Kafir
artinya orang yang tidak beriman kepada Allah dan seluruh petunjuk-Nya.
Petunjuk Allah itu meliputi i’tiqad (keyakinan) dan syariat (tuntunan amal).
Jikapun ada yang percaya kepada Allah tapi tak mau mengakui satu saja dari petunjuk-Nya
yang telah diketahui secara pasti dalam agama ini maka dia tetap dikatakan
kafir.
Ada
orang yang kafir setelah beriman dan ini yang biasa disebut murtad, ada pula
yang memang belum pernah beriman kepada Allah maupun Rasulullah Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam, inilah yang disebut kafir asli yang kemudian
istilahnya diperhalus menjadi non muslim.
Secara
ukhrawi keduanya punya hukum yang sama di sisi Allah, tapi secara duniawi
keduanya punya perlakuan hukum yang berbeda. Islam menolerir kafir asli yang
bisa dijadikan ahli dzimmah ataupun mu’ahad, tapi untuk yang murtad maka hukum
Islam padanya hanyalah tobat kembali ke Islam atau mati. Itupun tak gampang
menetapkan seseorang murtad, harus dilakukan pihak berwenang dengan syarat dan
ketentuan yang ketat.
Belakangan
ada orang kafir asli yang mencoba mengambil hati ummat Islam dengan membayar
zakat, menyerahkan hewan kurban dan lain-lain. Mungkin ada yang bertanya-tanya,
adakah amalnya ini diterima?
Amal Kafir Tidak Diterima di Akhirat Bila Mati
dalam Keadaan Kafir
Dalil-dalil untuk hal ini adalah:
1.Firman Allah:
مَثَلُ مَا يُنْفِقُونَ فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَثَلِ رِيحٍ
فِيهَا صِرٌّ أَصَابَتْ حَرْثَ قَوْمٍ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَأَهْلَكَتْهُ وَمَا
ظَلَمَهُمُ اللَّهُ وَلَكِنْ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Perumpamaan yang mereka infaqkan dalam kehidupan
dunia ini seperti angin yang membawa hawa amat dingin yang menimpa tanaman kaum
yang menganiaya diri sendiri sehingga memusnahkan tanaman itu. Allah sama
sekali tidak menzalimi mereka, tapi mereka sendirilah yang zalim.”
(Qs. Ali Imran : 117).
Abu
Ja’far Ath-Thabari menerangkan, “Perumpamaan apa yang mereka infakkan atau yang
disedekahkan oleh orang kafir ini dari hartanya sendiri yang dia sumbangkan
dalam rangka mendekatkan diri kepada tuhannya, padahal dia ingkar akan keesaan
Allah serta mendustakan kerasulan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Maka
semua itu tidak akan bermanfaat lantaran kekafiran itu. Dia akan lenyap begitu
saja saat dibutuhkan, hilang padahal telah banyak harapan yang ia sematkan pada
sumbangan tersebut……..”[1]
Al-Qurthubi
mengatakan, “Makna ayat ini adalah perumpamaan sumbangan orang kafir dalam hal
kebatilan dan kemusnahannya serta unusualnya seperti tanaman yang terkena angin
dingin atau api yang membakarnya sehingga musnah. Akibatnya, sang pemilik tak bisa
memanfaatkannya sedikitpun, padahal dia telah berharap-harap akan manfaat dan
kegunaan tanaman tersebut.”[2]
2. Firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Maka siapa yang kafir terhadap keimanan maka
terhapuslah amalnya dan dia di akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-Maidah : 5).
Ath-Thabari
menyebutkan beberapa riwayat dari para ulama salaf di kalangan sahabat dan tabi’in
bahwa maksud ayat ini adalah mereka yang kufur kepada Allah dengan tidak mau
melaksanakan perintahnya. Mereka itulah yang terhapus amalnya. Jadi, kafir pada
keimanan berarti kafir kepada Allah dan tak mengakui keesaan-Nya.[3]
Al-Baidhawi
juga menafsirkan iman dalam ayat ini,
“Maksud iman di sini adalah syariat Islam, dan yang
dimaksud kafir di sini adalah yang tak mau melaksanakannya.”[4]
Hal
senada juga diungkapkan oleh Al-Qasimi dalam Mahasin At-Ta`wil 4/60.
Apalagi
rangkaian ayat ini menyebut ahli kitab yang meski telah beriman kepada
kitab-kitab mereka, tapi mereka tidak beriman kepada apa yang diturunkan kepada
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dan itulah yang membuat mereka mendapat
cap kafir, sehingga amal-amal merekapun tak berguna di akhirat nanti.
Sebagaimana disebutkan oleh Al-Qurthubi bahwa ketika kebolehan menikahi wanita
ahli kitab turun maka para wanita ahli kitabpun mengatakan, “Sekiranya Allah
tidak ridha dengan agama kami niscaya Dia tidak akan membolehkan kalian
menikahi kami”, maka turunlah ayat, “Siapa yang kafir terhadap keimanan…..”
Artinya kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu alaihi
wa sallam.[5]
Dengan
demikian, setiap orang kafir yang tak mau masuk ke dalam Islam, maka otomatis
dia enggan menjalankan perintah agama dan meninggalkan larangan agama dan
itulah kekafiran yang membuat amal baiknya selama di dunia menjadi sia-sia.
3.Firman Allah Ta’ala:
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ
بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ
هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
“Perumpamaan orang-orang yang kafir terhadap Tuhan
mereka, amal mereka seperti abu yang ditiup angin kencang di hari yang
berbadai. Mereka tak mampu mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang mereka
lakukan. Itulah kesesatan yang jauh.”
(Qs. Ibrahim : 18).
Abu
Ja’far Ath-Thabari menerangkan ayat ini:
“Ini adalah perumpamaan yang Allah buat
menggambarkan amal orang-orang kafir. Di hari kiamat nanti, amal mereka di
dunia yang mereka sangka dipersembahkan untuk Allah tak ubahnya seperti abu yang
diterbangkan angin di hari berbadai. Angin itu menghilangkannya tak berbekas. Begitulah
amalan orang kafir di hari kiamat nanti. Mereka tak mendapatkan apapun manfaat
dari amal itu yang mereka bisa bawa ke hadapan Allah demi menyelamatkan mereka
dari azab-Nya. Sebab, mereka melakukan itu bukan tulus karena Allah, tapi juga
menyertakan niat untuk berhala dan patung.”[6]
Syekh
Muhammad Amin Asy-Syinqithi juga menjelaskan,
“Demikian pula amalan kafir seperti menyambung
silaturrahim, memuliakan tamu, menyelamatkan kesusahan orang lain, baktinya
kepada kedua orang tua dan lain-lain semua dibatalkan oleh kekafiran. Kekafiran
itulah yang memusnahkan amal tersebut sebagaimana angin menerbangkan debu tadi.”[7]
Saya
(Anshari) katakan, Dengan demikian kekafiran itu merupakan penghapus amal
dengan sendirinya. Sebagaimana firman Allah yang lain yaitu surah Al-Maidah
ayat 5 di atas.
Agar amal itu tak terhapus maka kekafiran itu yang
harus dihapus dengan cara masuk ke dalam Islam, mengucapkan dua kalimat
syahadat dan melaksanakan konsekuensinya sebelum ajal menjemput.
4. Firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآَنُ
مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ
حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan orang-orang yang kafir itu amal mereka
laksana fatamorgana di tanah yang datar, dimana orang haus akan mengiranya
sebagai air, tapi saat didatangi ternyata tak ada apa-apa. Dia hanya mendapati
Allah di sisi-Nya yang menunaikan perhitungan amalnya, dan Allah itu maha cepat
perhitungan-Nya.”
(Qs. An-Nuur : 39).
Kata
(وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ)
menurut Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili adalah mendapat azab Allah yang memang
dijanjikan kepada orang kafir itu dan dengan itulah Allah membalas amal mereka
di dunia.[8]
Demikian pula yang dikatakan oleh As-Samarqandi dalam tafsirnya Bahrul Ulum, “Ini
adalah perumpamaan terhadap amal-amal kafir yang secara kasat mata terlihat
sebagai ketaatan, maka Allah mengabarkan bahwa tidak ada pahala yang mereka
dapatkan dari itu.”[9]
Ibnu
Katsirpun menjelaskan bahwa orang kafir ini mengira bahwa amal mereka akan
menghasilkan sesuatu tapi setelah dihisab oleh Allah di hari kiamat ternyata
tak ada yang diterima, baik karena ketidakikhlasan maupun karena tidak melalui
jalur syariat.[10]
5. Firman Allah Ta’ala:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu kami jadikan amal itu bagai debu yang
beterbangan.”
(Qs. Al-Furqan : 23).
Ayat
ini menjelaskan amalan orang kafir di akhirat bagaikan debu beterbangan,
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
“Ini adalah hari kiamat, ketika Allah menghisab
amalan para hamba berupa amal baik maupun amal buruk. Allah mengabarkan bahwa
kaum musyrikin tersebut tidak akan mendapat apapun dari amal mereka. Mereka
mengira bahwa amal itu akan menyelamatkan mereka. Itu karena mereka kehilangan
syarat syar’i diterimanya amal yaitu ikhlas dan mengikuti syariat Allah. Setiap
amal yang tidak diikhlaskan karena Allah dan bukan berdasarkan syariat yang diridhai
maka dia batil. Amalan orang-orang kafir tidak lepas dari kedua kemungkinan ini
atau bahkan keduanya sekaligus maka itu lebih jauh lagi untuk diterima.”[11]
6. Hadits dari Aisyah yang bertanya kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
يَا
رَسُولَ اللهِ، ابْنُ جُدْعَانَ كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيُطْعِمُ
الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: " لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ لَمْ
يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ "
“Wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an itu di masa
jahiliyyah biasa menyambung silaturrahim, memberi makan orang miskin, apakah
itu akan bermanfaat untuknya?”
Rasulullah menjawab, “Tidak wahai Aisyah, karena
dia belum pernah seharipun mengucapkan, “Tuhanku, ampuni kesalahanku di hari
pembalasan.”
(HR. Muslim, no. 214, Ahmad, no. 24621 dan 24892).
Abdullah
bin Jud’an terkenal akan kedermawanannya di masa jahiliyyah, tapi dia mati
dalam keadaan musyrik, sehingga amal-amal baiknya selama di dunia tak bisa
menyelamatkannya dari azab Allah di hari pembalasan.
An-Nawawi
memberi penjelasan hadits ini menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh, “Telah terjadi
ijmak bahwa amal orang kafir itu tidak berguna bagi mereka dan mereka tak
diganjar pahala karenanya baik berupa kenikmatan maupun keringanan hukuman,
hanya saja sebagian mereka lebih pedih siksanya dibanding yang lain tergantung
kejahatan yang telah mereka lakukan.”[12]
Amal Baik Kafir Dibalas Allah Di Dunia
Allah
maha adil, sehingga apapun kebaikan seseorang akan dibalas Allah sesuai
keadilan-Nya. Diantara keadilan Allah itu adalah memberikan jatah balasan amal
baik seorang kafir di kehidupan dunia.
Dari
Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً، يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا
وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ
بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا، حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ، لَمْ تَكُنْ
لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
“Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi orang
mukmin, dia akan diberikan (balasan) di dunia dan diganjar lagi di akhirat.
Sedangkan orang kafir maka akan diberikan di dunia atas amal baik yang dia
lakukan karena Allah, hingga nanti di akhirat dia tak lagi menyisakan kebaikan
yang akan diganjar.”
(HR. Muslim, no. 2808).
An-Nawawi
menjelaskan point bahasan kita dari hadits ini:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْكَافِرَ الَّذِي مَاتَ عَلَى كُفْرِهِ
لَا ثَوَابَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُجَازَى فِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ عَمَلِهِ فِي
الدُّنْيَا مُتَقَرِّبًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَصَرَّحَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ بِأَنْ
يُطْعَمَ فِي الدُّنْيَا بِمَا عَمِلَهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ أَيْ بِمَا فَعَلَهُ مُتَقَرِّبًا
بِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مِمَّا لَا يَفْتَقِرُ صِحَّتُهُ إِلَى النِّيَّةِ كَصِلَةِ
الرَّحِمِ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَالضِّيَافَةِ وَتَسْهِيلِ الْخَيْرَاتِ
“Para ulama telah sepakat bahwa orang kafir yang
mati dalam kekafirannya tidak mendapat pahala di akhirat, dan di sana dia tak
mendapat balasan apapun dari amalnya di dunia ini yang dia persembahkan untuk
Allah Ta’ala. Dalam hadits ini jelas bahwa dia akan diberi makanan di dunia
atas dasar amal baiknya itu yang dia niatkan sebagai pendekatan diri kepada
Allah Ta’ala yang memang tak diperlukan niat, misalnya silaturahim, sedekah,
membebaskan buda, memuliakan tamu dan mempermudah jalan kebajikan.”
(Syarh Shahih Muslim, jilid 17 hal. 150, terbitan
Dar Ihya` At-Turats Al’-Arabi).
Jika Kafir Masuk Islam Maka Amal Baiknya Di Kala
Kafir Dipulihkan
Ini
berdasarkan hadits Hakim bin Hizam yang diriwayatkan oleh Muslim dengan empat
jalur semua bermuara pada Urwah bin Zubair, salah satunya dengan redaksi:
أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ، أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيْ رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ
أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، مِنْ صَدَقَةٍ، أَوْ عَتَاقَةٍ، أَوْ صِلَةِ
رَحِمٍ، أَفِيهَا أَجْرٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ»
“Bahwa Hakim bin Hizam mengabarkan kepadanya
(Urwah) bahwa dia berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang amal ibadah yang aku lakukan di
masa jahiliyyah berupa sedekah, pembebasab budak, silaturrahim, apakah semua
itu mendapat pahala?”
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda padanya, “Kamu masuk Islam di atas amal kebaikan yang telah kau
lakukan sebelumnya.”
(HR. Muslim, no. 123, Ahmad, no. 15319).
Ada
beberapa penjelasan berbeda di kalangan para ulama terhadap hadits ini.
An-Nawawi merajihkan penjelasan Ibnu Baththal dan beberapa ulama peneliti
lainnya bahwa bila orang kafir pernah berbuat kebajikan semasa kafirnya lalu
dia masuk Islam dan mati dalam keadaan Islam maka amal kebajikannya yang lalu
akan dihitung dan diberi pahala dengan keislamannya. Ini diperkuat pula oleh
hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang disebut Al-Bukhari dalam shahihnya secara
ta’liq dari Malik, dan dikeluarkan oleh An-Nasa`iy dalam Sunannya:
إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلَامُهُ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ
كُلَّ حَسَنَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا، وَمُحِيَتْ عَنْهُ كُلُّ سَيِّئَةٍ كَانَ أَزْلَفَهَا،
ثُمَّ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرَةِ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلَّا أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا
“Jika seseorang masuk Islam lalu keislamannya
menjadi baik maka Allah akan menuliskan setiap kebajikan yang telah dia lakukan
dahulu untuknya dan menghapus setiap kesalahan yang pernah dia lakukan. Setelah
itu adalah qisas (balasan amal secara normal dalam Islam –penerj), satu
kebaikan diganjar sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, sedangkan
keburukan akan diganjar sepadan saja, kecuali kalau Allah Azza wa Jalla mau
memaafkannya.”
(HR. An-Nasa`iy, no. 4998, tahqiq Abdul Fattah Abu
Ghuddah, Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no. 24 dan 25, dishahihkan oleh
Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 247).
Apakah Azab Kafir Di Akhirat Diperingan Lantaran
Amal Baiknya Di Dunia?
Ada
sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ صَدَقَةَ الْبَغْدَادِيُّ ،
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَنْبَسَةَ الْوَرَّاقُ ، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ
بْنُ نُصَيْرٍ ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مُطَيَّبٍ الْعِجْلِيُّ ، حَدَّثَنِي الأَعْمَشُ
، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ نَفْسَ الْمُؤْمِنِ
تَخْرُجُ رَشْحًا ، وَإِنَّ نَفْسَ الْكَافِرِ تَسِيلُ كَمَا تَخْرُجُ نَفْسُ الْحِمَارِ
، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيَعْمَلُ الْخَطِيئَةَ فَيُشَدَّدُ بِهَا عَلَيْهِ عِنْدَ
الْمَوْتِ لِيُكَفَّرَ بِهَا ، وَإِنَّ الْكَافِرَ لَيَعْمَلُ الْحَسَنَةَ فَيُسَهَّلُ
عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَوْتِ لِيُجْزَى بِهَا.
“Ahmad bin Muhammad bin Shadaqah Al-Baghdadi
menceritakan kepada kami, Hammad bin Husain bin Anbasah Al-Warraq menceritakan
kepada kami, Hajjaj bin Nushair menceritakan kepada kami, Al-Qasim bin
Muthayyab Al-Ijli menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada kami,
dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah yang berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya jiwa seorang mukmin itu keluar dalam
keadaan berkeringat, sementara orang kafir jiwanya keluar mengalir layaknya
keledai.
Orang mukmin akan melakukan kesalahan sehingga itu
menyebabkan dia merasa berat saat sakaratul maut agar menjadi penghapus
kesalahan itu, sedangkan orang kafir akan melakukan amal baik dan itu
membuatnya mudah dalam sakaratul maut sebagai ganjaran amal baiknya itu.”
Dalam
sanad Ath-Thabarani ini ada Al-Qasim bin Muthayyab yang dianggap matruk oleh
Ibnu Hibban, dan Ibnu Hajar mengatakannya, “Padanya ada sedikit kelemahan”,
serta Al-Haitsami mengatakannya dhaif.[13]
Juga
ada Hajjaj bin Nushair yang dikatakan oleh Al-Hafizh dhaif, menerima talqinan
orang. Abu Daud mengatakan, “Mereka meninggalkan haditsnya”, Al-Bukhari
mengatakan, “Mereka tak berkomentar tentangnya”, An-Nasa`iy dan Ad-Daraqtuhni
mengatakannya dhaif, begitu pula Abu Hatim.”[14]
Tapi
ada riwayat yang shahih secara mauquf hanya sampai perkataan Ibnu Mas’ud yang
diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah dalam mushannaf mereka
masing-masing.
Berikut saya pilihkan redaksi Ibnu Abi Syaibah:
إِنَّ نَفْسَ الْمُؤْمِنِ تَخْرُجُ رَشْحًا, وَإِنَّهُ يَكُونُ قَدْ عَمِلَ
السَّيِّئَةَ فَيُشَدَّدُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَوْتِ لِيَكُونَ بِهَا, وَإِنَّ نَفْسَ
الْكَافِرِ أوِ الْفَاجِرِ لَتَخْرُجُ مِنْ شِدْقِهِ كَمَا تَخْرُجُ نَفْسُ الْحِمَارِ,
وَإِنَّهُ يَكُونُ قَدْ عَمِلَ الْحَسَنَةَ فَيُهَوَّنُ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَوْتِ
لِيَكُونَ بِهَا.
“Jiwa mukmin itu akan keluar dalam keadaan
berkeringat, dan dia kadang melakukan amal buruk dan itu membuatnya berat saat
mati sebagai balasannya, sedangkan nyawa kafir atau fajir itu keluar dari sudut
mulutnya sebagaimana keluarnya nyawa keledai. Kadang dia melakukan amal baik
dan dengan itu diperinganlah kematiannya sebagai balasan (kebaikan tersebut).”
Ini
bisa dihukumi marfu’ karena tidak mungkin diucapkan Ibnu Mas’ud atas dasar
pendapatnya sendiri kalau dia tidak mengambilnya dari Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.
Dengan
demikian benarlah bahwa orang kafir itu kadang ringan saat dicabut nyawanya
lantaran amal baiknya di dunia, dan itulah balasannya yang disegerakan untuknya
sehingga dia tidak lagi menerima balasannya di akhirat. Wallahu a’lam.
Adapun
riwayat bahwa Abu Thalib diperingan siksanya di akhirat, maka para ulama yang berpendapat
bahwa siksaan orang kafir tidak diperingan mengatakan itu khusus untuk Abu
Thalib semata karena dia diberi syafaat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam.
Sedangkan
riwayat bahwa Abu Lahab diberi keringanan siksa lantaran memerdekakan Tsuwaibah
setelah menyusui Rasulullah, maka riwayat itu lemah tak bisa dijadikan hujjah.
Wallahu a’lam bis Shawab.
Anshari Taslim
28 September 2015.
[1]
Tafsir Ath-Thabari 7/134. Redaksinya:
شَبَهُ ما ينفق الذين كفروا، أي: شَبَهُ ما يتصدق به الكافر من ماله،
فيعطيه من يعطيه على وجه القُربة إلى ربّه وهو لوحدانية الله جاحد، ولمحمد صلى الله
عليه وسلم مكذب، في أن ذلك غير نافعه مع كفره، وأنه مضمحلّ عند حاجته إليه، ذاهبٌ بعد
الذي كان يرجو من عائدة نفعه عليه
[2]
Tafsir Al-Qurthubi 4/178. Redaksinya:
ومعنى الآية : مثل نفقة الكافرين في بطلانها وذهابها وعدم منفعتها كمثل
زرع أصابه ريح باردة أو نار فأحرقته وأهلكته ، فلم ينتفع أصحابه بشيء بعد ما كانوا
يرجون فائدته ونفعه.
[3]
Lihat Tafsir Ath-Thabari 9/593-594.
[4]
Tafsir Al-Baidhawi 2/48:
يريد بالإِيمان شرائع الإِسلام وبالكفر إنكاره والامتناع عنه .
[5]
Lihat Tafsir Al-Qurthubi 6/79.
[6]
Tafsir Ath-Thabari 16/553-554:
وهذا مثلٌ ضربه الله لأعمال الكفّار فقال: مَثَلُ أعمال الذين كفروا يوم
القيامة ، التي كانوا يعملونها في الدنيا يزعمُون أنهم يريدون الله بها ، مَثَلُ رمادٍ
عصفت الريح عليه في يومِ ريح عاصفٍ ، فنسفته وذهبت به ، فكذلك أعمال أهل الكفر به يوم
القيامة ، لا يجدون منها شيئًا ينفعهم عند الله فينجيهم من عذابه ، لأنهم لم يكونوا
يعملونها لله خالصًا ، بل كانوا يشركون فيها الأوثان والأصنام .
[7]
Adhwa` Al-Bayan 2/245:
فَكَذَلِكَ أَعْمَالُ الْكُفَّارِ كَصِلَاتِ الْأَرْحَامِ، وَقِرَى الضَّيْفِ،
وَالتَّنْفِيسِ عَنِ الْمَكْرُوبِ، وَبِرِّ الْوَالِدَيْنِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ يُبْطِلُهَا
الْكُفْرُ وَيُذْهِبُهَا، كَمَا تُطَيِّرُ تِلْكَ الرِّيحُ ذَلِكَ الرَّمَادَ.
[8]
At-Tafsir Al-Munir 18/258
[9]
Tafsir As-Samarqandi (Bahrul Ulum) 3/220.
[10]
Tafsir Ibnu Katsir 3/486-487.
[11]
Tafsir Ibnu Katsir 3/513:
وهذا يوم القيامة، حين يحاسب الله العباد على ما عملوه من خير وشر، فأخبر
أنه لا يتحصل لهؤلاء المشركين من الأعمال -التي ظنوا أنها منجاة لهم -شيء؛ وذلك لأنها
فقدت الشرط الشرعي، إما الإخلاص فيها، وإما المتابعة لشرع الله. فكل عمل لا يكون خالصا
وعلى الشريعة المرضية، فهو باطل. فأعمال الكفار لا تخلو من واحد من هذين، وقد تجمعهما
معا، فتكون أبعد من القبول حينئذ
[12]
Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/87.
[13]
Lihat Mizan Al-I’tidal 3/380, At-Taqrib 2/17, no. 6174, Majma’ Az-Zawa`id 3/70,
no. 3929.
[14]
Al-Mizan 1/465, At-Taqrib 1/136, no. 1259.
bagaimana amal amalannya muslima yang masih berswamikan orang kafir
BalasHapusYaudah deh, kita semua salah, cuma islam yang bener. Percaya aja gitu. Kadang kenyataan emang pahit, tapi aku percaya Tuhan enggak brengsek. Kebaikan kami yang kafir ini pasti dihitung lah. Kami manusia ya, bukan setan
BalasHapus👍
BalasHapus