Telah
diketahui bersama bahwa tujuan pernikahan dalam Islam untuk membina rumah
tangga yang lestari. Diharapkan sebuah pernikahan langgeng abadi sampai mati.
Meski kadang ketika mengarungi semudera kehidupan bahtera rumah tangga bisa
saja diterpa badai persoalan. Semua itu bagian dari dinamika hidup manusia di
dunia, karena hidup itu adalah ujian.
Oleh
sebabnya, bisa saja sebuah ikatan pernikahan terpaksa dilepas karena tak ada
kecocokan antara pasangan suami istri melalui perceraian. Yang menjadi persoalan
adalah ketika ada orang menikah tapi dalam hatinya terbesit niat tidak untuk
jangka waktu lama. Inilah yang biasa disebut dengan nikah dengan niat talak.
Masalah
ini adalah masalah lama yang juga sudah dibahas para ulama fikih sejak dahulu.
Pendapat Para Ulama Madzhab
Madzhab Hanafi
Madzhab
Hanafi menganggap pernikahan ini sah, dan niat tidak merusak akad.
Az-Zaila’iy dalam kitab Tabyin
Al-Haqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq jilid 2 hal. 116 mengatakan,
وَلَوْ
تَزَوَّجَهَا مُطْلَقًا وفي نِيَّتِهِ أَنْ يَقْعُدَ مَعَهَا مُدَّةً نَوَاهَا
فَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ
”Kalau dia menikahinya tanpa syarat tapi dalam niatnya
dia hanya akan mengikat akad nikah bersama wanita itu dalam jangka waktu yang dia
simpan dalam hati maka nikahnya tetap sah.”
Juga Ibnu
Nujaim dalam Al-Bahr Ar-Ra`iq menambahkan perkataan Az-Zaila’i ini, (لِأَنَّ التَّوْقِيتَ إنَّمَا يَكُونُ بِاللَّفْظِ) (karena nikah sementara itu akan
terjadi kalau diucapkan)[1].
Maksudnya sebuah akad nikah akan menjadi akan mu`aqqat (sementara) yang
hukumnya haram dan tidak sah bila diucapkan, sedangkan bila hanya diniatkan
maka tidak merusak akad, sehingga tetap
sah.
Juga
Al-Kamal Ibnu Al-Hummam dalam Fath Al-Qadir juz 3 hal. 249 mengatakan, “Adapun
kalau dia menikahinya tapi dalam hatinya dia berniat akan menceraikannya maka
pernikahan itu tetap sah.”
Kesemua
mereka mengucapkan hal tersebut setelah membahas masalah nikah mut’ah dan nikah
muaqqat. Mereka mengucapkan itu demi menjelaskan bahwa nikah dengan niat talak
tanpa diucapkan bukan termasuk nikah mut’ah atau nikah muaqqat (sementara) dan
nikah yang hanya terkotori oleh niat si mempelai pria seperti itu tidaklah
merusak akad, sehingga pernikahan tersebut tetap sah dan berlaku padanya segala
konsekuensi pernikahan. Adapun apakah si pria tadi mendapat dosa akan niatnya
itu, maka itu adalah hal lain dan bukan bahasan hukum wadh’i.
Madzhab Maliki
Madzhab
Maliki juga sepedapat persis dengan madzhab Hanafi dalam hal ini, dimana mereka
menganggap bahwa akad yang dilakukan seorang laki-laki yang menyimpan rencana
akan menceraikan istrinya dalam jangka waktu tertentu tapi niat itu tidak
disampaikannya adalah sah.
Ibnu Rusyd
Al-Jadd dalam kitabnya Al-Bayan wa At-Tahshil juz 4 hal. 309 mengatakan,
”Malik pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang
punya syahwat terhadap seorang wanita, lalu dia ingin menikahinya sehingga dia
bisa melampiaskan nafsunya itu kepada wanita tersebut. Tapi dia sendiri
sebenarnya tidak berkeinginan untuk hidup abadi dengan wanita itu dan akan
segera menceraikannya setelah dia mereguk kepuasan. Malik menjawab, ”Itu tidak
mengapa, tapi itu bukan perbuatan baik dan bukan termasuk akhlak manusia.
Kurasa setiap wanita yang tahu akan hal ini tidak akan pernah sudi menikah
dengan pria semacam itu.”
Kemudian
Ibnu Rusyd Al-Jadd memberi komentar,
”Sedangkan orang yang menikahi wanita dengan niat bila
dia selesai melampiaskan nafsu dengan wanita tersebut maka dia akan
menceraikannya maka pernikahan semacam ini sah sebagaimana kata Malik di atas
asalkan itu tidak tampak dan tidak pula disyaratkan (dengan ucapan). Sebab,
kadang dia menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya, tapi seiring
berjalannya waktu dia tidak menceraikannya. Sebaliknya, ada pula orang yang
menikah dengan niat akan mempertahankan istrinya tapi kemudian itu berubah lalu
diapun menceraikannya lantaran suatu yang terjadi kemudian. Tidakkah anda lihat
bahwa kalau seorang pria meniatkan dalam hati akan menceraikan istrinya di saat
dia sudah tak bernafsu lagi pada wanita itu maka hal tersebut tidaklah
berpengaruh pada keberlangsungan akad nikah mereka?!
Dasar dari
hukum ini adalah firman Allah,
tûïÏ%©!$#ur öNèd
öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym
ÇÎÈ wÎ)
#n?tã
öNÎgÅ_ºurør& ÷rr&
$tB ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷r&
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki….” (Qs. Al Mukminun
: 5-6) sampai akhir ayat.
Ini sama dengan pembolehan yang
dilakukan oleh Ibnu Kinanah terhadap seorang pria yang datang ke suatu negeri
lalu dia ingin tinggal di negeri itu selama satu bulan. Selanjutnya dia menikah
agar terjaga (dari zina) tapi dia berniat untuk menceraikan istrinya itu bila
nanti sudah meninggalkan negeri tersebut. Kalaupun itu terjadi (talak tersebut)
maka itu perbuatan yang telah dia bicarakan dalam hati tanpa harus
menyembunyikannya.”
Tapi Ibnu Rusyd memberi batasan,
“Kalau si wanita itu tahu (akan niat suaminya tersebut) sebelum akad nikah
terjadi maka itu sama saja dn mut’ah…..”
Artinya, selama niat itu hanya
dipendam oleh si suami dan tak terungkap sampai akad berlangsung maka niat itu
tidak akan merusak akad dan tidak berpengaruh pada keberlangsungan pernikahan.
Bahkan menurut kalangan madzhab Maliki
seandainya wanita itupun tahu akan niat tersebut dari gejala yang ditimbulkan
si suami maka pernikahan tetap sah selama si suami tidak dengan sengaja
memberitahunya. Ad-Dardir mengatakan, “Hakekat nikah mut’ah yang difasakh untuk
selamanya adalah bila dalam akad disebutkan jangka waktu bagi si wanita maupun
walinya. Sedangkan kalau itu tidak terjadi dalam akad dan si suami tidak
memberitahukan hal itu (niat menceraikan –penerj) dan hanya memendamnya dalam
hati tapi si wanitanya atau walinya tahu bahwa si suami akan menceraikannya
setelah beberapa waktu maka itu tidak merusak (akad). Ini merupakan
kegunaan bagi orang asing (perantau atau pekerja asing).”[2]
Ad-Dusuqi
mengomentari, ”Kalau dia (si suami) tidak menjelaskan kepada si wanita atau
walinya akan hal itu (rencana menceraikan) dan si wanitapun tidak tahu apa yang
dia rencakan dalam hatinya maka ini bukanlah nikah mut’ah berdasarkan
kesepakatan.”[3]
Madzhab Asy-Syafi’i
Seperti dalam masalah nikah tahlil,
madzhab Asy-Syafi’i menganggap pernikahan yang direncanakan tidak akan
berlangsung lama, tapi tidak disebutkan dalam akad maka itu tetap sah karena
tidak ada pensyaratan tahlil di dalamnya, sedangkan niat tidak teranggap dalam
akad, meski hal ini dimakruhkan. Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm,
”Demikian pula
kalau dia menikahinya sedangkan niatnya atau niat si wanita ini atau salah satu
dari mereka bahwa tidak akan menikahinya dalam waktu lama kecuali sekadar
menyetubuhinya agar dia menjadi halal untuk mantan suaminya, maka nikah seperti
ini tsabit (sah), baik itu juga diniatkan oleh wali bersama si wanitanya atau
orang lain, atau tidak ada yang meniatkannya termasuk wali. Dalam hal ini tidak
bisa dikatakan akad itu rusak selama nikahnya tidak disebutkan dengan syarat
yang bisa merusaknya.”[4]
Al-Mawardi mengatakan ketika membahas
nikah tahlil,
”Bagian ketiga,
hal itu disyaratkan sebelum akad lalu dia (muhallil) menikahinya tanpa syarat
tapi sudah diniatkan dan sudah diyakini pensyaratan itu, maka nikahnya sah
karena tidak ada syarat yang merusaknya tapi ini makruh, karena dia sudah
berniat dengan suatu niat yang kalau disebutkan akan merusak akad itu. Tapi
akan itu sendiri tidak akan rusak dengan niat, karena bisa saja seseorang
berniat sesuatu yang tidak jadi dia lakukan atau melakukan sesuatu yang tidak
dia niatkan.”[5]
An-Nawawi mengatakan dalam Shahih
Muslim jilid 9 hal. 182:
”Al-Qadhi
berkata, Mereka telah sepakat bahwa siapa yang menikah dengan nikah yang mutlak
(tanpa ada syarat dalam akad) tapi dalam niatnya dia berencana untuk tidak akan
selamanya dengan istrinya ini atau hanya dalam jangka waktu tertentu yang sudah
dia rencanakan maka nikahnya tetap sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Yang
dinamakan nikah mut’ah itu hanyalah kalau terjadi pensyaratan yang disebutkan
di atas. Akan tetapi Malik mengatakan bahwa itu bukan termasuk akhlak manusia.
Tapi Al-Awdza’i aneh sendiri dengan mengatakan itu sama saja dengan nikah
mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Wallahu a’lam.”
Kalau
dalam kondisi ada rencana tahlil saja madzhab Syafi’i tetap menganggap sah
akadnya apalagi dalam kondisi tidak ada rencana yang disepakati kedua pihak
sebelum akad dan hanya direncanakan oleh pihak suami semata.
Madzhab Hanbali
Ada
perbedaan pendapat di kalangan madzhab Hanbali mengenai masalah ini.
Berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad sendiri bahwa beliau menganggap nikah dengan
niat talak ini sama dengan mut’ah, Abdullah bin Ahmad berkata, ”Aku bertanya
kepada ayahku tentang seseorang yang menikahi wanita tapi dalam niatnya dia
akan menceraikan wanita itu, maka ayahku menjawab, ”Aku membencinya, itu adalah
mut’ah.”[6]
Begitu
pula dalam riwayat Abu Daud yang berkata, “Aku mendengar Ahmad ditanya tentang
seorang laki-laki yang menikahi wanita dengan syarat dia akan membawanya ke
Khurasan. Tapi dia berencana kalau sudah sampai di Khurasan maka dia akan
melepaskannya (menceraikannya). Apakah di sini dia dianggap wanita yang
tersesat?” Ahmad menjawab, ”Tidak, ini mirip dengan mut’ah. Tidak boleh, dia
harus menikahinya dengan tekad bahwa wanita itu akan terus menjadi istrinya
selama hidup.”[7]
Inilah
pendapat yang dipegang dalam madzhab, sebagaimana kata Al-Mardawi dalam
kitabnya Al-Inshaf:
”Kalau dia berniat dalam hati (untuk menceraikannya) maka
itu sama saja dengan kalau dia mensyaratkannya (dalam akad). Inilah pendapat
yang shahih dalam madzhab, ditegaskan oleh Ahmad sendiri dan itulah yang
dipegang para ulama madzhab.”[8]
Akan tetapi Ibnu Qudamah menyelisihi
pendapat madzhabnya dan menganggap pernikahan ini sah. Dia berkata dalam
Al-Mughni jilid 7 hal. 137:
”Kalau dia
menikahi wanita itu tanpa syarat, hanya saja dalam niatnya dia akan menceraikan
wanita tersebut sebulan kemudian, atau kalau sudah selesai keperluannya di
negeri tersebut maka nikahnya tetap sah berdasarkan pendapat kebanyakan ulama
kecuali Al-Auza’i yang mengatakan itu adalah nikah mut’ah. Yang benar, itu
tidak mengapa dan niat itu tidak membahayakannya. Seorang pria tidak
berkewajiban untuk berniat agar senantiasa bersama dengan istrinya (tidak
mencerai selamanya). Cukuplah baginya kalau dia suka, tapi kalau tidak dia bisa
menceraikannya.”
Pendapat
Ibnu Qudamah ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Muflih dari kalangan
Hanabilah. Ibnu Muflih mengatakan dalam Al-Mubdi’ 6/154:
”Secara zahir bahwa kalau dia menikahinya tanpa syarat
tapi dalam hatinya dia meniatkan akan menceraikan istrinya itu maka nikahnya
tetap sah berdasarkan pendapat mereka semua, kecuali Al-Awza’i yang berkata,
itu adalah nikah mut’ah. Yang benar itu tidak mengapa.”
Sepertinya
Ibnu Taimiyah cenderung pada pendapat ini, yaitu menganggap akad tetap sah
meski perbuatan ini berdosa. Dalam Majmu’ Al-Fatawa jilid 32 hal. 147
disebutkan,
”Seperti halnya musafir yang melakukan perjalanan ke
suatu negeri dan menetap di sana beberapa lama lalu dia menikah tapi dalam
hatinya dia berniat akan menceraikan istrinya itu kalau dia sudah kembali ke
kampung halaman. Dia melakukan akad nikah yang mutlak (tanpa syarat). Dalam hal
ini ada tiga pendapat dalam madzhab Ahmad. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah
nikah yang boleh, ini adalah pilihan Abu Muhammad Al-Maqdisi dan sesuai dengan
pendapat jumhur.
Ada pula yang
mengatakan itu adalah nikah tahlil dan tidak boleh. Ini diriwayatkan dari
Al-Awza’i dan inilah pendapat yang didukung oleh Al-Qadhi dan para muridnya
dalam Al-Khilaf. Ada pula yang mengatakan itu makruh.
Yang
benar, ini bukanlah nikah mut’ah dan tidak haram. Itu karena dia memang
benar-benar ingin menikah beda halnya dengan muhallil (yang melakukan nikah
tahlil), hanya saja di sini dia tidak ingin melanggengkan pernikahan bersama istrinya
itu. Tapi kelanggengan rumah tanggapun bukan syarat dalam pernikahan dan
bukanlah sebuah kewajiban untuk mempertahankan istri selama-lamanya, justru
kadang dia bisa saja menceraikannya. Seandainya dia bermaksud menceraikannya
setelah itu berarti dia memaksudkan sesuatu yang memang boleh. Ini berbeda
dengan nikah mut’ah, karena dia sama dengan sewa menyewa yang selesai dengan
habisnya masa berlaku dan dia tidak lagi punya kepemilikan pada diri wanita itu
begitu selesainya masa berlaku tersebut.
Sedangkan
dalam nikah ini (nikah dengan niat cerai) maka kepemilikannya tetap ada tanpa
syarat. Diapun bisa saja mengubah niatnya sehingga malah mempertahankan wanita
itu sebagai istrinya selama hidup. Itu semua diperbolehkan sebagaimana kalau
dia menikah dengan niat ingin mempertahankan istrinya selama hidup tapi terjadi
suatu dan lain hal sehingga dia mengubah niat itu dan menceraikannya.”
Selesai dari Ibnu Taimiyah.
Bagaimana dengan ulama masa kini?
Demikianlah
terlihat bahwa mayoritas ulama terdahulu menganggap pernikahan dengan niat
talak ini sah kecuali Al-Awza’i dan Ahmad bin Hanbal yang menganggapnya sama
atau mirip dengan mut’ah.
Pendapat
kedua imam ini sepertinya mendapat banyak dukungan dari kalangan ulama masa
kini. Dulu pendapat mereka minoritas, tapi sekarang malah menjadi pendapat
mayoritas di kalangan ulama Islam kontemporer. Dari beberapa paparan berupa
buku maupun makalah yang membahas masalah ini kita dapati bahwa sebagian besar
ulama masa kini mengharamkan nikah dengan niat talak.
Dimulai
dari paparan Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar jilid 5 hal. 15:
”Demikianlah, dan bahwa pengetatan ulama salaf maupun
khalaf dalam melarang pernikahan mut’ah mengakibatkan mereka juga melarang
nikah dengan niat talak. Meski para fukaha mengatakan bahwa akad nikah itu sah
meski si suami meniatkan dalam hatinya untuk menikah hanya sementara waktu
asalkan dia tidak mensyaratkannya dalam akad, akan tetapi menyembunyikan niat
ini termasuk penipuan. Dia lebih pantas untuk dianggap batil (tidak sah)
dibanding akad yang terus terang mensyaratkan jangka waktu.
Pernikahan
itu hendaknya dilakukan dengan saling ridha antara suami dan istri serta
walinya. Tidak ada kerusakan di dalamnya kecuali perbuatan tak perlu dengan adanya
ikatan agung ini. Ikatan yang merupakan ikatan paling agung di antara
ikatan-ikatan kemanusiaan yang ada. Sebagai pemenuhan kebutuhan birahi bagi
pria dan wanita agar tak melakukan hal-hal yang mungkar. Sehingga, apa yang
tidak disyaratkan padanya kalau dihimpunkan pula di dalamnya akan menjadi
penipuan dan akan mengakibatkan
kerusakan lain berupa permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan
bahkan kepada orang-orang jujur sekalipun yang sebenarnya ingin menikah dengan
pernikahan sebenarnya. Pernikahan adalah media untuk menjaga kehormatan suami
maupun istri dan wahana saling membantu guna mendirikan sebuah rumah tangga
shalih di antara rumah-rumah umat yang ada.”
Di sini
jelas Syekh Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan Imam Al-Auza’i yang
menyamakan akad nikah dengan niat cerai (talak) ini sama dengan nikah mut’ah
yang batil.
Salah satu
lembaga fatwa yang mendukung pendapat ini pula adalah Komisi Tetap (lajnah
da`imah) Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai Syekh Abdul Aziz bin Abdullah
Alu Syaikh dalam fatwa mereka nomor 21140 yang ditandatangani pula oleh Dr.
Bakr Abu Zaid, Dr. Shalih Al-Fauzan dan Abdullah bin Qa’ud.
Berikut fatwanya:
Pertanyaan:
Telah tersebar di kalangan para pemuda fenomena melakukan
perjalanan ke luar negeri untuk menikah dengan niat talak. Nikah itulah yang
menjadi tujuan mereka melakukan perjalanan tersebut berlandaskan pada fatwa
dalam masalah ini. Banyak orang yang salah paham terhadap fatwa tersebut.
Bagaimana hukum hal ini?
Jawab:
Nikah dengan niat talak adalah nikah sementara dan nikah
sementara itu batil, karena dia adalah mut’ah padahal mut’ah itu haram
berdasarkan ijmak. Pernikahan yang benar adalah yang diniatkan lestari berumah
tangga bila memang si istri ini cocok dengannya. Tapi bila tidak
dia bisa menceraikannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
”Hendaklah mempertahankannya dengan patut atau
menceraikannya dengan baik.” (Qs. Al-Baqarah).”
Di sini
jelas bahwa lajnah daimah di masa pimpinan Syekh Abdul Aziz Alu Syaikh
menyamakan antara nikah dengan niat talak dengan mut’ah dan ini adalah pendapat
Al Auza’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang kemudian menjadi pegangan
pendapat madzhab sebagaimana dikatakan oleh Al-Mardawi dalam kitabnya Al-Inshaf
Selain itu
ada pula rekomendasi dari Asosiasi Ahli Fikih Islam Majma’ Al-Fiqh Al-Islami Rabithah
Alam Islami dalam daurah ke-18 di Mekah pada tanggal 12 April 2006. Daurah ini
membahas beberapa point salah satunya adalah nikah dengan niat talak, berikut
rekomendasi Majma’:
”Nikah dengan niat talak adalah pernikahan yang telah
lengkap rukun dan syaratnya, hanya saja si suami menyembunyikan niat untuk
menceraikan si istri dalam jangka waktu tertentu, seperti sepuluh hari, ataupun
waktu yang tidak ditentukan, misalnya bila dia telah selesai studi atau
menyelesaikan urusannya di tempat tersebut.
Pernikahan seperti ini, meski sebagian ulama
membolehkannya, akan tetapi majma’ berpendapat hal itu terlarang, karena
mengandung penipuan dan kebohongan. Seandainya si wanita atau walinya tahu akan
niat itu tentu mereka tidak akan menerima akad tersebut.
Selain itu, akad ini juga membawa kerusakan yang besar dan
dapat menyemarkan nama baik kaum muslimin.”
Sepertinya
Majma’ juga berpendapat bahwa akad nikah tersebut harus dianggap fasid
selayaknya nikah mut’ah.
Kemudian
ada pendapat dari Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam hal ini yang sepertinya
berusaha mengkompromikan antara yang membolehkan dengan yang melarang. Satu
ketika beliau mengatakan bahwa itu sama dengan nikah mut’ah seperti yang
dikutip oleh Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur dalam bukunya ”Az-Zawaj bi
Niyat Ath-Thalaq” hal. 63 – 64 dari buku syaikh Syarh Manzhumat Ushul Al-Fiqh.
Di sana Al-Utsaimin menyamakan niat melakukan mut’ah dengan mut’ah itu sendiri
meski tak terucap dalam akad. Ini jelas sama dengan pendapat
Al-Auza’i dan madzhab Hanbali.
Kemudian
Dr Manshur juga menukil surat jawaban Syekh tentang masalah ini :
Tanya: Apa yang dinukil dari anda bahwa anda telah
memfatwakan bolehnya nikah dengan niat talak dalam jangka waktu tertantu,
apakah ini benar atau tidak?”
Beliau menjawab:
Apa yang
dinukil dari saya bahwa saya memfatwakan kebolehan nikah dengan niat talak
tidaklah benar dan saya tidak pernah menyatakan kebolehannya dengan alasan:
Pertama:
bahwa itu bertentangan dengan tujuan pernikahan yang syar’i, karena tujuan
nikah yang syar’i adalah kelanggengan pernikahan serta melekatkan kecintaan dan
kasih sayang antara suami dengan istri guna memperbanyak keturunan antar
mereka. Maka dari itulah nikah tahlil diharamkan karena tidak bertujuan untuk
kelanggengan rumah tangga, meski berbeda dengan yang ini bahwa tujuannya adalah
kepentingan si muhallal lahu. Berbeda dengan orang yang menikah dengan niat
talak , karena tujuannya adalah bersenang-senang dengan wanita untuk jangka
waktu tertentu. Tapi antara keduanya (nikah tahlil dengan nikah dengan niat
talak) ada kesamaan.
Kedua: Pernikahan
ini berporos antara penipuan dengan nikah mut’ah, karena kalau si suami
memberitahukan kepada si istri atau walinya akan niatnya itu maka akad tersebut
akan menjadi nikah sementara waktu dan itu mirip dengan nikah mut’ah. Tapi kalau
dia tidak mengabarkan itu kepada mereka maka termasuk penipuan, karena kalau
mereka tahu, besar kemungkinan pernikahan itu akan dibatalkan.
Ketiga: Ada
kemungkinan mereka dikarunia anak, sehingga kalau dia menceraikannya maka akan
terjadi masalah. Kalau dia terpaksa mempertahankan istrinya itu maka diapun
menjalani rumah tangga dalam keadaan terpaksa (demi anak –penerj), dan itu
kemungkinan akan mengakibatkan beberapa hal yang sulit.
Keempat:
bahwa ini membuka pintu larangan yaitu seseorang melakukan pelesiran ke negeri
lain dan tujuannya tidak ada lain kecuali melakukan pernikahan tersebut sebagaimana
yang sering kami dengar.
Lantaran
alasan-alasan ini kami menganggap keharaman nikah dengan niat talak dan
hendaknya setiap orang bersabar, “Hendaklah orang-orang yang tidak mampu
menikah menjaga kesucian diri sampai Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya..” (Qs. An-Nur : 33).
Kalau
Allah sudah memberinya kemampuan lalu diapun menikah maka hendaklah dia membawa
istrinya itu ke tempat dia bepergian bila dia memintanya. Kecuali kalau si
istri ini dalam akad nikah sudah mensyaratkan agar dia tidak dibawa keluar
negeri oleh suaminya. Kalau sudah begitu hendaklah dia maupun suami menjaga
kehormatan diri dan berhijab.
Saya
mengingatkan mereka yang bepergian dengan tujuan hanya untuk melakukan nikah
dengan niat talak yang masih diperselisihkan ini dalam bentuk tersebut, maksud
saya hendaklah mereka tidak bepergian dengan tujuan bersenang-senang dengan
wanita melalui nikah model ini, karena yang begitu sudah bukan lagi masalah
khilafiyyah. Perbedaan pendapat hanya pada orang asing yang merasa kesulitan
tanpa istri lalu dia menikah dengan niat menjaga kemaluannya pada saat dia
berada di luar negeri. Kalau dia sudah pula ke negerinya
maka dia akan menceraikan wanita itu. Ada perbedaan jelas antara itu dengan
orang yang bepergian hanya untuk menikah dengan niat talak kalau benar-benar
diperhatikan. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan memperhatikan
urusan ini dengan pikiran murni tak tercampur nafsu birahi supaya bisa melihat
kebenaran dengan jelas. Saya mohon kepada Allah agar menjaga semuanya dari
sebab-sebab kemurkaan-Nya.”
Selesai.
Akan
tetapi di beberapa tempat Syekh juga mengajukan pendapat bahwa nikah itu tetap
sah tapi pelakunya berdosa. Seperti yang beliau katakan dalam Asy-Syarh
Al-Mumti’:
“Tinggal lagi dikatakan, kalau dia meniatkan mut’ah tanpa
syarat (menyebutkannya dalam akad), artinya si suami ini meniatkan dalam
hatinya bahwa dia menikahi perempuan tersebut hanya untuk waktu sebulan selama
dia masih berada di negeri itu saja. Apakah yang seperti ini kita katakan
sama hukumnya dengan nikah mut’ah?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Ada ulama yang
mengatakan bahwa itu haram. Ini adalah pendapat madzhab (Hanbali) karena sama
dengan hukum mut’ah, lantaran dia telah meniatkannya. Sedangkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya segala perbuatan itu
dengan niat dan segala perkara berdasarkan untuk apa dia diniatkan.”
Orang tersebut telah masuk pada nikah mut’ah sementara,
sebagaimana kalau dia meniatkan nikah tahlil, meski tidak mensyaratkannya
(menyebutkannya ketika akad) maka itu hukumnya sama dengan yang tersyarat.
Demikian pula kalau dia meniatkan mut’ah meski tidak menyebutkannya ketika akad
maka hukumnya sama dengan yang disebutkan ketika akad. Pendapat ini kuat.
Pendapat lain mengatakan bahwa itu bukanlah nikah mut’ah,
karena tidak mencakup definisi nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah seseorang
menikahi si wanita hanya sementara dalam jangka waktu yang ditentukan. Ciri
khas nikah ini adalah dia akan berakhir otomatis dengan berakhirnya jangka
waktu dan tidak ada lagi pilihan bagi si suami maupun istri di dalamnya. Karena
nikah sementara akan otomatis mengharamkan si istri begitu waktunya selesai dan
tidak ada rujuk di dalamnya karena pemisahannya dilakukan bukan dengan talak,
melainkan pemisahan nikah dan terlepasnya wanita. Sedangkan yang meniatkan
demikian, apakah dia harus melaksanakan niatnya bila waktu yang dia niatkan itu
sudah tiba?
Jawabnya tentu tidak, karena bisa saja ada orang yang berniat
menikahi seorang wanita hanya ketika dia masih berada di negeri tersebut, tapi
setelah benar-benar menikah dan bercampur dia mengubah niatnya dan tidak
menceraikannya. Kalau sudah begitu maka nikahnya tidak terbatalkan baik
berdasarkan akad maupun syarat, karena dia tidak pernah mensyaratkan itu dan
tidak pula disyaratkan untuk itu, sehingga nikah seperti ini tetap sah dan
bukan nikah mut’ah.
Syaikhul
Islam –rahimahullah- punya pendapat yang berbeda-beda dalam hal ini. Sekali
waktu dia mengatakan kebolehannya dan di lain waktu dia mengatakan tidak boleh.
Tapi yang tampak bagi saya dia bukanlah nikah mut’ah hanya saja dia tetap
diharamkan dari sisi lain yaitu penghianatan terhadap wanita dan walinya. Ini
adalah penghianatan karena bila wanita itu atau walinya mengetahui niat
tersebut tentu mereka tidak akan rela dan tidak akan mau menikah. Kalau
disyaratkan maka itu sama dengan nikah mut’ah. Kesimpulannya, kita katakan
bahwa ini diharamkan bukan karena adanya kekurangan pada komponen akad
melainkan karena adanya unsur penghianatan dan penipuan.
Selesai.
Hal senada
juga dikatakannya dalam fatwa liqa al-bab al-maftuh (60/21), dimana di akhir
bahasan setelah menerangkan terlarangnya nikah dengan niat talak ini beliau berkata,
لذلك أرى
أنه حرام، لكن لو أن أحداً تجرأ ففعل فإن النكاح صحيح.
“Maka dari itu saya menganggap perbuatan ini (nikah
dengan niat talak) adalah haram. Tapi kalaupun ada orang yang berani dan
melakukannya maka nikahnya sah.”
Selanjutnya
Syekh membedakan apa yang difatwakan boleh oleh jumhur dengan apa yang biasa
dilakukan kebanyakan orang di masa sekarang dengan yang mereka namakan nikah
dengan niat talak. Karena masalah ini telah menjadi fenomena di kalangan
sebagian orang yang bermotifkan hawa nafsu dimana mereka melakukan perjalanan
ke suatu negeri dengan tujuan pasti yaitu menikah dengan niat talak tersebut.
Dalam
tanya jawab yang terekam dalam program Liqa al-bab al-maftuh Syekh Al-Utsaimin
pernah ditanya:
“Wahai syekh, saya dengar ada sebagian pemuda di liburan
ini mengatakan, kami tidak sanggup menikah dan kami ingin pergi ke sebuah
negeri dan di sana kami menikah dengan niat talak.” Apa hukum perbuatan mereka
ini?”
Jawab:
Masya Allah, mereka pergi untuk berzina. Kalau mereka lakukan
itu maka mereka berzina! Sebab, orang-orang yang membolehkan nikah dengan niat
talak di kalangan para ulama hanya menujukan kebolehan itu kepada orang asing
yang melakukan perjalanan bukan dengan tujuan tersebut, melainkan dengan tujuan
bisnis, atau menuntut ilmu, atau berobat sehingga mereka terpaksa menetap di
sana. Di sinilah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama: apakah dia boleh
menikah dengan niat talak atau tidak, di antara mereka ada yang membolehkan dan
ada pula yang melarang.
Adapun berangkat
dengan tujuan utama untuk itu tidak diragukan bahwa itu adalah zina dan tidak
ada seorangpun yang membolehkannya. Kalau saja mereka bertakwa kepada Allah
tentu Allah akan memberikan jalan keluar dan keluasan bagi mereka. Kalau saja
mereka mengikuti apa yang ditunjukkan oleh Rasul ’alaihis shalatu was salam
dimana beliau bersabda, ”Wahai para pemuda, siapa yang sanggup menikah diantara
kalian hendaklah dia menikah, karena itu lebih dapat menjaga pandangan dan
kemaluan. Tapi siapa yang belum sanggup hendaklah dia berpuasa.” tentu itu akan
lebih baik buat mereka.
Mereka
melakukan perjalanan menggunakan paspor dan pulang membawa paspor. Mereka
menginap di hotel-hotel yang bisa jadi adalah hotel mahal kemudian menikah
dengan pembayaran tertentu. Kemudian mereka akan pulang. Sebenarnya mereka itu
pergi berzina, maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan
bertakwa kepada-Nya Ta’ala serta hendaknya mereka melaksanakan apa yang
dibimbingkan oleh Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sampaikan ini kepada
mereka dari saya, semoga anda mendapat balasan kebaikan dari Allah.”
Sepertinya
Al-Utsaimin punya pendapat bahwa nikah dengan niat talak ini kalaupun terlanjur
terjadi maka dia sah dan tidak perlu difasakh atau dipaksa akad ulang. Tapi
pelakunya jelas berdosa dan wajib bertaubat. Lalu beliau membedakan antara
nikah dengan niat talak dengan orang yang melakukan perjalanan hanya dengan
niat menikahi secara demikian. Bila itu yang terjadi maka nikah tersebut
dianggap tidak sah sedari awal karena sama dengan mut’ah.
Mereka yang membolehkan
Meski
kebanyakan pandangan para ulama mengharamkan nikah dengan niat talak ini, tapi
ada pula beberapa dari mereka yang sependapat dengan jumhur ulama terdahulu
seperti Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang terkenal dengan fatwanya
yang menganggap sah pernikahan dengan niat talak sebagaimana pendapat jumhur.
Dalam
Majmu’ Fatawa Ibni Baz jilid 4 hal. 29-30:
Tanya:
Saya
pernah mendengar di salah satu kaset bahwa anda membolehkan bagi orang asing
untuk menikah di negeri perantauan dengan niat menceraikan istrinya itu pada
waktu tertentu ketika masa kerjanya di negeri itu telah habis. Apa perbedaan
nikah semacam ini dengan nikah mut’ah, lalu bagaimana seandainya kalau
pernikahan tersebut dikaruniai anak perempuan, apakah dia akan meninggalkannya
di negeri asing itu bersama sang ibu yang telah dicerai? Mohon penjelasan.
Jawab:
Benar,
telah ada fatwa dari lajnah da`imah yang saya adalah ketuanya akan kebolehan nikah
dengan niat talak bila niat itu hanya antara sang hamba dengan Tuhannya. Jika
dia menikah di negeri perantauan dan dalam hati dia berencana bahwa kalau dia
sudah menyelesaikan studi atau pekerjaan dan semisalnya. Ini tidak mengapa
menurut pendapat mayoritas ulama, tapi niat itu hanya antara dia dengan Allah
SWT dan bukan disyaratkan (di dalam akad).
Perbedaannya
dengan nikah mut’ah bahwa nikah mut’ah itu disyaratkan jangka waktu tertentu
seperti dua bulan, atau setahun atau dua tahun dan sebagainya. Kalau masa itu
sudah habis maka nikah tersebut otomatis batal, ini adalah nikah mut’ah yang batil.
Berbeda kalau dia menikah sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya tapi dalam
hati berniat menceraikan istrinya itu bila masa tugasnya di perantauan sudah
selesai. Ini tidaklah membahayakannya. Niat ini kadang berubah dan tidak
diketahui serta bukan syarat melainkan hanya niat antara dia dengan Allah dan
itu tidak membahayakannya. Ini merupakan penyebab kesuciannya dari zina dan
perbuatan keji. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana diceritakan
oleh penulis kitab Al-Mughni Muwaffiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah.”[9]
Pendapat yang rajih
Bila kita
kembalikan pada prinsip keabsahan akad maka benarlah pendapat jumhur bahwa akad
yang dilakukan oleh seorang yang menikah dengan niat talak adalah sah, karena
tidak ada hal zahir yang membatalkannya. Sedangkan dalam perkara akad yang
dipertimbangkan adalah perkara zahir, bukan perkara batin seperti niat yang
hanya diketahui oleh yang bersangkutan.
Diantara
mereka yang menyatakan nikah semacam ini batil sebagaimana nikah mut’ah mencoba
untuk berdalil dengan maqashid syariah dimana pernikahan yang diinginkan dalam
Islam adalah pernikahan yang langgeng. Akan tetapi perkara niat bila dijadikan
ukuran maka akan sangat banyak akad yang dianggap tidak sah. Contohnya, sudah
kita kenal dalam bahasan fikih nikah bahwa hukum nikah itu ada lima. Salah
satunya adalah nikah yang haram yaitu kalau si pria menikahi si wanita dengan
tujuan menyakiti wanita tersebut. Namun begitu, tidak ada satupun bahasan bahwa
kalau ada yang melakukannya dalam hati maka akad nikah mereka menjadi batal dan
mereka harus dipisahkan.
Dengan
kata lain, hukum dosa tidak serta merta membuat akad menjadi batil. Maka
benarlah apa yang dikatakan Syekh Muhammad Al-Utsaimin bahwa kalaupun nikah ini
terjadi maka dia berdosa tapi akad tetap sah.
Akan tetapi,
jelas berbeda bila kemudian niat tersebut telah menjadi fenomena yang merusak,
seperti yang disinggung dalam fatwa Syekh Al-Utsaimin di atas. Ketika telah
terjadi fenomena banyak orang melakukan safar hanya dengan tujuan supaya bisa
menikah dengan niat talak tadi maka jelas itu fenomena yang merusak sehingga
harus dijatuhkan sangsi dengan membatalkan akadnya. Sebab, secara substansi
sama saja dengan nikah mut’ah yang dilarang. Sedangkan yang dibahas oleh para
ulama sejak dulu sama sekali tidak memaksudkan orang-orang seperti itu.
Apabila niat
sudah diketahui banyak orang atau menjadi rahasia umum maka dia bukan lagi
antara si pelaku dengan Allah, melainkan sudah melibatkan orang banyak.
Perbuatan tersebut akan diikuti banyak orang sehingga menjadi fenomena,
sehingga layak dimasukkan dalam kaidah (الأمور بمقاصدها)
(perkara itu tergantung maksudnya).
Dari buku saya yang belum terbit "Ranjang Ternoda"
[1]
Al-Bahr Ar-Ra`iq 3/116.
[2]
Asy-Syarh Al-Kabir bersama Hasyiyah Ad-Dusuqi 2/239.
[3]
Ibid.
[4] Al-Umm 5/86.
[5] Al-Hawi lil Fatawa 9/333.
[6]
Masa`il Al-Imam Ahmad riwayat Abdullah bin Ahmad tahqiq Zuhair Syawisy hal.
347.
[7]
Masa`il Al-Imam Ahmad riwayat Abu Daud, tahqiq Awadhullah, hal. 230.
[8]
Al-Inshaf 8/163.
[9]
Lihat pula fatwa senada di jilid 5, hal. 42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar