Imam Ahmad meriwayatkan,
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ سَعِيدٍ التُّجِيبِيُّ، سَمِعْتُ أَبَا قَبِيلٍ الْمِصْرِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِي، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ مَاتَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ وُقِيَ فِتْنَةَ الْقَبْرِ "
Ibrahim
bin Abu Al-Abbas[1]
menceritakan kepada kami, Baqiyyah[2]
menceritakan kepada kami, Mu’awiyah bin Sa’id At-Tujaibi[3]
menceritakan kepadaku, Aku mendengar Abu Qubail Al-Mishri[4] berkata,
Aku mendengar Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa
yang mati di hari atau malam Jum’at niscaya akan diselamatkan dari fitnah
kubur.”
(Musnad Ahmad, no. 7050).
Sanad
ini hasan bersambung, selamat dari tadlis Baqiyyah bin Walid karena di sini dia
jelas mengatakan penyimakan langsung dari gurunya dan seluruh sanad di atasnya
juga menggunakan lafal penyimakan bukan “dari” sehingga selamat dari delik
tadlis taswiyah yang sering dituduhkan kepada Baqiyyah bin Walid.
Syekh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Ahkam Al-Jana`iz mengatakan sanad
hadits ini bila dikumpulkan akan menjadi hasan atau shahih.
Syekh Syu’aib Al-Arna`uth menyalahkan
Al-Albani yang menganggap hasan hadits ini dengan alasan semua mutabi’-nya
tidak bisa saling menguatkan. Tapi kalau kita perhatikan justru Al-Albanilah yang
benar dalam hal ini, karena memang bila dikumpulkan kesemua hadits ini maka
statusnya hasan sampai kepada Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash sebagaimana sudah
kami jelaskan di atas.
Al-Arna`uth
bersikeras hadits ini dha’if karena Baqiyyah bin Al-Walid biasa melakukan
tadlis taswiyah, tapi terbukti dalam salah satu riwayat Ahmad di atas dia tidak
melakukan itu.
Selanjutnya
dia bersikeras bahwa Abu Qubail atau Huyay bin Hani` itu dha’if hanya mengutip
pernyataan Ibnu Hajar dalam Ta’jil Al-Manfa’ah lantaran Abu Qubail ini
suka mengutip kitab-kitab lama. Tapi ini tidak cukup alasan untuk menganggapnya
dha’if, karena para ulama mutaqaddimin dan para syekh jarh wa at-ta’dil seperti
Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah mengangapnya tsiqah. Lagi pula
dalam hadits ini tidak ada keterangan dia mengutip dari kitab, melainkan
mendengar langsung dari sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Wallahu
a’lam.
Yang lebih aneh lagi, dalam kitab Tahrir
At-Taqrib yang beliau (Al-Arna`uth) tulis bersama dengan Dr. Basysyar Awwad
Ma’ruf yang merupakan koreksi dari kitab Taqrib At-Tahdzib malah
mengatakan bahwa Abu Qubail ini tsiqah.
Anshari
Taslim
Dari buku
saya yang belum terbit Fitnah Kubur dalam Al-Qur`an dan Hadits
[1] Imam Ahmad, Ad-Daraquthni dan Mu’awiyah bin Shalih menganggapnya
tsiqah, Abu Hatim menganggapnya syekh sebagaimana dinukil dari mereka oleh
Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal 2/118, juga dimasukkan oleh Ibnu Hibban dalam
kitabnya Ats-Tsiqaat 8/68.
Sementara
Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/45, no. 217) menyatakan dia tsiqah dan di akhir
umurnya hafalannya kacau sehingga dia tidak meriwayatkan hadits.
[2]
Al-Hafizh dalam At-Taqrib (1/96, no. 824) menyatakan dia “shaduq dan
sering mentadlis (menyamarkan sanad) dari para rawi yang lemah.” Tapi sudah
jelas di sini dia tidak melakukan itu.
[3]
Al-Hafizh dalam At-Taqrib (2/130, no. 7611) mengatakan dia ini maqbul, artinya
haditsnya hasan bila ada yang menguatkan.
Sementara
Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif 2/275 mengatakannya, “ditsiqahkan”.
Ibnu
Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, 9/166, no. 15805.
Tapi
Al-Arnauth dan Basysyar Awwad Ma’ruf dalam kitab Tahrir Taqrib At-Tahdzib
mengatakan yang benar Mu’awiyah ini shaduq haditsnya hasan. (Tahrir
At-Taqrib 3/393).
[4]
Namanya adalah Hay atau Huyai bin Hani`, dianggap tsiqah oleh Ahmad bin Hanbal,
Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah, Abu Hatim menganggapnya shalihul hadits
(haditsnya baik). Lihat, Al-Jarh wa At-ta’dil, 3/275, no. 1227.
Sementara
Al-‘Asqalani dalam At-Taqrib (1/176, no. 1758) menganggapnya “shaduq
yahimu” (jujur tapi ada keraguan atau kurang kuat hafalannya).
Ibnu
Hibban menganggapnya tsiqah tapi mengatakan dia terkadang salah (Ats-Tsiqaat,
4/178, no. 2368).
Al’Ijli
menganggapnya tsiqah sebagaimana dalam kitabnya Ma’rifatuts Tsiqat,
1/329, no. 384.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar