Ada sebuah hadits yang saat ini sangat
popular dijadikan dalil untuk menekankan ketaatan kepada pemimpin meskipun
pemimpin itu menyiksa dan berlaku zalim. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh
Hudzaifah bin Al-Yaman yang ada dalam Shahih Muslim.
Apakah hadits ini bisa dipahami
demikian? Tentu untuk memahami sebuah hadits maka kita harus mengumpulkan dulu
semua jalur isnadnya dan juga redaksionalnya, lalu memilah mana isnad yang
shahih mana yang dhaif, kemudian memilah mana redaksi yang shahih mana yang
syaadz atau munkar.
Hadits Hudzaifah yang dikenal dengan
hadits tentang fitnah (huru-hara akhir masa) ini ada dalam Shahihain dengan
redaksi yang sudah disepakati keshahihan isinya. Riwayat yang disepakati ini
melalui jalur Abu Idris Al-Khaulani yang nama aslinya adalah ‘A`idzullah bin
Abdullah yang berkata, Aku mendengar Hudzaifah bin Al-Yaman berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا
الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، فَقُلْتُ:
هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ»
، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ
بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ
الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ
أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، صِفْهُمْ
لَنَا، قَالَ: «نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا»
، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَلْزَمُ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ» ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ
جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟ قَالَ: «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ
أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ»
“Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena aku
takut akan menimpa diriku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini telah
melewati masa jahiliyyah dan keburukan lalu Allah mendatangkan kebaikan ini
kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”
Beliau
menjawab, “Ya.”
Aku,
“Apakah setelah keburukan itu akan kembali datang kebaikan?”
Rasulullah,
“Ya, tapi ada sedikit kabut (ketidakjelasan).”
Aku,
“Apa kabutnya?”
Rasulullah,
“Adanya kaum yang tidak melaksanakan sunnahku dan tidak berpedoman pada
petunjukku. Ada yang kamu dukung perbuatan mereka ada pula yang kamu ingkari.”
Aku, “Apakah
setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”
Beliau,
“Ya, kaum yang menyeru di pintu-pintu jahannam, siapa yang memenuhinya akan
mereka lemparkan ke dalamnya.”
Aku,
“Tolong diskripskan kaum itu kepada kami ya Rasulullah.”
Beliau,
“Orang-orang dari kulit kita sendiri dan bicara dengan bahasa kita.”
Aku,
“Wahai Rasulullah, apa saran anda kalau aku mendapati itu?”
Beliau,
“Tetaplah bergabung pada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.”
Aku,
“Bila tidak ada jamaah tidak pula ada imam?”
Beliau,
“Tinggalkan semua kelompok itu meski kau harus menggigit akar pohon sampai
kematian mendatangimu dalam keadaan seperti itu.”
(HR.
Al-Bukhari, no. 3606 dan 7084, Muslim, no. 1847).
Inilah redaksi yang telah disepakati
keshahihannya dari hadits Hudzaifah ini. Dengan redaksi inilah ditimbang
riwayat lain apakah ada tambahan yang munkar atau syaadz, ataukah tambahan yang
bisa diterima.
Selain Abu Idris Al-Khaulani hadits
Hudzaifah ini juga diriwayatkan oleh Abu Sallam Mamthur dari Hudzaifah dengan
ada tambahan yang diperbincangkan. Berikut redaksinya:
وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ، ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ،
أَخْبَرَنَا يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ حَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ
سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ
بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ
بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ»
، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ
وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ
بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ
أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ،
وَإِنْ
ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»
Secara
umum redaksinya sama dengan riwayat Abu Idris tapi ada tambahan yang berbeda
dengan redaksi Abu Idris yaitu pada kalimat yang dicetak merah. (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) (Akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hatinya
adalah hati setan berwujud manusia) dan juga kalimat (وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ
مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ) (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil).
Dengan redaksi inilah sebagian orang
berdalil untuk tetap mentaati pemimpin yang berhati Iblis termasuk yang
berhukum dengan undang-undang thaghut atau hukum jahiliyyah meski mengambil
harta dan memukul punggung.
Mari kita tinjau riwayat Mamthur ini
dari sisi sanad. Imam Muslim memuat hadits ini sebagai mutabi’ (penguat) bagi
hadits Abu Idris Al-Khaulani, bukan sebagai riwayat utama. Sebagaimana
diketahui bahwa riwayat mutabi’ dalam shahih Muslim kadang sanadnya dha’if,
karena memang tidak dijadikan hujjah hanya sekadar dijadikan penguat riwayat di
atasnya. Maka, harus ditinjau bila ada tambahan kalimat yang tidak terdapat
pada riwayat utama, bila isnadnya dha’if maka kalimat tambahan itu tidak dapat
dijadikan hujjah.
Sisi kelemahan riwayat ini adalah pada
Mamthur ke Hudzaifah dimana Mamthur ini meskipun tsiqah tapi menurut para
kritikus hadits dia tidak bertemu dengan Hudzaifah dan tidak mendengar hadits
darinya, sehingga riwayatnya dari Hudzaifah dianggap munqathi’ (terputus) dan
riwayat yang terputus terkategori dha’if tak bisa dijadikan hujjah.
Adalah Ad-Daraquthni dalam kitabnya
Al-Ilzaamat wat Tatabbu’ mengkritisi Muslim dalam riwayat ini dengan
mengatakan,
وهذا عندي مرسل، أبو سلام لم يسمع من حذيفة ولا من نظرائه الذين نزلوا
العراق لأن حذيفة توفي بعد قتل عثمان (رضي الله عنه) بليال، وقد قال فيه حذيفة فهذا
يدل على إرساله.
“Menurutku
ini mursal, Abu Sallam tidak mendengar dari Hudzaifah dan tidak pula dari rekan
semasa Hudzaifah yang hijrah di Irak. Hudzaifah wafat beberapa malam setelah
terbunuhnya Utsman RA, dan di sini dia mengatakan, “Hudzaifah berkata”, itu
menunjukkan bahwa riwayat ini mursal.”[1]
Pernyataan Ad-Daraquthni ini
dibenarkan oleh muhaqqiq kitab Al-Ilzamat yaitu Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
dengan mengatakan,
“Dalam
hadits Hudzaifah yang ini (riwayat Mamthur) ada tambahan yang tidak ada dalam
riwayat yang disepakati keshahihannya yaitu tambahan kalimat, (meski
punggungmu dipukul dan hartamu diambil). Ini adalah tambahan yang lemah
karena bersumber dari jalur yang terputus ini.”
Sementara An-Nawawi dalam syarh Shahih
Muslim (12/237-238) membenarkan pernyataan Ad-Daraquthni bahwa riwayat ini
mursal (terputus antara Abu Sallam dengan Hudzaifah) tapi dia menganggap
matannya shahih karena jalur Abu Idris yang shahih. Pernyataan An-Nawawi ini
perlu ditinjau ulang dalam bahasan khusus di luar ini agar tidak terjadi
tumpang tindih.
Ada yang berusaha mementahkan
pernyataan Ad-Daraquthni ini dengan mengatakan bahwa Abu Sallam Mamthur ini
mendengar dari Ubadah bin Shamit yang wafat lebih dulu daripada Hudzaifah,
sehingga besar kemungkinan dia juga mendengar dari Hudzaifah. Yang seperti ini
tidak dapat diterima karena mendengar dari yang lebih dulu meninggal bukan
ukuran bahwa orang itu pernah mendengar dari yang belakangan wafat. Yang jadi
ukuran adalah adanya riwayat yang mengatakan dia mendengar atau adanya
persaksian dari seorang ulama muhaddits yang memang terbiasa dengan ilmu rijal.
Yang ada, Ad-Daraquthni memastikannya tidak mendengar dari Hudzaifah dan itu
disetujui oleh para ulama rijal setelahnya yaitu Al-Mizzi yang dalam kitab
Tahdzib Al-Kamal ketika menyebut biografi Abu Sallam Mamthur ini dia
menyebutkan guru-gurunya dan salah satunya adalah Hudzaifah tapi dia komentari (وَيُقَالُ: مُرْسَلٌ) “Dikatakan mursal”. Sepertinya Al-Mizzi merujuk pada perkataan
Ad-Daraquthni di atas. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib
memastikan bahwa riwayat Mamthur dari Hudzaifah dan Abu Dzar adalah mursal.[2]
Adz-Dzahabi memberi isyarat bahwa dia
sering memursal dari riwayatnya dari senior sahabat adalah mursal sebagaimana
kebiasaan orang-orang Syam. Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa dia meninggal di
atas tahun seratus Hijriyyah.[3]
Riwayat Subai’
bin Khalid
Ada penguat lain untuk riwayat Mamthur
Abu Sallam Al-Aswad ini yaitu riwayat Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri. Yang
meriwayatkan darinya ada tiga orang yaitu Nashr bin ‘Ashim, Shakr bin Badr dan
Ali bin Zaid bin Jud’an.
Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri sendiri
hanya dikenal meriwayatkan satu hadits yaitu hadits Hudzaifah ini. Dia disebut
dalam Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban, Al-Maghlathi dalam Ikmal Tahdzib Al-Kamal
menukil bahwa Ibnu Khalfun juga menganggapnya tsiqah dan Al-Hakim memakainya
dalam kitab Al-Mustadrak dengan menshahihkan hadits dan itu merupakan tautsiq
Al-Hakim untuk Ibnu Subai’ ini.[4]
Al-ijli menyebutnya dalam kitab
Ats-Tsiqaat 1/388. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (3/326)
menyebutnya dengan nama Khalid bin Khalid tapi tidak menyebutkan jarh maupun
ta’dil.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib
menilainya maqbul (artinya diterima kalau ada yang menguatkan).
Bila kita anggap riwayat Subai’ bin
Khalid ini bisa terangkat menjadi hasan atau shahih karena diperkuat riwayat
Abu Idris Al-Khaulani dan Mamthur maka baiklah kita cek redaksinya.
1.Redaksi
riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya, no. 23449, Hudzaifah berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ،
هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " يَا
حُذَيْفَةُ، اقْرَأْ كِتَابَ اللهِ وَاعْمَلْ بِمَا فِيهِ "، فَأَعْرَضَ عَنِّي،
فَأَعَدْتُ عَلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَعَلِمْتُ أَنَّهُ إِنْ كَانَ خَيْرًا اتَّبَعْتُهُ
وَإِنْ كَانَ شَرًّا اجْتَنَبْتُهُ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
؟ قَالَ: " نَعَمْ، فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ، وَدُعَاةُ ضَلَالَةٍ عَلَى أَبْوَابِ
جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ قَذَفُوهُ فِيهَا
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah
apakah setelah kebaikan ini akan terjadi keburukan sebagaimana sebelumnya
adalah keburukan?” Beliau menjawab, “Wahai Hudzaifah, bacalah kitab Allah dan
amalkan apa yang ada di dalamnya.” Beliau menghindar dariku dan aku
mengulangnya sampai tiga kali dan aku tahu kalau itu baik maka aku akan
mengikutinya tapi kalau buruk aku akan menjauhinya.
Aku
bertanya, “Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya,
fitnah yang buta dan tuli serta penyeru ke pintu-pintu jahannam. Yang mengikuti
mereka akan mereka campakkan ke dalam jahannam itu.”
Riwayat ini tidak memuat kalimat
“Memukul punggung dan memakan harta”, tapi malah ada tambahan baru yaitu
Rasulullah memerintahkan untuk membaca kitab Allah dan beramal kebajikan saja.
Tapi Ali bin Zaid bin Jud’an sendiri dhaif dari segi hafalannya.[5]
2.Riwayat
Shakr bin Badr.
Shakr bin Badr adalah perawi yang
majhul hanya Abu At-Tayyah yang meriwayatkan darinya dan hanya Ibnu Hibban yang
memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Sementara Al-Hafizh menilainya maqbul,
tapi jelas dia tidak punya riwayat selain ini sehingga yang benar dia majhul.
Berikut riwayat Shakhr bin Badr dari
Subai’ bin Khalid yang kami ambilkan dari riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya,
no. 23425:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ: سَمِعْتُ صَخْرًا يُحَدِّثُ،
عَنْ سُبَيْعٍ قَالَ: أَرْسَلُونِي مِنْ مَاهٍ إِلَى الْكُوفَةِ أَشْتَرِي الدَّوَابَّ،
فَأَتَيْنَا الْكُنَاسَةَ فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ جَمْعٌ، قَالَ: فَأَمَّا صَاحِبِي
فَانْطَلَقَ إِلَى الدَّوَابِّ وَأَمَّا أَنَا فَأَتَيْتُهُ، فَإِذَا هُوَ حُذَيْفَةُ،
فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْخَيْرِ وَأَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ،
هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " نَعَمْ
"، قُلْتُ: فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْهُ ؟ قَالَ: " السَّيْفُ " ـ أَحْسَبُ
أَبُو التَّيَّاحِ يَقُولُ: السَّيْفُ، أَحْسَبُ ـ قَالَ:قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ
مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ يَوْمَئِذٍ
خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ، فَإِنْ لَمْ تَرَهُ فَاهْرَبْ
فِي الْأَرْضِ، وَلَوْ أَنْ تَمُوتَ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ "، قَالَ:
قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ "، قَالَ: قُلْتُ:
فَبِمَ يَجِيءُ بِهِ مَعَهُ ؟ قَالَ: " بِنَهَرٍ ـ أَوْ قَالَ: مَاءٍ ـ وَنَارٍ،
فَمَنْ دَخَلَ نَهْرَهُ حُطَّ أَجْرُهُ، وَوَجَبَ وِزْرُهُ، وَمَنْ دَخَلَ نَارَهُ
وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ:
" لَوْ أَنْتَجْتَ فَرَسًا لَمْ تَرْكَبْ، فَلُوَّهَا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
"
“Muhammad bin Ja’far menceritakan
kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Abu At-Tayyah, dia berkata,
Aku mendengar Shakr menceritakan dari Subai’ yang berkata, “Mereka mengutusku
dari Maah ke Kufah untuk membeli hewan kendaraan. Lalu kami mendatangi Kunasah
(sebuah tempat di Kufah). Ternyata di sana ada seorang laki-laki yang
dikerumuni beberapa jamaah. Temanku langsung saja menuju hewan (yang akan
dibeli) sementara aku mendatanginya.
Ternyata orang itu adalah Hudzaifah.
Aku mendengarnya berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bertanya kepada beliau tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang
keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada
keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apa pelindung dalam hal ini?”
Beliau menjawab, “Pedang.” Aku rasa Abu At-Tayyah berkata, “Pedang” dan aku
rasa dia berkata, “Aku (Hudzaifah) bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau
menjawab, “Kemudian aka nada perdamaian tapi berkabut.” Aku tanyakan lagi,
“Lalu apa?” Beliau menjawab, “Kemudian akan ada para penyeru kesesatan. Kalau kamu melihat pada saat itu ada khalifah Allah di bumi
maka ikutilah dia meski dia menyiksa tubuhmu dan mengambil hartamu.
Kalau kamu tidak melihatnya (khalifah Allah) maka larilah di muka bumi meski kau
mati dalam keadaan menggigit kulit pohon.”
Hudzaifah
berkata, Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian
akan keluarlah Dajjal.” Hudzaifah berkata, “Aku bertanya, “Apa yang akan dia
bawa ketika datang itu?” Beliau menjawab, “Dia datang membawa sungai –atau air-
dan api. Siapa yang masuk sungainya habislah pahalanya dan tinggallah dosanya.
Sedang yang masuk apinya maka tetaplah pahalanya dan habislah dosanya.”
Hudzaifah,
Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kalaupun kamu memperoleh
seekor kuda maka tak akan sempat kau tunggangi anaknya karena sudah keburu
kiamat datang.”
Ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud
Ath-Thayalisi dalam musnadnya dari Hammad bin Najih, Hammad bin Zaid dan Abdul
Warits, semua dari Abu Tayyah. Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dari Hammad bin
Najih dengan redaksi yang sama di atas.
Riwayat Shakhr bin Badr ini tidak
memuat perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk membaca kitab Allah
seperti yang ada pada riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an tapi mengandung perintah
taat kepada khalifah Allah meski disiksa dan harta diambil. Ini mirip dengan
riwayat Mamthur hanya dengan penjelasan bahwa yang harus ditaati kala melakukan
itu adalah khalifah Allah dan bukan sembarang pemimpin.
3.Riwayat
Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi.
Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi dianggap
tsiqah oleh An-Nasa`iy, Ibnu Hibban dan Al-Ijli. Al-Hafizh memberinya predikat
tsiqah dalam At-Taqrib, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif.[6]
Dengan demikian Nashr bin ‘Ashim ini tsiqah.
Ada dua orang yang meriwayatkan dari
Nashr bin ‘Ashim yaitu Qatadah bin Di’amah As-Sadusi dan Humaid bin Hilal
Al-Adawi. Riwayat keduanya mempunyai perbedaan mendasar.
a.Riwayat
Humaid bin Hilal.
Riwayat Humaid bin Hilal di sini semua
melalui jalur Sulaiman bin Mughirah, yang meriwayatkannya dari Sulaiman adalah
Abu Daud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya (no. 443), Abu Usamah sebagaimana dalam
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 38269, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi
sebagaimana dalam sunan Abi Daud, no. 4246, Abu Nadhr dan Bahz bin Asad
sebagaimana dalam Musnad Ahmad, no. 23282, Bahz bin Asad sebagaimana dalam
Sunan An-Nasa`iy Al-Kubra, no. 8032, Syaiban bin Abi Syaibah sebagaimana
riwayat Ibnu Hibban, no. 5963. Tak ada perbedaan redaksi yang berarti sehingga
boleh dikatakan tak ada perbedaan dalam riwayat Humaid bin Hilal dari Nashr bin
‘Ashim dalam hadits Subai’ ini nanti.
Berikut teks yang kami pilihkan dari
riwayat Ath-Thayalisi dalam musnadnya:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ
الْمُغِيرَةِ الْقَيْسِيُّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ نَصْرِ
بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ الْيَشْكُرِيَّ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكُمْ
يَا بَنِي لَيْثٍ؟ قَالَ: قُلْنَا: جِئْنَا نَسْأَلُكَ عَنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ فَقَالَ:
غَلَتِ الدَّوَابُّ فَأَتَيْنَا الْكُوفَةَ نَجْلِبُ مِنْهَا دَوَابَّ فَقُلْتُ لِصَاحِبِي:
أَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا كَانَتِ السُّوقُ خَرَجْتُ إِلَيْهَا فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ
فَإِذَا حَلْقَةٌ كَأَنَّمَا قُطِّعَتْ رُءُوسُهُمْ مُجْتَمِعُونَ عَلَى رَجُلٍ فَجِئْتُ
فَقُمْتُ فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ أَنْتَ؟ قُلْتُ: لَا
بَلْ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ قَالَ: لَوْ كُنْتَ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ مَا سَأَلْتَ
عَنْ هَذَا، هَذَا حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «يَا حُذَيْفَةُ تَعَلَّمْ كِتَابَ اللَّهِ
وَاتَّبِعْ مَا فِيهِ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ
شَرٌّ؟ فَقَالَ: «هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْهُدْنَةُ
عَلَى دَخَنٍ؟ قَالَ: «لَا تَرْجِعُ قُلُوبُ أَقْوَامٍ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ»
، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثُمَّ تَكُونُ فِتْنَةٌ
عَمْيَاءُ صَمَّاءُ دُعَاةُ ضَلَالَةٍ أَوْ قَالَ دُعَاةُ النَّارِ فَلَأَنْ تَعَضَّ
عَلَى جِذْلٍ - يَعْنِي شَجَرَةً - خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَتْبَعَ أَحَدًا مِنْهُمْ»
“Sulaiman bin Mughirah Al-Qaisi
menceritakan kepada kami, dari Humaid bin Hilal Al-‘Adawi, dari Nashr bin
‘Ashim Al-Laitsi, Aku mendatangi Al-Yasykuri dan dia berkata, “Apa yang membuat
kalian datang wahai Bani Laits?” Aku jawab, “Kami datang menanyakan hadits Hudzaifah.”
Dia berkata, Terjadi kenaikan harga
hewan kendaraan yang tinggi maka kamipun datang ke Kufah untuk membeli hewan.
Aku berkata kepada temanku, “Aku akan masuk masjid, nanti kalau ada pasar
(rombongan pedagang –penerj) maka aku akan keluar ke sana.”
Akupun masuk masjid dan ternyata di
sana ada halaqoh pengajian seakan-akan kepala mereka terpotong[7].
Mereka berkumpul mengelilingi seorang laki-laki. Akupun datang dan bertanya,
“Siapa dia?” Dia (orang yang ditanya) menjawab, “Kamu dari Kufah?” Aku jawab,
“Bukan, aku dari Bashrah.” Dia berkata, “Kalau kamu dari Kufah kau tak akan
bertanya siapa dia. Dia adalah Hudzaifah bin Al-Yaman.”
Dia (Hudzaifah) berkata, Aku berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab,
“Wahai Hudzaifah, pelajarilah kitab Allah dan amalkan isinya.
Aku
bertanya lagi, “Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”
Beliau menjawab, “Perdamaian di atas kekeruhan (kabut).”
Aku
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud perdamaian di atas kekeruhan?”
Beliau
menjawab, “Tidak akan kembali hati-hati orang-orang sebagaimana semula.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Kemudian
akan terjadi huru-hara buta dan tuli lalu ada para penyeru sesat –atau belaiau
ucapkan- penyeru ke neraka. Maka kau mati menggigit tonggak pohon akan lebih
baik bagimu daripada kau mengikuti salah satu dari mereka.”
Demikian redaksi riwayat Humaid bin
Hilal Al-‘Adawi dan dia tsiqah termasuk pemuka tabi’in, hanya saja Ibnu Sirin
tidak suka padanya karena dia sering bekerjasama dengan penguasa, tapi dia
tsiqah dalam hadits.
b.Riwayat
Qatadah.
Yang meriwayatkan hadits ini dari
Qatadah adalah Ma’mar sebagaimana dalam Al-Mushannaf Abdurrazzaq, no. 20711,
Abu ‘Awanah sebagaimana dalam Sunan Abi Daud, no. 4244 dan Musnad Al-Bazzar,
no. 2959 dan 2960, Hisyam Ad-Dastawa`iy sebagaimana dalam Musnad Ath-Thayalisi,
no. 444 tapi tanpa menyebut Nashr bin ‘Ashim dan langsung dari Subai’ bin
Khalid, juga riwayat Hammam di musnad Ath-Thayalisi, no. 438 juga tanpa
menyebut Nashr bin ‘Ashim. Kemungkinan besar adalah Qatadah meriwayatkan kadang
bersambung melalui Nashr bin ‘Ashim kadang pula memursalnya langsung kepada
Subai’ bin Khalid karena dia memang biasa melakukan itu, apalagi dia seorang
mudallis.
Berikut teks Qatadah kami ambilkan
dari Musnad Al-Bazzar:
وَأَخْبَرَنَاهُ مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُثَنَّى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، وَأَبُو الْوَلِيدِ
، قَالاَ : أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ
، عَنْ سُبَيْعِ بْنِ خَالِدٍ ، قَالَ : خَرَجْتُ إِلَى الْكُوفَةِ زَمَنَ فُتِحَتْ
تُسْتَرُ لأَجْلِبَ مِنْهَا بِغَالاً فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا صِدْعٌ مِنَ الرِّجَالِ
تَعْرِفُ إِذَا رَأَيْتَهُ أَوْ رَأَيْتَهُمْ أَنَّهُمْ مِنْ رِجَالِ الْحِجَازِ فِيهِمْ
رَجُلٌ قُلْتُ : مَنْ هَذَا ؟ قَالَ : فَحَدَّثَنِيَ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ ، فَقَالُوا
: أَلاَ تَعْرِفُ هَذَا ؟ هَذَا حُذَيْفَةُ صَاحِبُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، فَقُلْتُ
: يَا رَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَاهُ اللَّهُ يَكُونُ
بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ
، فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : السَّيْفُ ، قُلْتُ : وَهَلْ لِلسَّيْفِ
مِنْ بَقِيَّةٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : هُدْنَةٌ عَلَى
دَخَنٍ ، وَجَمَاعَةٌ عَلَى فُرْقَةٍ ، فَإِنْ كَانَ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمَئِذٍ
خَلِيفَةٌ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ ، وَأَطِعْ ، وَإِلاَّ فَمُتْ وَأَنْتَ
عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ ، قَالَ : قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ يَخْرُجُ
الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ ، وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ
، وِزْرُهُ ، وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ ، وِزْرُهُ ، وَحُطَّ أَجْرُهُ ، قَالَ
: قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ إِنَّهَا هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ.
“Kami juga dikabari hadits ini oleh
Muhammad bin Mutsanna, dia berkata,
Yahya bin Hammad dan Abu Walid mengabarkan kepada kami, keduanya
berkata, Abu ‘Awanah mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, dari Nashr bin
‘Ashim, dari Subai’ bin Khalid, dia berkata, “Aku berangkat ke Kufah pada masa
ditaklukkannya Tustar dengan tujuan mendapatkan baghal (peranakan keledai dan
kuda). Aku masuk masjid dan ternyata di sana sudah ada kumpulan orang yang
kalian akan tahu kalau melihatnya bahwa mereka dari Hijaz. Di antara mereka ada
seorang laki-laki dan aku tanyakan siapa dia? Orang-orang itu memandangku
dengan membelalak sembari berkata, “Kamu tidak mengenalnya? Ini adalah
Hudzaifah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Hudzaifah berkata, “Sesungguhnya
manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang
kebaikan tapi aku bertanya tentang keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, menurut
anda apakah kebaikan yang telah dikarunaikan Allah kepada kita ini akan
berganti dengan keburukan sebagaimana dulu?” beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya
lagi, “Apa yang bisa melindungi dari itu?” Beliau menjawab, “Pedang.” Aku Tanya
lagi, “Apakah pedang akan tersisa?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya lagi,
“Kemudian apa yang akan terjadi?” Beliau menjawab, “Perdamaian tapi dengan
kekeruhan dan persatuan di atas perpecahan. Kalau
pada saat itu allah Tabaraka wa Ta’ala punya khaliah yang memukul
punggungmu dan mengambil hartamu maka dengar dan taatlah. Kalau tidak maka
lebih kau menggigit batang pohon.”
Aku
bertanya lagi, “Lalu apalagi setelah itu?”
Beliau
menjawab, “Kemudian akan keluarlah Dajjal yang membawa sungai dan api. Siapa
yang kena apinya maka tetaplah pahalanya dan terhapuslah dosanya. Tapi siapa
yang kena sungainya maka tetaplah dosanya dah terhapuslah pahalanya.”
Aku
Tanya lagi, “Setelah itu apa lagi?”
Beliau
menjawab, “Kemudian akan terjadi hari kiamat.”
Perhatikan redaksi riwayat Qatadah ini
sangat mirip dengan riwayat Shakr bin Badr, sedangkan riwayat Hilal lebih mirip
dengan riwayat Ali bin Ziad bin Jud’an. Padahal tidak mungkin Nashr bin ‘Ashim
menceritakannya berlainan antara Qatadah dengan Hilal bin Umayyah. Untuk itu
perlu dilakukan tarjih mana yang lebih kuat diantara keduanya. Qatadah adalah
mudallis, dan dalam riwayat ini dia melakukan ‘an’anah. Itu bisa mencacat
riwayatnya bila dibanding dengan riwayat Hilal bin Umayyah. Dengan begitu
riwayat Hilal bin Umayyah lebih kuat.
Lalu riwayat Nashr bin ‘Ashim
dibandingkan dengan riwayat Shakr jelas riwayat Nashrlah yang diunggulkan
karena dia tsiqah sedangkan Shakhr majhul. Sedangkan dalam riwayat Nashr ini
tidak ada kalimat yang kita bahas yaitu “Pemimpin yang memukul punggung dan
mengambil harta.”
Dengan begitu bisa diputuskan bahwa
tambahan tersebut syaadz dan tidak ada dalam riwayat Hudzaifah. Akan tetapi
riwayat Shakr ini lebih mirip dengan riwayat Abu Idris Al-Khaulani yang shahih,
kecuali adanya tambahan khalifah Allah yang harus ditaati meski memukul
punggung dan mengambil harta.
Kalaupun ada yang mau menganggap
tambahan riwayat yang ada khalifah Allah tersebut berarti itu harus menjadi
qayyid (pengikat) bagi riwayat Mamthur yang memutlakkan ketaatan kepada setiap
pemimpin yang sering dijadikan landasan orang-orang sekarang untuk taat kepada
pemimpin thaghut.
Kata Khalifah Allah jelas
mengindikasikan bahwa pemimpin tersebut menjadikan syariat Allah sebagai dasar
hukum kepemimpinannya dan tidak mungkin berlandaskan undang-undang yang
bertetangan dengan hukum Allah yang dalam bahasa Al-Quran disebut undang-undang
jahiliyyah (lihat surah Al-Maidah ayat 50). Atau disebut pula thaghut
sebagaimana surah An-Nisa` ayat 60.
Kemudian, masih ada hadits lain yang
juga memuat kalimat, “meski memukul punggung dan mengambil harta” dalam hadits
Ubadah bin Shamit dan insya Allah akan kita bahas setelah ini.
Anshari Taslim, Bekasi 2 April 2015.
[1]
Al-Ilzaamaat wat Tatabbu’ hal. 182.
[2]
Lihat Tahdzib At-Tahdzib 10/263.
[3]
Syar A’lam An-Nubala` 4/355-357.
[4]
Lihat Al-Ikmal 5/211.
[5]
Lihat Tahdzib Al-Kamal 20/437.
[6]
Lihat Tahdzib Al-Kamal 29/348, Ats-Tsiqaat oleh Al-Ijli 2/313, no. 1848,
Al-Kasyif 2/318, no. 5813, At-Taqrib 2/161, no. 8010.
[7]
Mungkin karena tertunduk mendengarkan jadi seakan kepala mereka tak terlihat
dan hanya terlihat kerah bajunya saja. Wallahu a’lam.
Ahsanta
BalasHapusBarakallahu fiik
Kalau pemimpin nya memerintah kan yg ma`ruf terus masa kita tdk taat ustadz?
BalasHapusKalau yang makruf ya harus taat, misalnya peraturan lalu lintas dll.
HapusUstadz, berarti ketaatan kita pada pemimpin sekarang hanya berdasarkan maslahat?
BalasHapusiya betul, karena ketaatan itu hanya kepada hukum Allah dan Rasul-Nya sedang pemimpin adalah kepanjangan tangan dari itu, kalau malah jadi penghalangnya bagaimana bisa ditaati secara mutlak?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKelanjutannya kapan Ustadz ? Di tunggu....
BalasHapushttp://kawalitareng.blogspot.co.id/2015/12/kelemahan-tambahan-redaksi-memukul.html
HapusApakah bisa dikatakan hadits hudzaifah ini adalah khusus buat hidaifah sendiri bukan untuk umum.
BalasHapusMungkin dibeberapa kasus ada beberapa sahabat bertanya namun pertanyaannya sama tapi jawabannya berbeda
Jazakallahu khairan...wa barakallahu laka fi ilmika wa dawatika.
BalasHapus
BalasHapusMemahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
http://bogotabb.blogspot.co.id/
https://www.kiblat.net/2014/11/19/bilamana-berhukum-dengan-selain-hukum-allah-dianggap-kufur-akbar/
Anshari taslim menyebar syubhat
Hapussyubhatnya dimana? ini kan dalam rangka menyingkap syubhat yang selama ini diyakini sebagian ummat islam
Hapus