Sering terjadi kasus adalah membeli hewan kurban yang sesuai
syarat tapi setelah dititip ke masjid tiba-tiba hewan itu belekan atau ada
cacat yang baru muncul. Banyak orang tidak mau hewan seperti ini sehingga
mengembalikan ke penjual. Pernah pula terjadi waktu saya menjual hewan kurban,
konsumen mengembalikan kambing yang dia beli karena pengurus masjid mengatakan
belekan, padahal waktu belinya sehat.
Memang ada
dua pendapat para ulama dalam masalah ini. Madzhab Asy-Syafi'i dan Ahmad
membolehkannya karena yang penting saat dibeli hewan itu sesuai syarat dan bila
kurang syarat setelah dibeli maka itu tidak masalah, dan boleh dikurbankan.
Imam Asy-Syafi'i mengatakan dalam Al-Umm jilid 2 hal. 587 (terbitan Dar Al-Wafa):
وَإِذَا اشْتَرَى الرَّجُلُ الضَّحِيَّةَ فَلَمْ يُوجِبْهَا حَتَّى أَصَابَهَا مَا لاَ تَجُوزُ مَعَهُ بِحَضْرَةِ الذَّبْحِ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَهَا أَوْ قَبْلَ ذَلِكَ لَمْ تَكُنْ ضَحِيَّةٌ وَلَوْ أَوْجَبَهَا سَالِمَةً ثُمَّ أَصَابَهَا ذَلِكَ وَبَلَغَتْ أَيَّامَ الْأَضْحَى ضَحَّى بِهَا وَأَجْزَأَتْ عَنْهُ إنَّمَا أَنْظُرُ إلَى الضَّحِيَّةِ فِي الْحَالِ الَّتِي أَوْجَبَهَا فِيهَا
"Jika seseorang membeli hewan kurban tapi dia belum menentukannya sebagai kurban sampai hewan itu terkena sesuatu yang membuatnya tak boleh disembelih saat kurban sebelum dia menyembelihnya atau sebelum itu maka hewan tersebut bukan hewan kurban. Tapi kalau dia membelinya dalam keadaan sehat kemudian terkena (cacat) itu dan sampai pada hari kurban maka dia boleh menyembelihnya sebagai kurban dan itu sudah cukup baginya. Yang saya jadikan patokan di sini adalah keadaan hewan kurban itu waktu ditentukan (sebagai hewan kurban)."
إذَا أَوْجَبَ أُضْحِيَّةً صَحِيحَةً سَلِيمَةً مِنْ الْعُيُوبِ، ثُمَّ حَدَثَ بِهَا عَيْبٌ يَمْنَعُ الْإِجْزَاءَ، ذَبَحَهَا، وَأَجْزَأَتْهُ.
"Jika dia telah menentukan hewan kurbannya dalam keadaan sehat dan selamat dari segala cacat, kemudian terjadi kecacatan yang tak membolehkannya sebagai hewan kurban maka dia boleh menyembelihnya dan itu sah."
Sedangkan madzhab Hanafi dan Maliki tidak membolehkannya dan harus
diganti.
Al-Kasani dari madzhab Hanafi mengatakan dalam kitab Bada'i` Ash-Shana`i' jilid 6 hal. 316 (Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 2003):
وَلَوْ اشْتَرَى رَجُلٌ أُضْحِيَّةً وَهِيَ سَمِينَةٌ فَعَجِفَتْ عِنْدَهُ حَتَّى صَارَتْ بِحَيْثُ لَوْ اشْتَرَاهَا عَلَى هَذِهِ الْحَالَةِ لَمْ تُجْزِهِ إنْ كَانَ مُوسِرًا، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا أَجْزَأَتْهُ؛
"Kalau ada seseorang yang membeli hewan kurban dalam keadaan gemuk, lalu ketika ada di sisinya malah jadi kurus, sampai dalam kondisi yang kalau dia beli dengan kondisi itu tidak sah dijadikan kurban maka bagi orang mampu hewan itu tidak lagi bisa dijadikan kurban. Tapi kalau bagi yang tiadk mampu boleh dijadikan kurban."
Madzhab Hanafi membedakan antara orang kaya dengan orang miskin dalam hal ini.
Al-Kasani berkata lagi,
وَلَوْ اشْتَرَى أُضْحِيَّةً وَهِيَ صَحِيحَةٌ ثُمَّ أَعْوَرَتْ عِنْدَهُ وَهُوَ مُوسِرٌ أَوْ قُطِعَتْ أُذُنُهَا كُلُّهَا أَوْ أَلْيَتُهَا أَوْ ذَنَبُهَا أَوْ انْكَسَرَتْ رِجْلُهَا فَلَمْ تَسْتَطِعْ أَنْ تَمْشِيَ لَا تُجْزِي عَنْهُ
"Kalau dia membeli seekor hewan kurban yang sehat kemudian jadi buta ketika ada di sisinya sedang dia sendiri orang mampu, atau hewan itu terpotong telinga keseluruhan, atau pantatnya atau ekornya, atau kakinya patah, sehingga tak dapat berjalan maka tak lagi bisa dijadikan hewan kurban."
Sementara dari madzhab Maliki bersumber dari fatwa Imam Malik sendiri dalam kitab Al-Mudawwanah jilid 1 hal. 549:
قُلْتُ: أَرَأَيْتَ إنْ اشْتَرَيْت أُضْحِيَّةً وَهِيَ سَمِينَةٌ، فَعَجِفَتْ عِنْدِي أَوْ أَصَابَهَا عَمًى أَوْ عَوَرٌ، أَيُجْزِئُنِي أَنْ أُضَحِّيَ بِهَا فِي قَوْلِ مَالِكٍ؟
قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: لَا يُجْزِئُك، وَقَالَ مَالِكٌ: إذَا اشْتَرَى أُضْحِيَّةً فَأَصَابَهَا عِنْدَهُ عَيْبٌ أَوْ اشْتَرَاهَا بِذَلِكَ الْعَيْبِ لَمْ يُجْزِهِ، فَهِيَ لَا تُجْزِئُهُ إذَا كَانَ أَصَابَهَا ذَلِكَ بَعْدَ الشِّرَاءِ.
"Aku (Sahnun) bertanya, "Bagaimana pendapat anda kalau saya membeli seekor hewan kurban yang gemuk lalu ketika ada pada saya dia menjadi kurus, atau jadi buta, atau picek sebelah, apakah saya boleh mengurbankannya menurut pendapat Malik?"
Dia (Ibnu Al-Qasim) menjawab, "Malik mengatakan, kalau dia membeli hewan kurban kemudian terkena cacat (setelah dibeli) atau dia membelinya dalam keadaan cacat tersebut maka tidak bisa dijadikan kurban bila cacat itu mengenainya setelah dibeli."
Yang rajih adalah pendapat Syafi'i dan Ahmad
yang juga merupakan pendapat beberapa tabi'in seperti Az-Zuhri, Ibrahim
An-Nakha'i, Hasan Al-Bashri dan 'Atha` bin Abi Rabah.[1]
Az-Zuhri berkata, “Bila seseorang membeli hewan
kurbannya lalu sakit ketika sudah berada padanya atau mendapat sakit yang baru
maka itu tidak mengapa.”[2]
Dalil untuk pendapat ini adalah hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri yang berkata,
ابْتَعْنَا كَبْشًا نُضَحِّي بِهِ، فَأَصَابَ الذِّئْبُ مِنْ أَلْيَتِهِ أَوْ أُذُنِهِ، فَسَأَلْنَا النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَأَمَرَنَا أَنْ نُضَحِّيَ بِهِ
"Kami membeli seekor domba yang akan kami jadikan kurban, lalu dia digigit srigala sehingga memakan pantat dan ekornya. Kamipun menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau memerintahkan kami untuk berkurban dengannya." (HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan Ibnu Majah).Hadits ini merupakan nash dalam masalah ini. Hadits ini diriwayatkan dengan dua sanad, satu melalui jalur Jabir Al-Ju'fi dari Muhammad bin Qarazhah dan satu lagi dari Hajjaj bin Artha`ah dari 'Athiyyah Al-'Aufi. Sayang sanadnya dhaif karena di dalamnya ada Jabir Al-Ju'fi dan di sanad lain ada Hajjaj bin Artha`ah dan 'Athiyyah Al-Aufi yang kesemua mereka lemah tak bisa saling menguatkan.
Tapi bisa dikuatkan dengan hadits shahih dari Ibnu Abbas yang berkata, bahwa Dzu`aib Abu Qabishah menceritakan bahwa dia pernah disuruh Rasulullah membawa unta hady (kurban untuk haji di Mekah) dan beliau berpesan,
إِنْ عَطِبَ مِنْهَا شَيْءٌ، فَخَشِيتَ عَلَيْهِ مَوْتًا فَانْحَرْهَا، ثُمَّ اغْمِسْ نَعْلَهَا فِي دَمِهَا، ثُمَّ اضْرِبْ بِهِ صَفْحَتَهَا، وَلَا تَطْعَمْهَا أَنْتَ وَلَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ رُفْقَتِكَ
"Kalau ada di antara unta itu yang tak lagi sanggup berjalan (atau dapat kecelakaan) dan kamu khawatir dia akan mati maka potonglah, lalu kalungnya dicelup ke darahnya dan letakkan di sisinya. Sementara kamu dan teman-temanmu yang turut membawa tidak boleh memakannya sedikitpun."(HR. Muslim, no. 1326).
Hadits senada datang dari riwayat Najiyah Al-Aslami radhiyallahu anhu dalam sunan Abi Daud, no. 1762 dengan sanad yang shahih.
Hadits ini bicara tentang hadyu, maka bisa dikiaskan dengan udh-hiyah, karena perbedaannya hanyalah bahwa hadyu itu di Mekah sedangkan di luar Mekah dinamakan Udh-hiyah.
Juga ada riwayat mauquf dari Abdullah bin
Zubair yg diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra di dua tempat
yaitu jilid 5 hal. 397 dan jilid 9 hal. 486 dan juga dalam kitabnya yg lain
yaitu Ma'rifatu Sunan wal Atsar jilid 14 hal. 51, dan di sana dia mengatakan
sanadnya shahih:
أَخْبَرَنَا أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ , أنا أَبُو عَبْدِ اللهِ الشَّيْبَانِيُّ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ , أنا جَعْفَرُ بْنُ عَوْنٍ , أنا مِسْعَرٌ , عَنْ أَبِي حَصِينٍ أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ رَأَى هَدْيًا له فِيهَا نَاقَةٌ عَوْرَاءُ، فَقَالَ: "إِنْ كَانَ أَصَابَهَا بَعْدَ مَا اشْتَرَيْتُمُوهَا فَأَمْضُوهَا، وَإِنْ كَانَ أَصَابَهَا قَبْلَ أَنْ تَشْتَرُوهَا فَأَبْدِلُوهَا."
Abu Zakariya bin Abi Ishaq mengabarkan kepada kami, Abu Abdullah
Asy-Syaibani mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abdul Wahhab menceritakan
kepada kami, Ja’far bin ‘Aun mengabarkan kepada kami, Mis’ar mengabarkan kepada
kami, dari Abu Hushain bahwa Ibnu Zubair melihat ada hewan kurbannya yaitu
seekor unta betina yang buta sebelah, maka dia berkata, “Kalau itu
menimpanya SETELAH kalian beli maka lanjutkan, tapi kalau dia sudah
begitu SEBELUM kalian beli maka gantilah.”
Atsar ini juga dishahihkan oleh An-Nawawi dalam
Al Majmu' syarh Al Muhadzdzab 8/363.
Setelah mengecek satu persatu riwayatnya, maka sanad ini memang shahih:
Ø Guru Al Baihaqi adalah Abu Zakariya Yahya bin Ibrahim bin Muhammad Al
Muzakki, tsiqah mutqin (Lihat As-Siyar 17/295)
Ø Abu Abdullah Asy-Syaibani di sini adalah Muhammad bin Ya'qub Ibnu Akhram
al hafizh, al mutqin al hujjah. (As-Siyar 15/466).
Ø Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Al Farra` tsiqah (lihat Tahdzib
Al-Kamal jilid 26 hal. 29 dan seterusnya).
Ø Ja’far bin ‘Aun terkenal dan tsiqah.
Ø Mis’ar di sini adalah adalah Ibnu Kidam, karena dialah yang biasa
meriwayatkan dari Abu Hushain Utsman bin ‘Ashim, dan Ja’far bin ‘Aun memang
biasa meriwayatkan darinya. (Lihat Tahdzib Al-Kamal 27/461 dan seterusnya).
Ø Abu Hushain di sini adalah Utsman bin 'Ashim memang biasa meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair. Tapi
Al-Hafizh dalam At-Taqrib menyebutkan, “Tsiqah, tsabat, sunni tapi ada
kemungkinan mentadlis”, maka pernyataan ini dikoreksi oleh Syuaib Al-Arnauth
dan Basysyar Awwad Ma’ruf dalam kitab Tahrir Taqrib At-Tahdzib jilid 2 hal. 439
bahwa tidak ada yang mendahuluinya mengatakan demikian. Kemungkinan sandarannya
adalah pernyataan Ibnu Hibban bahwa dia meninggal dunia pada tahun 128 H dan
termasuk atba’ tabi’in, sehingga periwayatannya dari para sahabat adalah
mursal. Padahal Ibnu Hibban sendiri tidak mengatakan demikian. Hanya saja Ibnu
Ma’in mengatakan dia tidak bertemu dengan Ibnu Abbas. Sementara Abdullah bin
Zubair sendiri wafat terbunuh pada tahun 73 H. Maka jarak wafat mereka berdua
masih memungkinkan untuk bertemu. Lagi pula tidak ada ulama yang memasukkan
Utsman bin ‘AShim sebagai mudallis, bahkan Ibnu Hajarpun tidak memasukkannya
dalam daftar Ta’rif Ahlit Taqdis, hanya saja salah seorang muhaqqiq kitab
tersebut yaitu Dr ‘Ashim bin Abdullah Al-Qaryuthi menambahkan dalam lampirannya
berdasarkan pernyataan Al-Hafizh tersebut. Melihat dari kalimatnya memang
Al-Hafizh sendiri ragu akan tadlis itu, sehingga tidak bisa dijadikan dasar
menjatuhkan nilai riwayat Abu Hushain dari Ibnu Zubair meski dengan ‘an’anah.
Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Disempurnakan pada 19
Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar