Dalam
keadaan bencana biasanya banyak orang yang berdonasi baik uang maupun barang.
Tak jarang ada juga yang sekalian ingin menyalurkan zakatnya kepada relawan
bencana atau lembaga yang menangani para penyintas untuk kemudian disalurkan
kepada penyintas.
Status
relawan ataupun lembaga kemanusiaan yang dititipkan dana zakat adalah wakil
dari muzakki yang berkewajiban menyalurkan zakat tersebut kepada mustahiq. Persoalannya
bolehkah zakat yang dalam bentuk uang tadi dibelikan barang untuk keperluan
para penyintas?
Pada
dasarnya zakat harus ditunaikan kepada mustahiq utuh dalam bentuk harta yang wajib
zakat itu sendiri. Misalnya kalau zakat ternak maka penyalurannya harus berupa
ternak, kalau hasil pertanian maka diserahkan dalam bentuk hasil pertanian
tersebut, kalau uang maka harus diserahkan dalam bentuk uang. Yang begini
menjadi kesepakatan para ulama. Lalu mereka beda pendapat bolehkah harta
tersebut diubah ke bentuk lain yang senilai harganya? Di sini jumhur ulama yang
merupakan pendapat resmi madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan
mengganti harta penyaluran zakat dari aslinya atau dengan kata lain membayarkan
senilai. Hanya madzhab Hanafi yang membolehkan dan didukung sebagian ulama
muhaqqiqin.
Setelah
mengamati alasan berbagai ulama dalam masalah ini saya cenderung pada pendapat
yang mempertimbangkan kemaslahatan. Patokannya, sebisa mungkin zakat harus
disalurkan dalam bentuk harta yang wajib dikeluarkan sebagaimana pendapat
mayoritas ulama dan tidak boleh diganti dengan barang lain yang senilai.
Tapi ada beberapa
kondisi yang menuntut muzakki maupun wakilnya dari kalangan relawan atau
lembaga kemanusiaan terpaksa membelikan barang keperluan mendesak. Misalnya
dalam kasus bencana alam di mana pasar tutup, kalaupun buka maka harga akan
sangat tinggi, sehingga membeli barang jadi kebutuhan pokok di daerah yang masih
aman lebih bermanfaat dan dibutuhkan oleh penyintas ketimbang memberikan mereka
uang yang mereka sendiri bingung mau belanja kemana. Apalagi dengan situasi di
mana mereka bersedih dan lebih memikirkan kesalamatan nyawa diri dan keluarga
dibanding melakukan kegiatan ekonomis.
Inilah yang mendasari
beberapa ulama berfatwa bolehnya menyalurkan zakat dalam bentuk barang yang dibutuhkan
mustahiq. Mereka yang berfatwa demikian antara lain:
1.Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat Abi
Daud
Sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni:
وقال أبو داود : سئل
أحمد عن رجل باع ثمرة نخله قال عشره على الذي باعه قيل له فيخرج ثمرا أو ثمنه قال إن
شاء أخرج ثمرا وإن شاء أخرج من الثمن
“Abu Daud berkata, Ahmad ditanya tentang
seorang yang menjual buah kurmanya, maka dia menjawab, “Zakat sepuluh persennya
diwajibkan atas orang yang menjualnya.” Ditanyakan lagi, dia harus mengeluarkan
dalam bentuk buah atau uangnya? Dia menjawab, “Terserah dia, boleh uang bolah
buah.”
(Al-Mughni terbitan Dar Al Fikr jilid 2 hal. 671).
2.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau
berkata dalam Majmu’ Fatawa:
وَأَمَّا
إخْرَاجُ الْقِيمَةِ فِي الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
فَالْمَعْرُوفُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ
وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَجُوزُ وَأَحْمَد - رَحِمَهُ اللَّهُ - قَدْ مَنَعَ
الْقِيمَةَ فِي مَوَاضِعَ وَجَوَّزَهَا فِي مَوَاضِعَ فَمِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ
أَقَرَّ النَّصَّ وَمِنْهُمْ مَنْ جَعَلَهَا عَلَى رِوَايَتَيْنِ. وَالْأَظْهَرُ
فِي هَذَا: أَنَّ إخْرَاجَ الْقِيمَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَلَا مَصْلَحَةٍ
رَاجِحَةٍ مَمْنُوعٌ مِنْهُ
“Adapun mengeluarkan nilai dalam zakat dan
kaffarah atau semisalnya, maka menurut yang dikenal dalam madzhab Malik dan Syafi’i
tidak diperbolehkan. Tapi menurut Abu Hanifah itu dibolehkan. Sedangkan Ahmad –rahimahullah-
membolehkan di beberapa riwayat dan melarang di riwayat lain. Di antara
pengikut Ahmad ada yang menetapkan nash dari Imam, ada pula yang menjadikannya
dua riwayat. Yang paling tampak dalam masalah ini adalah, mengeluarkan zakat dengan
barang senilai (bukan barang asli wajib zakat –penerj) tanpa adanya keperluan
tidak diperbolehkan.”
Kemudian setelah mengungkapkan dalil dan alasannya beliau
berkata lagi,
وَأَمَّا
إخْرَاجُ الْقِيمَةِ لِلْحَاجَةِ أَوْ الْمَصْلَحَةِ أَوْ الْعَدْلِ فَلَا بَأْسَ
بِهِ: مِثْلُ أَنْ يَبِيعَ ثَمَرَ بُسْتَانِهِ أَوْ زَرْعِهِ بِدَرَاهِمَ فَهُنَا
إخْرَاجُ عُشْرِ الدَّرَاهِمِ يُجْزِئُهُ وَلَا يُكَلَّفُ أَنْ يَشْتَرِيَ ثَمَرًا
أَوْ حِنْطَةً إذْ كَانَ قَدْ سَاوَى الْفُقَرَاءَ بِنَفْسِهِ " وَقَدْ نَصَّ
أَحْمَد عَلَى جَوَازِ ذَلِكَ. وَمِثْلُ أَنْ يَجِبَ عَلَيْهِ شَاةٌ فِي خَمْسٍ
مِنْ الْإِبِلِ وَلَيْسَ عِنْدَهُ مَنْ يَبِيعُهُ شَاةً فَإِخْرَاجُ الْقِيمَةِ
هُنَا كَافٍ وَلَا يُكَلَّفُ السَّفَرَ إلَى مَدِينَةٍ أُخْرَى لِيَشْتَرِيَ شَاةً
وَمِثْلُ أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَحِقُّونَ لِلزَّكَاةِ طَلَبُوا مِنْهُ إعْطَاءَ
الْقِيمَةِ لِكَوْنِهَا أَنْفَعَ فَيُعْطِيهِمْ إيَّاهَا أَوْ يَرَى السَّاعِي
أَنَّ أَخْذَهَا أَنْفَعُ لِلْفُقَرَاءِ. كَمَا نُقِلَ عَنْ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ لِأَهْلِ الْيَمَنِ: " ائْتُونِي بِخَمِيصِ أَوْ
لَبِيسٍ أَسْهَلُ عَلَيْكُمْ وَخَيْرٌ لِمَنْ فِي الْمَدِينَةِ مِنْ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ ". وَهَذَا قَدْ قِيلَ إنَّهُ قَالَهُ فِي
الزَّكَاةِ وَقِيلَ: فِي الْجِزْيَةِ.
“Adapun mengeluarkan barang senilai karena
adanya keperluan dan maslahat atau keadilan maka itu tidak mengapa. Misalnya
orang yang telah menjual hasil buah kebunnya dengan dirham, maka dalam hal ini
dia bisa mengeluarkan sepersepuluh dari uang dirham hasil penjualan itu dan tak
perlu dia membeli buah atau gandum bila dia telah membagikannya kepada fakir
miskin sendiri.
Imam Ahmad sendiri menegaskan kebolehan
ini, misalnya dalam kasus orang yang wajib zakat satu ekor kambing karena dia
punya lima ekor unta tapi dia tidak menemukan orang yang menjual kambing maka
dalam hal ini dia cukup mengeluarkan uang seharga kambing itu dan tidak
dibebankan untuk pergi ke kota lain hanya demi membeli kambing untuk zakat.
Kasus lain misalnya mustahiq sendiri yang
memintanya untuk dibelikan barang karena itu lebih bermanfaat buat mereka, atau
petugas zakat menganggap itulah yang lebih mereka butuhkan.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Mu’adz
bin Jabal bahwa dia berkata kepada penduduk Yaman, “Berikan kepadaku pakaian
saja, itu lebih mudah bagi kalian dan lebih bermanfaat bagi penduduk Madinah
dari kalangan Muhajirin maupun Anshar.” Tapi ada yang mengatakan pernyataan Mu’adz
ini untuk jizyah, ada pula yang mengatakan untuk zakat.”
Selesai nukilan dari Majmu’ Al-Fatawa jilid 25 hal.
82-83.
Di sini Ibnu
Taimiyah membolehkan mengganti uang dengan barang bila memang itu yang paling
diperlukan.
3.Syekh Abdul Aziz bin Baz
Dalam salah
satu fatwanya beliau mengatakan,
ويجوز أن يخرج عن النقود عروضاً من الأقمشة
والأطعمة وغيرها ، إذا رأى المصلحة لأهل الزكاة في ذلك مع اعتبار القيمة ، مثل أن
يكون الفقير مجنوناً ، أو ضعيف العقل ، أو سفيهاً ، أو قاصراً ، فيخشى أن يتلاعب
بالنقود ، وتكون المصلحة له في إعطائه طعاماً ، أو لباساً ينتفع به من زكاة النقود
بقدر القيمة الواجبة ، وهذا كله في أصح أقوال أهل العلم"
“Dibolehkan mengeluarkan barang sebagai ganti uang berupa
pakaian, makanan dan lain sebagainya jika memang itu yang dilihat lebih
bermaslahat untuk mustahiq dengan tetap memperhatikan nilai barang tersebut
sepadan dengan uang zakat. Misalnya dalam kasus mustahiq itu gila, lemah akal,
boros, tak mampu bertindak, yang bila diberikan sejumlah uang ditakutkan dia
akan mempermainkannya. Dalam hal ini yang lebih maslahat adalah memberikannya
makanan, atau pakaian yang berguna untuknya dari uang zakat tersebut. Inilah yang
lebih kuat di antara pendapat para ulama.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqaalaat Ibni Baz 14/253).
4.Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di
Ditemukan
dalam kitab Al-Mukhtaraat Al-Jaliyyah min Al-Masa`il Al-Fiqhiyyah yang
merupakan kumpulan pilihan fikih beliau yang dikumpulkan oleh Muhammad bin
Ayyadi Khathir hal, 61:
والصحيحُ
جوازُ زكاة العروض من العروض، لأن الزكاة مواساة، فلا يكلفها من غير ماله، كما أن
الصحيح جوازُ إخراج القيمة في الزكاة، إذا كان في ذلك مصلحةٌ للجهة المخرَج عليها
“Yang benar zakat komoditas perdagangan boleh dengan barang
dagangan itu sendiri (tidak perlu diuangkan –penerj) karena zakat itu
mempermudah sehingga tidak dibebankan dari harta yang bukan jenis wajib zakat.
Sebagaimana yang benar adalah bolehnya mengeluarkan nilai (qiimah) dalam zakat bila
itu bermaslahat untuk penerima zakat.”
Dari kesemua
paparan ini maka dibolehkan membelanjakan uang zakat tersebut dalam bentuk
bahan makanan atau keperluan lain yang urgent dibutuhkan penyintas, dengan
syarat bila memberikan uang justru akan mempersulit mereka. Namun bila
memberikan uang tidak mempersulit mereka maka wajiblah memberikan dalam bentuk
uang.
5.Lembaga Fatwa Yordania
Dalam situs
resmi lembaga fatwa Ulama Yordania mereka membolehkan pembelanjaan uang zakat
dalam bentuk makanan dan obat-obatan bila memang hal itu yang mendesak untuk
mustahiq
6. Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi
فتوى رقم ( 13232 )
س: نحب أن نستوضح من سماحتكم
عن موضوع صرف مبالغ من الزكاة لشراء مواد غذائية منوعة وعينية كالبطانيات والملابس
وصرفها لبعض الجهات الإسلامية الفقيرة مثل السودان وأفريقيا والمجاهدين الأفغان
خاصة في الحالات التي لا تتوفر المواد الغذائية بأسعار معقولة في تلك البلدان أو
تكاد تكون معدومة فيها كلية، وإن توفرت فيها فهي بأسعار مضاعفة عن الأسعار التي
تصلهم بها لو أرسلت عينا.. نرجو إفادتنا جزاكم الله خيرا بما ترونه حيال ذلك.
ج : إذا كان الأمر كما ذكر
فإنه لا حرج في ذلك؛ مراعاة لمصلحة مستحقيها.
وبالله
التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Pertanyaan:
Kami
ingin minta nasehat dari antum sekalian tentang membelanjakan uang zakat dengan
bahan makanan dan barang-barang kebutuhan seperti pakaian lalu membagikannya ke
beberapa kawasan negeri muslim yang faqir seperti Sudan, Afrika dan Mujahidin
Afghanistan, terutama dalam kondisi bahan tersebut tidak tersedia di sana dengan
harga yang masuk akal. Kalau pun ada maka harganya sudah tinggi tidak masuk
akal.
Jawab:
Bila
demikian keadaannya maka tidak ada masalah demi mempertimbangkan maslahat para
mustahiq.
(Fatawa Lajnah Ad-Da`imah jilid 9 hal. 433).
Kesimpulan dan saran:
- Hendaknya berusaha memberikan uang zakat dalam bentuk uang kepada mustahiq dan jangan membelikannya barang.
- Pembelian barang hanya dilakukan bila ada kebutuhan mendesak dan memberi uang malah mempersulit atau merugikan mustahiq.
- Atau dengan menempuh cara seperti yang disarankan Syekh Al Utsaimin dalam fatwanya:
ولكن هناك طريقة : إذا خفت لو أعطيت الزكاة لأهل هذا البيت صرفوها
في غير الحاجات الضرورية ، فقل لرب البيت ، سواء كان الأب أو الأم أو الأخ أو العم
، قل له : عندي زكاة ، فما هي الأشياء التي تحتاجونها لأشتريها لكم وأرسلها لكم ؟
فإذا
سلك هذه الطريقة ، كان هذا جائزاً ، وكانت الزكاة واقعة موقعها
“Namun ada satu jalan bila anda takut memberikan uang
akan dibelanjakan bukan untuk kebutuhan pokok, maka sampaikan kepada penghuni
rumah (mustahq zakat) baik dia ayah, ibu, saudara atau paman, “Saya punya uang
zakat, maka sebutkan saja apa yang anda butuhkan, saya akan membelinya untuk anda.”
Jika ini yang ditempuh maka itu boleh, sehingga zakat
tetap tersalur pada tempatnya.”
(Majmu’ Fatawa Al-Utsaimin dinukil dari situs ISLAMQA).
Apa yang
disampaikan oleh Syaikh Al-Utsaimin ini adalah bentuk tawkil, di mana kita
minta menjadi wakil dari mustahiq untuk membelikan barang keperluannya dari uang
zakat yang kita jatahkan untuknya.
Bolehkan uang zakat untuk dapur umum?
Jawab: Jelas ini tidak boleh, karena zakat itu sifatnya
harus tamlik, artinya menyerahkan barang untuk menjadi hak milik orang
tertentu, bukan orang umum seperti halnya dapur umum di mana yang tak berhak
pun bisa makan di situ.
Di sinilah beda perlakuan antara uang zakat dengan infaq
shadaqah biasa yang harus diperhatikan oleh lembaga kerelawanan.
Wallahu a’lam bis shawab.
Anshari Taslim
9 April 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar