‘adhl al-wali artinya wali si wanita mempersulit atau tidak mau
menikahkan wanita dibawah perwaliannya dengan laki-laki yang menjadi pilihan si
wanita itu dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat.
Seorang
wali dilarang melakukan ‘adhl (penyulitan), dan larangan ini langsung diucapkan
oleh Allah dalam Al-Qur`an,
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya...”
(Qs. Al-Baqarah : 232).
Ayat
ini turun berkenaan dengan kasus Ma’qil bin Yasar, dia berkata, ”Aku pernah
menikahkan salah seorang adikku dengan seorang pria. Lalu dia menceraikan
adikku itu, sampai ketika selesai masa iddahnya dia datang kembali melamar
adikku tadi. Lalu aku katakan padanya, ”Aku sudah menikahkanmu dengannya, dan
aku buat engkau mulia dengan itu tapi kau malah menceraikannya. Tidak! Kau tak
kan mendapatkannya lagi selama-lamanya!!” Dia sendiri seorang pria yang baik
tak bermasalah, dan adikku pun masih menginginkannya kembali, sehingga turunlah
ayat (surah Al-Baqarah : 232). Aku pun mengatakan, ”Sekarang lakukanlah wahai
Rasulullah.” Akhirnya Ma’qilpun menikahkan pria tadi kembali dengan adiknya.”
(HR. Al-Bukhari dalam shahihnya, no. 2087).
Dengan
demikian, seorang wali termasuk ayah dilarang mempersulit anaknya bila ingin
menikah dengan pria yang sudah dicintai dan memang tidak ada masalah dari sisi
akhlak dan agama.
Rasulullah SAW bersabda,
“Jika
datang melamar kepada kalian (para wali) seorang lelaki yang kalian ridhai
(kehidupan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (terima lamarannya),
kalau tidak akan terjadi fitnah dan kerusakan melebar di muka bumi.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 1084, Ibnu
Majah, no. 1967. Teks di atas dalam riwayat At-Tirmidzi. Al-Albani
menganggapnya hasan sebagaimana dalam Irwa` Al-Ghalil, no. 1868).
Bila
seorang wali mempersulit dengan tidak mau menikahkan anaknya dengan pria
idamannya dengan alasan yang tidak dibenarkan agama, maka si anak hendaknya
mengajukan masalah ini kepada hakim. Lalu, hakim yang akan menikahkan anak
tersebut dengan pria itu.
Dalam
kompilasi hukum islam yang merupakan salah satu undang-undang perkawinan di
Indonesia pasal 23 ayat 2 disebutkan: ”Dalam hal wali ’adhal atau enggan maka
wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
Pengadilan Agama tentang wali tersebut.”
Jadi,
bila ada pasangan yang mendapat halangan dari wali hendaknya mengajukan masalah
ini ke pengadilan agama baik sendiri maupun didampingi pegacara. Itulah cara
yang syar’i dalam menyelesaikan masalah, bukan dengan kawin lari.
Kewajiban
Taat pada Orangtua
Dalam
masalah pernikahan, orangtua yang baik tentu tidak akan rela putera dan
puterinya mendapatkan pasangan yang akan menyengsarakan kehidupan sang anak.
Semua orangtua berkeinginan anaknya mendapatkan jodoh yang membahagiakan dan
menyejahterakan.
Hanya
saja, terkadang cara pandang mereka dalam menentukan kebahagian itu yang
berbeda dengan si anak. Di sinilah terkadang terjadi gesekan kepentingan,
sehingga tak jarang berujung kepada masalah perkawinan.
Meski
demikian seorang anak hendaklah senantiasa menempatkan keridhaan orangtua
sebagai prioritas utama dalam hidupnya, mengingat Rasulullah SAW sudah
berpesan, ”Keridhaan Allah berada pada keridhaan orangtua dan kemurkaan
Allah berada pada kemurkaan orangtua.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin
’Amr. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syekh Al-Albani dalam kitab Shahih
At-Targhib wa At-Tarhib, no. 2501).
Bahkan perintah orangtua juga wajib ditaati dalam
masalah pemilihan dan pemutusan jodoh selama alasannya dibenarkan oleh syariat.
Pernah suatu ketika Umar bin Al-Khaththab memerintahkan puteranya Abdullah bin
Umar menceraikan istrinya. Abdullah tidak bersedia karena dia masih mencintai
istrinya itu, lalu kasus mereka dibawa ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau
berkata kepada Abdullah, ”Ceraikan dia!”[1]
Artinya,
Rasulullah SAW memerintahkan Abdullah bin Umar untuk patuh kepada ayahnya. Ini
semua lantaran sebab yang dipastikan dapat dibenarkan agama, sehingga Umar
tidak menyukai menantunya itu.
Tapi ini tergantung situasi dan
kondisi apa si orang tua itu tidak suka.
Kasus
serupa pernah terjadi di masa Imam Ahmad bin Hanbal, di mana ada seorang pria
mendatangi beliau mengadukan bahwa ayahnya menyuruhnya menceraikan istrinya,
tapi ia masih mencintai istrinya itu. Imam Ahmad mengatakan, “Kalau begitu
jangan ceraikan istrimu.” Pria tadi mengatakan, “Bukankah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu Umar untuk menceraikan istrinya karena
diminta ayahnya, Umar?” Imam Ahmad menjawab, “Apakah ayahmu sama dengan Umar?!”
Syekh Al-‘Utsaimin (salah seorang
ulama besar dari Arab Saudi, al-marhum) memberi alasan dalam kasus ini, “Umar
kita pahami dengan yakin bahwa ia tidak akan menyuruh Abdullah menceraikan
istrinya tanpa alasan syar’i, yang bisa jadi tidak diketahui Abdullah. Karena,
mustahil rasanya Umar meminta anaknya menceraikan istrinya tanpa sebab yang
syar’i, itu sangat jauh kemungkinannya.” (Lihat kitab, Syarh Riyadh
Ash-Shalihin juz II, hal. 216).
Dengan kata lain, kalau tingkat ketakwaan
ayah orang tadi sudah sama dengan Umar (dan itu tidak mungkin) atau paling
tidak terkenal dengan kesalehannya barulah si anak wajib mentaatinya dalam
nikah atau cerai.
Kasus di atas adalah untuk anak
laki-laki yang notabene tidak terikat dengan keputusan orangtua dalam hal
menentukan jodoh. Apalagi untuk anak perempuan yang wajib mendapat restu
walinya untuk menikah.
Maka, jika orangtua tidak setuju
dengan calon menantu prianya dengan alasan yang bisa dibenarkan dalam agama
ataupun logika, hendaknya si gadis menurut. Insya Allah itu akan lebih selamat
dunia dan akhirat. Namun bila alasannya tidak dapat diterima secara agama
maupun logika, maka hendaknya minta bantuan penasehat untuk memberi penyadaran
kepada si orangtua. Dalam keadaan dead lock atau orangtua melakukan ‘adhl
(penahanan nikah tanpa alasan kuat) maka si anak punya hak untuk mengajukan
masalah ini ke pengadilan agama.
* * * * *
Anshari Taslim
Dari buku saya yang belum terbit, "RANJANG TERNODA"
[1] HR. Abu Daud dalam
sunannya, no. 5138, At-Tirmidzi, no. 1189, Ibnu Majah, no. 2088, dishahihkan
oleh Al-Albani dalam kitab Irwa`Al-Ghalil juz 7 hal. 136-137
Kasus spt ini, buanyakkk banget, ust.
BalasHapusHmm.. bacaan bagus ^_^ , persiapan diri dulu, Insya Allah didatangkan yg terbaik menurut-Nya
BalasHapusSyukran ustadz
Assalaamualaikum Ustadz,
BalasHapusMau tanya. Bagaimana kalau dipersulit oleh wali wanita dengan alasan "si wanita belum lulus kuliah" dan disuruh kembali melamar menunggu si wanita lulus, yaitu setidaknya 2 tahun lagi.
Baik pria dan wanita muslim, tidak ada halangan syar'i, secara umum agamanya baik, sudah jatuh cinta dan mantap ingin menikah, tapi ingin segera menikah untuk menghindari zina.
Pasangan ini punya ide untuk nikah siri dulu dengan seorang ulama di desa, dengan wali pengganti ulama lain. Sementara nikah sah agamanya dirahasiakan dulu kecuali dengan pihak-pihak yang terkait. Lalu saat orang tua si wanita sudah lulus, baru meresmikan pernikahan secara hukum di KUA. Sampai dengan resmi KU itu (selama status masih nikah siri), pasangan akan tidak 'membuat anak' dulu.
Tujuan adanya nikah siri yang bersifat rahasia adalah untuk menjembatani kebutuhan untuk menghindari zina sekaligus menghindari konflik dengan orangtua (kalau sampai harus ke pengadilan minta wali hakim)
Pertanyaan saya: Apakah cara ini dibenarkan dari segi agama?
(tentu negosiasi berusaha dilakukan, supaya cara ini tidak perlu terjadi. Tapi pertanyaan ini adalah mengasumsikan bahwa ayah si wanita sudah final menolak)
Jazakallaah Ustadz
wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh, kalau menurut madzhab jumhur ulama cara seperti itu tidak sah, karena tanpa persetujuan wali si wanita.
HapusHendknya mereka bersabar.
Jazakallaahu khairan katsira atas responnya. Kalau boleh minta klarifikasi, bukankah hak perwalian si wanita gugur saat menghalangi nikah dengan alasan tidak syar'i? Ataukah memerintahkan menunda nikah atas dasar 'masih kuliah' adalah sebuah alasan syar'i?
HapusSyukran