Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali meriwayatkan kitabnya Dzailu Thabaqatil Hanabilah, (tahqiq Abdurrahman Al-Utsaimin, jilid 1 hal. 443 – 446) tentang biografi Al-Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi Al-Baghdadi Al-Bazzaz Al-Anshari (wafat tahun 535 H. di Baghdad),
“Aku diberitakan dari Yusuf bin Khalil Al-Hafizh, dia berkata, Abul
Qasim Abdullah bin abi Al-Fawaris, seorang syekh yang shalih menceritakan
kepada kami, dia berkata, Aku mendengar Qadhi Abu Bakar Muhammad bin Abdul Baqi
bin Muhammad Al-Bazzaz Al-Anshari bercerita,
“Aku pernah tinggal di Mekah-semoga Allah menjaganya-. Pada suatu
hari, aku ditimpa kelaparan yang sangat. Aku tidak memiliki apapun untuk
melawan rasa lapar. Aku menemukan sebuah kantong sutra yang terikat dengan tali
dari kain sutra pula. Aku mengambilnya dan membawanya pulang ke rumah. Aku
membukanya dan ternyata isinya adalah sebuah kalung mutiara yang belum pernah
aku lihat sebelumnya.
Aku keluar, dan mendengar
ada seseorang yang telah berusia lanjut mencari kalung itu. Ia membawa pundi
berisi uang 500 dinar. Ia berkata, ”Ini adalah hadiah bagi siapa saja yang mengembalikan
kantongku yang berisi kalung mutiara.” Aku membatin, ‘Aku sedang butuh dan
lapar. Aku akan mengambil dinar tersebut dan memanfaatkannya. Aku akan
mengembalikan kantong berisi mutiara ini kepadanya.’
Aku berkata kepadanya,
’Kemarilah bersamaku.’ Aku membawanya ke rumahku. Ia menyampaikan kepadaku
ciri-ciri kantong itu, tali pengikatnya, dan mutiara yang berada di
dalamnya. Maka, aku mengeluarkan kantong itu dan mengembalikan kepadanya. Ia
menyerahkan 500 dinar kepadaku, tetapi aku tidak mau mengambilnya. Aku berkata,
‘Saya harus mengembalikannya kepada anda, dan tidak akan mengambil upah.”
Ia berkata kepadaku, ”Kamu
harus menerimanya.” Ia terus mendesakku, tetapi aku tetap menolaknya. Akhirnya
dia pergi meninggalkanku.
Selanjutnya, aku pergi
meninggalkan kota Mekah menyeberangi lautan. Tiba-tiba perahu kami pecah, dan
para penumpangnya tenggelam, harta mereka musnah. Aku selamat dengan
berpegangan pada papan kayu perahu tersebut. Terombang-ambinglah aku di lautan
beberapa lama tanpa tahu kemana air akan membawa.
Akhirnya aku terdampar di
sebuah pulau yang ada penduduknya. Aku lalu singgah di sebuah masjid.
Orang-orang mendengarku membaca Al-Qur’an. Semua orang yang tinggal di pulau
tersebut mendatangiku dan berkata, “ Ajarilah aku membaca Al-Qur’an.” Maka, aku
pun mendapatkan banyak harta dari mereka (honor mengajar Al-Qur`an –penerj).
Di masjid itu aku melihat
beberapa lembar kertas mushaf. Aku pun mengambil dan membacanya.
Orang-orang bertanya kepadaku, ”Anda bisa menulis?” ‘Ya,’ jawabku. Mereka
berkata, “Ajarilah kami menulis.” Maka, mereka datang membawa anak-anak mereka,
baik yang masih kecil maupun para pemudanya. Aku pun mengajari mereka, dan aku
mendapatkan imbalan harta yang berlimpah.
Setelah itu, mereka
berkata kepadaku, “Disini ada seorang anak perempuan yatim. Ia memiliki banyak
harta, dan kami ingin Anda menikahinya.” Aku menolak, namun mereka berkata, ”Ini
harus!” Mereka terus memaksaku, dan akhirnya akupun mengiyakan.
Ketika mereka membawa
calon istriku itu, mataku terbelalak melihatnya. Kulihat sebuah kalung di lehernya yang membuatku
terpaku.
Mereka berkata, ”Wahai
Syaikh, Anda telah mematahkan hati wanita yatim ini dengan pandanganmu kepada
kalung itu. Mengapa Anda memandangnya seperti itu?”
Aku pun menceritakan kisah
kalung mutiara yang pernah kutemukan dulu kepada mereka. Mereka terperanjat,
sembari mengucapkan takbir dan tahlil, hingga terdengar oleh seluruh penduduk
pulau. Aku bertanya ‘Ada apa dengan kalian?’ Mereka menjawab, “Syaikh, yang
memiliki kalung itu adalah ayah wanita ini. Ia pernah mengatakan, “Aku belum
pernah menemukan seorang muslim sejati di dunia ini, selain orang yang telah mengembalikan
kalung ini kepadaku.” Lalu, ia berdoa, ”Ya allah, kumpulkanlah ia denganku,
sehingga aku dapat menikahkannya dengan putriku.” Dan sekarang hal itu
telah tewujud.
Aku tinggal di pulau itu, dan aku dikaruniai dua orang anak. Setelah
istriku ini wafat, aku mewarisi kalung tersebut bersama kedua anakku. Lalu,
kedua anakku pun wafat, sehingga kalung itu menjadi milikku. Aku menjualnya
seharga 100.000 dinar. Harta yang kalian lihat bersamaku ini adalah sisa-sisa
dari harta tersebut.”
Abu Bakar Muhammad bin
Abdul Baqi bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Rabi’ bin
Tsabit bin Wahb bin Masyja’ah bin Harits bin Abdullah bin Ka’b bin Malik,
keturunan langsung dari sahabat Nabi yang terkenal, Ka’b bin Malik Radhiyallahu
‘anh.
Dia merupakan seorang
ulama madzhab Hanbali di masanya. Lahir pada tahun 442 H, ayahnya juga seorang
ulama madzhab Hanbali. Dia sendiri adalah murid langsung dari Abu Ya’la
Al-Farra`. Kelahirannya juga membongkar kedustaan dukun, di mana pada saat dia
lahir para ahli nujum meramal usianya tak lebih dari 54 tahun, tapi faktanya di
usia 90 tahun dia masih segar bugar.
Kecerdasannya terbukti
ketika dia ditawan pasukan Romawi selama satu setengah tahun dan dipaksa murtad
tapi dia tidak mau. Di sela-sela penjara dia melihat orang romawi belajar huruf
mereka, dia yang hanya memperhatikan akhirnya hafal huruf latin dan bisa
menulis dengannya.
(Lihat lebih lengkap
biografinya dalam Dzail Thabaqat al-Hanabilah susunan Ibnu Rajab mulai dari
hal. 433.
Ibnu Rajab mengakhiri
biografi Abu Qasim ini dengan menyebutkan faidah fiqhiyyah dari kisah ini yaitu
seorang yang menemukan barang orang lain (luqathah) maka dia harus
mengembalikannya kepada orang itu dan tidak boleh menerima hadiah dari sang
pemilik, karena itu adalah kewajibannya. Kecuali kalau sang pemilik memberikan
itu hanya sebatas ucapan terimakasih (mukafa`ah). Sedangkan dalam kisah tadi
sang pemilik telah melakukan sayembara (ji’alah) padahal barangnya sudah
ditemukan sebelum Abu Qasim tahu akan adanya sayembara itu. Andai dia mengikuti
sayembara dan baru berhasil menemukannya setelah pengumuman sayembara maka dia
boleh mengambil upah sayembara tersebut, tapi di sini dia telah menemukan dulu
sebelum diumumkan sayembara. Maka kewajibannya adalah mengembalikan dengan suka
hati tanpa berharap imbalan. Ini dibahas panjang lebar dalam bab Luqathah di
buku-buku fikih.
Moral story dari kisah
ini adalah:
- 1. Hendaknya kita menjaga amanah, meski dalam keadaan butuh seberat apapun, karena Allah pasti mengganti dengan yang lebih baik. Kisah serupa juga pernah terjadi di Damaskus di era abad 20 ini sebagaimana diceritakan oleh Syekh Ali Ath-Thanthawi dalam salah satu bukunya yang berjudul Fushul fii Ats-Tsaqafati wal Adab hal. 19 dan seterusnya.
- 2.
Rejeki tak akan kemana, bila sesuatu telah ditetapkan Allah
sebagai rejeki kita maka pasti akan dating kepada kita tanpa kita minta
sekalipun. Tinggal kita mau ambil dengan cara yang haram ataukah halal. Andai
tadi Abu Bakar tidak sabar dan dia curi saja kalung itu maka itu memang akan
jadi miliknya, tapi dia dapatkan dengan cara yang haram dan dia akan menanggung
dosa yang berat di akhirat. Tapi karena dia sabar meski harus menahan lapar
sehingga dia tidak mau mengambilnya dengan cara yang haram maka Allah pun
mengembalikan kepadanya dengan cara yang halal dan penuh berkah, dengan bonus
istri dan keturunan.
Anshari Taslim, 27
November 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar