YAZID BIN ABDULLAH BIN KHUSHAIFAH VS MUHAMMAD BIN YUSUF BIN ABDULLAH BIN
YAZID
(“pertarungan” dua sepupu, mana yang lebih hafal dalam menyampaikan hadits paman mereka tentang shalat tarawih di masa Umar)
Bismillaah, walhamdulillah, wash
shalaatu was salaamu ‘alaa Rasulillah wa ba’d.
Langsung ke point:
Ada
dua versi riwayat tentang berapa rakaat shalat tarawih dijalankan atas perintah
Umar dengan imam Ubay bin Ka’b ra:
1.Riwayat Muhammad bin Yusuf:
Riwayat
ini terdapat dalam kitab Al-Muwaththa` Imam Malik 2/158-159, no. 379,
379 - و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنْ السَّائِبِ
بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ: أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ
وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ
عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي
فُرُوعِ الْفَجْرِ.
riwayat Yahya bin Yahya, Malik
mengabarkan kepadaku, dari Muhammad bin Yusuf, dari As-Sa`ib bin Yazid bahwa
dia berkata, “Umar bin Khaththab memerintahkan kepada Ubay bin Ka’b dan Tamim
Ad-Dari untuk mengimami shalat orang-orang sejumlah sebelas rakaat. Sang imam
waktu itu membaca ayat-ayat yang berjumlah seratusan sampai kami bersandar pada
tiang saking lamanya berdiri dan kami tidak selesai dari shalat kecuali hampir
tiba waktu Fajar.”
2.Riwayat Yazid bin Khushaifah:
Terdapat
dalam sunan Al Baihaqi:
4288 - وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ
اللهِ الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ بْنِ فَنْجَوَيْهِ
الدَّيْنَوَرِيُّ بِالدَّامَغَانِ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ
السُّنِّيُّ، أنبأ عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ الْبَغَوِيُّ،
ثنا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ، أنبأ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
خُصَيْفَةَ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: " كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى
عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
بِعِشْرِينَ رَكْعَةً." قَالَ: "وَكَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمَئِينِ،
وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عِصِيِّهِمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ."
“Abu Abdullah bin Husain bin Muhammad bin
Husain bin Fanjawaih Ad-Dainawari telah mengabarkan kepada kami di Damaghan,
Ahmad bin Muhammad bin Ishaq As-Sunni menceritakan kepada kami, Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Aziz Al Baghawi mengabarkan kepada kami, Ali bin Al Ja’d
menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Dzi`b mengabarkan kepada kami, dari Yazid bin
Khushaifah, dari As-Sa`ib bin Yazid yang berkata,
“Mereka di masa Umar bin Khaththab
ra biasa melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat di bulan Ramadhan.”
Dia berkata, “Mereka juga biasa
membaca surah-surah yang berjumlah seratusan ayat dan mereka bersandar dengan
tongkat mereka di masa Utsman bin Affan lantaran lamanya berdiri.”
Isnad
ini shahih sampai kepada Yazid bin Khushaifah.
·
Abu Abdullah Ibnu Fanjawaih Ad-Dainawari disebutkan oleh
Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala` (17/383-384) dengan menyatakan: “syaikh
imam, al muhaddits al-mufid, baqiyyatul masyayikh” ini jelas bentuk ta’dil yang
tinggi sebagai seorang imam dalam bidang hadits. Lalu Adz-Dzahabi menukil
penjelasan Asy-Syirawaih dalam tarikhnya bahwa Ibnu Fanjawaih ini adalah
seorang tsiqah yang shaduq banyak meriwayatkan hal-hal yang tersendiri.
Meriwayatkan hal yang tersendiri sebenarnya bukan hal yang menggugurkan kedhabitan
seorang rawi bila dia memang seorang hafizh. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
sempat menyinggung nama Ibnu Fanjawaih ini dalam kitab Lisan Al-Mizan[1] ketika menjelaskan biografi Al-Hasan
bin Mahmud. Di sana sempat disebutkan sebuah riwayat yang melalui jalur Ibnu
Fanjawaih ini dan Al-Hafizh berkomentar: “Dia adalah seorang hafizh besar, seorang
penulis”. Juga disebut oleh Ibnu Nuqthah dalam kitab Al-Ikmal[2] sebagai orang yang tsiqah shalih.
·
Ahmad bin Muhammad bin Ishaq As-Sunni adalah Ibnu Sunni
yang terkenal dengan kitab Amal Al-Yaum wa Al-Lailah-nya seorang hafizh
terkenal tak lagi perlu dibahas.
·
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz Al-Baghawi seorang
imam hafizh penulis kitab Ma’rifatus Shahabah yang terkenal, tak lagi perlu
dibahas, begitu pula gurunya Ali bin Al-Ja’d, sudah sangat terkenal sebagai
penulis sunan, juga gurunya yaitu Ibnu Abi Dzi`b.
Selain itu ada mutabi’ bagi Ibnu
Al-Ja’d yaitu Yazid bin Harun yang juga meriwayatkannya dari Ibnu Abi Dzi`b
dari Ibnu Khushaifah sebagaimana dalam kitab Ash-Shiyam karya Al-Firyabi[3] dengan sanad yang shahih.
Lalu Ibnu Abi Dzi`b juga tidak
sendirian meriwayatkannya dari Ibnu Khushaifah, dia dikuatkan oleh Muhammad bin
Ja’far sebagaimana dalam As-Sunan Ash-Shughra dan kitab Ma’rifatus Sunan wa
Al-Atsar keduanya karya Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih.
# # # # #
Dalam
kedua riwayat ini terdapat perbedaan antara Yazid bin Khushaifah dengan
Muhammad bin Yusuf dalam menyampaikan berapa jumlah rakaat shalat tarawih di
masa Umar. Muhammad bin Yusuf menyampaikan 11 rakaat, sedangkan Yazid bin
Khushaifah menyampaikan 20 rakaat ditambah witir tentunya. Padahal keduanya
sama-sama menyampaikan dari sumber yang sama yang menyaksikan kejadian tersebut
yaitu paman mereka bernama Sa`ib bin Yazid. Tambahan lagi keduanya adalah
perawi yang tsiqah dan sama-sama dijadikan hujjah oleh Al-Bukhari dan Muslim
dalam shahih mereka dan sama-sama guru dari Imam Malik bin Anas.
Syekh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam risalahnya yang terkenal “Qiyam Ramadhan”
memastikan bahwa riwayat Yazid bin Khushaifah ini salah, karena bertentangan
dengan orang yang lebih kuat darinya yaitu Muhammad bin Yusuf. Sehingga menurut
beliau riwayat yang benar adalah riwayat Muhammad bin Yusuf.
Alasan ini
belum bisa kita terima lantaran dua hal:
- Kita belum menerima bahwa
Muhammad bin Yusuf lebih kuat daripada Yazid bin Khushaifah.
- Andai pun benar Muhammad bin
Yusuf lebih kuat maka tidak otomatis riwayatnya diunggulkan dalam hal ini
karena harus melihat dulu apakah ada qarinah (indikasi) lain yang malah
menguatkan riwayat Yazid.
Mari kita simak
pernyataan para ulama jarh wa ta’dil tentang kedua orang ini:
Syekh Al-Albani memastikan bahwa
Muhammad bin Yusuf lebih kuat karena Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab At-Taqrib
memberi predikat kepadanya ”tsiqah tsabat” sedangkan kepada Yazid bin
Khushaifah hanya predikat ”tsiqah”. Memang bila hanya berpegang pada predikat
yang diberikan oleh Al-Hafizh tentu kita akan segera menyatakan bahwa Muhammad
bin Yusuf lah yang lebih kuat. Tapi ini terlalu dini, seharusnya ditinjau dulu
semua pendapat ulama tentang kedua rawi ini.
Sebut saja Adz-Dzahabi dalam kitab
Al-Kasyif yang metodenya sama dengan kitab At-Taqrib memberikan predikat kepada
Muhammad bin Yusuf ”shaduq muqill”[4]
(jujur tapi sedikit riwayatnya), sedangkan untuk Yazid bin Abdullah bin
Khushaifah[5]
Adz-Dzahabi memberi predikat, ”tsiqah nasik” (tsiqah ahli ibadah), meski
selanjutnya Ad-Dzahabi menukil pendapat Ahmad yang menyatakan Yazid ini
munkarul hadits, tapi makna munkarul hadits kalau diucapkan oleh Ahmad bin
Hanbal bukan berarti orang itu lemah, melainkan suka meriwayatkan hal yang
hanya diperoleh dari jalurnya dia saja. Artinya, berdasarkan penilaian
Adz-Dzahabi Yazid sedikit lebih tinggi daripada Ibnu Yusuf.
Mari kita bandingkan penilaian
beberapa ulama jarh wa ta’dil terhadap kedua orang ini
Muhammad bin
Yusuf:[6]
v Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakannya, ”tsiqah tsabat”.
v Adz-Dzahabi: ”shaduq sedikit riwayatnya”.
v Yahya bin Ma’in menyatakannya, tsiqah
v Ahmad bin Hanbal: tsiqah.
v Ali bin Al-Madini: ”tsiqah” berdasarkan nukilan Ibnu
Syahin dalam kitab Tarikh Asma` Ats-Tsiqaat no. 1198.
v Yahya bin Sa’id Al-Qaththan menyatakannya tsabat dan
mengunggulkannya daripada Abdurrahman bin Umair, Abdurrahman bin Abi Ammar dan
Muhammad bin Abi Yahya, dia juga menyatakan tidak pernah melihat syekh yang
lebih tsiqah darinya.
v An-Nasa`iy menyatakannya tsiqah.
v Ibnu Syahin menukil tautsiq dari Ibnu Al-Madini dan Yahya
bin Sa’id tanpa komentar.
v Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqat.
Yazid bin
Abdullah bin Khushaifah[7]:
v Al-Hafiz Ibnu Hajar: tsiqah.
v Ad-Dzahabi: tsiqah ahli ibadah.
v Yahya bin Ma’in: “tsiqah” sementara dalam riwayat Ahmad
bin Sa’d bin Abu Maryam dari Yahya menyatakan, “tsiqah hujjah”.
v Ahmad bin Hanbal: “tsiqah (berdasarkan riwayat
Al-Atsram), aku tidak melihatnya kecuali kebaikan (berdasarkan riwayat
puteranya Abdullah), munkarul hadits (berdasarkan riwayat Abu Daud)”. Tapi
sebagaimana diketahui bahwa munkarul hadits menurut Ahmad bin Hanbal bukanlah
jarh yang menyebabkan seorang perawi menjadi lemah.
v Abu Hatim: “tsiqah”.
v An-Nasa`iy: “Tsiqah”
v Ibnu Syahin: “tsiqah”.
v Ibnu Sa’d: “Dia seorang ahli ibadah yang banyak haditsnya
dan tsabat”.
Dari sini kita lihat cukup sulit untuk
menentukan siapa yang lebih kuat bila harus ditandingkan dan tidak cukup hanya
berdasarkan penilaian Al-Asqalani dengan melupakan penilaian Adz-Dzahabi, Ibnu
Ma’in dan Ibnu Sa’d. Ibnu Ma’in menambahkan kata hujjah setelah tsiqah
berdasarkan riwayat Ibnu Abi Maryam, sedangkan Ibnu Sa’d memastikan bahwa Yazid
ini juga tsabat lalu dalam salah satu manuskrip Al Jarh wa At-Ta’dil tertulis
bahwa berdasarkan riwayat Al Atsram, Ahmad bin Hanbal memberinya predikat
“tsiqah tsiqah” menyebut kata tsiqah dua kali dan itu merupakan penilaian yang
sama dengan tsiqah tsabat sedangkan ketika menilai Muhammad bin Yusuf kata
tsiqah dari Ahmad hanya sekali.
Intinya, susah menentukan siapa yang
lebih kuat bila hanya berdasarkan predikat mereka masing-masing. Jadi, kita
harus menggunakan qarinah lain untuk menentukan riwayat mana yang lebih kuat.
Bila Syekh Al-Albani menjadikan
hubungan keluarga sebagai indikasi lebih kuatnya riwayat Muhammad bin Yusuf
karena dia adalah cucu dari As-Sa`ib bin Yazid, maka kita katakan bahwa Yazid
bin Abdullah bin Khushaifah pun punya hubungan kekeluargaan dimana Khushaifah
adalah saudara As-Sa`ib, jadi Yazid adalah cucu keponakan dari As-Sa`ib.
Beberapa
indikasi bahwa riwayat Yazid lebih kuat daripada riwayat Muhammad bin Yusuf.
Riwayat
Muhammad bin Yusuf ini tidak ada pendukungnya selain riwayat ini sendiri.
Sedangkan riwayat Yazid bin Abdullah bin Khushaifah didukung beberapa riwayat
lain yang meskipun lemah tapi bisa dijadikan penguat, antara lain:
1)
Riwayat Yazid
bin Abi Ruman sebagaimana dalam Al-Muwaththa` yang juga dikeluarkan oleh
Al-Baihaqi dalam sunannya bahwa shalat qiyam Ramadhan sebanyak 23 rakaat.
Riwayat ini shahih sampai kepada Yazid bin Abi Ruman, hanya saja Yazid bin Abi
Ruman tidak mendapati masa Umar sehingga riwayat ini munqathi’ (terputus) dan
itu berarti dhaif tapi riwayat munqathi’ seperti ini bisa dijadikan penguat
riwayat lain atau dikuatkan oleh riwayat lain[8].
2)
Riwayat Yahya
bin Sa’id Al-Anshari yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya no
7764: Waki’ menceritakan kepada kami, dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id
bahwa Umar bin Khaththab menyuruh seseorang mengimami shalat dua puluh rakaat.[9]
3)
Ibnu Abi
Syaibah juga meriwayatkan dalam mushannafnya no. 7766 dari Abdul Aziz bin
Rufai’ bahwa Ubay bin Ka’b melaksanakan shalat dua puluh rakaat dan witir tiga
rakaat di bulan Ramadhan di Madinah. Para perawinya tsiqah dan Abdul Aziz bin
Rufai’ tsiqah tapi dia tidak bertemu dengan Ubay, sehingga statusnya terputus,
tapi tetap bisa menguatkan riwayat Yazid bin Khushaifah di atas.
4)
Riwayat Abu
Al-Aliyah dari Ubay bin Ka’b sebagaimana dikeluarkan oleh Dhiya` Al-Maqdisi dan
dia menganggapnya hasan[10]. Di dalamnya
disebutkan bahwa Umar memerintahkan Ubay mengimami manusia di bulan Ramadhan
lalu dia shalat dua puluh rakaat. Juga disebutkan oleh Al-Bushiri dalam Ithaf
Al-Khairah sebagai riwayat Ibnu Mani’ dan An-Nasa`iy dalam Al-Kubra, tapi saya
belum menemukannya dalam Sunan An-Nasa`iy Al-Kubra. Syekh Al-Albani
menganggapnya dhaif lantaran dalam sanadnya ada Abu Ja’far Ar-Razi, tapi
sebenarnya riwayat Abu Ja’far Ar-Razi ini bisa naik ke derajat hasan, apalagi
bila ada yang mendukungnya.[11]
Demikian empat
riwayat yang bisa menjadi pendukung riwayat Yazid bin Khushaifah, ada lagi
riwayat Abdurrazzaq dari Al Aslami dari Ibnu Abi Dzubab, tapi Al Aslami ini
pendusta jadi tidak bisa dipakai sama sekali, lalu ada pula riwayat Muhammad
bin Ka’b Al-Qurazhi sebagaimana yang disinggung dalam kitab Mukhtashar Qiyam
Al-Lail, tapi kami belum menemukan sanadnya sampai ke Ibnu Ka’b sehingga tidak
bisa memberikan penilaian.
Lain halnya dengan riwayat Muhammad
bin Yusuf yang sama sekali tidak ada penguatnya sepanjang pengetahuan kami.
Yang ada malah riwayat berlawanan dimana Qais bin Daud malah meriwayatkan dari
Muhammad bin Yusuf bahwa pelaksanaan tarawih di masa Umar adalah 21 rakaat.
Para ulama
terdahulu tidak ada yang mencacat riwayat Yazid bin Khushaifah bahkan mengakuinya
shahih. antara lain:
v Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Khulashatul Ahkam
(1/576), no. 1961: ”Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan isnad yang shahih.”
v Ibnu Al-Qaththan Al-Fasi dalam Al-Iqna’ fii Masa`il
Al-Ijmaa’ 1/256: ”Diriwayatkan dua puluh rakaat dari Ali dan Syittir bin Syakl
dan inilah yang shahih dari Ubay bin Ka’b tanpa adanya perbedaan di
kalangan para sahabat serta menjadi pendapat jumhur.”
v Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa
23/112: ”Telah tsabit bahwa Ubay bin Ka’b mengimami shalat di bulan Ramadhan
sebanyak 20 rakaat dan witir tiga rakaat. Maka banyak ulama melihat itulah
sunnah karena didirikan di hadapan para muhajirin dan Anshar tapi tidak satupun
dari mereka yang mengingkari.”
v Al-Aini dalam Umdatul Qari juga menyatakan sanad hadits
Al-Baihaqi dari Yazid bin Khushaifah ini shahih. (Lihat Umdatul Qari 7/178).
v Juga Al-Hafizh Al-Iraqi dalam Tharh At-Tatsrib 3/88.
Tidak ada dari mereka yang
mempersoalkan perbedaan riwayat Yazid dengan Muhammad bin Yusuf padahal mereka
tahu itu karena mereka juga menukil riwayat Yazid bin Ruman dalam Al-Muwaththa`
dan riwayat itu adanya setelah riwayat Muhammad bin Yusuf.
Insya Allah
bersambung.
Bekasi 30 Juli
2011
Anshari Taslim.
Riwayat dari Sahabat
Nabi tentang Tarawih
[1] Juz 3/hal 122,
terbitan Dar Al-Basya`ir Al-Islamiyyah, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, atau
juz 2 hal. 255-256 pada cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut tahun 1971.
[2] Ikmal Al-Kamal, juz 4, hal. 495-497, no.
4726.
[3]
Hal. 131, nomor hadits 176.
[4]
Al-Kasyif 2/232, no. 5233.
[5]
Al-Kasyif 2/385, no. 6326.
[6]
Lihat: Al-Jarh wa At-Ta’dil 8/118-119, Tahdzib Al-Kamal 27/50, Taqrib
At-Tahdzib 2/101, no. 7227. Tarikh Asma` Ats-Tsiqaat oleh Ibnu Syahin, hal.
199, no. 1198. Al-Kasyif oleh Adz-Dzahabi 2/232.
[7]
Al-Jarh wa At-Ta’dil 9/274, Tahdzib Al-Kamal 32/172-173, no. 7012, Taqrib
At-Tahdzib 2/217, no. 8717, Tarikh Asma` Ats-Tsiqat oleh Ibnu Syahin hal. 256,
no. 1558, Mausu’at Aqwal Ahmad bin Hanbal 4/152. Al-Kasyif oleh Adz-Dzahabi
2/385, no. 6326.
[8]
Yazid bin Ruman sendiri tsiqah tabi’in periode kelima atau satu thabaqah dengan
Yazid bin Khushaifah dan Muhammad bin Yusuf dan dia juga orang Madinah. Dia
bukan murid Yazid bin Khushaifah sehingga bisa dituduhkan bahwa dia mendengar
informasi itu dari Yazid, bahkan dia tidak tercatat sebagai murid As-Sa`ib bin
Yazid sehingga ada kemungkinan dia mendengar dari sumber lain.
[9]
Sanad ini jelas shahih dan Yahya bin Sa’id Al-Anshari tapi dia juga terputus
karena Yahya bin Sa’id ini tidak mendapati masa Umar. Dia juga bukan murid
Yazid bin Khushaifah dan juga di thabaqah kelima sama dengan Yazid bin
Khushaifah. Dia tidak tercatat pernah meriwayatkan dari Yazid bin Khushaifah
tapi dia memang murid As-Sa`ib bin Yazid. Ini malah menguatkan riwayat Yazid
bin Khushaifah karena bisa jadi dia juga mendengar dari As-Sa`ib. Andaipun
tidak berarti statusnya sama dengan riwayat Yazid bin Ruman yang juga bisa
menguatkan riwayat Yazid bin Khushaifah.
[10] Al-Ahadits Al-Mukhtarah oleh Adh-Dhiya`
Al-Maqdisi 3/367, no. 1161.
[11] Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa Abu
Ja’far Ar-Razi yang bernama asli Isa bin Abdullah bin Mahan ini sebagai orang
yang shaduq (sangat jujur) buruk hafalan khususnya bila meriwayatkan dari
Mugirah. Tapi di sini dia tidak meriwayatkan dari Mugirá jadi keburukan
hafalannya tidak terlalu parah bisa naik ke derajat hasan.
Ibnu Adi
mengatakan, “Abu Ja’far Ar-Razi ini punya beberapa hadits yang shalih,
orang-orang meriwayatkan darinya. Aku harap dia tidak ada masalah.” (Al-Kamil
oleh Ibnu Adi 6/449).
Dia
dianggap tsiqah hanya suka salah kalau meriwayatkan dari Al-Mughirah. oleh Abu
Hatim dan Ibnu Ma’in dalam sebuah riwayat. Sementara di riwayat lain Ibnu Ma’in
menganggapnya shalih, sedangkan Ahmad bin Hanbal mengatakannya tidak kuat dalam
hadits. (Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil 6/280-281). Tapi dalam riwayat Hanbal,
Ahmad mengatakannya Shalihul hadits (Lihat Tarikh Bagdad 11/146).
Ali bin
Al-Madini juga menganggapnya tsiqah, suka salah kalau meriwayatkan dari
Mughirah, An-Nasa`iy menganggapnya tidak kuat, Abu Zur’ah mengatakannya suka
keliru, Ibnu Sa’d menganggapnya tsiqah. Amr bin Ali menganggapnya punya
kelemahan tapi dia sendiri orang yang sangat jujur. Yahya As-Saji menganggapnya
shaduq tidak terlalu kuat (dalam hafalan). (Lihat Tahdzib Al-Kamal 33/192-196,
no. 7284)
Dengan demikian derajat haditsnya
adalah lemah yang ringan sehingga kalau ada yang menguatkan bisa jadi haditsnya
hasan, apalagi dia dipakai sebagai hujjah oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak,
Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtaaraah, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya
(lihat hadits nomor 998 dan 1479 dalam shahih Ibnu Khuzaimah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar