Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Abu
sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
«أَلَا
إِنِّي أُوشِكُ أَنْ أُدْعَى فَأُجِيبَ فَيَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِي، يَقُولُونَ
بِمَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ بِمَا يَعْرِفُونَ، وَطَاعَةُ أُولَئِكَ طَاعَةٌ،
فَيَلْبَثُونَ كَذَلِكَ دَهْرًا، ثُمَّ يَلِيَكُمْ عُمَّالٌ مِنْ بَعْدِهِمْ، يَقُولُونَ
مَا لَا يَعْلَمُونَ، وَيَعْمَلُونَ مَا لَا يَعْرِفُونَ، فَمَنْ نَاصَحَهُمْ، وَوَازَرَهُمْ،
وَشَدَّ عَلَى أَعْضَادِهِمْ فَأُولَئِكَ قَدْ هَلَكُوا، خَالِطُوهُمْ بِأَجْسَادِكُمْ،
وَزَايِلُوهُمْ بِأَعْمَالِكُمْ، وَاشْهَدُوا عَلَى الْمُحْسِنِ بِأَنَّهُ مُحْسِنٌ،
وَعَلَى الْمُسِيءِ بِأَنَّهُ مُسِيءٌ»
“Ingatlah,
aku khawatir akan dipanggil lalu aku akan menghadap (ke Allah –penerj) kemudian
sepeninggalku kalian dipimpin oleh orang-orang yang mengatakan apa yang mereka
ketahui (berupa kebaikan –penerj) dan mengamalkan apa yang mereka kenal. Maka,
taat kepada mereka itulah ketaatan (yang sebenarnya). Itu akan berlangsung
selama beberapa lama.
Selanjutnya kalian akan diperintah oleh
orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan mengamalkan apa
yang tidak mereka kenal. Siapa yang jadi penasehat mereka, atau jadi pembantu
mereka serta menguatkan kedudukan mereka, maka mereka itulah yang akan celaka.
Pergaulilah mereka dengan jasad kalian tapi
berpisahlah dengan mereka melalui amal kalian. Persaksikan bahwa yang baik itu
baik dan yang buruk itu buruk.”
Takhrij Hadits
Hadits
ini dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 6988 dan
Al-Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd Al-Kabir no. 191.
Al-Haitsami
menyebut hadits Ath-Thabarani ini dalam Al-Majma’ Az-Zawa`id (5/426) dan
mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath dari gurunya
Muhammad bin Ali Al-Marwazi dan dia dhaif.”
Pernyataan
Al-Haitsami ini perlu dikoreksi karena faktanya Muhammad bin Ali Al-Marwazi
yang ada dalam sanad ini adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ibrahim
Al-Huzmuzfarami Al-Marwazi, disebut oleh Syekh Nayif Al-Manshuri dalam kitab
Irsyad Al-Qadhi (hal. 597) tentang nama-nama guru Ath-Thabarani bahwa dia
hafizh tsiqah. Beliau mengutip penilaian dari Al-Khathib Al-Baghdadi yang
mengatakannya tsiqah, As-Sam’ani dalam kitab Al-Ansab yang mengatakannya hafizh
mutqin, serta Al-Baihaqi yang mengatakannya hafizh mujawwad tsiqah.
Syekh
Al-Albani memasukkan hadits ini ke dalam kitabnya As-Silsilah Ash-Shahihah
nomor 457 dan mengatakan bahwa Hatim bin Yusuf (yang meriwayatkan hadits ini)
dan di atasnya semua tsiqah.
Sanad
Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani bermuara pada Hatim bin Yusuf (dalam sanad
Al-Baihaqi tertulis Hatim bin Musa), Aku mendengar Abdul Mukmin bin Khalid
berkata, Aku mendengar Abdullah bin Buraidah menceritakan dari Yahya bin
Ya’mar, dari Abu Sa’id Al-Khudri……
Hatim
bin Yusuf bin Khalid bin Nushair bin Dinar Al-Jallab disebut oleh Al-Mizzi
dalam Tahdzib Al-Kamal (5/199, no. 1000) merupakan murid Ibnu Al-Mubarak yang
banyak meriwayatkan darinya, shahihul kitab (kitabnya shahih). Al-Hafizh Ibnu
Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib (1/123, no. 1105) memberinya predikat tsiqah.
Abdul
Mukmin bin Khalid, hakim di Marw disebut oleh Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal
(18/442-443) menukil dari Abu Hatim yang mengatakan, “Tak ada masalah
dengannya” dan Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat
(orang-orang terpercaya). Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib memberinya
predikat, “laa ba`sa bih” (tidak ada masalah dengannya) sama dengan yang
diberikan Abu Hatim. Jadi haditsnya hasan.
Abdullah
bin Buraidah bin Al-Hushaib adalah perawi yang biasa dipakai oleh Al-Bukhari
dan Muslim dalam shahihain dan dia tsiqah, lihat Tahdzb Al-Kamal jilid 14 hal.
328 dan At-taqrib 1/321.
Yahya
bin Ya’mar adalah tabi’in yang tsiqah memang biasa meriwayatkan dari Abu Sa’id
Al-Khudri. Lihat Tahdzib Al-Kamal jilid 32 hal. 53.
Dengan
demikian status hadits ini adalah hasan lidzaatih lantara ada Abdul Mukmin bin
Khalid. Wallahu a’lam.
Kandungan Hadits
Dalam
hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan akan adanya
pemimpin yang melakukan apa yang mereka kenal, artinya mereka mengenali
kebaikan dan sunnah lalu mengamalkannya. Pemimpin seperti inilah yang harus
ditaati dengan ketaatan yang sebenarnya, bukan terpaksa.
Lalu
akan ada pemimpin yang tidak tahu kebenaran atau mereka mengamalkan sesuatu
yang mereka tidak tahu baik buruknya. Dengan kata lain mereka tak lagi
berpegang pada sunnah Nabi. Pemimpin seperti ini dipergauli dengan jasad kita
yang tetap ada bersama mereka, tapi perbuatan kita berpisah dari mereka.
Artinya, kita tidak mau mengikuti apa yang mereka lakukan. Salah satu bentuk
pemisahan itu adalah tidak mau patuh pada perintah maksiat, sebagaimana hadits
riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dianggap hasan lighairih oleh Al-Albani
dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 590, dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
سيليكم أمراء بعدي يعرفونكم ما تنكرون وينكرون عليكم ما تعرفون، فمن أدرك
ذلك منكم، فلا طاعة لمن عصى الله
“Akan ada masanya kalian dipimpin oleh para
pemimpin setelahku, dimana mereka menganggap baik apa yang kalian anggap
mungkar dan mengingkari apa yang kalian anggap baik. Siapa saja dari kalian
yang mendapati itu maka tidak ada ketaatan kepada orang yang bermaksiat kepada
Allah.”
Lalu
pesan di paragraph terakhirnya adalah memberi kesaksian bahwa yang baik itu
baik dan yang buruk itu buruk. Dengan kata lain bila menjumpai pemimpin seperti
ini maka yang baiknya harus dikatakan baik dan yang buruknya harus dikatakan
buruk.
Begitulah
selaras dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari
Ubadah bin Shamit dimana salah satu isi bai’at mereka kepada Nabi shallallahu
alaihi wa sallam adalah,
وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا، لَا نَخَافُ فِي اللهِ
لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Agar kami mengatakan yang benar dimanapun kami
berada dan tidak takut dengan celaan pencela.” (Al-Bukhari, no. 7199 dan Muslim, no. 1709).
Perintah
mengatakan orang baik itu baik, dan orang buruk itu buruk menunjukkan tak boleh
ada penyembunyian kebenaran ketika kita menilai pemimpin. Yang baik harus
dikatakan baik, yang buruk harus dikatakan buruk, dan itu bukanlah bentuk
pemberontakan, melainkan menjelaskan kebenaran dan amar makruf nahi munkar.
Tentunya penjelasan itu harus elegant, bukan memaki yang tidak pada tempatnya,
serta benar-benar menginginkan kebaikan atas dasar syariat Islam dan maslahat
kaum muslimin sesuai batasan syariat.
Anshari Taslim
21 Juli 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar