Selasa, 26 Juli 2016

Shalat dan Lupa Mandi Junub

Tanya:
        Saya pernah melakukan hubungan suami istri dengan istri saya pada pagi hari, tapi saya tidak langsung mandi karena ingin pergi ke rumah orangtua dan saya berencana mandi junubnya di sana saja. Ternyata saya lupa mandi dan melaksanakan shalat Zuhur, Asar dan Maghrib hanya dengan wudhu. Saya baru teringat bahwa saya belum mandi wajib ketika ingin shalat Isya. Apa yang seharusnya saya lakukan?



Jawab:
        Bapak penanya yang dimuliakan Allah, yang harus anda lakukan adalah segera mandi dan mengganti shalat Zuhur, Asar dan Maghrib sebelum melakukan shalat Isya.
        Shalat yang anda lakukan sebelum mandi junub tidak sah, karena sama saja dengan shalat tanpa bersuci, padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
”Tidak diterima shalat tanpa bersuci dan tidak diterima sedekah dari harta curian.” (HR. At-Tirmidzi no. 1, Muslim, no. 1873 dan Ibnu Majah, no. 272).
        Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa` kitab Thaharah bab: (إِعَادَةِ الْجُنُبِ الصَّلَاةَ وَغُسْلِهِ إِذَا صَلَّى وَلَمْ يَذْكُرْ وَغَسْلِهِ ثَوْبَهُ) (Orang junub mengulang shalat dan harus mandi kalau dia shalat dan tidak ingat (belum mandi junub) serta mencuci pakaiannya), pada hadits nomor 155 (penomoran Mushthafa Al-A’zhami) atau nomor 117 (penomoran Salim bin Id Al-Hilali):
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زُيَيْدِ بْنِ الصَّلْتِ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ إِلَى الْجُرُفِ فَنَظَرَ فَإِذَا هُوَ قَدْ احْتَلَمَ وَصَلَّى وَلَمْ يَغْتَسِلْ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا أَرَانِي إِلَّا احْتَلَمْتُ وَمَا شَعَرْتُ وَصَلَّيْتُ وَمَا اغْتَسَلْتُ قَالَ فَاغْتَسَلَ وَغَسَلَ مَا رَأَى فِي ثَوْبِهِ وَنَضَحَ مَا لَمْ يَرَ وَأَذَّنَ أَوْ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَ ارْتِفَاعِ الضُّحَى مُتَمَكِّنًا
”Malik menceritakan kepadaku (Yahya), dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya[1], dari Zuyaid bin Shalt yang berkata, “Aku pernah keluar bersama Umar bin Khaththab ke Juruf. Lalu dia melihat ternyata dia mimpi basah, padahal dia telah shalat tapi belum mandi junub. Maka diapun berkata, “Demi Allah, pastilah aku ini telah mimpi basah dan aku tidak merasa tapi aku telah shalat tanpa mandi.” Lalu diapun mandi dan mencuci apa yang dia lihat dipakaiannya (berupa mani) dan memerciki apa yang tidak dia lihat. Lalu dia kembali azan dan qamat kemudian shalat setelah matahari di waktu Dhuha meninggi.”

        Ada kesepakatan para ulama bahwa orang yang shalat tanpa thaharah wajib mengulang shalat seperti pada pernyataan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, ”Mereka bersepakat bahwa siapa yang shalat tanpa thaharah maka dia wajib mengulang (shalatnya itu) baik dia lakukan dengan sengaja maupun lupa.”
        An-Nawawi mengatakan dalam Al-Majmu’ jilid 2 hal. 67 mengatakan:
“Kaum muslimin telah sepakat akan keharaman shalat bagi orang yang berhadats dan mereka sepakat bahwa shalat itu tidak sah bila dia lakukan baik dia tahu tentang hadatsnya maupun tidak ataupun lupa. Tapi, kalau dia shalat karena tidak tahu atau lupa maka dia tidak berdosa, sedangkan bila dia sadar akan hadats itu dan tahu akan keharaman shalat ketika berhadats maka dia telah melakukan dosa besar, tapi tidak kafir menurut kami kecuali kalau dia menganggapnya halal. Sedangkan Abu Hanifah menganggapnya kafir karena dia telah mengolok-ngolok agama.”

        Bersuci dari hadats besar seperti bersetubuh harus dengan mandi dan tidak cukup dengan wudhu. Jadi, anda dianggap belum bersuci meski sudah berwudhu.
        Berhubung anda melakukannya karena lupa, berarti berlakulah kepada anda sabda Rasulullah SAW,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Barangsiapa yang kelupaan sebuah shalat atau ketiduran maka penebusnya dia harus melaksanakan shalat itu bila dia ingat. (HR. Muslim, An-Nasa`iy dan At-Tirmidzi dari Abu Qatadah).
        Shalat tersebut hendaknya diurutkan berdasarkan waktu yang lebih dahulu. Artinya, Zuhur dahulu, baru Asar, Maghrib, barulah anda shalat Isya. Ini berdasarkan hadits dari Jabir ra tentang keterlambatan Rasulullah SAW dan Umar melaksanakan shalat Asar pada peristiwa perang Khandaq. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Asar setelah terbenam matahari, baru kemudian shalat Maghrib. 
(Muttafaq ’alaih, Shahih Al-Bukhari, no. 641 dan Shahih Muslim, no. 631).
        Juga berdasarkan hadits Abu Sa’id yang ada dalam Sunan An-Nasa`iy, no. 661, dia berkata,
شَغَلَنَا الْمُشْرِكُونَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ، وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ فِي الْقِتَالِ مَا نَزَلَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ الْقِتَالَ} [الأحزاب: 25] «فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالًا فَأَقَامَ لِصَلَاةِ الظُّهْرِ فَصَلَّاهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا لِوَقْتِهَا، ثُمَّ أَقَامَ لِلْعَصْرِ فَصَلَّاهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا، ثُمَّ أَذَّنَ لِلْمَغْرِبِ فَصَلَّاهَا كَمَا كَانَ يُصَلِّيهَا فِي وَقْتِهَا»
”Kaum musyrikin menyibukkan kami di perang Khandaq dari shalat Zuhur sampai terbenam matahari. Itu terjadi sebelum turun ayat tentang perang, maka Allah-pun menurunkan ayat, ”Dan Allah menghindarkan kaum mukminin dari peperangan...” (Qs. Al-Ahzab : 25).
Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk qamat shalat Zuhur, lalu beliau melaksanakannya sebagaimana melaksanakan di waktunya. Kemudian qamat untuk Asar dan beliau melaksanakannya sebagaimana melaksanakan di waktunya. Kemudian azan untuk Magrib dan beliau melaksanakannya sebagaimana melaksanakan pada waktunya.”

        Keharusan berurutan ini adalah pendapat yang dipegang dalam madzhab Hanbali. Inilah yang lebih selamat dan sesuai dalil. Wallahu a’lam.


Anshari Taslim
Dikoreksi ulang 11 April 2013.




[1] Dalam cetakan yang ditahqiq Al-A’zhami tidak disebutkan “dari ayahnya” tapi dalam tahqiq Al-Hilali disebutkan dari beberapa sumber manuskrip. Juga riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra nomor 801 menyebutkan kata “dari ayahnya”. Kata “dari ayahnya” ini juga dipastikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Ta’jil Al-Manfa’ah biografi (Zubaid bin Ash-Shalt).
Zuyaid bin Shalt biasa meriwayatkan dari Abu Bakar secara mursal, tapi meriwayatkan dari Umar, yang biasa meriwayatkan darinya adalah Urwah bin Zubair. Ibnu Ma’in menganggapnya tsiqah. (Al Jarh wa At-Ta’dil 3/622).
Syekh Salim Al-Hilali mengatakan dalam catatan kakinya (Al-Muwaththa` terbitan Majmu’atul Furqan, 1/313), “mauquf shahih”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar