Kamis, 28 November 2019

Nikah dengan Niat Talak


          Telah diketahui bersama bahwa tujuan pernikahan dalam Islam untuk membina rumah tangga yang lestari. Diharapkan sebuah pernikahan langgeng abadi sampai mati. Meski kadang ketika mengarungi semudera kehidupan bahtera rumah tangga bisa saja diterpa badai persoalan. Semua itu bagian dari dinamika hidup manusia di dunia, karena hidup itu adalah ujian.
          Oleh sebabnya, bisa saja sebuah ikatan pernikahan terpaksa dilepas karena tak ada kecocokan antara pasangan suami istri melalui perceraian. Yang menjadi persoalan adalah ketika ada orang menikah tapi dalam hatinya terbesit niat tidak untuk jangka waktu lama. Inilah yang biasa disebut dengan nikah dengan niat talak.
          Masalah ini adalah masalah lama yang juga sudah dibahas para ulama fikih sejak dahulu.


Pendapat Para Ulama Madzhab

Madzhab Hanafi
          Madzhab Hanafi menganggap pernikahan ini sah, dan niat tidak merusak akad.
Az-Zaila’iy dalam kitab Tabyin Al-Haqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq jilid 2 hal. 116 mengatakan,
وَلَوْ تَزَوَّجَهَا مُطْلَقًا وفي نِيَّتِهِ أَنْ يَقْعُدَ مَعَهَا مُدَّةً نَوَاهَا فَالنِّكَاحُ  صَحِيحٌ

”Kalau dia menikahinya tanpa syarat tapi dalam niatnya dia hanya akan mengikat akad nikah bersama wanita itu dalam jangka waktu yang dia simpan dalam hati maka nikahnya tetap sah.”
          Juga Ibnu Nujaim dalam Al-Bahr Ar-Ra`iq menambahkan perkataan Az-Zaila’i ini, (لِأَنَّ التَّوْقِيتَ إنَّمَا يَكُونُ بِاللَّفْظِ) (karena nikah sementara itu akan terjadi kalau diucapkan)[1]. Maksudnya sebuah akad nikah akan menjadi akan mu`aqqat (sementara) yang hukumnya haram dan tidak sah bila diucapkan, sedangkan bila hanya diniatkan maka tidak merusak akad, sehingga tetap sah.
          Juga Al-Kamal Ibnu Al-Hummam dalam Fath Al-Qadir juz 3 hal. 249 mengatakan, “Adapun kalau dia menikahinya tapi dalam hatinya dia berniat akan menceraikannya maka pernikahan itu tetap sah.”
          Kesemua mereka mengucapkan hal tersebut setelah membahas masalah nikah mut’ah dan nikah muaqqat. Mereka mengucapkan itu demi menjelaskan bahwa nikah dengan niat talak tanpa diucapkan bukan termasuk nikah mut’ah atau nikah muaqqat (sementara) dan nikah yang hanya terkotori oleh niat si mempelai pria seperti itu tidaklah merusak akad, sehingga pernikahan tersebut tetap sah dan berlaku padanya segala konsekuensi pernikahan. Adapun apakah si pria tadi mendapat dosa akan niatnya itu, maka itu adalah hal lain dan bukan bahasan hukum wadh’i.

Madzhab Maliki
          Madzhab Maliki juga sepedapat persis dengan madzhab Hanafi dalam hal ini, dimana mereka menganggap bahwa akad yang dilakukan seorang laki-laki yang menyimpan rencana akan menceraikan istrinya dalam jangka waktu tertentu tapi niat itu tidak disampaikannya adalah sah.
          Ibnu Rusyd Al-Jadd dalam kitabnya Al-Bayan wa At-Tahshil juz 4 hal. 309 mengatakan,
”Malik pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang punya syahwat terhadap seorang wanita, lalu dia ingin menikahinya sehingga dia bisa melampiaskan nafsunya itu kepada wanita tersebut. Tapi dia sendiri sebenarnya tidak berkeinginan untuk hidup abadi dengan wanita itu dan akan segera menceraikannya setelah dia mereguk kepuasan. Malik menjawab, ”Itu tidak mengapa, tapi itu bukan perbuatan baik dan bukan termasuk akhlak manusia. Kurasa setiap wanita yang tahu akan hal ini tidak akan pernah sudi menikah dengan pria semacam itu.”
          Kemudian Ibnu Rusyd Al-Jadd memberi komentar,
”Sedangkan orang yang menikahi wanita dengan niat bila dia selesai melampiaskan nafsu dengan wanita tersebut maka dia akan menceraikannya maka pernikahan semacam ini sah sebagaimana kata Malik di atas asalkan itu tidak tampak dan tidak pula disyaratkan (dengan ucapan). Sebab, kadang dia menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya, tapi seiring berjalannya waktu dia tidak menceraikannya. Sebaliknya, ada pula orang yang menikah dengan niat akan mempertahankan istrinya tapi kemudian itu berubah lalu diapun menceraikannya lantaran suatu yang terjadi kemudian. Tidakkah anda lihat bahwa kalau seorang pria meniatkan dalam hati akan menceraikan istrinya di saat dia sudah tak bernafsu lagi pada wanita itu maka hal tersebut tidaklah berpengaruh pada keberlangsungan akad nikah mereka?!
          Dasar dari hukum ini adalah firman Allah,
 tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ   žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr&
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki….” (Qs. Al Mukminun : 5-6) sampai akhir ayat.
          Ini sama dengan pembolehan yang dilakukan oleh Ibnu Kinanah terhadap seorang pria yang datang ke suatu negeri lalu dia ingin tinggal di negeri itu selama satu bulan. Selanjutnya dia menikah agar terjaga (dari zina) tapi dia berniat untuk menceraikan istrinya itu bila nanti sudah meninggalkan negeri tersebut. Kalaupun itu terjadi (talak tersebut) maka itu perbuatan yang telah dia bicarakan dalam hati tanpa harus menyembunyikannya.”
          Tapi Ibnu Rusyd memberi batasan, “Kalau si wanita itu tahu (akan niat suaminya tersebut) sebelum akad nikah terjadi maka itu sama saja dn mut’ah…..”
          Artinya, selama niat itu hanya dipendam oleh si suami dan tak terungkap sampai akad berlangsung maka niat itu tidak akan merusak akad dan tidak berpengaruh pada keberlangsungan pernikahan.
          Bahkan menurut kalangan madzhab Maliki seandainya wanita itupun tahu akan niat tersebut dari gejala yang ditimbulkan si suami maka pernikahan tetap sah selama si suami tidak dengan sengaja memberitahunya. Ad-Dardir mengatakan, “Hakekat nikah mut’ah yang difasakh untuk selamanya adalah bila dalam akad disebutkan jangka waktu bagi si wanita maupun walinya. Sedangkan kalau itu tidak terjadi dalam akad dan si suami tidak memberitahukan hal itu (niat menceraikan –penerj) dan hanya memendamnya dalam hati tapi si wanitanya atau walinya tahu bahwa si suami akan menceraikannya setelah beberapa waktu maka itu tidak merusak (akad). Ini merupakan kegunaan bagi orang asing (perantau atau pekerja asing).”[2]
          Ad-Dusuqi mengomentari, ”Kalau dia (si suami) tidak menjelaskan kepada si wanita atau walinya akan hal itu (rencana menceraikan) dan si wanitapun tidak tahu apa yang dia rencakan dalam hatinya maka ini bukanlah nikah mut’ah berdasarkan kesepakatan.”[3]

Madzhab Asy-Syafi’i
          Seperti dalam masalah nikah tahlil, madzhab Asy-Syafi’i menganggap pernikahan yang direncanakan tidak akan berlangsung lama, tapi tidak disebutkan dalam akad maka itu tetap sah karena tidak ada pensyaratan tahlil di dalamnya, sedangkan niat tidak teranggap dalam akad, meski hal ini dimakruhkan. Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm,
”Demikian pula kalau dia menikahinya sedangkan niatnya atau niat si wanita ini atau salah satu dari mereka bahwa tidak akan menikahinya dalam waktu lama kecuali sekadar menyetubuhinya agar dia menjadi halal untuk mantan suaminya, maka nikah seperti ini tsabit (sah), baik itu juga diniatkan oleh wali bersama si wanitanya atau orang lain, atau tidak ada yang meniatkannya termasuk wali. Dalam hal ini tidak bisa dikatakan akad itu rusak selama nikahnya tidak disebutkan dengan syarat yang bisa merusaknya.”[4]
          Al-Mawardi mengatakan ketika membahas nikah tahlil,
”Bagian ketiga, hal itu disyaratkan sebelum akad lalu dia (muhallil) menikahinya tanpa syarat tapi sudah diniatkan dan sudah diyakini pensyaratan itu, maka nikahnya sah karena tidak ada syarat yang merusaknya tapi ini makruh, karena dia sudah berniat dengan suatu niat yang kalau disebutkan akan merusak akad itu. Tapi akan itu sendiri tidak akan rusak dengan niat, karena bisa saja seseorang berniat sesuatu yang tidak jadi dia lakukan atau melakukan sesuatu yang tidak dia niatkan.”[5]
          An-Nawawi mengatakan dalam Shahih Muslim jilid 9 hal. 182:
”Al-Qadhi berkata, Mereka telah sepakat bahwa siapa yang menikah dengan nikah yang mutlak (tanpa ada syarat dalam akad) tapi dalam niatnya dia berencana untuk tidak akan selamanya dengan istrinya ini atau hanya dalam jangka waktu tertentu yang sudah dia rencanakan maka nikahnya tetap sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Yang dinamakan nikah mut’ah itu hanyalah kalau terjadi pensyaratan yang disebutkan di atas. Akan tetapi Malik mengatakan bahwa itu bukan termasuk akhlak manusia. Tapi Al-Awdza’i aneh sendiri dengan mengatakan itu sama saja dengan nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Wallahu a’lam.”
          Kalau dalam kondisi ada rencana tahlil saja madzhab Syafi’i tetap menganggap sah akadnya apalagi dalam kondisi tidak ada rencana yang disepakati kedua pihak sebelum akad dan hanya direncanakan oleh pihak suami semata.

Madzhab Hanbali

          Ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab Hanbali mengenai masalah ini. Berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad sendiri bahwa beliau menganggap nikah dengan niat talak ini sama dengan mut’ah, Abdullah bin Ahmad berkata, ”Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang menikahi wanita tapi dalam niatnya dia akan menceraikan wanita itu, maka ayahku menjawab, ”Aku membencinya, itu adalah mut’ah.”[6]
          Begitu pula dalam riwayat Abu Daud yang berkata, “Aku mendengar Ahmad ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi wanita dengan syarat dia akan membawanya ke Khurasan. Tapi dia berencana kalau sudah sampai di Khurasan maka dia akan melepaskannya (menceraikannya). Apakah di sini dia dianggap wanita yang tersesat?” Ahmad menjawab, ”Tidak, ini mirip dengan mut’ah. Tidak boleh, dia harus menikahinya dengan tekad bahwa wanita itu akan terus menjadi istrinya selama hidup.”[7]
          Inilah pendapat yang dipegang dalam madzhab, sebagaimana kata Al-Mardawi dalam kitabnya Al-Inshaf:
”Kalau dia berniat dalam hati (untuk menceraikannya) maka itu sama saja dengan kalau dia mensyaratkannya (dalam akad). Inilah pendapat yang shahih dalam madzhab, ditegaskan oleh Ahmad sendiri dan itulah yang dipegang para ulama madzhab.”[8]
          Akan tetapi Ibnu Qudamah menyelisihi pendapat madzhabnya dan menganggap pernikahan ini sah. Dia berkata dalam Al-Mughni jilid 7 hal. 137:
”Kalau dia menikahi wanita itu tanpa syarat, hanya saja dalam niatnya dia akan menceraikan wanita tersebut sebulan kemudian, atau kalau sudah selesai keperluannya di negeri tersebut maka nikahnya tetap sah berdasarkan pendapat kebanyakan ulama kecuali Al-Auza’i yang mengatakan itu adalah nikah mut’ah. Yang benar, itu tidak mengapa dan niat itu tidak membahayakannya. Seorang pria tidak berkewajiban untuk berniat agar senantiasa bersama dengan istrinya (tidak mencerai selamanya). Cukuplah baginya kalau dia suka, tapi kalau tidak dia bisa menceraikannya.”
          Pendapat Ibnu Qudamah ini didukung oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Muflih dari kalangan Hanabilah. Ibnu Muflih mengatakan dalam Al-Mubdi’ 6/154:
”Secara zahir bahwa kalau dia menikahinya tanpa syarat tapi dalam hatinya dia meniatkan akan menceraikan istrinya itu maka nikahnya tetap sah berdasarkan pendapat mereka semua, kecuali Al-Awza’i yang berkata, itu adalah nikah mut’ah. Yang benar itu tidak mengapa.”
          Sepertinya Ibnu Taimiyah cenderung pada pendapat ini, yaitu menganggap akad tetap sah meski perbuatan ini berdosa. Dalam Majmu’ Al-Fatawa jilid 32 hal. 147 disebutkan,
”Seperti halnya musafir yang melakukan perjalanan ke suatu negeri dan menetap di sana beberapa lama lalu dia menikah tapi dalam hatinya dia berniat akan menceraikan istrinya itu kalau dia sudah kembali ke kampung halaman. Dia melakukan akad nikah yang mutlak (tanpa syarat). Dalam hal ini ada tiga pendapat dalam madzhab Ahmad. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah nikah yang boleh, ini adalah pilihan Abu Muhammad Al-Maqdisi dan sesuai dengan pendapat jumhur.
          Ada pula yang mengatakan itu adalah nikah tahlil dan tidak boleh. Ini diriwayatkan dari Al-Awza’i dan inilah pendapat yang didukung oleh Al-Qadhi dan para muridnya dalam Al-Khilaf. Ada pula yang mengatakan itu makruh.
          Yang benar, ini bukanlah nikah mut’ah dan tidak haram. Itu karena dia memang benar-benar ingin menikah beda halnya dengan muhallil (yang melakukan nikah tahlil), hanya saja di sini dia tidak ingin melanggengkan pernikahan bersama istrinya itu. Tapi kelanggengan rumah tanggapun bukan syarat dalam pernikahan dan bukanlah sebuah kewajiban untuk mempertahankan istri selama-lamanya, justru kadang dia bisa saja menceraikannya. Seandainya dia bermaksud menceraikannya setelah itu berarti dia memaksudkan sesuatu yang memang boleh. Ini berbeda dengan nikah mut’ah, karena dia sama dengan sewa menyewa yang selesai dengan habisnya masa berlaku dan dia tidak lagi punya kepemilikan pada diri wanita itu begitu selesainya masa berlaku tersebut.
          Sedangkan dalam nikah ini (nikah dengan niat cerai) maka kepemilikannya tetap ada tanpa syarat. Diapun bisa saja mengubah niatnya sehingga malah mempertahankan wanita itu sebagai istrinya selama hidup. Itu semua diperbolehkan sebagaimana kalau dia menikah dengan niat ingin mempertahankan istrinya selama hidup tapi terjadi suatu dan lain hal sehingga dia mengubah niat itu dan menceraikannya.”
Selesai dari Ibnu Taimiyah.

Bagaimana dengan ulama masa kini?

          Demikianlah terlihat bahwa mayoritas ulama terdahulu menganggap pernikahan dengan niat talak ini sah kecuali Al-Awza’i dan Ahmad bin Hanbal yang menganggapnya sama atau mirip dengan mut’ah.
          Pendapat kedua imam ini sepertinya mendapat banyak dukungan dari kalangan ulama masa kini. Dulu pendapat mereka minoritas, tapi sekarang malah menjadi pendapat mayoritas di kalangan ulama Islam kontemporer. Dari beberapa paparan berupa buku maupun makalah yang membahas masalah ini kita dapati bahwa sebagian besar ulama masa kini mengharamkan nikah dengan niat talak.
          Dimulai dari paparan Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar jilid 5 hal. 15:
”Demikianlah, dan bahwa pengetatan ulama salaf maupun khalaf dalam melarang pernikahan mut’ah mengakibatkan mereka juga melarang nikah dengan niat talak. Meski para fukaha mengatakan bahwa akad nikah itu sah meski si suami meniatkan dalam hatinya untuk menikah hanya sementara waktu asalkan dia tidak mensyaratkannya dalam akad, akan tetapi menyembunyikan niat ini termasuk penipuan. Dia lebih pantas untuk dianggap batil (tidak sah) dibanding akad yang terus terang mensyaratkan jangka waktu.
          Pernikahan itu hendaknya dilakukan dengan saling ridha antara suami dan istri serta walinya. Tidak ada kerusakan di dalamnya kecuali perbuatan tak perlu dengan adanya ikatan agung ini. Ikatan yang merupakan ikatan paling agung di antara ikatan-ikatan kemanusiaan yang ada. Sebagai pemenuhan kebutuhan birahi bagi pria dan wanita agar tak melakukan hal-hal yang mungkar. Sehingga, apa yang tidak disyaratkan padanya kalau dihimpunkan pula di dalamnya akan menjadi penipuan  dan akan mengakibatkan kerusakan lain berupa permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan bahkan kepada orang-orang jujur sekalipun yang sebenarnya ingin menikah dengan pernikahan sebenarnya. Pernikahan adalah media untuk menjaga kehormatan suami maupun istri dan wahana saling membantu guna mendirikan sebuah rumah tangga shalih di antara rumah-rumah umat yang ada.”
          Di sini jelas Syekh Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan Imam Al-Auza’i yang menyamakan akad nikah dengan niat cerai (talak) ini sama dengan nikah mut’ah yang batil.
          Salah satu lembaga fatwa yang mendukung pendapat ini pula adalah Komisi Tetap (lajnah da`imah) Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang diketuai Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh dalam fatwa mereka nomor 21140 yang ditandatangani pula oleh Dr. Bakr Abu Zaid, Dr. Shalih Al-Fauzan dan Abdullah bin Qa’ud.
Berikut fatwanya:
Pertanyaan:
Telah tersebar di kalangan para pemuda fenomena melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menikah dengan niat talak. Nikah itulah yang menjadi tujuan mereka melakukan perjalanan tersebut berlandaskan pada fatwa dalam masalah ini. Banyak orang yang salah paham terhadap fatwa tersebut. Bagaimana hukum hal ini?

Jawab:
Nikah dengan niat talak adalah nikah sementara dan nikah sementara itu batil, karena dia adalah mut’ah padahal mut’ah itu haram berdasarkan ijmak. Pernikahan yang benar adalah yang diniatkan lestari berumah tangga bila memang si istri ini cocok dengannya. Tapi bila tidak dia bisa menceraikannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
”Hendaklah mempertahankannya dengan patut atau menceraikannya dengan baik.” (Qs. Al-Baqarah).”

          Di sini jelas bahwa lajnah daimah di masa pimpinan Syekh Abdul Aziz Alu Syaikh menyamakan antara nikah dengan niat talak dengan mut’ah dan ini adalah pendapat Al Auza’i dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang kemudian menjadi pegangan pendapat madzhab sebagaimana dikatakan oleh Al-Mardawi dalam kitabnya Al-Inshaf
          Selain itu ada pula rekomendasi dari Asosiasi Ahli Fikih Islam Majma’ Al-Fiqh Al-Islami Rabithah Alam Islami dalam daurah ke-18 di Mekah pada tanggal 12 April 2006. Daurah ini membahas beberapa point salah satunya adalah nikah dengan niat talak, berikut rekomendasi Majma’:
”Nikah dengan niat talak adalah pernikahan yang telah lengkap rukun dan syaratnya, hanya saja si suami menyembunyikan niat untuk menceraikan si istri dalam jangka waktu tertentu, seperti sepuluh hari, ataupun waktu yang tidak ditentukan, misalnya bila dia telah selesai studi atau menyelesaikan urusannya di tempat tersebut.
Pernikahan seperti ini, meski sebagian ulama membolehkannya, akan tetapi majma’ berpendapat hal itu terlarang, karena mengandung penipuan dan kebohongan. Seandainya si wanita atau walinya tahu akan niat itu tentu mereka tidak akan menerima akad tersebut.
Selain itu, akad ini juga membawa kerusakan yang besar dan dapat menyemarkan nama baik kaum muslimin.”
         
          Sepertinya Majma’ juga berpendapat bahwa akad nikah tersebut harus dianggap fasid selayaknya nikah mut’ah.
          Kemudian ada pendapat dari Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam hal ini yang sepertinya berusaha mengkompromikan antara yang membolehkan dengan yang melarang. Satu ketika beliau mengatakan bahwa itu sama dengan nikah mut’ah seperti yang dikutip oleh Dr. Shalih bin Abdul Aziz Alu Manshur dalam bukunya ”Az-Zawaj bi Niyat Ath-Thalaq” hal. 63 – 64 dari buku syaikh Syarh Manzhumat Ushul Al-Fiqh. Di sana Al-Utsaimin menyamakan niat melakukan mut’ah dengan mut’ah itu sendiri meski tak terucap dalam akad. Ini jelas sama dengan pendapat Al-Auza’i dan madzhab Hanbali.
          Kemudian Dr Manshur juga menukil surat jawaban Syekh tentang masalah ini :
Tanya: Apa yang dinukil dari anda bahwa anda telah memfatwakan bolehnya nikah dengan niat talak dalam jangka waktu tertantu, apakah ini benar atau tidak?”

Beliau menjawab:
          Apa yang dinukil dari saya bahwa saya memfatwakan kebolehan nikah dengan niat talak tidaklah benar dan saya tidak pernah menyatakan kebolehannya dengan alasan:
          Pertama: bahwa itu bertentangan dengan tujuan pernikahan yang syar’i, karena tujuan nikah yang syar’i adalah kelanggengan pernikahan serta melekatkan kecintaan dan kasih sayang antara suami dengan istri guna memperbanyak keturunan antar mereka. Maka dari itulah nikah tahlil diharamkan karena tidak bertujuan untuk kelanggengan rumah tangga, meski berbeda dengan yang ini bahwa tujuannya adalah kepentingan si muhallal lahu. Berbeda dengan orang yang menikah dengan niat talak , karena tujuannya adalah bersenang-senang dengan wanita untuk jangka waktu tertentu. Tapi antara keduanya (nikah tahlil dengan nikah dengan niat talak) ada kesamaan.
          Kedua: Pernikahan ini berporos antara penipuan dengan nikah mut’ah, karena kalau si suami memberitahukan kepada si istri atau walinya akan niatnya itu maka akad tersebut akan menjadi nikah sementara waktu dan itu mirip dengan nikah mut’ah. Tapi kalau dia tidak mengabarkan itu kepada mereka maka termasuk penipuan, karena kalau mereka tahu, besar kemungkinan pernikahan itu akan dibatalkan.
          Ketiga: Ada kemungkinan mereka dikarunia anak, sehingga kalau dia menceraikannya maka akan terjadi masalah. Kalau dia terpaksa mempertahankan istrinya itu maka diapun menjalani rumah tangga dalam keadaan terpaksa (demi anak –penerj), dan itu kemungkinan akan mengakibatkan beberapa hal yang sulit.
          Keempat: bahwa ini membuka pintu larangan yaitu seseorang melakukan pelesiran ke negeri lain dan tujuannya tidak ada lain kecuali melakukan pernikahan tersebut sebagaimana yang sering kami dengar.
          Lantaran alasan-alasan ini kami menganggap keharaman nikah dengan niat talak dan hendaknya setiap orang bersabar, “Hendaklah orang-orang yang tidak mampu menikah menjaga kesucian diri sampai Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya..” (Qs. An-Nur : 33).
          Kalau Allah sudah memberinya kemampuan lalu diapun menikah maka hendaklah dia membawa istrinya itu ke tempat dia bepergian bila dia memintanya. Kecuali kalau si istri ini dalam akad nikah sudah mensyaratkan agar dia tidak dibawa keluar negeri oleh suaminya. Kalau sudah begitu hendaklah dia maupun suami menjaga kehormatan diri dan berhijab.
          Saya mengingatkan mereka yang bepergian dengan tujuan hanya untuk melakukan nikah dengan niat talak yang masih diperselisihkan ini dalam bentuk tersebut, maksud saya hendaklah mereka tidak bepergian dengan tujuan bersenang-senang dengan wanita melalui nikah model ini, karena yang begitu sudah bukan lagi masalah khilafiyyah. Perbedaan pendapat hanya pada orang asing yang merasa kesulitan tanpa istri lalu dia menikah dengan niat menjaga kemaluannya pada saat dia berada di luar negeri. Kalau dia sudah pula ke negerinya maka dia akan menceraikan wanita itu. Ada perbedaan jelas antara itu dengan orang yang bepergian hanya untuk menikah dengan niat talak kalau benar-benar diperhatikan. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan memperhatikan urusan ini dengan pikiran murni tak tercampur nafsu birahi supaya bisa melihat kebenaran dengan jelas. Saya mohon kepada Allah agar menjaga semuanya dari sebab-sebab kemurkaan-Nya.”
Selesai.
         
          Akan tetapi di beberapa tempat Syekh juga mengajukan pendapat bahwa nikah itu tetap sah tapi pelakunya berdosa. Seperti yang beliau katakan dalam Asy-Syarh Al-Mumti’:
“Tinggal lagi dikatakan, kalau dia meniatkan mut’ah tanpa syarat (menyebutkannya dalam akad), artinya si suami ini meniatkan dalam hatinya bahwa dia menikahi perempuan tersebut hanya untuk waktu sebulan selama dia masih berada di negeri itu saja. Apakah yang seperti ini kita katakan sama hukumnya dengan nikah mut’ah?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa itu haram. Ini adalah pendapat madzhab (Hanbali) karena sama dengan hukum mut’ah, lantaran dia telah meniatkannya. Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat dan segala perkara berdasarkan untuk apa dia diniatkan.”
Orang tersebut telah masuk pada nikah mut’ah sementara, sebagaimana kalau dia meniatkan nikah tahlil, meski tidak mensyaratkannya (menyebutkannya ketika akad) maka itu hukumnya sama dengan yang tersyarat. Demikian pula kalau dia meniatkan mut’ah meski tidak menyebutkannya ketika akad maka hukumnya sama dengan yang disebutkan ketika akad. Pendapat ini kuat.
Pendapat lain mengatakan bahwa itu bukanlah nikah mut’ah, karena tidak mencakup definisi nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah seseorang menikahi si wanita hanya sementara dalam jangka waktu yang ditentukan. Ciri khas nikah ini adalah dia akan berakhir otomatis dengan berakhirnya jangka waktu dan tidak ada lagi pilihan bagi si suami maupun istri di dalamnya. Karena nikah sementara akan otomatis mengharamkan si istri begitu waktunya selesai dan tidak ada rujuk di dalamnya karena pemisahannya dilakukan bukan dengan talak, melainkan pemisahan nikah dan terlepasnya wanita. Sedangkan yang meniatkan demikian, apakah dia harus melaksanakan niatnya bila waktu yang dia niatkan itu sudah tiba?
Jawabnya tentu tidak, karena bisa saja ada orang yang berniat menikahi seorang wanita hanya ketika dia masih berada di negeri tersebut, tapi setelah benar-benar menikah dan bercampur dia mengubah niatnya dan tidak menceraikannya. Kalau sudah begitu maka nikahnya tidak terbatalkan baik berdasarkan akad maupun syarat, karena dia tidak pernah mensyaratkan itu dan tidak pula disyaratkan untuk itu, sehingga nikah seperti ini tetap sah dan bukan nikah mut’ah.
          Syaikhul Islam –rahimahullah- punya pendapat yang berbeda-beda dalam hal ini. Sekali waktu dia mengatakan kebolehannya dan di lain waktu dia mengatakan tidak boleh. Tapi yang tampak bagi saya dia bukanlah nikah mut’ah hanya saja dia tetap diharamkan dari sisi lain yaitu penghianatan terhadap wanita dan walinya. Ini adalah penghianatan karena bila wanita itu atau walinya mengetahui niat tersebut tentu mereka tidak akan rela dan tidak akan mau menikah. Kalau disyaratkan maka itu sama dengan nikah mut’ah. Kesimpulannya, kita katakan bahwa ini diharamkan bukan karena adanya kekurangan pada komponen akad melainkan karena adanya unsur penghianatan dan penipuan.
Selesai.

          Hal senada juga dikatakannya dalam fatwa liqa al-bab al-maftuh (60/21), dimana di akhir bahasan setelah menerangkan terlarangnya nikah dengan niat talak ini beliau berkata,
لذلك أرى أنه حرام، لكن لو أن أحداً تجرأ ففعل فإن النكاح صحيح.

“Maka dari itu saya menganggap perbuatan ini (nikah dengan niat talak) adalah haram. Tapi kalaupun ada orang yang berani dan melakukannya maka nikahnya sah.”
          Selanjutnya Syekh membedakan apa yang difatwakan boleh oleh jumhur dengan apa yang biasa dilakukan kebanyakan orang di masa sekarang dengan yang mereka namakan nikah dengan niat talak. Karena masalah ini telah menjadi fenomena di kalangan sebagian orang yang bermotifkan hawa nafsu dimana mereka melakukan perjalanan ke suatu negeri dengan tujuan pasti yaitu menikah dengan niat talak tersebut.
          Dalam tanya jawab yang terekam dalam program Liqa al-bab al-maftuh Syekh Al-Utsaimin pernah ditanya:
“Wahai syekh, saya dengar ada sebagian pemuda di liburan ini mengatakan, kami tidak sanggup menikah dan kami ingin pergi ke sebuah negeri dan di sana kami menikah dengan niat talak.” Apa hukum perbuatan mereka ini?”

Jawab:
Masya Allah, mereka pergi untuk berzina. Kalau mereka lakukan itu maka mereka berzina! Sebab, orang-orang yang membolehkan nikah dengan niat talak di kalangan para ulama hanya menujukan kebolehan itu kepada orang asing yang melakukan perjalanan bukan dengan tujuan tersebut, melainkan dengan tujuan bisnis, atau menuntut ilmu, atau berobat sehingga mereka terpaksa menetap di sana. Di sinilah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama: apakah dia boleh menikah dengan niat talak atau tidak, di antara mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang melarang.
          Adapun berangkat dengan tujuan utama untuk itu tidak diragukan bahwa itu adalah zina dan tidak ada seorangpun yang membolehkannya. Kalau saja mereka bertakwa kepada Allah tentu Allah akan memberikan jalan keluar dan keluasan bagi mereka. Kalau saja mereka mengikuti apa yang ditunjukkan oleh Rasul ’alaihis shalatu was salam dimana beliau bersabda, ”Wahai para pemuda, siapa yang sanggup menikah diantara kalian hendaklah dia menikah, karena itu lebih dapat menjaga pandangan dan kemaluan. Tapi siapa yang belum sanggup hendaklah dia berpuasa.” tentu itu akan lebih baik buat mereka.
          Mereka melakukan perjalanan menggunakan paspor dan pulang membawa paspor. Mereka menginap di hotel-hotel yang bisa jadi adalah hotel mahal kemudian menikah dengan pembayaran tertentu. Kemudian mereka akan pulang. Sebenarnya mereka itu pergi berzina, maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan bertakwa kepada-Nya Ta’ala serta hendaknya mereka melaksanakan apa yang dibimbingkan oleh Rasul shallallaahu 'alaihi wa sallam. Sampaikan ini kepada mereka dari saya, semoga anda mendapat balasan kebaikan dari Allah.”

          Sepertinya Al-Utsaimin punya pendapat bahwa nikah dengan niat talak ini kalaupun terlanjur terjadi maka dia sah dan tidak perlu difasakh atau dipaksa akad ulang. Tapi pelakunya jelas berdosa dan wajib bertaubat. Lalu beliau membedakan antara nikah dengan niat talak dengan orang yang melakukan perjalanan hanya dengan niat menikahi secara demikian. Bila itu yang terjadi maka nikah tersebut dianggap tidak sah sedari awal karena sama dengan mut’ah.

Mereka yang membolehkan

          Meski kebanyakan pandangan para ulama mengharamkan nikah dengan niat talak ini, tapi ada pula beberapa dari mereka yang sependapat dengan jumhur ulama terdahulu seperti Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang terkenal dengan fatwanya yang menganggap sah pernikahan dengan niat talak sebagaimana pendapat jumhur.
          Dalam Majmu’ Fatawa Ibni Baz jilid 4 hal. 29-30:

Tanya:
          Saya pernah mendengar di salah satu kaset bahwa anda membolehkan bagi orang asing untuk menikah di negeri perantauan dengan niat menceraikan istrinya itu pada waktu tertentu ketika masa kerjanya di negeri itu telah habis. Apa perbedaan nikah semacam ini dengan nikah mut’ah, lalu bagaimana seandainya kalau pernikahan tersebut dikaruniai anak perempuan, apakah dia akan meninggalkannya di negeri asing itu bersama sang ibu yang telah dicerai? Mohon penjelasan.

Jawab:
          Benar, telah ada fatwa dari lajnah da`imah yang saya adalah ketuanya akan kebolehan nikah dengan niat talak bila niat itu hanya antara sang hamba dengan Tuhannya. Jika dia menikah di negeri perantauan dan dalam hati dia berencana bahwa kalau dia sudah menyelesaikan studi atau pekerjaan dan semisalnya. Ini tidak mengapa menurut pendapat mayoritas ulama, tapi niat itu hanya antara dia dengan Allah SWT dan bukan disyaratkan (di dalam akad).
          Perbedaannya dengan nikah mut’ah bahwa nikah mut’ah itu disyaratkan jangka waktu tertentu seperti dua bulan, atau setahun atau dua tahun dan sebagainya. Kalau masa itu sudah habis maka nikah tersebut otomatis batal, ini adalah nikah mut’ah yang batil. Berbeda kalau dia menikah sesuai dengan sunnah Allah dan Rasul-Nya tapi dalam hati berniat menceraikan istrinya itu bila masa tugasnya di perantauan sudah selesai. Ini tidaklah membahayakannya. Niat ini kadang berubah dan tidak diketahui serta bukan syarat melainkan hanya niat antara dia dengan Allah dan itu tidak membahayakannya. Ini merupakan penyebab kesuciannya dari zina dan perbuatan keji. Ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana diceritakan oleh penulis kitab Al-Mughni Muwaffiquddin Ibnu Qudamah rahimahullah.”[9]
         
Pendapat yang rajih

          Bila kita kembalikan pada prinsip keabsahan akad maka benarlah pendapat jumhur bahwa akad yang dilakukan oleh seorang yang menikah dengan niat talak adalah sah, karena tidak ada hal zahir yang membatalkannya. Sedangkan dalam perkara akad yang dipertimbangkan adalah perkara zahir, bukan perkara batin seperti niat yang hanya diketahui oleh yang bersangkutan.
          Diantara mereka yang menyatakan nikah semacam ini batil sebagaimana nikah mut’ah mencoba untuk berdalil dengan maqashid syariah dimana pernikahan yang diinginkan dalam Islam adalah pernikahan yang langgeng. Akan tetapi perkara niat bila dijadikan ukuran maka akan sangat banyak akad yang dianggap tidak sah. Contohnya, sudah kita kenal dalam bahasan fikih nikah bahwa hukum nikah itu ada lima. Salah satunya adalah nikah yang haram yaitu kalau si pria menikahi si wanita dengan tujuan menyakiti wanita tersebut. Namun begitu, tidak ada satupun bahasan bahwa kalau ada yang melakukannya dalam hati maka akad nikah mereka menjadi batal dan mereka harus dipisahkan.
          Dengan kata lain, hukum dosa tidak serta merta membuat akad menjadi batil. Maka benarlah apa yang dikatakan Syekh Muhammad Al-Utsaimin bahwa kalaupun nikah ini terjadi maka dia berdosa tapi akad tetap sah.
        Akan tetapi, jelas berbeda bila kemudian niat tersebut telah menjadi fenomena yang merusak, seperti yang disinggung dalam fatwa Syekh Al-Utsaimin di atas. Ketika telah terjadi fenomena banyak orang melakukan safar hanya dengan tujuan supaya bisa menikah dengan niat talak tadi maka jelas itu fenomena yang merusak sehingga harus dijatuhkan sangsi dengan membatalkan akadnya. Sebab, secara substansi sama saja dengan nikah mut’ah yang dilarang. Sedangkan yang dibahas oleh para ulama sejak dulu sama sekali tidak memaksudkan orang-orang seperti itu.
          Apabila niat sudah diketahui banyak orang atau menjadi rahasia umum maka dia bukan lagi antara si pelaku dengan Allah, melainkan sudah melibatkan orang banyak. Perbuatan tersebut akan diikuti banyak orang sehingga menjadi fenomena, sehingga layak dimasukkan dalam kaidah (الأمور بمقاصدها) (perkara itu tergantung maksudnya).


Dari buku saya yang belum terbit "Ranjang Ternoda"


[1] Al-Bahr Ar-Ra`iq 3/116.
[2] Asy-Syarh Al-Kabir bersama Hasyiyah Ad-Dusuqi 2/239.
[3] Ibid.
[4] Al-Umm 5/86.
[5] Al-Hawi lil Fatawa 9/333.
[6] Masa`il Al-Imam Ahmad riwayat Abdullah bin Ahmad tahqiq Zuhair Syawisy hal. 347.
[7] Masa`il Al-Imam Ahmad riwayat Abu Daud, tahqiq Awadhullah, hal. 230.
[8] Al-Inshaf 8/163.
[9] Lihat pula fatwa senada di jilid 5, hal. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar