Kamis, 02 April 2015

MENDUDUKKAN HADITS HUDZAIFAH TENTANG TAAT PADA KHALIFAH


          Ada sebuah hadits yang saat ini sangat popular dijadikan dalil untuk menekankan ketaatan kepada pemimpin meskipun pemimpin itu menyiksa dan berlaku zalim. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman yang ada dalam Shahih Muslim.

          Apakah hadits ini bisa dipahami demikian? Tentu untuk memahami sebuah hadits maka kita harus mengumpulkan dulu semua jalur isnadnya dan juga redaksionalnya, lalu memilah mana isnad yang shahih mana yang dhaif, kemudian memilah mana redaksi yang shahih mana yang syaadz atau munkar.
          Hadits Hudzaifah yang dikenal dengan hadits tentang fitnah (huru-hara akhir masa) ini ada dalam Shahihain dengan redaksi yang sudah disepakati keshahihan isinya. Riwayat yang disepakati ini melalui jalur Abu Idris Al-Khaulani yang nama aslinya adalah ‘A`idzullah bin Abdullah yang berkata, Aku mendengar Hudzaifah bin Al-Yaman berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ» ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: «نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ» ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟ قَالَ: «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ»

“Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena aku takut akan menimpa diriku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini telah melewati masa jahiliyyah dan keburukan lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”
Beliau menjawab, “Ya.”
Aku, “Apakah setelah keburukan itu akan kembali datang kebaikan?”
Rasulullah, “Ya, tapi ada sedikit kabut (ketidakjelasan).”
Aku, “Apa kabutnya?”
Rasulullah, “Adanya kaum yang tidak melaksanakan sunnahku dan tidak berpedoman pada petunjukku. Ada yang kamu dukung perbuatan mereka ada pula yang kamu ingkari.”
Aku, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”
Beliau, “Ya, kaum yang menyeru di pintu-pintu jahannam, siapa yang memenuhinya akan mereka lemparkan ke dalamnya.”
Aku, “Tolong diskripskan kaum itu kepada kami ya Rasulullah.”
Beliau, “Orang-orang dari kulit kita sendiri dan bicara dengan bahasa kita.”
Aku, “Wahai Rasulullah, apa saran anda kalau aku mendapati itu?”
Beliau, “Tetaplah bergabung pada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.”
Aku, “Bila tidak ada jamaah tidak pula ada imam?”
Beliau, “Tinggalkan semua kelompok itu meski kau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu dalam keadaan seperti itu.”
(HR. Al-Bukhari, no. 3606 dan 7084, Muslim, no. 1847).

          Inilah redaksi yang telah disepakati keshahihannya dari hadits Hudzaifah ini. Dengan redaksi inilah ditimbang riwayat lain apakah ada tambahan yang munkar atau syaadz, ataukah tambahan yang bisa diterima.
          Selain Abu Idris Al-Khaulani hadits Hudzaifah ini juga diriwayatkan oleh Abu Sallam Mamthur dari Hudzaifah dengan ada tambahan yang diperbincangkan. Berikut redaksinya:
وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ، ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ حَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
Secara umum redaksinya sama dengan riwayat Abu Idris tapi ada tambahan yang berbeda dengan redaksi Abu Idris yaitu pada kalimat yang dicetak merah. (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) (Akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan berwujud manusia) dan juga kalimat (وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ) (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil).
          Dengan redaksi inilah sebagian orang berdalil untuk tetap mentaati pemimpin yang berhati Iblis termasuk yang berhukum dengan undang-undang thaghut atau hukum jahiliyyah meski mengambil harta dan memukul punggung.
          Mari kita tinjau riwayat Mamthur ini dari sisi sanad. Imam Muslim memuat hadits ini sebagai mutabi’ (penguat) bagi hadits Abu Idris Al-Khaulani, bukan sebagai riwayat utama. Sebagaimana diketahui bahwa riwayat mutabi’ dalam shahih Muslim kadang sanadnya dha’if, karena memang tidak dijadikan hujjah hanya sekadar dijadikan penguat riwayat di atasnya. Maka, harus ditinjau bila ada tambahan kalimat yang tidak terdapat pada riwayat utama, bila isnadnya dha’if maka kalimat tambahan itu tidak dapat dijadikan hujjah.
          Sisi kelemahan riwayat ini adalah pada Mamthur ke Hudzaifah dimana Mamthur ini meskipun tsiqah tapi menurut para kritikus hadits dia tidak bertemu dengan Hudzaifah dan tidak mendengar hadits darinya, sehingga riwayatnya dari Hudzaifah dianggap munqathi’ (terputus) dan riwayat yang terputus terkategori dha’if tak bisa dijadikan hujjah.
          Adalah Ad-Daraquthni dalam kitabnya Al-Ilzaamat wat Tatabbu’ mengkritisi Muslim dalam riwayat ini dengan mengatakan,
وهذا عندي مرسل، أبو سلام لم يسمع من حذيفة ولا من نظرائه الذين نزلوا العراق لأن حذيفة توفي بعد قتل عثمان (رضي الله عنه) بليال، وقد قال فيه حذيفة فهذا يدل على إرساله.
“Menurutku ini mursal, Abu Sallam tidak mendengar dari Hudzaifah dan tidak pula dari rekan semasa Hudzaifah yang hijrah di Irak. Hudzaifah wafat beberapa malam setelah terbunuhnya Utsman RA, dan di sini dia mengatakan, “Hudzaifah berkata”, itu menunjukkan bahwa riwayat ini mursal.”[1]
          Pernyataan Ad-Daraquthni ini dibenarkan oleh muhaqqiq kitab Al-Ilzamat yaitu Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dengan mengatakan,
“Dalam hadits Hudzaifah yang ini (riwayat Mamthur) ada tambahan yang tidak ada dalam riwayat yang disepakati keshahihannya yaitu tambahan kalimat, (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil). Ini adalah tambahan yang lemah karena bersumber dari jalur yang terputus ini.”
          Sementara An-Nawawi dalam syarh Shahih Muslim (12/237-238) membenarkan pernyataan Ad-Daraquthni bahwa riwayat ini mursal (terputus antara Abu Sallam dengan Hudzaifah) tapi dia menganggap matannya shahih karena jalur Abu Idris yang shahih. Pernyataan An-Nawawi ini perlu ditinjau ulang dalam bahasan khusus di luar ini agar tidak terjadi tumpang tindih.
          Ada yang berusaha mementahkan pernyataan Ad-Daraquthni ini dengan mengatakan bahwa Abu Sallam Mamthur ini mendengar dari Ubadah bin Shamit yang wafat lebih dulu daripada Hudzaifah, sehingga besar kemungkinan dia juga mendengar dari Hudzaifah. Yang seperti ini tidak dapat diterima karena mendengar dari yang lebih dulu meninggal bukan ukuran bahwa orang itu pernah mendengar dari yang belakangan wafat. Yang jadi ukuran adalah adanya riwayat yang mengatakan dia mendengar atau adanya persaksian dari seorang ulama muhaddits yang memang terbiasa dengan ilmu rijal. Yang ada, Ad-Daraquthni memastikannya tidak mendengar dari Hudzaifah dan itu disetujui oleh para ulama rijal setelahnya yaitu Al-Mizzi yang dalam kitab Tahdzib Al-Kamal ketika menyebut biografi Abu Sallam Mamthur ini dia menyebutkan guru-gurunya dan salah satunya adalah Hudzaifah tapi dia komentari (وَيُقَالُ: مُرْسَلٌ) “Dikatakan mursal”. Sepertinya Al-Mizzi merujuk pada perkataan Ad-Daraquthni di atas. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib memastikan bahwa riwayat Mamthur dari Hudzaifah dan Abu Dzar adalah mursal.[2]
          Adz-Dzahabi memberi isyarat bahwa dia sering memursal dari riwayatnya dari senior sahabat adalah mursal sebagaimana kebiasaan orang-orang Syam. Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa dia meninggal di atas tahun seratus Hijriyyah.[3]
         
Riwayat Subai’ bin Khalid

          Ada penguat lain untuk riwayat Mamthur Abu Sallam Al-Aswad ini yaitu riwayat Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri. Yang meriwayatkan darinya ada tiga orang yaitu Nashr bin ‘Ashim, Shakr bin Badr dan Ali bin Zaid bin Jud’an.
          Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri sendiri hanya dikenal meriwayatkan satu hadits yaitu hadits Hudzaifah ini. Dia disebut dalam Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban, Al-Maghlathi dalam Ikmal Tahdzib Al-Kamal menukil bahwa Ibnu Khalfun juga menganggapnya tsiqah dan Al-Hakim memakainya dalam kitab Al-Mustadrak dengan menshahihkan hadits dan itu merupakan tautsiq Al-Hakim untuk Ibnu Subai’ ini.[4]
          Al-ijli menyebutnya dalam kitab Ats-Tsiqaat 1/388. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (3/326) menyebutnya dengan nama Khalid bin Khalid tapi tidak menyebutkan jarh maupun ta’dil.
          Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menilainya maqbul (artinya diterima kalau ada yang menguatkan).
          Bila kita anggap riwayat Subai’ bin Khalid ini bisa terangkat menjadi hasan atau shahih karena diperkuat riwayat Abu Idris Al-Khaulani dan Mamthur maka baiklah kita cek redaksinya.

1.Redaksi riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an.
          Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 23449, Hudzaifah berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " يَا حُذَيْفَةُ، اقْرَأْ كِتَابَ اللهِ وَاعْمَلْ بِمَا فِيهِ "، فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَأَعَدْتُ عَلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَعَلِمْتُ أَنَّهُ إِنْ كَانَ خَيْرًا اتَّبَعْتُهُ وَإِنْ كَانَ شَرًّا اجْتَنَبْتُهُ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: " نَعَمْ، فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ، وَدُعَاةُ ضَلَالَةٍ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ قَذَفُوهُ فِيهَا
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini akan terjadi keburukan sebagaimana sebelumnya adalah keburukan?” Beliau menjawab, “Wahai Hudzaifah, bacalah kitab Allah dan amalkan apa yang ada di dalamnya.” Beliau menghindar dariku dan aku mengulangnya sampai tiga kali dan aku tahu kalau itu baik maka aku akan mengikutinya tapi kalau buruk aku akan menjauhinya.
Aku bertanya, “Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya, fitnah yang buta dan tuli serta penyeru ke pintu-pintu jahannam. Yang mengikuti mereka akan mereka campakkan ke dalam jahannam itu.”

          Riwayat ini tidak memuat kalimat “Memukul punggung dan memakan harta”, tapi malah ada tambahan baru yaitu Rasulullah memerintahkan untuk membaca kitab Allah dan beramal kebajikan saja. Tapi Ali bin Zaid bin Jud’an sendiri dhaif dari segi hafalannya.[5]

2.Riwayat Shakr bin Badr.
          Shakr bin Badr adalah perawi yang majhul hanya Abu At-Tayyah yang meriwayatkan darinya dan hanya Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Sementara Al-Hafizh menilainya maqbul, tapi jelas dia tidak punya riwayat selain ini sehingga yang benar dia majhul.
          Berikut riwayat Shakhr bin Badr dari Subai’ bin Khalid yang kami ambilkan dari riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 23425:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ: سَمِعْتُ صَخْرًا يُحَدِّثُ، عَنْ سُبَيْعٍ قَالَ: أَرْسَلُونِي مِنْ مَاهٍ إِلَى الْكُوفَةِ أَشْتَرِي الدَّوَابَّ، فَأَتَيْنَا الْكُنَاسَةَ فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ جَمْعٌ، قَالَ: فَأَمَّا صَاحِبِي فَانْطَلَقَ إِلَى الدَّوَابِّ وَأَمَّا أَنَا فَأَتَيْتُهُ، فَإِذَا هُوَ حُذَيْفَةُ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْخَيْرِ وَأَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قُلْتُ: فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْهُ ؟ قَالَ: " السَّيْفُ " ـ أَحْسَبُ أَبُو التَّيَّاحِ يَقُولُ: السَّيْفُ، أَحْسَبُ ـ قَالَ:قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ، فَإِنْ لَمْ تَرَهُ فَاهْرَبْ فِي الْأَرْضِ، وَلَوْ أَنْ تَمُوتَ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ "، قَالَ: قُلْتُ: فَبِمَ يَجِيءُ بِهِ مَعَهُ ؟ قَالَ: " بِنَهَرٍ ـ أَوْ قَالَ: مَاءٍ ـ وَنَارٍ، فَمَنْ دَخَلَ نَهْرَهُ حُطَّ أَجْرُهُ، وَوَجَبَ وِزْرُهُ، وَمَنْ دَخَلَ نَارَهُ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " لَوْ أَنْتَجْتَ فَرَسًا لَمْ تَرْكَبْ، فَلُوَّهَا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ "
“Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Abu At-Tayyah, dia berkata, Aku mendengar Shakr menceritakan dari Subai’ yang berkata, “Mereka mengutusku dari Maah ke Kufah untuk membeli hewan kendaraan. Lalu kami mendatangi Kunasah (sebuah tempat di Kufah). Ternyata di sana ada seorang laki-laki yang dikerumuni beberapa jamaah. Temanku langsung saja menuju hewan (yang akan dibeli) sementara aku mendatanginya.
          Ternyata orang itu adalah Hudzaifah. Aku mendengarnya berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apa pelindung dalam hal ini?” Beliau menjawab, “Pedang.” Aku rasa Abu At-Tayyah berkata, “Pedang” dan aku rasa dia berkata, “Aku (Hudzaifah) bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian aka nada perdamaian tapi berkabut.” Aku tanyakan lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Kemudian akan ada para penyeru kesesatan. Kalau kamu melihat pada saat itu ada khalifah Allah di bumi maka ikutilah dia meski dia menyiksa tubuhmu dan mengambil hartamu. Kalau kamu tidak melihatnya (khalifah Allah) maka larilah di muka bumi meski kau mati dalam keadaan menggigit kulit pohon.”
Hudzaifah berkata, Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian akan keluarlah Dajjal.” Hudzaifah berkata, “Aku bertanya, “Apa yang akan dia bawa ketika datang itu?” Beliau menjawab, “Dia datang membawa sungai –atau air- dan api. Siapa yang masuk sungainya habislah pahalanya dan tinggallah dosanya. Sedang yang masuk apinya maka tetaplah pahalanya dan habislah dosanya.”
Hudzaifah, Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kalaupun kamu memperoleh seekor kuda maka tak akan sempat kau tunggangi anaknya karena sudah keburu kiamat datang.”
         
          Ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisi dalam musnadnya dari Hammad bin Najih, Hammad bin Zaid dan Abdul Warits, semua dari Abu Tayyah. Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dari Hammad bin Najih dengan redaksi yang sama di atas.
          Riwayat Shakhr bin Badr ini tidak memuat perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk membaca kitab Allah seperti yang ada pada riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an tapi mengandung perintah taat kepada khalifah Allah meski disiksa dan harta diambil. Ini mirip dengan riwayat Mamthur hanya dengan penjelasan bahwa yang harus ditaati kala melakukan itu adalah khalifah Allah dan bukan sembarang pemimpin.

3.Riwayat Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi.
          Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi dianggap tsiqah oleh An-Nasa`iy, Ibnu Hibban dan Al-Ijli. Al-Hafizh memberinya predikat tsiqah dalam At-Taqrib, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif.[6] Dengan demikian Nashr bin ‘Ashim ini tsiqah.
          Ada dua orang yang meriwayatkan dari Nashr bin ‘Ashim yaitu Qatadah bin Di’amah As-Sadusi dan Humaid bin Hilal Al-Adawi. Riwayat keduanya mempunyai perbedaan mendasar.
a.Riwayat Humaid bin Hilal.
          Riwayat Humaid bin Hilal di sini semua melalui jalur Sulaiman bin Mughirah, yang meriwayatkannya dari Sulaiman adalah Abu Daud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya (no. 443), Abu Usamah sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 38269, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi sebagaimana dalam sunan Abi Daud, no. 4246, Abu Nadhr dan Bahz bin Asad sebagaimana dalam Musnad Ahmad, no. 23282, Bahz bin Asad sebagaimana dalam Sunan An-Nasa`iy Al-Kubra, no. 8032, Syaiban bin Abi Syaibah sebagaimana riwayat Ibnu Hibban, no. 5963. Tak ada perbedaan redaksi yang berarti sehingga boleh dikatakan tak ada perbedaan dalam riwayat Humaid bin Hilal dari Nashr bin ‘Ashim dalam hadits Subai’ ini nanti.
          Berikut teks yang kami pilihkan dari riwayat Ath-Thayalisi dalam musnadnya:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ الْقَيْسِيُّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ الْيَشْكُرِيَّ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكُمْ يَا بَنِي لَيْثٍ؟ قَالَ: قُلْنَا: جِئْنَا نَسْأَلُكَ عَنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ فَقَالَ: غَلَتِ الدَّوَابُّ فَأَتَيْنَا الْكُوفَةَ نَجْلِبُ مِنْهَا دَوَابَّ فَقُلْتُ لِصَاحِبِي: أَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا كَانَتِ السُّوقُ خَرَجْتُ إِلَيْهَا فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَلْقَةٌ كَأَنَّمَا قُطِّعَتْ رُءُوسُهُمْ مُجْتَمِعُونَ عَلَى رَجُلٍ فَجِئْتُ فَقُمْتُ فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ أَنْتَ؟ قُلْتُ: لَا بَلْ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ قَالَ: لَوْ كُنْتَ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ مَا سَأَلْتَ عَنْ هَذَا، هَذَا حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «يَا حُذَيْفَةُ تَعَلَّمْ كِتَابَ اللَّهِ وَاتَّبِعْ مَا فِيهِ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ فَقَالَ: «هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْهُدْنَةُ عَلَى دَخَنٍ؟ قَالَ: «لَا تَرْجِعُ قُلُوبُ أَقْوَامٍ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ» ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثُمَّ تَكُونُ فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ دُعَاةُ ضَلَالَةٍ أَوْ قَالَ دُعَاةُ النَّارِ فَلَأَنْ تَعَضَّ عَلَى جِذْلٍ - يَعْنِي شَجَرَةً - خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَتْبَعَ أَحَدًا مِنْهُمْ»
“Sulaiman bin Mughirah Al-Qaisi menceritakan kepada kami, dari Humaid bin Hilal Al-‘Adawi, dari Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi, Aku mendatangi Al-Yasykuri dan dia berkata, “Apa yang membuat kalian datang wahai Bani Laits?” Aku jawab, “Kami datang menanyakan hadits Hudzaifah.”
          Dia berkata, Terjadi kenaikan harga hewan kendaraan yang tinggi maka kamipun datang ke Kufah untuk membeli hewan. Aku berkata kepada temanku, “Aku akan masuk masjid, nanti kalau ada pasar (rombongan pedagang –penerj) maka aku akan keluar ke sana.”
          Akupun masuk masjid dan ternyata di sana ada halaqoh pengajian seakan-akan kepala mereka terpotong[7]. Mereka berkumpul mengelilingi seorang laki-laki. Akupun datang dan bertanya, “Siapa dia?” Dia (orang yang ditanya) menjawab, “Kamu dari Kufah?” Aku jawab, “Bukan, aku dari Bashrah.” Dia berkata, “Kalau kamu dari Kufah kau tak akan bertanya siapa dia. Dia adalah Hudzaifah bin Al-Yaman.”
          Dia (Hudzaifah) berkata, Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Wahai Hudzaifah, pelajarilah kitab Allah dan amalkan isinya.
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Perdamaian di atas kekeruhan (kabut).”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud perdamaian di atas kekeruhan?”
Beliau menjawab, “Tidak akan kembali hati-hati orang-orang sebagaimana semula. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Kemudian akan terjadi huru-hara buta dan tuli lalu ada para penyeru sesat –atau belaiau ucapkan- penyeru ke neraka. Maka kau mati menggigit tonggak pohon akan lebih baik bagimu daripada kau mengikuti salah satu dari mereka.”

          Demikian redaksi riwayat Humaid bin Hilal Al-‘Adawi dan dia tsiqah termasuk pemuka tabi’in, hanya saja Ibnu Sirin tidak suka padanya karena dia sering bekerjasama dengan penguasa, tapi dia tsiqah dalam hadits.

b.Riwayat Qatadah.
          Yang meriwayatkan hadits ini dari Qatadah adalah Ma’mar sebagaimana dalam Al-Mushannaf Abdurrazzaq, no. 20711, Abu ‘Awanah sebagaimana dalam Sunan Abi Daud, no. 4244 dan Musnad Al-Bazzar, no. 2959 dan 2960, Hisyam Ad-Dastawa`iy sebagaimana dalam Musnad Ath-Thayalisi, no. 444 tapi tanpa menyebut Nashr bin ‘Ashim dan langsung dari Subai’ bin Khalid, juga riwayat Hammam di musnad Ath-Thayalisi, no. 438 juga tanpa menyebut Nashr bin ‘Ashim. Kemungkinan besar adalah Qatadah meriwayatkan kadang bersambung melalui Nashr bin ‘Ashim kadang pula memursalnya langsung kepada Subai’ bin Khalid karena dia memang biasa melakukan itu, apalagi dia seorang mudallis.
          Berikut teks Qatadah kami ambilkan dari Musnad Al-Bazzar:
وَأَخْبَرَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، وَأَبُو الْوَلِيدِ ، قَالاَ : أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ ، عَنْ سُبَيْعِ بْنِ خَالِدٍ ، قَالَ : خَرَجْتُ إِلَى الْكُوفَةِ زَمَنَ فُتِحَتْ تُسْتَرُ لأَجْلِبَ مِنْهَا بِغَالاً فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا صِدْعٌ مِنَ الرِّجَالِ تَعْرِفُ إِذَا رَأَيْتَهُ أَوْ رَأَيْتَهُمْ أَنَّهُمْ مِنْ رِجَالِ الْحِجَازِ فِيهِمْ رَجُلٌ قُلْتُ : مَنْ هَذَا ؟ قَالَ : فَحَدَّثَنِيَ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ ، فَقَالُوا : أَلاَ تَعْرِفُ هَذَا ؟ هَذَا حُذَيْفَةُ صَاحِبُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَاهُ اللَّهُ يَكُونُ بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : السَّيْفُ ، قُلْتُ : وَهَلْ لِلسَّيْفِ مِنْ بَقِيَّةٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ ، وَجَمَاعَةٌ عَلَى فُرْقَةٍ ، فَإِنْ كَانَ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةٌ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ ، وَأَطِعْ ، وَإِلاَّ فَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ ، قَالَ : قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ ، وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ ، وِزْرُهُ ، وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ ، وِزْرُهُ ، وَحُطَّ أَجْرُهُ ، قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ إِنَّهَا هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ.
“Kami juga dikabari hadits ini oleh Muhammad bin Mutsanna, dia berkata,  Yahya bin Hammad dan Abu Walid mengabarkan kepada kami, keduanya berkata, Abu ‘Awanah mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, dari Nashr bin ‘Ashim, dari Subai’ bin Khalid, dia berkata, “Aku berangkat ke Kufah pada masa ditaklukkannya Tustar dengan tujuan mendapatkan baghal (peranakan keledai dan kuda). Aku masuk masjid dan ternyata di sana sudah ada kumpulan orang yang kalian akan tahu kalau melihatnya bahwa mereka dari Hijaz. Di antara mereka ada seorang laki-laki dan aku tanyakan siapa dia? Orang-orang itu memandangku dengan membelalak sembari berkata, “Kamu tidak mengenalnya? Ini adalah Hudzaifah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
          Hudzaifah berkata, “Sesungguhnya manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan tapi aku bertanya tentang keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, menurut anda apakah kebaikan yang telah dikarunaikan Allah kepada kita ini akan berganti dengan keburukan sebagaimana dulu?” beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya lagi, “Apa yang bisa melindungi dari itu?” Beliau menjawab, “Pedang.” Aku Tanya lagi, “Apakah pedang akan tersisa?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya lagi, “Kemudian apa yang akan terjadi?” Beliau menjawab, “Perdamaian tapi dengan kekeruhan dan persatuan di atas perpecahan. Kalau pada saat itu allah Tabaraka wa Ta’ala punya khaliah yang memukul punggungmu dan mengambil hartamu maka dengar dan taatlah. Kalau tidak maka lebih kau menggigit batang pohon.”
Aku bertanya lagi, “Lalu apalagi setelah itu?”
Beliau menjawab, “Kemudian akan keluarlah Dajjal yang membawa sungai dan api. Siapa yang kena apinya maka tetaplah pahalanya dan terhapuslah dosanya. Tapi siapa yang kena sungainya maka tetaplah dosanya dah terhapuslah pahalanya.”
Aku Tanya lagi, “Setelah itu apa lagi?”
Beliau menjawab, “Kemudian akan terjadi hari kiamat.”

          Perhatikan redaksi riwayat Qatadah ini sangat mirip dengan riwayat Shakr bin Badr, sedangkan riwayat Hilal lebih mirip dengan riwayat Ali bin Ziad bin Jud’an. Padahal tidak mungkin Nashr bin ‘Ashim menceritakannya berlainan antara Qatadah dengan Hilal bin Umayyah. Untuk itu perlu dilakukan tarjih mana yang lebih kuat diantara keduanya. Qatadah adalah mudallis, dan dalam riwayat ini dia melakukan ‘an’anah. Itu bisa mencacat riwayatnya bila dibanding dengan riwayat Hilal bin Umayyah. Dengan begitu riwayat Hilal bin Umayyah lebih kuat.
          Lalu riwayat Nashr bin ‘Ashim dibandingkan dengan riwayat Shakr jelas riwayat Nashrlah yang diunggulkan karena dia tsiqah sedangkan Shakhr majhul. Sedangkan dalam riwayat Nashr ini tidak ada kalimat yang kita bahas yaitu “Pemimpin yang memukul punggung dan mengambil harta.”
          Dengan begitu bisa diputuskan bahwa tambahan tersebut syaadz dan tidak ada dalam riwayat Hudzaifah. Akan tetapi riwayat Shakr ini lebih mirip dengan riwayat Abu Idris Al-Khaulani yang shahih, kecuali adanya tambahan khalifah Allah yang harus ditaati meski memukul punggung dan mengambil harta.
          Kalaupun ada yang mau menganggap tambahan riwayat yang ada khalifah Allah tersebut berarti itu harus menjadi qayyid (pengikat) bagi riwayat Mamthur yang memutlakkan ketaatan kepada setiap pemimpin yang sering dijadikan landasan orang-orang sekarang untuk taat kepada pemimpin thaghut.
          Kata Khalifah Allah jelas mengindikasikan bahwa pemimpin tersebut menjadikan syariat Allah sebagai dasar hukum kepemimpinannya dan tidak mungkin berlandaskan undang-undang yang bertetangan dengan hukum Allah yang dalam bahasa Al-Quran disebut undang-undang jahiliyyah (lihat surah Al-Maidah ayat 50). Atau disebut pula thaghut sebagaimana surah An-Nisa` ayat 60.

          Kemudian, masih ada hadits lain yang juga memuat kalimat, “meski memukul punggung dan mengambil harta” dalam hadits Ubadah bin Shamit dan insya Allah akan kita bahas setelah ini.


Anshari Taslim, Bekasi 2 April 2015.

Baca lanjutannya: Kelemahan Tambahan Redaksi Memukul Punggung Dalam Riwayat Ubadah bin Shamit





[1] Al-Ilzaamaat wat Tatabbu’ hal. 182.
[2] Lihat Tahdzib At-Tahdzib 10/263.
[3] Syar A’lam An-Nubala` 4/355-357.
[4] Lihat Al-Ikmal 5/211.
[5] Lihat Tahdzib Al-Kamal 20/437.
[6] Lihat Tahdzib Al-Kamal 29/348, Ats-Tsiqaat oleh Al-Ijli 2/313, no. 1848, Al-Kasyif 2/318, no. 5813, At-Taqrib 2/161, no. 8010.
[7] Mungkin karena tertunduk mendengarkan jadi seakan kepala mereka tak terlihat dan hanya terlihat kerah bajunya saja. Wallahu a’lam.

13 komentar:

  1. Ahsanta
    Barakallahu fiik

    BalasHapus
  2. Kalau pemimpin nya memerintah kan yg ma`ruf terus masa kita tdk taat ustadz?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau yang makruf ya harus taat, misalnya peraturan lalu lintas dll.

      Hapus
  3. Ustadz, berarti ketaatan kita pada pemimpin sekarang hanya berdasarkan maslahat?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul, karena ketaatan itu hanya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya sedang pemimpin adalah kepanjangan tangan dari itu, kalau malah jadi penghalangnya bagaimana bisa ditaati secara mutlak?

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Kelanjutannya kapan Ustadz ? Di tunggu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. http://kawalitareng.blogspot.co.id/2015/12/kelemahan-tambahan-redaksi-memukul.html

      Hapus
  6. Apakah bisa dikatakan hadits hudzaifah ini adalah khusus buat hidaifah sendiri bukan untuk umum.

    Mungkin dibeberapa kasus ada beberapa sahabat bertanya namun pertanyaannya sama tapi jawabannya berbeda

    BalasHapus
  7. Jazakallahu khairan...wa barakallahu laka fi ilmika wa dawatika.

    BalasHapus

  8. Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
    http://bogotabb.blogspot.co.id/
    https://www.kiblat.net/2014/11/19/bilamana-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-dianggap-kufur-akbar/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anshari taslim menyebar syubhat

      Hapus
    2. syubhatnya dimana? ini kan dalam rangka menyingkap syubhat yang selama ini diyakini sebagian ummat islam

      Hapus