Nikah Misyar
Kata misyar (مسيار) akar katanya adalah (السَّيْر) yang berarti perjalanan. Bentuk kata misyar sendiri berbentuk wazan (timbangan) (مِفْعَال). Kata dengan wazn tersebut biasanya bermakna mubalaghah (hiperbola). Artinya sangat banyak melakukan perjalanan. Demikian pendapat yang dikuatkan oleh Usamah bin Umar Al-Asyqar. Ada pula yang mengatakan bahwa kata misyar ini adalah bahasa amiyah yang dikenal di masyarakat Nejed di Arab Saudi yang berarti berkunjung hanya di waktu siang.
Tapi tak
mungkin sebuah kata berlaku begitu saja tanpa ada hubungan dengan akar katanya.
Sehingga sebagian penulis menghubungkan penamaan tersebut bahwa nikah misyar
yang dikenal sekarang ini berhubungan dengan kata suka bepergian itu sendiri.
Dimana seorang yang mempunyai istri dari perkawinan misyar ini bisa mengunjungi
istrinya kapan saja dia mau tanpa terikat aturan dan sistem jadwal dalam jangka
waktu yang tidak lama.[1]
Dr Yusuf Al-Qaradhawi memberikan
definisi cukup komprehensif untuk nikah misyar ini sebagai berikut:
”Dia adalah
nikah yang syar’i yang punya sedikit keunikan dengan pernikahan biasa di mana
sang istri merelakan sebagian haknya atas suami. Misalnya dia rela tidak dinafkahi
atau rela sang suami tidak bermalam dengannya, bila memang suaminya ini telah
punya istri yang lain. Biasanya nikah misyar ini terjadi pada poligami, yaitu
pada pernikahan kedua atau ketiga. Yang paling menonjol dari cirinya adalah
sang istri merelakan tidak mendapatkan haknya dengan penuh kesadaran dan
kerelaan sendiri.”[2]
Apa yang disebut oleh Dr Al-Qaradhawi
bahwa itu biasanya terjadi pada pernikahan kedua atau ketiga bukanlah syarat,
hanya kebanyakan kasusnya begitu. Bisa saja nikah misyar itu terjadi pada
monogami atau orang yang memang hanya memiliki satu istri yaitu yang
dinikahinya secara misyar itu.
Lebih jelas adalah apa yang
diungkapkan oleh Syekh Abdullah bin Mani’ yang merupakan anggota Dewan Ulama
Senior Arab Saudi,
”Yang saya
pahami dari nikah misyar dan itulah yang menjadi pedoman saya dalam berfatwa
bahwa dia adalah sebuah pernikahan yang telah sempurna semua syarat dan
rukunnya. Dia adalah nikah yang lengkap dengan ijab qabul serta kelengkapan
syarat berupa kerelaan dua pihak, adanya wali, dua saksi, sekufu`, adanya mahar
yang disepakati serta tidak terdapat penghalang keabsahannya.
Berikutnya akan
terjadilah semua konsekuensi hak da kewajiban dalam nikah berupa keturunan,
warisan, talak, iddah, belehnya berhubungan suami istri, kewajiban memberi
tempat tinggal, nafkah dan berbagai hak dan kewajiban pernikahan lainnya. Hanya
saja dalam pernikahan ini kedua pihak sepakat untuk menggugurkan hak bermalam,
pembagian jatah dan menyerakan kepada suami kapan saja dia mau mengunjungi
istrinya baik siang maupun malam.”[3]
Awal Kemunculan
dan Penyebabnya
Nikah misyar awal mula ditemukan di
daerah Qashim Arab Saudi kemudian merebak ke kawasan tengah. Orang yang pertama
kali digemparkan melakukan pernikahan ini bernama Fahd Al-Ghunaim yang menikahi
beberapa wanita yang tidak mendapatkan jodoh (perawan tua) atau bercerai dari
suami mereka.[4]
Kemudian Abdul Malik Al-Muthlaq
menceritakan wawancaranya dengan seorang tokoh di sebuah desa di Arab Saudi bahwa
praktik pernikahan seperti itu sudah lama dilakukan orang meski mereka tidak
memberinya nama khusus. Intinya sama, biasanya terjadi pada mereka yang sudah
beristri lalu ingin menikah lagi tanpa sepengetahuan istri pertama. Maka si
suami menikah secara sah menurut agama, tapi dia mendatangi istri keduanya ini
hanya sesekali, tidak menggunakan sistem pembagian layaknya kehidupan ideal
seorang yang berpoligami. Sebagaimana diketahui bila seseorang berpoligami maka
dia wajib membagi sama waktunya menginap di rumah masing-masing istrinya. Itu adalah hak
istri, tapi dia bisa saja merelakan hak itu kalau dia mau.
Inilah yang umumnya terjadi pada nikah
misyar. Si istri merelakan sebagian haknya, misalnya nafkah, tempat tinggal, pembagian
giliran, bahkan hak untuk dicampuri. Memang dalam Islam si istri bisa saja
merelakan hak tersebut asalkan dia memang rela untuk itu, bukan tekanan dari
pihak manapun apalagi suami. Suami hanya bisa memohon tanpa menekan. Sebab,
kalau suami menekan maka itu termasuk kezaliman dan bisa saja membuat
pernikahan ini menjadi batal.
Ini pula yang umum terjadi di
Indonesia. Banyak bos atau konglomerat punya istri di perkampungan tanpa
sepengetahuan istri pertama. Ini biasa disebut istri simpanan. Istri simpanan
sendiri ada dua jenis, yaitu yang dinikahi secara sah menurut syariat dan yang
tidak sah. Yang tidak sah tentu tidak perlu kita bahas karena memang sudah
batil dan haram sedari awal. Tapi yang sah inilah yang bisa disebut nikah misyar
seperti yang kita bahas ini.
Biasanya sudah
menjadi urf atau konvensi atau adat berlaku bahwa wanita yang menjadi istri
simpanan baik dia istri kedua atau bahkan istri satu-satunya, akan merelakan
beberapa haknya. Hak yang umumnya direlakan para istri simpanan di negeri ini
adalah hak pembagian giliran bila memang suaminya itu sudah punya istri resmi.
Dia merelakan suaminya datang kepadanya kapan saja yang penting nafkah lahiriah
lancar. Boleh dibilang mereka mau jadi istri simpanan karena faktor ekonomi.
Selain itu ada pula yang mau menjadi
istri kedua bukan karena faktor ekonomi melainkan karena kebutuhan biologis
maupun psikis. Mereka ingin punya suami padahal mereka sendiri tidak kekurangan
dari sisi ekonomi sehingga mereka sama sekali tidak menuntut untuk dinafkahi
yang penting nafkah batin bisa mereka miliki. Ini juga bisa disebut nikah
misyar karena dia telah merelakan sebagian haknya tidak terpenuhi oleh suami.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa
nikah misyar ini tidak selamanya terkait dengan orang yang berpoligami. Bisa
saja ada orang yang memang belum punya istri ingin menikah secara misyar.
Artinya dia hanya ingin punya hubungan yang sah sebagai suami istri tapi tidak
terbebani nafkah atau hal lain. Di negeri ini kita mengenal kawin gantung
dengan ciri mirip seperti itu. Biasanya mereka yang dinikahkan secara gantung
adalah pasangan muda mudi yang masih tinggal dengan orang tua. Mereka dinikahkan
tapi si istri masih menjadi tanggungan orang tua. Tujuan dari orang tua yang
menikahkan anak mereka dengan cara seperti ini adalah supaya si anak terhindar
dari hubungan terlarang antar muda mudi seperti pacaran. Maka kedua pihak
(orang tua si pria dan wanita) bersepakat untuk menikahkan anak mereka meski si
suami nantinya belum akan dibebankan untuk menafkahi si istri.
Ini bisa pula dianggap sebagai nikah
misyar dalm konteks bahasan ini.
Kesimpulannya, dinamakan misyar karena
biasanya sang suami melakukan perjalanan (misyar) keluar kota untuk mengunjungi
istrinya. Meski itu bukan syaratnya, karena bisa saja orang menikahi
tetangganya sendiri secara misyar, artinya semau dia saja kapan datang atau
semaunya apakah memberi nafkah atau tidak dan semua itu atas persetujuan pihak
istri.
Nikah misyar
tidak mesti poligami, dia tetap bisa terjadi dalam pernikahan monogami.
Hukum Nikah
Misyar
Berhubung nikah misyar ini masuk
kategori hal baru, maka persisnya tidak akan kita temukan dalam kitab-kitab para
ulama klasik. Akan tetapi ada perbandingannya dengan bahasan para ulama
terdahulu dimana mereka biasa menyebutnya nikah lailiyaat atau nikah
nahariyaat.
Para ulama kontemporer berbeda
pendapat dalam masalah ini. Setidaknya ada dua penulis yang berusaha
mengumpulkan pendapat dari pada ulama kontemporer berhubung masalah ini, yaitu Usamah
bin Umar bin Sulaiman Al-Asyqar (putra Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar
rahimahullah) dalam bukunya ”Mustajaddat Fiqhiyyah fii qadhaya Az-Zawaj wa
Ath-Thalaq” dan Abdul Malik bin Yusuf bin Muhammad Al-Muthlaq (putra Syekh
Yusuf Al-Muthlaq anggota Hai`ah Kibar Ulama Arab Saudi) dalam bukunya .
Dari paparan mereka ada tiga pendapat
dari pada ulama kontemporer dalam perkara nikah misyar ini:
1.pendapat
pertama: Membolehkan, tapi sebagian mereka menganggapnya makruh.
Diantara mereka yang berpendapat
demikian adalah Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah[5], Syekh Abdullah
bin Abdurrahman Al-Jibrin, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh (mufti
Kerajaan Arab Saudi sekarang) Prof Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Syekh Yusuf
Al-Muthlaq, Syekh Ibrahim bin Shalih Al-Khudhairi (hakim pengadilan tinggi
Riyadh), Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Dr. Sa’ud Asy-Syuraim (imam besar masjidil
Haram), Syekh Abdullah bin Mani’ (anggota Dewan Ulama Senior dan Komisi Fatwa
Arab Saudi), Prof. Dr. Ahmad Al-Hajji Al-Kurdi (anggota majlis fatwa Kuwait), Muhammad
Sayyid Ath-Thanthawi rahimahullah (mantan syaih Al-Azhar), Syekh Nash Farid
Washil (mufti Mesir 1996 - 2002).[6]
Pendapat resmi
situs IslamQA yang diketuai oleh Syekh Shalih Al-Munajjid juga berpendapat
sahnya akad nikah misyar ini meski menganggapnya makruh dan berbahaya.
Juga fatwa dari
situs Islamweb yang diketuai oleh Dr Abdullah Al-Faqih.[7]
Ini juga menjadi pendapat resmi
Asosiasi Ahli Fikih di Rabithah Alam Islami yang berpusat di Jeddah
Juga Dr. Muhammad Al-Arifi dalam
sebuah acara televisi yang diunggah di situs youtube terdapat rekaman pendapat
beliau tentang nikah misyar ini dimana beliau menyatakan kebolehannya dengan
berdalil pada kisah Abu Bakar yang punya istri di suatu desa dan juga kisah
Saudah.[8]
Ini pula yang menjadi keputusan Majma’
Al-Fiqh Al-Islami di bawah naungan Rabithah Alam Islami dalam muktamar mereka daurah
ke-18 di Mekah pada tanggal 12 April 2006 pada ketetapan (qarar) nomor 106. Dalam
point pertama berbunyi:
إبرام عقد زواج تتنازل فيه المرأة عن السكن والنفقة
والقَسْم أو بعض منها، وترضى بأن يأتي الرجل إلى دارها في أي وقت شاء من ليل أو
نهار.
ويتناول ذلك أيضاً : إبرام عقد زواج على أن تظل الفتاة
في بيت أهلها، ثم يلتقيان متى رغبا في بيت أهلها أو في أي مكان آخر، حيث لا يتوافر
سكن لهما ولا نفقة.
هذان العقدان وأمثالهما صحيحان إذا توافرت فيهما أركان
الزواج وشروطه وخلوه من الموانع، ولكن ذلك خلاف الأولى.
”Mentapkan akan
nikah dimana si wanita menggugurkan haknya mendapat tempat tinggal, nafkah,
pembagian giliran atau sebagiannya, dan dia rela bila suaminya nanti
mendatanginya di rumah kapan saja dia mau baik siang maupun malam.
Ini juga
mencakup penetapan akad nikah dengan syarat si wanita tetap berada di rumah
keluarganya dan mereka (suami istri) bisa bertemu kapan saja baik di rumah
keluarga si wanita atau di tempat lain, dan tidak ada rumah atau nafkah bagi si
istri.
Kedua akad ini
dan yang semisalnya adalah sah bila sudah memenuhi rukun-rukun pernikahan dan
terhindar dari hal-hal yang terlarang, hanya saja ini menyelisihi yang lebih
utama.”[9]
2.Pendapat yang
Melarang
Diantara mereka yang mengharamkan
nikah misyar adalah Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sebagaimana dinukil
oleh Usamah maupun Abdul Malik dari buku Ta’addud Az-Zaujat karya Ihsan
Al-Utaibi, Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Prof. Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar, Prof.
Dr. Ali Qurrah Daghi, Prof Dr. Ibrahim Fadhil Dabu, Syekh Abdul Aziz Al-Musnid,
Dr. Abdullah bin Muhammad Al-Jaburi, Dr. Ajil Jasim An-Nasyali, mantan dekan
fakultas syariah universitas Kuwait, Dr. Muhammad Abdul Ghaffar Syarif, dekan
fakultas syariah universitas Kuwait, Dr. Muhammad Ar-Rawi (anggota Perhimpunan
Riset Islam universitas Al-Azhar).
Demikian pula pendapat terakhir dari
Syekh Ibnu Baz, dimana sebelumnya disebutkan beliau pernah membolehkan dalam
fatwa tertanggal 18 Jumadil Ula 1417 H[10]. Tapi pada
fatwa yang dimuat majalah Ad-Da’wah edisi tanggal 12 Shafar 1420 H beliau
memfatwakan pelarangannya.[11] Juga ketika
ditanya oleh seorang wanita dari Mesir tahun 1419 H: ”Kami mendengar tentang
nikah sirri, nikah urfi, nikah mut’ah dan nikah misyar. Apa hukum syariat
terhadap kesemua pernikahan tersebut? Terimakasih.
Beliau menjawab: ”Kesemua jenis ini
tidak boleh karena bertentangan dengan syariat yang suci. Nikah yang syar’i
adalah nikah yang diumumkan, lengkap dengan rukun dan syarat yang diterima
secara syariat. Hanya Allah yang memberikan taufik.”[12]
Argumentasi
Mereka yang membolehkan
Secara garis besar alasan dan
dalil-dalil mereka yang membolehkan pernikahan ini, dalam artian menganggap
akadnya sah meski makruh bisa disimpulkan dalam point-point berikut:
- bahwa akad nikah ini lengkap
syarat dan rukunnya layaknya nikah biasa dan tidak ada penghalang yang
membuatnya menjadi batal.
- riwayat yang terkenal berkenaan
dengan kisah Saudah binti Zam’ah yang merelakan jatah malamnya diberikan
kepada Aisyah. Dalam shahihain, Aisyah ra menceritakan, ”Aku tidak pernah
melihat wanita yang mana aku lebih ingin menjadi seperti dirinya kecuali
Saudah binti Zam’ah, seorang wanita yang punya ketajaman.”
Aisyah melanjutkan, ”Ketika dia sudah
tua maka dia menjadikan hari gilirannya untuk didatangi Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam diberikan kepada Aisyah. Dia berkata, ”Wahai Rasulullah, aku
sudah merelakan giliranku untuk Aisyah.” Makanya Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam memberi jatah dua hari untuk Aisyah, satu hari giliran
aslinya dan satu lagi yang merupakan giliran Saudah.”[13]
Dalam riwayat Abu Daud, ”Ketika Saudah
sudah tua dan takut diceraikan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam,
maka diapun berkata, ”Wahai Rasulullah, giliranku untuk Aisyah saja.”
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pun menerimanya.[14]
Dengan ini berarti seorang istri boleh
menggugurkan haknya mendapat jatah giliran dan memberikannya kepada madunya.
Itulah yang dilakukan oleh istri yang dinikahi secara misyar dimana dia
merelakan malam-malamnya yang bahkan bisa sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun untuk istri resmi si suami.
- Adanya maslahat baik yang
terpulang pada istri maupun suami. Yang terpenting dari itu semua adalah
menghindari zina dengan segala perangkatnya. Tujuan utama dari pernikahan
adalah memperoleh hubungan intim yang halal antara suami dan istri.
Hubungan intim ini tidak hanya berupa seks, tapi juga pemuasan kebutuhan
batin, nafkah dan lain sebagainya yang mendekatkan antar dua hati berbeda
jenis yang tadinya diharamkan oleh Allah untuk berdekatan kecuali dengan
ikatan khusus yang bernama perkawinan.
Argumentasi
yang melarang:
Alasan pelarangan nikah misyar bisa
dikumpulkan dalam beberapa point berikut:
- Akad ini mengandung syarat yang bertentangan dengan
tujuan pernikahan yaitu syarat bahwa wanita tidak diberi nafkah, atau
syarat bahwa pembagian jatah malamnya tidak sama dengan istri yang lain.
- Nikah misyar umumnya terbangun atas dasar
penyembunyian, atau tidak diketahui banyak orang. Padahal, hukum asalnya
nikah itu harus diketahui banyak orang.
- Pernikahan seperti ini cenderung merugikan pihak
wanita, sehingga membuatnya hidup dalam kesempitan lantaran beberapa
haknya tergugurkan meski dengan kesediannya sendiri.
- Akan seringnya suami berbohong kepada istri pertama
atau keluarganya bila dia punya istri yang disembunyikan. Ini adalah jalan
melakukan dosa dan jalan dosa harus ditutup.
- Nikah ini bisa membuka pintu pelacuran terselubung
karena dengan gampangnya sang wanita akan mengakui sebagai istri misyar
dari seorang lelaki padahal bisa jadi mereka tidak menikah.
Beberapa point
di atas bisa dikerucutkan bahwa larangan nikah seperti ini kembali kepada saddu
dzari’ah (menutup jalan). Artinya menutup jalan pelanggaran yang kemungkinan
terjadi bila dia disahkan atau dianggap perkara yang diperbolehkan.
Akan tetapi point bahwa dia akan
dijadikan sarana untuk melakukan pelanggaran bisa terbantahkan karena banyak
pula nikah misyar itu diumumkan terbuka dengan pesta dan diketahui oleh semua
orang bahkan oleh istri pertama sang suami kalaupun dia masih beristri. Lagi
pula sebagaimana kita katakan di atas nikah misyar tidak mesti dalam kehidupan
berpoligami. Bisa jadi itu adalah istri satu-satunya bagi si lelaki.
Adapun bahwa di dalamnya mengandung
syarat yang batil seperti syarat tidak menafkahi atau syarat tidak adilnya
pembagian jatah malam dalam poligami, maka bisa dijawab bahwa itu bukanlah
syarat dan hanya permintaan dari pihak suami yang bila pihak istri mau maka dia
bisa mengabulkan, dan dia bisa menariknya kapanpun dia mau, karena semua itu
adalah haknya. Dalam hal ini sang istri yang semula setuju dengan permintaan
suami untuk tidak dinafkahi atau tidak dibagi adil jatah malamnya bisa saja
menarik diri dan meminta semua haknya secara penuh dan tak ada pilihan bagi
suami kecuali harus memenuhi hak tersebut atau menceraikannya. Itulah perbedaan
antara pengguguran hak dengan syarat.
Nikah Misyar
dan Kawin Gantung
Bila nikah misyar ini terkenal di
Timur Tengah maka di Indonesiapun ada yang mirip dengan pernikahan seperti ini
yang biasa disebut kawin gantung. Ciri yang sama antara nikah misyar dengan
kawin gantung adalah si suami tidak dibebankan menafkahi dan tinggal serumah
dengan istrinya. Mereka hanya bisa berhubungan kapan mereka mau laksana orang
pacaran.
Perkawinan seperti ini masih terdapat
di beberapa daerah seperti di Sumatera dan Jawa. Nikah gantung ini biasanya
terjadi pada pasangan yang masih sangat muda bahkan bisa jadi masih sekolah.
Sehingga menurut UU yang ada mereka belum diperkanankan untuk melakukan
aktivitas penikahan. Akibatnya kedua pihak antara orang tua pemuda dan pemudi sepakat
agar anak-anak mereka dinikahkan secara syariat lengkap rukun dan syaratnya,
hanya saja belum didaftarkan ke kantor urusan agama.
Tujuannya tidak lain adalah agar
anak-anak mereka bisa menjalani hubungan berpacaran secara halal karena secara
agama sudah terikat dalam pernikahan yang sah. Tapi mereka masing-masing masih
tinggal di rumah orang tua. Tak ada kewajiban nafkah lahir maupun batin dan
pelayanan suami istri dari mereka berdua. Tapi mereka bebas bertemu kapan
mereka mau layaknya orang pacaran.
Kalau ditinjau dari sisi hukum, maka
sama dengan nikah misyar. Sehingga bila kita putuskan mengesahkan nikah misyar
maka nikah gantung ini juga sah dan berkonsekuensi hukum.
Ini adalah solusi bagi masyarakat yang
ingin generasi muda mereka teraga dari jurang perzinaan, karena para remaja
muda mudi adalah kelompok yang paling rentan jatuh ke jurang dosa tersebut.
Pacaran adalah pengatarnya dan sedikit sekali orang pacaran tak berzina.
Semua orang yang telah mempelajari
agama ini tentu sadar betul bahwa pacaran itu haram. Tapi tak cukup sampai di
situ, orang tua yang membiarkan anaknya berpacaran juga tak kalah besar
dosanya, karena akan termasuk orang yang dayyuts, yaitu orang yang tak peduli
dengan dosa yang dilakukan anggota keluarganya, baik istri, suami, anak,
saudara dan saudari.
Ancaman bagi orang yang dayyuts sendiri
tidak main-main. Dia adalah dosa besar yang dijanjikan azab di akhirat
sebagaimana tertuang dalam beberapa hadits Nabi, antara lain hadits Abdullah
bin Umar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثَةٌ
قَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ ،
وَالدَّيُّوثُ "، الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ
”Ada tiga orang
yang Allah haramkan surga baginya: pecandu khamer, anak durhak dan dayyuts,
yaitu orang yang membiarkan kekejian ada pada keluarganya.”
(HR. Ahmad, no.
5372).
Belum lagi fenomena perzinaan yang makin
marak, anak haram lahir di mana-mana. Munculnya generasi muda kaya birahi tapi
miskin tanggung jawab. Maunya hanya melampiaskan hawa nafsu kepada pasangan
tanpa ada ikatan sehingga dengan mudah mereka tinggalkan. Memanfaatkan
kelemahan para wanita yang mudah terpanah asmara karena rayuan gombal hidung
belang. Inilah yang membuat para orang tua dan masyarakat harus memudahkan akad
nikah tapi tidak juga menggampangkan. Harus ada kearifan lokal yang mengatur agar
semua orang bertanggung jawab atas tindakan yang diambil dan bukan hanya
menjadikan wanita sebagai tempat pelampiasan birahi semata.
Bila mereka sudah menikah, meski dalam
bentuk nikah gantung, maka tak ada masalah kalau terjadi kehamilan, toh itu
bukan zina. Masalah tanggung jawab ekonomi bisa diselesaikan oleh keluarga
masing-masing, karena nikah gantung hanya akan terjadi atas persetujuan kedua
keluarga dan di bawah komando adat kearifan lokal.
Anshari Taslim untuk buku "RANJANG TERNODA"
[1]
Zawaj Al-Misyar Dirasah Fiqhiyyah wa Ijtima’iyyah naqdiyyah, hal. 75.
[2]
Mustajaddaat Fiqhiyyah, 163.
[3]
Ibid, hal 163-164.
[4]
Mustajjadaat Fiqhiyyah, hal. 167, Zawaj Al-Misyar dirasah fiqhiyyah, hal. 78,
keduanya menukil dari majalah Al-Usrah nomor 46 hal. 11 edisi Muharram 1418 H.
[5]
Tapi beliau sepertinya meralat pendapat itu, sebab memang pernah memfatwakan
kebolehannya.
[6] Lihat Mustajaddat Fiqhiyyah hal. 175 –
176 dan Zawaj Al-Misyar hal. 112-120.
[7] Lihat fatwanya di tautan ini: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=74398
[8] Lihat videonya di tautan ini: http://www.youtube.com/watch?v=gjNcrUTTZOA&feature=related
[9]
Qararaat Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami, hal. 106, dikumpulkan oleh Jamil Abu Sarah.
[10] Lihat buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah
fi Al-Masa`il Al-’Ashriyyah min Fatawa Ulama Balad Al-Haram hal. 450-451:
Beliau
ditanya:
“Saya
pernah membaca di salah satu koran yang di dalamnya terdapat bahasan nikahmis-yaar.
Yaitu seorang laki-laki menikah dengan istri kedua, atau ketiga, atau keempat.
Namun istri yang dinikahi ini karena kondisi tertentu terpaksa tinggal bersama
kedua orang tuanya atau pada salah satunya. Kemudian sang suami datang
kepadanya dalam waktu-waktu yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang ada
pada mereka berdua. Apa hukumnya menurut syari’at Islam bentuk pernikahan
seperti ini ? Kami mohon penjelasannya.
Maka beliau menjawab :
“Tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati
secarasyar’iy, yaitu
adanya wali, keridlaan kedua suami-istri (laki-laki dan wanita) tersebut,
adanya dua orang saksi yang ‘adil atas pelaksanaan akad, dan bersihnya
calon istri dari larangan-larangan. Kebolehan hal itu berdasarkan keumuman
sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
syarat yang paling berhak untuk dipenuhi adalah apa yang dengannya kalian
menghalalkan farji (yaitu pernikahan)”. Dan juga sabda beliau yang lain : “Orang-orang muslim itu tergantung
kepada syarat-syarat yang mereka sepakati”. Apabila kedua suami-istri itu
sepakat bahwa istrinya tetap boleh tinggal bersama kedua orang tuanya, atau
bagiannya di siang hari saja bukan di malam hari, atau pada hari-hari tertentu,
atau pada malam-malam tertentu; maka tidak mengapa akan hal itu. Dengan syarat,
pernikahan tersebut harus diumumkan, tidak boleh dirahasiakan”
[11] Lihat Majmu’ Fatwa Al-Allamah Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz jilid 20 hal. 431:
الواجب على كل مسلم أن يتزوج الزواج الشرعي وأن يحذر ما
يخالف ذلك سواء سمي زواج مسيار أو غير ذلك . ومن شرط الزواج الشرعي الإعلان فإذا
كتمه الزوجان لم يصح ؛ لأنه والحال ما ذكر أشبه بالزنى ، والله ولي التوفيق .
”Yang wajib bagi setiap muslim adalah menikah secara
syar’i dan menghindari apa yang menyelisihi itu baik dinamakan nikah misyar
atau apapun. Salah satu syarat pernikahan adalah mengumumkannya, apabila kedua
pasangan suami istri ini menyembunyikannya maka itu tidak sah, karena lebih
menyerupai zina. Hanya Allah-lah yang menguasai taufik.”
[12]
Majmu Fatawa Ibni Baaz 20/428.
[13]
HR. Al-Bukhari dan Muslim. Ini adalah redaksi Muslim nomor 1463 kitab
Ar-Radha’, bab: “Jawaz hibatuha naubataha li dhurratiha”.
[14]
Sunan Abi Daud nomor 2137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar