Seorang
pengusaha muda mendapat tawaran memasok buah ke sebuah diskotek dan karaoke
dengan jumlah order menggiurkan. Tapi dia berpikir, mungkin secara akad jual
beli bisa saja sah, tapi bukankah dia menjadi pemberi support kepada kegiatan
maksiat yaitu berdisko muda mudi bercampur dengan alunan musik belum lagi
ditambah minuman keras di sana? Akhirnya dia
tak menerima tawaran itu karena takut dosa kepada Allah.
Sungguh
sikap yang luar biasa, terpancar dari cahaya iman dalam dada, karena memang
begitulah dunia usaha, terlalu banyak godaan menerpa, umumnya berupa iming-iming
peningkatan laba, tapi kadang pula bisa bersenggolan dengan dosa.
Allah
Ta’ala sebagai Tuhan yang maha memberi rejeki sudah menetapkan batasan mana
yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan seorang hamba yang beriman. Rejeki
telah ditentukan, mau pakai cara halal maupun haram rejeki itu tetap akan didapatkan.
Tinggal manusia mau memilih cara mana, cara halal berdampak ridha Tuhan,
ataukah cara haram dengan buruknya balasan.
Meninggalkan
sesuatu yang mengasyikkan apalagi menjadi lumbung harta karena takut itu dosa
memang tidaklah mudah. Umumnya kita merasa kesempatan tak datang dua kali,
sehingga secara bisnis meninggalkan sebuah kesempatan hanya karena hal yang
tidak tampak seperti ketakutan akan dosa dan semisalnya adalah sebuah kerugian.
Akan tetapi dalam Islam tidaklah demikian, Allah Ar-Razzaq (yang maha pemberi rejeki) Al-Ghani (maha kaya) memberikan
janji bahwa setiap hamba yang bertakwa kepada-Nya akan diberikan rejeki yang
tak terduga-duga. Firman-Nya,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
”....Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia
akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.....”
(Qs. Ath-Thalaq : 2-3).
Takut
dosa termasuk bagian dari takwa. Toh takwa itu sendiri arti dasarnya adalah
takut. Tidak hanya akan diberi rejeki dan jalan keluar, Allah tambahkan lagi
kepastian bahwa siapa yang bertawakkal kepada Allah maka itu sudah cukup buat
kehidupannya. Kalau Allah sudah mencukupi kehidupan kita masih ada lagikah yang
perlu dikhawatirkan?
Tak
ketinggalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberi motivasi bagi
orang yang meninggalkan sesuatu karena mencari keridhaan Allah. Waki’ bin
Jarrah meriwayatkan dalam kitab Az-Zuhd:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ، وَأَبِي الدَّهْمَاءِ قَالَا: أَتَيْنَا عَلَى رَجُلٍ مِنْ
أَهْلِ الْبَادِيَةِ، فَقُلْنَا لَهُ: هَلْ سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّكَ لَمْ تَدَعْ شَيْئًا لِلَّهِ
إِلَّا أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ»
”Sulaiman
bin Al-Mughirah menceritakan kepada kami, dari Humaid bin Hilal Al-‘Adawi, dari
Abu Qatadah dan Abu Ad-Dahma` yang berkata, “Kami mendatangi seorang arab badui
dan kami bertanya padanya, “Apakah anda pernah mendengar sesuatu dari
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, aku pernah
mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Engkau tidak akan meninggalkan sesuatu
karena Allah, kecuali Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik dari itu.”
(Kitab Az-Zuhd jilid 2 hal. 635, nomor: 356, cetakan Maktabah
Ad-Daar Madinah tahun 1984).
Hadits ini
juga dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnadnya jilid 34 hal. 342, no. 20739 dari
Ismail bin Ulayyah dari Sulaiman bin Al-Mughirah, dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth.
Tidak disebutkannya nama si arab badui tersebut tidak menjadi masalah karena
dia adalah sahabat Nabi.
Waki’ juga
menyebutkan riwayat dari Ubay bin Ka’b:
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي هَارُونَ الْغَنَوِيِّ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ
شَدَّادٍ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ أَبِي بْنِ كَعْبٍ قَالَ: «مَا مِنْ
عَبْدٍ تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلَّا أَبْدَلَهُ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ
مِنْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ، وَلَا تَهَاوَنَ بِهِ عَبْدٌ، فَأَخَذَ مِنْ
حَيْثُ لَا يَصْلُحُ إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ بِمَا هُوَ أَشَدُّ عَلَيْهِ»
“Yazid bin
Ibrahim menceritakan kepada kami, dari Abu Haruan Al-Ghanawi, dari Muslim bin
Syaddad, dari Ubaid bin Umair, dari Ubay bin Ka’b yang berkata,
“Tidak ada satupun hamba yang meninggalkan sesuatu karena
Allah, kecuali Allah akan menggantinya dengan apa yang lebih baik dari itu dari
arah yang tidak dia sangka. Tidak pula seorang hamba meremehkan hal tersebut,
sehingga dia mengambilnya dengan cara yang tidak seharusnya kecuali Allah akan
menimpakan apa yang lebih sulit lagi baginya.”
(Az-Zuhd Op.cit nomor 355).
Isnadnya
hasan, para perawinya tsiqah kecuali Muslim bin Syaddad yang dianggap tsiqah
oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqat (7/445, no. 10849) dan Al-Ijli dalam
kitabnya Ats-Tsiqat (2/277), yang meriwayatkan darinya adalah dua orang yang
tsiqah, maka statusnya bisa menjadi hasan. Wallahu a’lam.
Ada lagi
riwayat marfu’ dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Awliya` tapi dianggap maudhu’ oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah (1/61,
no. 5).
Perlu
latihan memang untuk menerapkan ini dalam kehidupan kita, terutama untuk
hal-hal yang masih samar (syubhat), tapi siapa yang meninggalkan syubhat maka
dia selamat, dan yang melanggarnya berarti dia jatuh pada larangan bagaikan
pengembala yang mengembal di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan dia akan
terjatuh ke dalamnya.
Daging sapi dalam belanga
Campurkan garam kecap dan cuka
Kalaulah rejeki takkan kemana
Halal dan haram pilihlah cara
Anshari Taslim
Bekasi, 6 Pebruari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar