Salah
satu bahasan dalam ushul fiqh adalah bahasan tentang mafhum mukhalafah. Mafhum
artinya pemahaman atau yang apa yang dipahami dari suatu kata atau kalimat.
Mukhalafah artinya berbeda atau berlawanan atau terbalik. Maka mafhum
mukhalafah bisa diartikan sebagai “pemahaman terbalik”.
Maksudnya,
ketika disebutkan suatu kata dengan sifat tertentu maka sifat itu dijadikan
pengikat berlakunya hukum sehingga bilang hilang sifat tersebut maka hukum pada
benda itu tidak berlaku lagi. Misalnya ketika orang mengatakan, “Jangan kamu
kendarai sepeda hitam”, kata hitam di situ adalah sifat yang mengikat, sehingga
pemahaman terbaliknya kamu boleh mengendarai sepeda selain hitam. Contoh lain,
seorang guru berkata, “Isilah soal ini bila berhubungan dengan pelajaran
matematika”, mafhum mukhalafah (pemahaman terbaliknya) adalah, bila soalnya
tidak berhubungan dengan pelajaran matematika maka jangan di isi.
Mafhum
Mukhalafah banyak macamnya yaitu, mafhum shifah, mafhum syarth, mafhum ‘adad,
mafhum ghaayah, mafhum taqsim, mafhum istitsna`, mafhum hashr dan mafhum laqab.
Rinciannya bisa dilihat di buku-buku ushul fiqh. Di sini kita akan membahas dua
jenis mafhum ini saja yaitu mafhum shifah dan mafhum syarth.
Mafhum
shifah artinya penyebutan satu sifat dari satu benda yang dijadikan sebagai
pengikat berlakunya hukum terhadap benda khusus dengan sifat itu saja. Sedangkan
bila sifat itu hilang atau berubah maka hukum tersebut tak lagi berlaku.
Contohnya adalah ayat 92 surah Al Maidah yang menyebutkan kaffarat
pembunuhan tersalah adalah membebaskan raqabah mukminah (budak yang
mukmin), nah kata mukmin di situ adalah sifat dari budak yg boleh dibebaskan
sebagai kaffarah pembunuhan. Pemahaman terbaliknya
(mafhum mukhalafah) adalah kalau dia bukan mukmin maka dia tidak boleh
dibebaskan sebagai kaffarah pembunuhan tersalah.
Contoh lain adalah hadits (في سائمة الغنم إذا كانت أربعين ففيها شاة) (Setiap
kambing yg mencari rumput sendiri kalau sudah mencapai 40 ekor wajib zakat satu
ekor). Nah kata saa`imah (mencari rumput dengan digembala, bukan
menunggu di kandang) menjadi sifat bagi kambing yang wajib dizakati. Pemahaman
terbaliknya kalau dia tidak digembala alias kambing kandangan hanya menunggu
tuannya bawakan rumput maka dia tak wajib dizakati. Itulah pemahaman jumhur
berbeda dengan madzhab Hanafi.
Nah mafhum mukhalafah menjadi
tidak teramalkan atau diabaikan sehingga mafhumnya tidak berlaku karena
beberapa sebab. Sebab yang paling utama adalah kalau dia bertentangan dengan manthuq
(bunyi teks yg lain).
Contoh dalam ayat 130 surah Ali Imran larangan memakan riba yg berlipat ganda.
Contoh dalam ayat 130 surah Ali Imran larangan memakan riba yg berlipat ganda.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang berimana
janganlah kalian makan riba yang berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah
agar kalian beruntung.”
Nah berlipat ganda itu adalah
sifat dari riba yg dilarang, pemahaman terbaliknya kalau tidak berlipat ganda
maka tak dilarang. Pemahaman ini betul tapi berhubung ada dalil lain yang
mengatakan bahwa riba sekecil apapun meski tidak berlipat ganda tetap dilarang
maka mafhum (pemahaman) terbalik dari ayat ini tidak berlaku.
Dalil lain yang melarang riba
meskipun tidak berlipat ganda antara lain surah Al-Baqarah ayat 278 dan ayat
279. Juga hadits-hadits yang melarang riba sekecil apapun diserai ijmak ulama
bahwa riba yang tidak berlipat ganda tetap diharamkan.
Contoh lain dari mafhum shifah yang
tak terpakai adalah anak tiri yang dalam pengasuhan sebagai mahram sebagaimana yang
disebut dalam surah An-Nisa` ayat 23. Kata, (وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي
فِي حُجُورِكُمْ) (dan (haram bagimu menikahi)
anak-anak tirimu yang berada dalam pengasuhanmu). Mafhum mukhalafahnya
adalah kalau anak tiri itu tidak dalam pengasuhan kita maka halal bagi kita
menikahinya. Tapi mafhum mukhalafah ini tidak terpakai lantaran beberapa sebab.
Kebanyakan ulama ushul menyatakan sebabnya adalah bahwa itu adalah kebiasaan yang
sering terjadi dimana anak tiri selalu dalam pengasuhan bapak tirinya. Tapi
alasan ini tak cukup kuat karena ada pula anak tiri yang di luar pengasuhan
bapak tirinya. Juga ada riwayat dari Ali yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya bersumber dari Ibnu Abi Hatim yang membolehkan menikahi anak tiri yang
tidak dalam pengasuhannya.
Sebab
utama tak terpakainya mafhum ini adalah riwayat At-Tirmidzi, Ath-thabari dalam
tafsirnya dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash dimana Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ نَكَحَ امْرَأَةً فَدَخَلَ بِهَا، فَلَا يَحِلُّ لَهُ
نِكَاحُ ابْنَتِهَا، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا، فَلْيَنْكِحْ ابْنَتَهَا، وَأَيُّمَا
رَجُلٍ نَكَحَ امْرَأَةً فَدَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَلَا يَحِلُّ لَهُ
نِكَاحُ أُمِّهَا
“Siapa saja pria yang menikahi
seorang wanita lalu meneytubuhinya maka tidak halal baginya menikahi putri
wanita itu. Tapi kalau dia belum menyetubuhinya maka dia boleh menikahi putri wanita
itu. Siapa saja pria yang menikahi wanita dan menyetubuhinya ataupun belum
menyetubuhinya maka tetap tidak halal baginya menikahi ibu wanita itu.”
At-Tirmidzi
mengomentari hadits ini, “Hadits ini tidak shahih dari segi sanad, karena
diriwayatkan oleh Ibnu Lahi’ah dan Mutsanna bin Shabbah dari Amr bin Syuiab,
sementara Ibnu Lahi’ah dan Mutsanna bin Shabbah dianggap dhaif dalam hadits.
Tapi menurut mayoritas ulama isi hadits ini diamalkan.”[1]
Sementara
Ath-Thabari dalam tafsirnya setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Mutsanna
bin Shabbah maka dia mengomentari, “Khabar ini meskipun sanadnya bermasalah
tapi ijmak adalah hujjah bahwa isinya diamalkan sehingga tak perlu lagi mencari
dalil lain untuk menshahihkannya.”[2]
Intinya mafhum shifah itu berlaku
pemahaman terbaliknya bila tidak bertentangan dengan manthuq. Ini menurut
mayoritas ulama, berbeda dengan madzhab Hanafi yg memang tidak mengakui
kehujjahan mafhum mukhalafah.
Mahfum Syarth
Bentuk
lain dari mafhum mukhalafah adalah mafhum syarth. Bentuknya bila disebutkan
satu benda terkena hukum tertentu jika berlaku padanya syarat yang disebut
dalam kalimat. Misalnya, “Jika kamu rajin belajar kamu akan lulus”, pemahaman
terbaliknya, “Jika kamu malas maka kamu tidak akan lulus”.
Contoh
yang terdapat dalam Al-Quran adalah surah Ath-Thalaaq ayat 6:
وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ
حَمْلَهُنَّ
“Kalau mereka hamil maka berilah mereka nafkah
sampai mereka menuntaskan kehamilan mereka (melahirkan, atau keguguran -penerj).”
Dalam
ayat ini diperintahkan bagi suami yang telah mencerai istrinya dengan thalaq
ba`in (thalaq yang tak bisa rujuk lagi) untuk tetap memberi nafkah kepada
istrinya yang telah dicerai itu kalau dia mengandung anaknya. Pemahaman
terbaliknya adalah kalau dia tidak hamil maka tidak perlu memberinya nafkah.
Inilah pendapat mayoritas ulama, sementara Abu Hanifah mengatakan tetap diberi
nafkah meski tidak hamil karena dia tidak menjadikan mafhum mukhalafah sebagai
hujjah dan mencarikan dalil lain untuk menentukan hukum maskut (sesuatu yang tidak
disebutkan dalam nash) yang dalam hal ini adalah wanita tidak hamil, karena yang
disebut dalam nash adalah wanita hamil.
Contoh
lain adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Penjual dan pembeli masih punya hak khiyar selama
mereka belum berpisah.” (HR. Al
Bukhari dan Muslim).
Pemahaman
terbaliknya adalah kalau mereka telah berpisah maka tak ada lagi khiyar yang disebut
dengan khiyar majlis.
Mafhum
syarth bisa diabaikan atau tak teranggap bila berlawanan dengan manthuq atau
yang tertuang dalam teks yang ada pada dalil lain.
Contohnya
adalah pada ayat 33 surah An-Nuur,
وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا
“Janganlah kalian memaksa budak-budak wanita
kalian untuk melacur bila mereka hendak menjaga kehormatan diri.”
Mafhum
mukhalafah dari ayat ini adalah kalau mereka tidak hendak mensucikan diri maka
bolehlah kamu memaksa mereka untuk melacur. Tapi pemahaman ini jadi tidak
berlaku lantaran beberapa sebab. Sebab pertama adalah tidak sesuai dengan bahasa,
karena yang namanya memaksa pastilah dilakukan kepada orang yang tidak mau. Sedangkan
orang yang mau melakukan itu maka tidak ada paksaan baginya toh dia sendiri yang
mau. Dengan demikian tidak mungkin ada kejadian memaksa orang yang mau
melakukan sesuatu, karena paksaan hanya terjadi pada orang yang tidak mau.
Sebab
kedua dan ini yang paling utama menurut saya adalah berlawanan dengan manthuq,
yaitu dalil-dalil yang dengan tegas melarang pelacuran dan perzinaan. Tidak hanya
pelakunya yang dilarang tapi juga yang memfasilitasi apalagi yang sampai
memaksa. Sehingga, mafhum mukhalafah dalam ayat ini tidak berlaku karena
bertentangan dengan manthuq dan tidak sesuai dengan gaya bahasa.
Mafhum Mukhalafah pada Hadits Ummu Hushain
Al-Ahmasiyyah.
Hadits
Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah yang dimaksud di sini adalah yang diriwayatkan oleh
Muslim dalam shahihnya dari Ummu Hushain Al-Ahmasiyyah, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ - حَسِبْتُهَا قَالَتْ - أَسْوَدُ،
يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى، فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Kalau ditugaskan seorang budak berhidung cacat –aku
rasa beliau menyebut kata- hitam, yang menuntun kalian dengan kitab Allah Ta’ala
maka hendaklah kalian dengar dan taat.” (HR.
Muslim, no. 1298).
Demikian
dalam redaksi Muslim menggunakan shifah (pemimpin yang menuntun kalian dengan kitab
Allah), sehingga terkandung di dalamnya mafhum shifah kalau pemimpin itu tidak
menegakkan kitab Allah maka tak perlu didengar dan ditaati.
Sedangkan
dalam redaksi Ibnu Majah dengan sanad yang kuat bersumber dari Ibnu Abi
Syaibah, dari Waki’, dari Syu’bah dari Yahya bin Hushain, dari neneknya yaitu
Ummu Hushain, menggunakan kalimat,
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ، فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ
“Kalau ditugaskan atas kalian seorang budak habsyi
yang cacat hidung maka dengar dan taatilah dia selama
dia menuntun kalian dengan kitab Allah.”
(Sunan Ibnu Majah, no. 2861).
Demikian
pula redaksi At-Tirmidzi dalam sunannya nomor 1706. Berarti di sini terkandung
mafhum syarth.
Berdasarkan
pendapat yang kami pilih yaitu pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahwa mafhum
mukhalafah itu hujjah kecuali mafhum laqab maka mafhum mukhalafah dalam hadits
ini berlaku (mu’tabar), sehingga kalau petugas itu tidak menuntun dengan kitab
Allah maka tak perlu didengar dan ditaati.
Kalau
ada yang mengatakan ini hanyalah shifah kasyifah (sekedar menjelaskan fenomena
tanpa membatasi) maka itu tertolak karena pada dasarnya setiap kata yang disebut
dalam nash haruslah mengandung hukum pembatasan selama tidak ada dalil lain yang
menolak pembatasan itu. Kalau tidak, maka kata itu akan jatuh pada posisi laghw
(kata yang tak berpengaruh dan bisa dibuang). Coba buang sifat “menuntun dengan
kitab Allah” dalam frase ini maka akan hilang hikmah dari pensyariatan ketaatan
kepada pemimpin, sebab pemimpin ditaati kala dia menjalankan syariat Allah.
Kalau dia menyelisihi syariat Allah berarti dia bermaksiat dan sudah ijmak
tidak boleh mengikuti satu makhlukpun dalam rangka maksiat kepada Allah.
Para
ulama yang menjelaskan hadits ini pun sepakat dengan fungsi pembatasan sifat
pemimpin yang wajib ditaati adalah yang menjalankan syariat Allah secara umum.
An-Nawawi misalnya, dalam syarh Shahih Muslim dia mengatakan,
فَأَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ
وَلَوْ كَانَ بِهَذِهِ الْخَسَاسَةِ مَا دَامَ يَقُودُنَا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى
قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ
إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَدْيَانِهِمْ
وَأَخْلَاقِهِمْ وَلَا يُشَقُّ عَلَيْهِمُ الْعَصَا بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمُ الْمُنْكَرَاتُ
وُعِظُوا وَذُكِّرُوا
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
untuk taat pada waliyul amri meski dengan kondisi tubuh sejelek itu, selama dia
menuntun kita dengan kitab Allah Ta’ala. Para ulama mengatakan, maknanya adalah
selama mereka berpedoman pada Islam dan menyeru kepada kitab Allah Ta’ala. Terlepas
bagaimanapun keadaan diri mereka dan sikap beragama dan akhlak mereka. Tidak boleh
memisahkan diri dari mereka. Kalau tampak kemunkaran pada diri mereka maka
hendaklah mereka dinasehati dan diingatkan.”
(Syarh Shahih Muslim 9/47).
Hadits Mu’awiyah.
Hadits
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhuma di sini adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya, Mua’wiyah berkata, Aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ لَا يُعَادِيهِمْ أَحَدٌ إِلَّا كَبَّهُ
اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ مَا أَقَامُوا الدِّينَ
“Sesungguhnya urusan (pemerintahan) ini tetap
dipegang oleh Quraisy dan tak ada yang menentang mereka kecuali akan Allah
telungkupkan wajahnya, selama mereka menegakkan agama.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3500 dan 7139).
Hadits
ini mengandung mafhum syarath yaitu dengan adanya huruf (مَا) di sana yang merupakan mashdariyyah
zharfiyyah diartikan, “selama”.
Pemahaman terbaliknya kalau kaum Quraisy ini tidak menegakkan agama maka dia
tidak berhak dalam kepemimpinan.
Ini sebagaimana yang dipahami oleh Syekh Muhammad Amin
Asy-Syinqithi dalam tafsirnya Adhwa` Al-Bayan, setelah menyebut hadits di atas
beliau menjelaskan,
وَمَحَلُّ الشَّاهِدِ مِنْهُ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَا أَقَامُوا الدِّينَ» لِأَنَّ لَفْظَةَ «مَا» فِيهِ مَصْدَرِيَّةٌ ظَرْفِيَّةٌ،
مُقَيِّدَةٌ لِقَوْلِهِ: «إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ» ، وَتَقْرِيرُ الْمَعْنَى:
إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ فِي قُرَيْشٍ مُدَّةَ إِقَامَتِهِمُ الدِّينَ، وَمَفْهُومُهُ:
أَنَّهُمْ إِنْ لَمْ يُقِيمُوهُ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ. وَهَذَا هُوَ التَّحْقِيقُ الَّذِي
لَا شَكَّ فِيهِ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ.
“Sisi
pendalilan adalah sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam, “Selama mereka
menegakkan agama” karena kata maa di situ adalah mashdariyyah zharfiyyah yang
menjadi qayyid (syarat) bagi kalimat, “Sesungguhnya urusan ini pada Quraisy”.
Maknanya, urusan ini tetap pada Quraisy selama mereka menegakkan agama. Pemahamannya,
kalau mereka tidak menegakkan agama maka urusan ini tidak lagi pada mereka. Inilah
kesimpulan yang tak diragukan lagi ketika memaknai hadits ini.”[3]
Pemahaman terbalik
ini diakui oleh para ulama yang menjelaskan hadits ini seperti Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari jilid 13, hal. 117 ketika menjelaskan tentang
kemungkinan terdongkelnya Quraisy dari
kekhalifahan, (وبه يقوى أن مفهوم حديث معاوية ما أقاموا الدين انهم إذا لم يقيموا الدين
خرج الأمر عنهم)
(Dengan itu memperkuat mafhum
hadits Mu’awiyah “selama mereka menegakkan agama” jika mereka tidak menegakkan
agama maka urusan ini hilang dari mereka).
Juga
Al-Qasthalani dalam Irsyad As-Sari mengatakan,
أنهم إذا لم يقيموا الدين لا يسمع لهم
“Artinya selama mereka menegakkan
agama dan kalau mereka tak menegakkan agama maka tak perlu didengar.”[4]
Jauh sebelumnya ada Ibnu Hazm yang memahami demikian dalam
pernyataannya,
فكل قرشي بالغ عاقل بادر أثر موت الإمام الذي لم يعهد إلى أحد فبايعه
واحد فصاعدا فهو الإمام الواجب طاعته مما
قادنا بكتاب الله تعالى
وبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم الذي أمر الكتاب بإتباعها فإن زاغ عن شيء منهما
منع من ذلك وأقيم الحد والحق فإن لم يؤثر أذاه إلا بخلعه خلع وولي غيره
“Setiap Quraisy yg baligh,
berakal yang segera setelah kematian imam yang tak menunjuk pengganti maka
kalau ada orang membaiat orang Quraisy di atas baik satu orang maupun lebih (si
pembaiat ini) maka jadilah si Quraisy itu imam yang wajib ditaati selama dia
menuntun kita dengan kitab Allah Ta’ala dan sunnah Rasulullah saw. Itulah yang
diperintahkan Al-Kitab untuk diikuti. Kalau dia melenceng dari keduanya
(Al-Quran dan sunnah) maka dia dicegah dari hal itu (kepemimpinan) dan
ditegakkan had dan kebenaran. Kalau kerusakannya tak dapat dicegah kecuali
dengan mencopotnya maka dia harus dicopot (dari kepemimpinan) dan diangkat
pemimpin lain.”
(Al-Fashl fil milal wal ahwa wan nihal 4/84).
Dengan menggali hikmah dari disyariatkannya kepemimpinan
dalam Islam tentu kita dapat merasakan bahwa mafhum mukhalafah dalam kedua
hadits di atas mu’tabar dan tidak hanya sebagai shifah kasyifah (fenomena yang
biasa muncul) yang tak berpengaruh pada maskut (hukum terbalik yang
tidak disebut dalam nash). Untuk lebih jelasnya pandangan ulama terhadap
pemimpin yang tidak menjalankan syariat Islam pada perundang-undangannya maka
bisa disimak di artikel “Syarat Taat Kepada Waliyyul Amri”.
Itulah
pemimpin yang harus didengar dan ditaati dengan keikhlasan terhadap perintah
dan hasil ijtihadnya yang berlandaskan pada kitab Allah dan sunnah Rasulullah.
Dengan kata lain dasar utama perundangan yang dia terapkan adalah Al Quran dan
sunnah, meski bisa jadi dia salah dalam berijtihad atau malah menyelisihi ahlus
sunnah, tapi selama dia tetap menjadikan pedoman perundangannya adalah syariat
maka tetap harus ditaati. Begitulah yang diterapkan oleh para khalifah di masa
Bani Umayyah maupun Abbasiyyah dan para khalifah setelahnya sampai datangnya
bangsa Tartar membawa Ilyasiq.
Apakah Tidak Taat
Berarti Berontak dengan Senjata?
Ini adalah pemahaman yang keliru, baik kalangan
pemeberontak maupun kalangan yang pasrah bongkokan pada yang mereka sebut “waliyyul
amri yang masih sholat” menggunakan pemahaman ini, yaitu tidak taat berarti
memberontak. Padahal tidak ada keharusan antara tidak taat dengan keharusn
berontak.
Tidak taat berarti tidak menganggap pemimpin yang tidak
menjalankan syariat itu sebagai waliyyul amri syar’i yang mana ketaatan padanya
adalah bagian dari ketaatan kepada Allah, sehingga kalau dia membuat keputusan
maka wajib ditaati. Tidak taat di sini berarti tetap bisa menentang keputusan
pemimpin yang tidak mendasari keputusannya itu dengan syariat, sehingga semua
produk undang-undang maupun regulasi dari pemimpin harus ditinjau dari kacamata
syariat Islam, meski menurut UU negara itu sudah betul.
Ketaatan kita hanya bersifat taat karena maslahat, bukan
taat atas dasar agama.
Pemberontakan memang luas, bisa dengan kudeta tak berdarah
semisal demonstrasi bisa pula dengan gerakan bersenjata. Semua itu tentu akan
mengandung mudharat bila tidak dipersiapkan dengan matang dan tak jelas
tujuannya. Maka dari itu andai pemimpin sudah kafirpun belum tentu
diperbolehkan memberontak kalau sekira mudharat yang ditimbulkan lebih besar.
Anshari Taslim, 4 Mei 2015.
Assalamu alaikum ustadz, kalau pemerintah kita masih membiarkan syiar Islam seperti adzan dan iqamah serta shalat jama'ah, bahkan melindungi. Lalu masalah penentuan ramadhan juga mereka masih peduli, urusan haji pun mereka juga mengurusi tanpa mengahalang-halangi, apakah ini masih disebut menegakkan Islam dan kitabullah?
BalasHapusMenegakkan sebagian sementara yg dituntut adalah menjadikan syariat sebagai UU dasar, tidak boleh yang lain, bahwa dalam praktiknya ada penyimpangan maka itu hal yg biasa.
HapusMohon maaf ustadz, mau tanya lagi. Sebenarnya yang menjadi i'tibar itu slogan atau substansi ustadz? Jikalau yang menjadi i'tibar adalah substansi, bukankah sudah banyak sekali syariat islam yang diterapkan di negeri ini? Bahkan kita bertauhid-pun bebas di negeri ini.
HapusJelas ya ustadzi,ada hasr dihadits tersebut yakni,selama mengacu kpd alquran dan assunnah Maka wajib mentaati.pemimpin tsb.dan klu tdk,maka tiada ketaatan.
BalasHapusJelas ya ustadzi,ada hasr dihadits tersebut yakni,selama mengacu kpd alquran dan assunnah Maka wajib mentaati.pemimpin tsb.dan klu tdk,maka tiada ketaatan.
BalasHapusAfwan ustadz, di bawah ini url tulisan saya yang mengkritik artikel ustadz ini, kalau ustadz berkenan mohon dikritik balik ustadz
BalasHapushttps://bit.ly/30tZDD0
tidak bisa dibuka URLnya
Hapus