6. Hadits, Puasa Ramadhan tergantung zakat
Fitrah.
Ada dua riwayat tentang hal ini disebutkan oleh
Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah, riwayat Anas dan riwayat
Jarir.
a.Riwayat Anas
Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya
sampai kepada Baqiyyah bin Walid, Abdurrahman bin Utsman menceritakan kepadaku
dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ
شَهْرَ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ
الْفِطْرِ
“Sesungguhnya
bulan Ramadhan itu masih digantung antara langit dan bumi, tidak diangkat
kecuali kalau sudah ditunaikan zakat fithri.”
Dikeluarkan
pula oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad 9/121 pada biografi Sahl bin Ismail
Abu Thahir Al-Jauhari Ath-Tharsusi juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid.
Juga dikeluarkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimasyq jilid 43 hal. 93 dalam biografi Ali bin ‘Asakir bin Surur Abu Hasan
Al-Maqdisi Al-Kasysyab, juga melalui jalur Baqiyyah bin Walid, tapi dengan
redaksi (حتى يؤدي زكاة ماله) (sampai ditunaikan zakat hartanya) bukan
menggunakan redaksi zakat fithri sebagaimana riwayat Ibnu Al-Jauzi dan
Al-Khathib.
Jadi
semua sanad hadits ini bermuara kepada Baqiyyah bin Walid dari Abdurrahman bin
Utsman. Di sini Baqiyyah menggunakan shighat tahdits, tapi ‘an’anah pada
riwayat dari Abdurrahman bin Utsman ke Anas, padahal dia mudallis tadlis
taswiyah, sehingga masih mengandung kelemahan.
Tapi
menurut Ibnu Al-Jauzi pangkal kelemahannya terletak pada Abdurrahman bin Utsman
yang dikatakan oleh Imam Ahmad, “Orang-orang membuang haditsnya”. Lalu ada Ibnu
Hibban yang mengatakan, “Tidak boleh berhujjah dengannya.”[1]
Tapi
Syekh Al-Albani meragukan kalau Abdurrahman di sini adalah yang diperbincangkan
oleh Imam Ahmad di atas karena yang itu satu thabaqah dengan Baqiyyah bin
Walid.[2]
Bila benar diam aka diapun mungkin tak bertemu dengan Anas. Kalau bukan dia
berarti orang yang majhul ‘ain, dan majhul ‘ain bila bersendirian begini maka
kelemahannya parah.
b.Riwayat Jarir
Dikeluarkan
oleh Ibnu Al-Jauzi dalam Al-‘Ilal setelah hadits Anas di atas dengan sanadnya:
“Abu Qasim bin Hushaih menceritakan kepada
kami, dia berkata, Ali bin Ali Al-Bashri mengabarkan kepada kami, dia berkata,
Abu Bakr bin Muhammad bin Ibrahim bin Hamdan Ad-Diir mengabarkan kepada kami,
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ishaq Al-Faqih mengabarkan kepada kami,
dia berkata, Abdullah bin Ali bin Ubaidah Al-Muaddib menceritakan kepadaku, dia
berkata, Muhammad bin Ubaid Al-Bashri menceritakan kepada kami, dia berkata,
Mu’tamir menceritakan kepada kami, dia berkata, Ismail bin Abi Khalid
menceritakan kepada kami. Dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah yang
berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
"إِنَّ شَهْرَ
رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يُرْفَعُ إِلا بِزَكَاةِ
الْفِطْرِ
“Sesungguhnya bulan Ramadhan itu akan
tergantung antara langit dengan bumi, tidak diangkat kecuali dgn zakat fithri.”
Dalam
sanad ini ada nama Muhammad bin Ubaid Al-Bashri yang dikatakan oleh Ibnu
Al-Jauzi “majhul”. Pernyataan Ibnu Al-Jauzi ini disetujui oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Lisan Al-Mizan 7/334 dan menjadikan hadits di atas sebagai
hadits riwayatnya yang tidak ada penguatnya (laa yutaba’ ‘alaih).
Katanya
pula hadits ini ada dalam Al-Muhtaarah karya Adh-Dhiya` Al-Maqdisi tapi saya
belum menemukan di kitab yang tercetak. Ada kemungkinan masih belum tercetak,
mengingat versi yang tercetak sekarang baru setengah dari kitab aslinya.
Wallahu a’lam.
Dengan
demikian hadits ini lemah dan tidak bisa saling menguatkan, sehingga zakat
fithri bukanlah penentu diterimananya amalan puasa Ramadhan atau tidak. Dia
hanyalah kewajiban tersendiri dan punya konsekuensi yang terpisah dari ibadah
puasa. Wallahu a’lam.
7.Ramadhan diawali rahmat
Dari
Abu Hurairah RA, Rasulullah ﷺ bersabda,
أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار
“Awal
bulan Ramadhan itu adalah rahmat, tengahnya adalah ampunan dan akhirnya adalah
pembebasan dari api neraka.”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Fadha`il Ramadhan (hal. 65,
no. 37), Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa`, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil fid Dhu’afa,
semua Ketika menyebut biografi Salam bin Sawwar. Semua melalui Salam bin
Sawwar, dari Maslamah bin Shalt, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah.
Sebab
kelemahan hadits ini adalah semua sanadnya bermuara kepada Salam bin Sawwar dan
Maslamah bin Shalt.
Salam
bin Sawwar, Ibnu ‘Adi menganggapnya munkarul hadits, Al-‘Uqaili mengatakan
haditsnya tidak terjaga (ghairu mahfuzh) dan maksudnya adalah hadits di atas,
tidak benar berasal dari Az-Zuhri. Adz-Dzahabi menyebutnya dalam Mizan
Al-I’tidal (2/178) dan riwayat-riwayat munkar yang dia riwayatkan, hadits di
atas adalah salah satunya.
Maslamah
bin Shalt dikatakan oleh Abu Hatim munkarul hadits (Al-Jarh 8/269). Sementara
Ibnu ‘Adi mengatakannya tidak dikenal (Al-Kamil 4/325).
Hadits
senada yang lebih Panjang dan terdapat kalimat di atas adalah hadits Salman di
bawah ini
8.Hadits Salman tentang khutbah Rasulullah di
akhir Sya’ban.
Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan dalam shahihnya,
(8) بَابُ فَضَائِلِ
شَهْرِ رَمَضَانَ، إِنَّ صَحَّ الْخَبَرُ
1887 -
ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، ثَنَا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ، ثَنَا
هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ سَلْمَانَ قَالَ:
خَطَبَنَا
رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنْ
شَعْبَانَ، فَقَالَ:
"أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً، وَقِيَامَ
لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ، كَانَ
كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً، كَانَ
كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ،
وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ
فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً
لِذُنُوبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ". قَالُوا: لَيْسَ
كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ. فَقَالَ: "يُعْطِي اللَّهُ هَذَا
الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ، أَوْ
مَذْقَةِ لَبَنٍ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ،
وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ
لَهُ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ:
خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ، وَخَصْلَتَيْنِ لَا غِنًى بِكُمْ
عَنْهُمَا، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ،
فَشَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ، وَأَمَّا
اللَّتَانِ لَا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا، فَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعُوذُونَ
بِهِ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ
حَوْضِي شَرْبَةً لَا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ".
“Ali
bin Hujr As-Sa’di menceritakan kepada kami, Yusuf bin Ziyad menceritakan kepada
kami, Hammam bin Yahya menceritakan kepada kami, dari Ali bin Zaid bin Jud’an,
dari Sa’id bin Musayyib, dari Salman
yang berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa
sallam berkhutbah (di hadapan) kami pada hari terakhir bulan Sya’ban, beliau
bersabda: “Wahai manusia, telah menaungi kalian bulan nan agung, bulan penuh
barokah, bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadar yang lebih baik dari
seribu bulan. Allah telah menjadikan berpuasa di dalamnya suatu kewajiban, dan
qiyamul lail sebagai sunnah, barangsiapa yang mendekatkan diri di dalamnya
dengan satu kebaikan maka dia bagaikan menunaikan kewajiban pada bulan lainnya,
dan barangsiapa yang menunaikan kewajiban di dalamnya, maka dia bagaikan
menunaikan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Ia adalah bulan kesabaran,
dan pahala sabar adalah surga, ia bulan saling mengasihi, bulan saat rezeki
orang mukmin bertambah. Barangisapa memberi makanan berbuka bagi orang yang
berpuasa, maka dosa-dosanya akan terampuni, dibebaskan dari neraka. Dan dia
mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun juga.
Shahabat
bertanya: “Tidak semua dari kita memiliki apa yang dapat diberikan untuk
memberi buka bagi orang yang berpuasa?”. Beliau bersabda: ”Allah akan
memberikan pahala ini bagi orang yang memberikan buka orang yang berpuasa,
walau dengan kurma, seteguk air, atau segelas susu. Ia adalah bulan yang
permulaannya rahmah, pertengahannya ampunan, dan akhirnya kebebasan dari siksa
neraka. Barangsiapa yang meringankan budaknya (pembantunya) maka Allah akan
mengampuninya dan memerdekakannya dari neraka.
Maka
hendaklah kalian memperbanyak empat kebaikan. Dua kebaikan yang membuat Tuhan
rida terhadap kalian, dan dua kebaikan lagi yang tidak dapat kalian abaikan.
Sementara dua kebaikan yang membuat Tuhan kalian rida adalah persaksian bahwa
tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan kalian memohon ampun
kepada-Nya. Sementara dua kebaikan yang tidak dapat kalian abaikan adalah
memohon surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari siksa neraka. Dan
siapa yang di bulan ini mengenyangkan orang yang berpuasa (memberi makan
berbuka), maka Allah akan memberinya seteguk minuman dari telagaku yang
membuatnya tidak akan haus hingga masuk surga”.
Hadits
ini juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3336, Ibnu Abi
-Ad-Dunya dalam Fadha`il Ramadhan, Ibnu Syahin dll, semua bermuara pada Yusuf
bin Ziyad.
Kemudian
Al-Baihaqi juga meriwayatkan mutabi’ bagi jalur Yusuf bin Ziyad yaitu dari
jalur Abu Bakar As-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid bin
Jud’an.
Dengan
demikian ada dua jalur: jalur Yusuf bin Ziyad, dari Hammam dari Ali, dan jalur
Iyas bin Abdul Ghaffar dari Ali bin Zaid.
Yang
menjadi pangkal kelemahan adalah tiga orang yaitu Yusuf bin Ziyad, Iyas bin
Abdul Ghaffar dan Ali bin Zaid bin Jud’an. Kesemua jalur muaranya adalah Ali
bin Zaid bin Jud’an, sehingga banyak yang menjadikannya sebagai pangkal
terakhir kelemahan riwayat ini.
Ali
bin Zaid bin Jud’an sendiri memang masih diperselisihkan kredibilitasnya, tapi
jumhur ulama jarh wat ta’dil menganggap riwayatnya dha’if dalam hadits meski
dia orangnya jujur dan shaleh.
Beberapa pendapat ulama tentangnya disebutkan
oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal 3/127, dan juga Al-Mizzi dalam Tahdzib
Al-Kamal (20/434 – 444). Intinya dia dhaif bila meriwayatkan hadits
bersendirian hanya saja kelemahannya tidak parah dan masih bisa dijadikan
i’tibar.
Tapi
kalau saya perhatikan pangkal utama kelemahan riwayat ini bukan pada ali bin
Zaid, bahkan bisa jadi ini tidak shahih dari Ali bin Zaid. Pangkal utama adalah
Yusuf bin Ziyad dan Iyas bin Abdil Ghaffar dan keduanya tidak bisa saling
menguatkan.
Yusuf
bin Ziyad Abu Abdillah Al-Bashri dianggap oleh Al-Bukhari “munkarul hadits”,
Abu Hatim mengatakannya, “munkarul hadits”, Ad-Daraquthni mengatakan, “dia
terkenal meriwayatkan yang bathil”. (Lihat Mizan Al-I’tidal 4/465).
Iyas
bin Abdul Ghaffar atau Iyas bin Abi Iyas dikatakan oleh Al-Uqaili dalam kitab
Adh-Dhu’afa` (1/151) di aini majhul dan haditsnya tidak mahfuzh (terjaga, tidak
dipastikan benar), lalu Al-Uqaili menyebutkan hadits di atas sebagai contoh
haditsnya.
Adz-Dzahabi
menyebutnya dalam Al-Mizan (1/282) dan mengatakan tidak dikenal dan khabarnya
munkar.
Yang
lebih parah adalah bahwa Ibnu Abi Hatim menyebutkan dalam kitab Al-‘Ial
(1/249):
“Aku bertanya kepada ayahku ttg hadits yang
diceritakan kepada kami oleh Hasan bin Arafah, dari Abdullah bin Bakr As-Sahmi,
dia berkata, Iyas menceritakan kepadaku, dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari
Sa’id bin Musayyib, bahwa Salman Al-Farisi berkata, “Rasulullah ﷺ
berkhutbah di hadapan kami di hari terakhir bulan Sya’ban…..
Ayahku menjawab, “Ini adalah hadits munkar!
Abdullah bin Bakr salah sebut di dalamnya, sebenarnya dia adalah Aban bin Abi
Ayyasy, bukan Iyas.”
Bila
benar apa yang dikatakan Abu Hatim bahwa itu adalah Aban bin Ayyasy maka lebih
lemah lagi, karena Aban ini matruk, sampai-sampai Syu’bah pernah mengatakan,
“Aku lebih baik minum kencing keledai daripada menceritakan hadits darinya.”
Dengan
demikian pangkal kelemahan riwayat ini bisa jadi bukan gara-gara Ali bin Zaid
bin Jud’an, melainkan dari perawi sebelumnya yaitu Yusuf bin Ziyad dan juga
Iyas bin Abi Iyas atau mungkin dia adalah Aban bin Abi Ayyasy. Wallahu a’lam.
9.Tidak puasa maka kafir dan halal darahnya
Abu
Ya’la meriwayatkan, Abu Yusuf Al-Jiizi menceritakan kepada kami, Muammal
menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami, Amr bin
Malik an-Nukri menceritakan kepada kami, dari Abu al-Jauza`, dari Ibnu Abbas,
Hammad berkata, Aku rasa dia memarfu’nya (mengatakan Rasulullah bersabda),
عُرَى
الْإِسْلَامِ وَقَوَاعِدُ الدِّينِ ثَلَاثَةٌ عَلَيْهِنَّ أُسِّسَ الْإِسْلَامُ
مَنْ تَرَكَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً فَهُوَ بِهَا كَافِرٌ حَلَالُ الدَّمِ: شَهَادَةُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَالصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
“Akar
Islam dan pondasi agama itu ada tiga, di atasnyalah Islam dibangun, dan siapa
yang meninggalkan salah satu darinya maka dia kafir halal darahnya: Syahadat
tiada ilah selain Allah, shalat lima waktu dan puasa Ramadhan.”
Dikeluarkan
pula oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath dari Abu Yazid al-Qarathisi, Asad bin
Musa menceritakan kepada kami, Mu`ammal menceritakan kepada kami. Jadi semua
bermuara kepada Mu`ammal bin Ismail.
Mu`ammal
bin Ismail ini diperselisihkan. Adz-Dzahabi menyebutkan penilaian para ulama
terhadapnya dalam Mizan Al-I’tidal: Ibnu Ma’in menganggapnya tsiqah, Abu Hatim
mengatakan, “dia jujur, kuat mempertahankan sunnah tapi suka salah (dalam
hadits), Al Bukhari mengatakannya “munkarul hadits”, Abu Zur’ah mengatakan,
“Dalam haditsnya banyak yang keliru. Sementara Abu Daud mengangungkannya.
Lalu
Adz-Dzahabi menyebutkan satu riwayatnya sampai kepada Ibnu Abbas tentang mut’ah
dan Adz-Dzahabi mengesankan dialah penyebab dari riwayat munkar itu. Lihat
Mizan Al-I’tidal 4/228-229.
Kemudian
di sana ada pula nama ‘Amr bin Malik an-Nukri yang tidak ditemukan tautsiqnya
kecuali dari Ibnu Hibban, itupun dengan catatan “Dia sering salah dan
bersendirian dalam meriwayatkan.” Inilah yang dijadikan Syekh Al-Albani dalam
kitab Tamam Al-Minnah (hal. 138) melemahkan hadits ini.
Dengan demikian hadits ini lemah dan tak bisa
jadi sandaran hukum untuk mengkafirkan dan menghalalkan darah orang yang tidak
puasa.
Sementara segini dulu haditsnya, semoga ada waktu
bisa disambung lagi.
Anshari Taslim, 29 Maret 2021.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar