Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' Fatawa:
وَأَمَّا الصَّلَاةُ خَلْفَ
مَنْ يَكْفُرُ بِبِدْعَتِهِ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ فَهُنَاكَ قَدْ تَنَازَعُوا
فِي نَفْسِ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ خَلْفَهُ. وَمَنْ قَالَ إنَّهُ يَكْفُرُ أُمِرَ
بِالْإِعَادَةِ لِأَنَّهَا صَلَاةٌ خَلْفَ كَافِرٍ لَكِنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ مُتَعَلِّقَةٌ
بِتَكْفِيرِ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالنَّاسُ مُضْطَرِبُونَ فِي هَذِهِ
الْمَسْأَلَةِ. وَقَدْ حُكِيَ عَنْ مَالِكٍ فِيهَا رِوَايَتَانِ وَعَنْ
الشَّافِعِيِّ فِيهَا قَوْلَانِ. وَعَنْ الْإِمَامِ أَحْمَد أَيْضًا فِيهَا
رِوَايَتَانِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ الْكَلَامِ فَذَكَرُوا لِلْأَشْعَرِيِّ فِيهَا
قَوْلَيْنِ. وَغَالِبُ مَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ فِيهَا تَفْصِيلٌ.
Adapun shalat di belakang ahli bid’ah yang sudah
dikafirkan maka ada perbedaan pendapat tentang shalat Jum’at di belakangnya.
Siapa yang mengatakan bahwa dia telah kafir maka shalatnya harus diulang,
karena itu sama saja shalat di belakang orang kafir. Tapi masalah ini berkaitan
dengan pengkafiran pengikut aliran sesat, dan orang-orang punya pendapat
inkonsisten dalam hal ini. Ada nukilan bahwa Malik punya dua riwayat tentang
ini serta Asy-Syafi’i juga punya dua qaul, Ahmad juga punya dua riwayat.
Demikian pula ahli kalam, mereka menyebutkan bahwa Al-Asy’ari punya dua
pendapat. Umumnya para imam mempunyai rincian dalam masalah ini.
وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ فِي
ذَلِكَ: أَنَّ الْقَوْلَ قَدْ يَكُونُ كُفْرًا فَيُطْلَقُ الْقَوْلُ بِتَكْفِيرِ
صَاحِبِهِ وَيُقَالُ مَنْ قَالَ كَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لَكِنَّ الشَّخْصَ
الْمُعَيَّنَ الَّذِي قَالَهُ لَا يُحْكَمُ بِكُفْرِهِ حَتَّى تَقُومَ عَلَيْهِ
الْحُجَّةُ الَّتِي يَكْفُرُ تَارِكُهَا. وَهَذَا كَمَا فِي نُصُوصِ الْوَعِيدِ
فَإِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَقُولُ: {إنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا}
Inti dari
masalah ini adalah bahwa sebuah pendapat kadang bisa jadi kafir, sehingga
dimutlakkanlah kekafiran pada penganutnya, sehingga bisa dikatakan, ”Siapa yang
mengatakan begini maka dia kafir”. Akan tetapi individu tertentu yang
mengatakannya belum bisa divonis kafir sampai ditegakkan hujjah atasnya yang
mana kalau diabaikan maka yang mengabaikan bisa dikafirkan.
Ini sebagaimana dalam nash tentang ancaman, dimana Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
(Qs. An-Nisa` : 10)
فَهَذَا وَنَحْوُهُ مِنْ
نُصُوصِ الْوَعِيدِ حَقٌّ لَكِنَّ الشَّخْصَ الْمُعَيَّنَ لَا يُشْهَدُ عَلَيْهِ
بِالْوَعِيدِ فَلَا يُشْهَدُ لِمُعَيَّنِ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِالنَّارِ
لِجَوَازِ أَنْ لَا يَلْحَقَهُ الْوَعِيدُ لِفَوَاتِ شَرْطٍ أَوْ ثُبُوتِ مَانِعٍ
فَقَدْ لَا يَكُونُ التَّحْرِيمُ بَلَغَهُ وَقَدْ يَتُوبُ مِنْ فِعْلِ
الْمُحَرَّمِ وَقَدْ تَكُونُ لَهُ حَسَنَاتٌ عَظِيمَةٌ تَمْحُو عُقُوبَةَ ذَلِكَ
الْمُحَرَّمِ وَقَدْ يُبْتَلَى بِمَصَائِبَ تُكَفِّرُ عَنْهُ وَقَدْ يَشْفَعُ
فِيهِ شَفِيعٌ مُطَاعٌ
Yang seperti ini
jelas bahwa nash ancamannya pasti benarnya tapi tidak bisa memastikan seseorang
tertentu yang melakukan perbuatan terancam itu mendapatkan siksa. Maka, tidak
boleh memastikan seorang ahli kiblat (muslim) akan masuk neraka karena bisa
jadi dia tidak terkena ancaman karena kurang syarat, atau karena ada mani’
(penghalang). Bisa jadi dia belum tahu kalau ada pengharaman, atau bisa jadi
dia bertobat dari perbuatan haram, atau bisa jadi dia punya amalan-amalan baik
yang bisa menghapus dosa-dosanya, atau dia ditimpa musibah yang itu bisa
menghapus dosanya, atau dia mendapat syafaat dari pemberi syafaat.
وَهَكَذَا الْأَقْوَالُ
الَّتِي يَكْفُرُ قَائِلُهَا قَدْ يَكُونُ الرَّجُلُ لَمْ تَبْلُغْهُ النُّصُوصُ
الْمُوجِبَةُ لِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ وَقَدْ تَكُونُ عِنْدَهُ وَلَمْ تَثْبُتْ
عِنْدَهُ أَوْ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فَهْمِهَا وَقَدْ يَكُونُ قَدْ عَرَضَتْ لَهُ
شُبُهَاتٌ يَعْذُرُهُ اللَّهُ بِهَا فَمَنْ كَانَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ مُجْتَهِدًا
فِي طَلَبِ الْحَقِّ وَأَخْطَأَ فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ لَهُ خَطَأَهُ كَائِنًا
مَا كَانَ سَوَاءٌ كَانَ فِي الْمَسَائِلِ النَّظَرِيَّةِ أَوْ الْعَمَلِيَّةِ
هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَجَمَاهِيرُ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ وَمَا قَسَّمُوا الْمَسَائِلَ إلَى مَسَائِلِ
أُصُولٍ يَكْفُرُ بِإِنْكَارِهَا وَمَسَائِلِ فُرُوعٍ لَا يَكْفُرُ
بِإِنْكَارِهَا.
Demikianlah
perkataan dimana pengucapnya bisa dihukumi kafir, bisa jadi orang itu belum
tahu akan adanya nash yang mengkafirkannya sehingga dia belum tahu, atau dia
sudah tahu tapi menurutnya nash itu tidak shahih, atau dia salah dalam
memahaminya, atau dia punya syubhat yang dengan itu dia diberi uzur oleh Allah.
Orang mukmin yang berijtihad mencari kebenaran lalu kemudian dia salah maka
Allah akan mengampuni kesalahannya –apapun yang terjadi- baik dalam masalah
nazhariyyah maupun amaliyyah. Inilah yang menjadi pendapat para sahabat
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mayoritas imam ulama Islam. Mereka
tidak membedakan masalah menjadi masalah ushul yang dikafirkan pengingkarnya
atau masalah furu’ yang tidak dikafirkan pengingkarnya.
فَأَمَّا التَّفْرِيقُ
بَيْنَ نَوْعٍ وَتَسْمِيَتِهِ مَسَائِلَ الْأُصُولِ وَبَيْنَ نَوْعٍ آخَرَ وَتَسْمِيَتِهِ
مَسَائِلَ الْفُرُوعِ فَهَذَا الْفَرْقُ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ لَا عَنْ الصَّحَابَةِ
وَلَا عَنْ التَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانِ وَلَا أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ
وَإِنَّمَا هُوَ مَأْخُوذٌ عَنْ الْمُعْتَزِلَةِ وَأَمْثَالِهِمْ مِنْ أَهْلِ
الْبِدَعِ وَعَنْهُمْ تَلَقَّاهُ مَنْ ذَكَرَهُ مِنْ الْفُقَهَاءِ فِي كُتُبِهِمْ
Adapun
membedakan antara jenis dan penamaannya masalah ushul (pokok) dan jenis lain
yang bernama masalah furu’ (cabang) maka pembedaan ini tidak ada dasarnya dari
para sahabat, tidak pula dari para tabi’in yang mengikuti para sahabat dalam
kebaikan, bahkan tidak pula dari imam kaum muslimin. Teori ini hanya diperoleh
dari Mu’tazilah dan yang setipe dengannya dari kalangan ahli bid’ah. Dari
merekalah kemudian para fukaha menukilnya dalam kitab-kitab mereka.
وَهُوَ تَفْرِيقٌ
مُتَنَاقِضٌ فَإِنَّهُ يُقَالُ لِمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ النَّوْعَيْنِ: مَا حَدُّ
مَسَائِلِ الْأُصُولِ الَّتِي يَكْفُرُ الْمُخْطِئُ فِيهَا؟ وَمَا الْفَاصِلُ
بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَسَائِلِ الْفُرُوعِ؟ فَإِنْ قَالَ: مَسَائِلُ الْأُصُولِ
هِيَ مَسَائِلُ الِاعْتِقَادِ وَمَسَائِلُ الْفُرُوعِ هِيَ مَسَائِلُ الْعَمَلِ.
قِيلَ لَهُ: فَتَنَازَعَ النَّاسُ فِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَلْ رَأَى رَبَّهُ أَمْ لَا؟ وَفِي أَنَّ عُثْمَانَ أَفْضَلُ مِنْ
عَلِيٍّ أَمْ عَلِيٌّ أَفْضَلُ؟ وَفِي كَثِيرٍ مِنْ مَعَانِي الْقُرْآنِ
وَتَصْحِيحِ بَعْضِ الْأَحَادِيثِ هِيَ مِنْ الْمَسَائِلِ الِاعْتِقَادِيَّةِ
الْعِلْمِيَّةِ وَلَا كُفْرَ فِيهَا بِالِاتِّفَاقِ وَوُجُوبُ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ
وَالْحَجِّ وَتَحْرِيمِ الْفَوَاحِشِ وَالْخَمْرِ هِيَ مَسَائِلُ عَمَلِيَّةٌ
وَالْمُنْكِرُ لَهَا يَكْفُرُ بِالِاتِّفَاقِ.
Sebenarnya
pembagian ini adalah pembagian yang kontradiktif, karena bisa dikatakan kepada
orang yang membedakan antara kedua jenis ini: Apa batasan masalah ushul yang
mana kalau salah berpendapat tentangnya akan dihukumi kafir? Kalau dia katakan
permasalahan ushul (pokok agama) adalah masalah keyakinan (akidah) sedangkan
masalah furu’ (cabang) adalah masalah amal. Maka ini bisa dikritisi kembali,
perdebatan pendapat apakah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam melihat
Tuhannya pada malam mi’raj, serta apakah Utsman lebih utama daripada Ali atau
sebaliknya, serta banyak masalah dalam memaknai Al Quran dan hadits-hadits yang
berhubungan dengan akidah ilmiyyah, tidak ada kekafiran di dalamnya. Juga
tentang wajibnya shalat, zakat, puasa haji dan haramnya mengerjakan perbuatan
keji dan khamer adalah masalah amaliyyah tapi siapa yang mengingkarinya akan
dikafirkan berdasarkan kesepakatan semua ulama.
وَإِنْ قَالَ الْأُصُولُ:
هِيَ الْمَسَائِلُ الْقَطْعِيَّةُ قِيل لَا: كَثِيرٌ مِنْ مَسَائِلِ الْعَمَلِ
قَطْعِيَّةٌ وَكَثِيرٌ مِنْ مَسَائِلِ الْعِلْمِ لَيْسَتْ قَطْعِيَّةً وَكَوْنُ
الْمَسْأَلَةِ قَطْعِيَّةً أَوْ ظَنِّيَّةً هُوَ مِنْ الْأُمُورِ الْإِضَافِيَّةِ
وَقَدْ تَكُونُ الْمَسْأَلَةُ عِنْدَ رَجُلٍ قَطْعِيَّةً لِظُهُورِ الدَّلِيلِ
الْقَاطِعِ لَهُ كَمَنْ سَمِعَ النَّصَّ مِنْ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَتَيَقَّنَ مُرَادَهُ مِنْهُ. وَعِنْدَ رَجُلٍ لَا تَكُونُ ظَنِّيَّةً
فَضْلًا عَنْ أَنْ تَكُونَ قَطْعِيَّةً لِعَدَمِ بُلُوغِ النَّصِّ إيَّاهُ أَوْ
لِعَدَمِ ثُبُوتِهِ عِنْدَهُ أَوْ لِعَدَمِ تَمَكُّنِهِ مِنْ الْعِلْمِ
بِدَلَالَتِهِ.
Kalau dia
katakan, masalah ushul adalah masalah-masalah yang bersifat qath’iy, maka bisa
dikritisi bahwa banyak masalah amaliyyah juga bersifat qath’iy, dan banyak pula
masalah ilmiyyah yang tidak qath’iy. Sebuah masalah menjadi qath’iy atau tidak
bersifat relatif, karena bisa jadi menurut orang tertentu masalah tersebut
qath’iy seperti orang yang mendengar langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan yakin dengan apa yang dimaksud dari ucapan beliau, tapi menurut
orang lain hal itu janganlah qath’iy bahkan zhannipun tidak, karena dia belum pernah
mendengarnya atau menurutnya tidak tsabit riwayatnya, atau karena dia tidak
menguasa ilmu mengenai maksud nash itu.
وَقَدْ ثَبَتَ فِي
الصِّحَاحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدِيثُ الَّذِي
قَالَ لِأَهْلِهِ: " {إذَا أَنَا مُتّ فَأَحْرِقُونِي ثُمَّ اسْحَقُونِي
ثُمَّ ذروني فِي الْيَمِّ فَوَاَللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيَّ
لَيُعَذِّبُنِي اللَّهُ عَذَابًا مَا عَذَّبَهُ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ.
فَأَمَرَ اللَّهُ الْبَرَّ بِرَدِّ مَا أَخَذَ مِنْهُ وَالْبَحْرَ بِرَدِّ مَا أَخَذَ
مِنْهُ وَقَالَ: مَا حَمَلَك عَلَى مَا صَنَعْت؟ قَالَ خَشْيَتَك يَا رَبِّ
فَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ} فَهَذَا شَكَّ فِي قُدْرَةِ اللَّهِ. وَفِي الْمَعَادِ
بَلْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يَعُودُ وَأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ اللَّهُ عَلَيْهِ إذَا
فَعَلَ ذَلِكَ وَغَفَرَ اللَّهُ لَهُ. وَهَذِهِ الْمَسَائِلُ مَبْسُوطَةٌ فِي
غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ.
Dalam
kitab-kitab shahih telah tsabit hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
yang menceritakan tentang seseorang yang berpesan kepada keluarganya, “Kalau
aku mati maka bakarlah diriku, lalu jadikan aku tepung, dan buang tepung diriku
itu ke dalam lautan. Demi Allah, sekiranya Allah bisa mendapati aku (dalam
keadaan utuh) niscaya dia akan mengazabku dengan azab yang belum pernah Dia
timpakan kepada siapapun di alam ini. Lalu Allah menyuruh daratan untuk
mengumpulkan kembali apa yang telah dia ambil dari tubuh orang itu, lautan juga
diperintahkan mengumpulkan kembali apa yang terambil darinya. Kemudian Allah
berfirman kepadanya, “Apa yang membuatmu melakukan hal ini?” Dia menjawab,
“Karena aku takut kepada-Mu wahai Tuhanku.” Akhirnya Allah malah mengampuninya.
Orang ini ragu
akan takdir Allah di hari kebangkitan, bahkan dia mengira dia tidak bisa
dikembalikan (dalam bentuk semula setelah mati). Parahnya lagi, dia mengira
Allah tidak akan mampu melakukan itu (mengembalikannya ke bentuk semula), tapi
Allah malah mengampuninya. Masalah-masalah ini akan dibicarakan di tempat lain.
وَلَكِنَّ الْمَقْصُودَ
هُنَا أَنَّ مَذَاهِبَ الْأَئِمَّةِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى هَذَا التَّفْصِيلِ بَيْنَ
النَّوْعِ وَالْعَيْنِ وَلِهَذَا حَكَى طَائِفَةٌ عَنْهُمْ الْخِلَافَ فِي ذَلِكَ
وَلَمْ يَفْهَمُوا غَوْرَ قَوْلِهِمْ
Akan tetapi
maksud di sini adalah bahwa madzhab-madzhab para imam terbangun atas rincian
ini, membedakan antara takfir nau’ (mengkafirkan jenis perbuatan) dengan
takfir ‘ain (mengkafirkan individu pelaku perbuatan itu). Makanya ada
sebagian mereka yang menyatakan ada perbedaan pendapat tentang
itu, dan mereka tidak memahami kedalaman maknanya.
فَطَائِفَةٌ
تَحْكِي عَنْ أَحْمَد فِي تَكْفِيرِ أَهْلِ الْبِدَعِ رِوَايَتَيْنِ مُطْلَقًا
حَتَّى تَجْعَلَ الْخِلَافَ فِي تَكْفِيرِ الْمُرْجِئَةِ وَالشِّيعَةِ
الْمُفَضِّلَةِ لِعَلِيِّ وَرُبَّمَا رَجَّحَتْ التَّكْفِيرَ وَالتَّخْلِيدَ فِي
النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مَذْهَبَ أَحْمَد وَلَا غَيْرِهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْإِسْلَامِ
بَلْ لَا يَخْتَلِفُ قَوْلُهُ أَنَّهُ لَا يُكَفِّرُ الْمُرْجِئَةَ الَّذِينَ
يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ قَوْلٌ بِلَا عَمَلٍ وَلَا يُكَفِّرُ مَنْ يُفَضِّلُ
عَلِيًّا عَلَى عُثْمَانَ بَلْ نُصُوصُهُ صَرِيحَةٌ بِالِامْتِنَاعِ مِنْ
تَكْفِيرِ الْخَوَارِجِ وَالْقَدَرِيَّةِ وَغَيْرِهِمْ. وَإِنَّمَا كَانَ
يُكَفِّرُ الْجَهْمِيَّة الْمُنْكِرِينَ لِأَسْمَاءِ اللَّهِ وَصِفَاتِهِ؛ لِأَنَّ
مُنَاقَضَةَ أَقْوَالِهِمْ لِمَا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ظَاهِرَةٌ بَيِّنَةٌ: وَلِأَنَّ حَقِيقَةَ قَوْلِهِمْ تَعْطِيلُ
الْخَالِقِ وَكَانَ قَدْ اُبْتُلِيَ بِهِمْ حَتَّى عَرَفَ حَقِيقَةَ أَمْرِهِمْ
وَأَنَّهُ يَدُورُ عَلَى التَّعْطِيلِ وَتَكْفِيرُ الْجَهْمِيَّة مَشْهُورٌ عَنْ
السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ.
Ada sebagian
menukil pernyataan Ahmad dalam masalah mengkafirkan ahli bid’ah menjadi dua
versi riwayat, bahkan mereka sampai menyatakan adanya perbedaan riwayat (dari
Ahmad) dalam mengkafirkan Murji`ah, syi’ah yang melebihkan Ali. Bahkan ada saja
yang malah merajihkan pendapat bahwa kelompok tersebut kafir dan kekal di
neraka. Padahal itu sama sekali bukan madzhab Ahmad bahkan tidak ada imam Islam
yang berpendapat seperti itu. Justru tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
mereka bahwa Murji`ah yang mengatakan bahwa iman itu hanya ucapan tanpa amal,
dan syiah yang hanya melebihkan Ali dibanding Utsman tidaklah kafir. Bahkan,
nash-nash Ahmad jelas melarang pengkafiran Khawarij, Qadariyyah dan lain-lain.
Dia hanya mengkafirkan Jahmiyyah yang mengingkari adanya nama dan sifat Allah,
karena pendapat mereka itu jelas bertentangan dengan apa yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan keterangan yang sangat jelas.
Sebab, hakekat dari perkataan mereka adalah ta’thil (merusak eksistensi)
ketuhanan sang pencipta. Lagi pula Imam Ahmad pernah mendapat siksaan gara-gara
mereka ini (Jahmiyyah) sampai dia benar-benar paham inti pendapat mereka, dan
bahwa itu bermuara pada ta’thil. Pengkafiran Jahmiyyah sudah terkenal di
kalangan salaf dan para imam.
لَكِنْ مَا كَانَ يُكَفِّرُ
أَعْيَانَهُمْ فَإِنَّ الَّذِي يَدْعُو إلَى الْقَوْلِ أَعْظَمُ مِنْ الَّذِي
يَقُولُ بِهِ وَاَلَّذِي يُعَاقِبُ مُخَالِفَهُ أَعْظَمُ مِنْ الَّذِي يَدْعُو
فَقَطْ وَاَلَّذِي يُكَفِّرُ مُخَالِفَهُ أَعْظَمُ مِنْ الَّذِي يُعَاقِبُهُ
وَمَعَ هَذَا فَاَلَّذِينَ كَانُوا مِنْ وُلَاةِ الْأُمُورِ يَقُولُونَ بِقَوْلِ
الْجَهْمِيَّة: إنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُرَى فِي
الْآخِرَةِ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَيَدْعُونَ النَّاسَ إلَى ذَلِكَ ويمتحنونهم
وَيُعَاقِبُونَهُمْ إذَا لَمْ يُجِيبُوهُمْ وَيُكَفِّرُونَ مَنْ لَمْ يُجِبْهُمْ.
حَتَّى أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا أَمْسَكُوا الْأَسِيرَ لَمْ يُطْلِقُوهُ حَتَّى
يُقِرَّ بِقَوْلِ الْجَهْمِيَّة: إنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ.
وَلَا يُوَلُّونَ مُتَوَلِّيًا وَلَا يُعْطُونَ رِزْقًا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ
إلَّا لِمَنْ يَقُولُ ذَلِكَ وَمَعَ هَذَا فَالْإِمَامُ أَحْمَد رَحِمَهُ اللَّهُ
تَعَالَى تَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُمْ
لِمَنْ يُبَيِّنُ لَهُمْ أَنَّهُمْ مُكَذِّبُونَ لِلرَّسُولِ وَلَا جَاحِدُونَ
لِمَا جَاءَ بِهِ وَلَكِنْ تَأَوَّلُوا فَأَخْطَئُوا وَقَلَّدُوا مَنْ قَالَ
لَهُمْ ذَلِكَ.
Meski begitu,
beliau tidak mengkafirkan individunya. Orang yang mendakwahkan sebuah pendapat
tentu lebih parah daripada yang hanya sekedar menyetujui pendapat itu. Apalagi
sampai menyiksa orang lain dan memaksanya mengikuti pendapat tersebut akan
lebih parah dari sekedar pendakwahnya, juga yang mengkafirkan orang yang
menyelisihinya lebih parah daripada yang sekedar menyiksa. Meski demikian, para
pemimpin yang berpendapat dengan madzhab Jahmiyyah bahwa Al Quran itu makhluk
dari Allah tidak dapat dilihat di akhirat serta pendapat lainnya, menyeru
manusia untuk menganut madzhab itu, menguji mereka dengannya bahkan sampai
menyiksa siapa yang tidak sependapat atau mengkafirkan yang tidak setuju.
Sampai-sampai kalau ada warga mereka yang tertawan musuh, maka mereka
tidak akan menebusnya kecuali kalau orang itu setuju dengan pendapat Jahmiyyah
bahwa Al Quran itu makhluk dan berbagai pendapat lainnya. Para pemimpin
tersebut juga tidak memberikan bagian dari Baitul Mal. Meski demikian, Imam
Ahmad –rahimahullah Ta’ala- masih mendoakan agar mereka dikasihi Allah
(tarhim), memintakan ampun untuk mereka, karena beliau tahu bahwa mereka tidak
tahu kalau mereka sudah mendustakan Rasul. Mereka juga tidak bermaksud
mengingkari apa yang dibawa oleh Rasul, mereka hanya salah menakwil dan
ikut-ikutan dengan orang yang menagajari mereka berpaham seperti itu.
وَكَذَلِكَ الشَّافِعِيُّ
لَمَّا قَالَ لِحَفْصِ الْفَرْدِ حِينَ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ: كَفَرْت
بِاَللَّهِ الْعَظِيمِ. بَيَّنَ لَهُ أَنَّ هَذَا الْقَوْلَ كُفْرٌ وَلَمْ
يَحْكُمْ بِرِدَّةِ حَفْصٍ بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُ
الْحُجَّةُ الَّتِي يَكْفُرُ بِهَا وَلَوْ اعْتَقَدَ أَنَّهُ مُرْتَدٌّ لَسَعَى
فِي قَتْلِهِ وَقَدْ صَرَّحَ فِي كُتُبِهِ بِقَبُولِ شَهَادَةِ أَهْلِ
الْأَهْوَاءِ وَالصَّلَاةِ خَلْفَهُمْ.
Demikian pula
Asy-Syafi’i ketika dia mendengar Hafsh Al Fard yang berkata bahwa Al Quran itu
makhluk, maka Asy-Syafi’i berkata, “Kamu telah kafir kepada Allah yang maha
agung.” Asy-Syafi’i menerangkan kepadanya bahwa ucapan itu adalah ucapan kufur.
Tapi dia sendiri tidak memvonis Hafsh telah murtad hanya lantaran ucapan itu,
karena belum jelas baginya hujjah yang bisa mengkafirkannya. Kalau dia yakin
bahwa Hafsh murtad tentu dia sudah berusaha membunuhnya. Dalam kitab-kitabnya
juga Asy-Syafi’i menegaskan boleh shalat di belakang pendukung aliran sesat dan
diterimanya persaksian mereka.
وَكَذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ
رَحِمَهُ اللَّهُ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَد فِي الْقَدَرِيِّ: إنْ جَحَدَ عِلْمَ
اللَّهِ كَفَرَ وَلَفْظُ بَعْضِهِمْ نَاظَرُوا الْقَدَرِيَّةَ بِالْعِلْمِ فَإِنْ
أَقَرُّوا بِهِ خَصَمُوا وَإِنْ جَحَدُوهُ كَفَرُوا.
Juga Malik
–rahimahullah-, Asy-Syafi’i dan Ahmad yang mengatakan orang bermandzhab
Qadariyyah, “Kalau dia mengingkari ilmu Allah maka dia kafir.” Redaksi ucapan
sebagian mereka adalah, “Debatlah Qadariyyah dengan masalah ilmu (bahwa Allah
punya sifat maha tahu), kalau mereka percaya maka itu dijadikan senjata untuk
mematahkan argumentasi mereka, tapi kalau mereka mengingkari bahwa Allah maha
tahu maka mereka kafir.”
وَسُئِلَ أَحْمَد عَنْ
الْقَدَرِيِّ: هَلْ يَكْفُرُ؟ فَقَالَ: إنْ جَحَدَ الْعِلْمَ كَفَرَ وَحِينَئِذٍ
فَجَاحِدُ الْعِلْمِ هُوَ مِنْ جِنْسِ الْجَهْمِيَّة.
Ahmad pernah
ditanya tentang seorang yang bermadzhab Qadariyyah, apakah dia dikafirkan? Dia
menjawab, “Kalau dia mengingkari sifat ilmu (bagi Allah) maka dia dikafirkan.”
Karena bila sudah mengingkari sifat ilmu Allah berarti sudah sama dengan jenis
perkataan Jahmiyyah.
وَأَمَّا قَتْلُ
الدَّاعِيَةِ إلَى الْبِدَعِ فَقَدْ يُقْتَلُ لِكَفِّ ضَرَرِهِ عَنْ النَّاسِ كَمَا
يُقْتَلُ الْمُحَارِبُ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ كُفْرًا فَلَيْسَ
كُلُّ مَنْ أُمِرَ بِقَتْلِهِ يَكُونُ قَتْلُهُ لِرِدَّتِهِ وَعَلَى هَذَا قُتِلَ
غَيْلَانُ الْقَدَرِيُّ وَغَيْرُهُ قَدْ يَكُونُ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ. وَهَذِهِ
الْمَسَائِلُ مَبْسُوطَةٌ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ وَإِنَّمَا نَبَّهْنَا
عَلَيْهَا تَنْبِيهًا.
Masalah membunuh
pembawa paham sesat atau bid’ah maka kadang hukuman mati padanya demi mencegah
kerusakan yang akan dia timbulkan pada orang lain sebagaimana dibunuhnya muharib
(pemberontak yang membegal), meski dia
sendiri tidak dianggap kafir. Tidak semua orang yang diperintahkan untuk
dibunuh berarti dia murtad. Atas dasar inilah Ghailan Ad-Dimasyqi seorang tokoh
Qadariyyah dieksekusi mati, bisa jadi mereka dibunuh karena ini. Masalah ini
dibahas panjang lebar di tempat lain, dan hanya disebutkan di sini sebagai
pengingat.
Diterjemahkan oleh Anshari Taslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar