Pada bab perkawinan terlarang kita sudah
membahas masalah pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim dan sudah
menjelaskan mana saja yang sudah menjadi ketetapan ijmak dan mana yang menjadi
masalah khilafiyah.
Pria muslim boleh menikahi wanita ahli
kitab, dan ini sudah ditetapkan dalam firman Allah,
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ
لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ
وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ
مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ
مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ
“Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dihalalkan
pula mangawini) wanita muhshanat diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang muhshanat dari kalangan ahli kitab sebelum kalian, jika
kalian memberikan mahar mereka dalam keadaan kalian menjaga kehormatan
(benar-benar ingin menikah), bukan lantaran ingin berzina atau atau mendapat gundik-gundik......”
(QS. Al-Maidah : 5).
Ayat ini dianggap sebagai pengkhusus
bagi ayat ke-221 surah Al-Baqarah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan
Ibnu Abi Hatim dalam tafsir mereka dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ayat
(ﭲ
ﭳ
ﭴ
ﭵ
ﭶ) (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai
mereka beriman) (Qs. Al-Baqarah : 221), kemudian dikecualikan dengan
wanita-wanita ahli kitab (ﯬ ﯭ
ﯮ ﯯ
ﯰ )
(Dan para wanita muhshanah di kalangan ahli kitab) (Qs. Al-Maidah : 5).....”[1]
Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan,
”Ayahku menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hatim bin Sulaiman Al-Muaddib
menceritakan kepada kami, Al-Qasim bin Malik yaitu Al-Muzani menceritakan
kepada kami, Ismail bin Sami’ menceritakan kepada kami, dari Abu Malik
Al-Ghifari yang mengatakan, ”Ayat ini (ﭲ ﭳ
ﭴ
ﭵ
ﭶ) turun sehingga orang-orang tidak mau menikahi mereka sampai
turunlah ayat setelah ini, (ﯬ ﯭ
ﯮ ﯯ
ﯰ ﯱ
ﯲ )
, sehingga orang-orang pun menikahi para wanita ahli kitab.[2]
Ibnu Katsir mengomentari, ”Sebagian
sahabat juga menikahi wanita Nashrani dan mereka tidak mempersoalkan itu
berdalil dengan ayat ini.”
Dia
berkata lagi, ”Mereka menganggap ayat ini sebagai pengkhususan bagi surah
Al-Baqarah, (Dan Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sampai mereka
beriman).[3]
Pengertian
Muhshanah ahli kitab
Dalam ayat ini dengan tegas Allah
membolehkan menikahi wanita ahli kitab dengan syarat mereka adalah muhshan.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna muhshan yang terdapat dalam
ayat ini. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud adalah para wanita merdeka di
kalangan ahli kitab.
Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan adanya
pendapat yang mengkhususkan kata muhshan di ayat ini adalah wanita merdeka. Makanya,
mereka menghalalkan pernikahan wanita ahli kitab yang merdeka baik wanita
baik-baik maupun wanita jalang. Lalu mereka mengharamkan untuk menikahi budak
ahli kitab, karena dalam ayat lain yaitu ayat ke-25 surah An-Nisa` Allah
mensyaratkan kalau ingin menikahi budak maka nikahilah budak wanita yang
mukminah.[4]
Pendapat lain menyatakan bahwa yang
dimaksud muhshanah di sini adalah para wanita baik-baik, baik yang merdeka
maupun yang budak. Mereka membolehkan untuk menikahi budak dari kalangan ahli
kitab jika mereka adalah wanita terhormat dan menjaga kemaluannya. Sebaliknya,
mereka mengharamkan pernikahan dengan wanita ahli kitab yang tidak menjaga
kehormatan diri baik yang merdeka apalagi budak.[5]
Lalu Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat pertama. Bahkan dia menegaskan,
“Menikahi wanita merdeka baik mukminah maupun ahli kitab adalah halal bagi kaum
mukminin, baik mereka telah berbuat keji maupun tidak, baik berstatus dzimmi
maupun harbi jika mereka berada dalam posisi yang membuat lelaki yang menikahinya
tidak khawatir anak-anaknya akan dipaksa menjadi kafir.”[6]
Sementara
Ibnu Al-Qayyim menguatkan tafsiran bahwa kata muhshanat dalam ayat ini adalah
para wanita yang menjaga kehormatannya, baik dia budak maupun wanita merdeka. Konsekuensinya
yang halal dinikahi baik dari kalangan wanita muslimah maupun ahli kitab
hanyalah wanita yang menjaga kemaluan dan bukan wanita jalang. Makanya Ibnu
Al-Qayyim berpendapat pernikahan dengan wanita muslimah pezina (pelacur dan
sejenisnya) tidak sah alias batil.
Dia berkata
dalam kitabnya ahkam ahli dzimmah
”Diperbolehkan
menikahi wanita kitabiyyah berdasarkan nash Al-Qur`an.” Lalu dia menyebutkan
firman Allah di surah Al-Maidah ayat 5 ini, kemudian berkata, “Al-Muhshanat
adalah para wanita baik-baik. Sedangkan muhshanat yang haram dinikahi dalam
surah An-Nisa` adalah para wanita yang sudah bersuami. Ada yang mengatakan
bahwa muhshanah di sini adalah para wanita merdeka, olehnya para budak wanita
ahli kitab tidak dihalalkan. Tapi yang benar adalah pendapat pertama berdasarkan beberapa alasan:
v Pertama,
kemerdekaan bukanlah syarat untuk menikahi seorang muslimah.
v Kedua, Allah
menyebutkan sifat ihshan (terjaga diri) untuk sifat seorang laki-laki
sebagaimana pula yang Dia katakan menyifati wanitanya. Allah berfirman, (ﯳ
ﯴ ﯵ
ﯶ) (Jika kalian memberikan mahar mereka dalam
keadaan kalian menjaga kehormatan). Ihshan (menjaga kehormatan) di sini tak
lain adalah sifat laki-laki yang menjaga kemaluannya (dari zina), maka begitu
pula yang berlaku pada kata ihshan yang ada pada wanita.
v Ketiga, Allah SWT
menyebutkan kata thayyibat (yang baik-baik) untuk penghalalan makanan dan juga
yang baik-baik dalam hal pernikahan. Terbukti dalam firman-Nya, ” Pada hari
ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dihalalkan pula mangawini) wanita muhshanat diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang muhshanat dari kalangan ahli kitab sebelum
kalian”.
Sedangkan
wanita pezina adalah wanita yang keji berdasarkan nash Al-Quran dan Allah SWT
mengharamkannya bagi para hamba-Nya makanan dan minuman yang buruk begitu pula
dalam hal pernikahan. Allah tidak membolehkan kecuali yang baik-baik aja.
Dengan ini jelaslah batalnya pendapat orang yang membolehkan untuk menikahi
wanita pezina dan kami telah menjelaskan kebatilan pendapat tersebut dengan
lebih dari dua puluh alasan di kitab lain.[7]
Intinya di sini adalah bahwa Allah
Ta’ala membolehkan kita menikahi wanita ahli kitab yang mushanah, dan itu
pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam.
Utsman pernah menikahi seorang wanita Nashrani, Thalhah bin Ubaidulah pernah
menikahi wanita Nashrani dan Hudzaifah pernah menikahi wanita Yahudi.”[8]
Tafsiran ini juga didukung oleh Ibnu
Katsir dalam tafsirnya dengan mengatakan, ”Yang lebih tampak bahwa maksud dari kata
muhshanah dalam ayat ini adalah yang bersih dari zina......”[9]
Kata Muhshan
sendiri dalam Al-Qur`an mengandung tiga makna berbeda[10], dua disepakati dan satu masih diperselisihkan
sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir di tempatnya masing-masing.
Terkadang dia bermakna wanita yang menjaga kehormatannya,
tak pernah berzina, atau pesolek yang menggairahkan mata memandang. Inilah
makna muhshan yang terdapat dalam surah An-Nur ayat 4, “Dan orang-orang yang
menuduh para wanita muhshanah berzina padahal mereka tak bisa mendatangkan
empat orang saksi maka cambuklah mereka (para penuduh itu) sebanyak delapan
puluh kali dan jangan lagi terima persaksian mereka selamanya.”
Artinya, mereka yang menuduh para wanita terhormat yang
tak pernah berzina sebelumnya atau terkenal mempertontonkan aurat, baik wanita
itu sudah pernah menikah ataupun belum, baik budak ataupun merdeka. Ini adalah
kesepakatan para ulama.
Makna kedua adalah wanita atau pria yang telah menikah.
Inilah makna muhshan yang terdapat dalam surah An-Nisa` ayat 35, “Dan Para
wanita muhshanah kecuali yang merupakan budak-budak kalian…..”
Artinya, diharamkan menikahi para wanita yang masih
bersuami. Ini juga merupakan kesepakatan para ulama.
Makna ketiga adalah para wanita merdeka dan tidak
berstatus sebagai budak. Itulah makna yang terkandung dalam ayat 5 surah
Al-Maidah ini berdasarkan pendapat sebagian ulama seperti Mujahid di kalangan
tabi’in, Ibnu Jarir Ath-Thabari dan para ulama madzhab. Tapi banyak pula para
ulama salaf seperti Al-Hasan Al-Bashri, ’Amir Asy-Sya’bi, an-Nakha’i dan
Adh-Dhahhak, Abu Hanifah, maupun khalaf seperti para pengikut madzhab Abu
Hanifah, Ibnu Al-Qayyim di kalangan madzhab Hanbali yang menyatakan bahwa
maknanya adalah wanita terjaga atau sama dengan makna kedua di atas.
Siapa Ahli Kitab itu?
Para ulama
sepakat bahwa yang dimaksud ahli kitab hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani,
tidak termasuk agama lain seperti Majusi, Hindu, Buda, Kong Huchu dan lain
sebagainya.
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan
bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nashrani, mereka menghalalkan wanita ahli kitab
ini tanpa syarat. Sedangkan yang terkenal dalam madzhab Syafi’i adanya
ketentuan khusus wanita ahli kitab seperti apa yang dihalalkan itu. Prof Dr.
Wahbah Az-Zuhaili memberi penjelasan batasan yang dibuat oleh madzhab Syafi’i
mengenai wanita ahli kitab yang dihalalkan,
”Mereka (ulama
Syafi’iyah) mengatakan, dibolehkan menikahi wanita ahli kitab hanya saja
dimakruhkan menikahi wanita dari negeri yang diperangi (harbi), demikian halnya
dengan yang dzimmiyyah (non muslim di negeri Islam – pen). Ini berdasarkan
pendapat shahih (dalam madzhab Asy-Syafi’i).
Untuk Bani
Israil maka boleh menikahi wanitanya bila tidak diketahui siapa saja di antara
leluhur mereka yang masuk agama Yahudi sebelum terjadi penyelewengan dan
penghapusan agama itu, atau tidak diketahui pastinya. Sebab, pada dasarnya
mereka menganut agama yang pada dasarnya adalah benar. Bila tidak, maka tidak
diperbolehkan karena gugurlah keutamaan agama tersebut.
Sedangkan
Nashrani boleh dinikahi bila diketahui bahwa leluhur mereka yang pertama kali
masuk agama itu ketika masih murni (sebagaimana dibawa oleh Nabi Isa AS). Bila
leluhur mereka masuk agama itu setelah terjadi penyelewengan, maka tidak
diperbolehkan menurut pendapat yang benar (dalam madzhab). Sedangkan bila
mereka adalah wanita Nashrani yang berpegang kepada ajaran yang belum
diselewengkan maka menurut pendapat yang kuat diperbolehkan menikahi mereka.
Tapi yang
terkuat menurut saya (Prof. Az-Zuhaili) adalah pendapat jumhur lantaran
dalil-dalil yang ada tidak menetapkan syarat (seperti syarat madzhab Syafi’i
-pen) untuk menikahi wanita ahli kitab.”[11]
Jadi, menurut mazhab Syafi’i para wanita
Nashrani di Indonesia ini tidak ada yang halal, karena sudah pasti leluhur
mereka dahulu masuk agama Kristen yang dibawa oleh zending dan itu sudah
diselewengkan. Penyelewengan itu antara lain adanya keyakinan trinitas,
penghapusan dosa, kepercayaan kepada Paulus dan lain sebagainya.
Pendapat madzhab Syafi’i ini punya dasar
dari pendapat para ulama salaf, seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i
sendiri dalam Al-Umm, Abdul Majid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij
yang berkata, ’Atha` berkata, ”Orang-orang Nashrani arab bukanlah ahli kitab.
Ahli kitab itu hanyalah Bani Israil yang kepada merekalah Taurat dan Injil
diturunkan. Adapun bangsa lain yang masuk agama mereka maka tidak termasuk
bagian dari mereka.”[12]
Asy-Syafi’i juga meriwayatkan dalam
Al-Umm, Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar,
dari Sa’d Al-Haritsi mawla Umar atau Abdullah bin Sa’d, dari Umar yang berkata,
”Orang Nashrani arab itu bukanlah ahli kitab dan tidak halal bagi kita makan
sembelihan mereka, dan aku tidak akan membiarkan mereka sampai mereka masuk
Islam. Kalau tidak mau akan aku penggal kepala mereka.”[13]
Tapi sayang riwayat ini sangat lemah,
tak bisa dijadikan apapun karena Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya yang
merupakan syekh Asy-Syafi’i di atas dianggap pendusta oleh Yahya bin Sa’id,
Al-Imam Malik mengatakan dia tidak tsiqah bahkan dalam agamanya sendiri,
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan ”dia itu Qadariy, Mu’tazili, Jahmiy semua
malapetaka agama ada padanya”. Para ahli fikih Madinah juga mengatakannya
pendusta, Ibnu Ma’in juga mengatakannya pendusta.[14]
Ahli Kitab di
Negeri Harbi
Salah satu yang menjadi perdebatan di
kalangan para ulama adalah apakah bolehnya menikahi wanita ahli kitab di sini
juga mencakup ahli kitab yang ada di negeri harbi, atau negeri yang tidak punya
perjanjian dengan negeri Islam atau memerangi kaum muslimin, misalnya Amerika
Serikat, Rusia, Israel, dan semua negeri yang memerangi kaum muslimin?
Ada
riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan keharaman menikahi wanita ahli kitab
harbiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya,
Abbad bin Awwam menceritakan kepada kami, dari Sufyan bin Husain, dari
Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang berkata, ”Tidak halal menikahi
wanita ahli kitab jika mereka harbi.”
Ini pula yang menjadi pendapat Al-Hakam
bin Abi Utbah, Qatadah dan Abu Iyadh[16] di kalangan
tabi’in. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan bahwa Al-Hakam pernah bertemu dengan
Ibrahim dan berkata padanya, ”Apakah kamu tahu bahwa ada di antara wanita ahli
kitab yang haram dinikahi?” Ibrahim menjawab, ”Tidak.” Al-Hakam berkata, ”Aku
pernah mendengar dari Abu Iyadh bahwa para wanita ahli kitab itu haram dinikahi
di negeri mereka. Aku lalu mengabarkannya kepada Ibrahim dan dia membenarkannya
dan mengaguminya.”[17]
Selanjutnya Ibnu Abdil Barr berkata,
”Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i sepakat bahwa menikahi wanita ahli kitab di
negeri harbi adalah halal, hanya saja mereka memakruhkan hal itu lantaran anak
dan istri.”[18]
Sedangkan dalam madzhab Ahmad ada dua
riwayat, yang terkenal dalam madzhab adalah sah. Sedangkan dalam riwayat lain
dan yang merupakan nash dari Imam Ahmad adalah tidak boleh menikahi wanita
harbi.[19]
Menikahi wanita
murtad
Murtad artinya orang yang tadinya sudah
beragama Islam baik sedari lahir maupun masuk Islam ketika dewasa, kemudian
berpindah agama ke selain Islam, apapun agama itu. Termasuk di dalamnya orang
yang masuk Kristen dan itu paling banyak di negeri ini.
Dalam Islam orang murtad tidak dikatakan
beragama dengan agama yang baru dianutnya, sehingga status mereka hanya satu
yaitu murtad. Akibatnya, tidak berlaku bagi mereka status hukum yang diberikan
kepada ahli kitab seperti halnya wanita yang memang sedari lahir dalam keadaan
Nashrani dan belum pernah masuk Islam.
Para ulama sepakat bahwa pernikahan
wanita murtad tidak sah karena dia tidak memiliki agama.[20] Demikian pula
lelaki murtad maka pernikahannya tidak sah dengan siapapun. Bila dia masuk
Kristen misalnya maka dalam hukum Islam dia tidaklah dianggap Kristen dan tidak
termasuk ahli dzimmah, sehingga pernikahannya dengan orang Kristen asli
dianggap tidak sah. Semua hak perwaliannya juga dihapus sehingga dia tidak
boleh menikahkan anaknya yang masih muslim, dan kalau dia yang menikahkan maka
pernikahan itu tidak sah karena dinikahkan oleh wali yang tidak sah.
Al-Imam Asy-Syafi’i menegaskan dalam
kitab Al-Umm:
”Orang murtad
tidak boleh menikah baik sebelum ditahan maupun setelahnya. Baik dengan wanita
muslimah karena dia sudah berubah jadi musyrik, tidak pula boleh menikah dengan
penyembah berhla karena tidak halal baginya kecuali apa yang halal bagi kaum
muslimin, tidak pula mereka boleh menikahi wanita ahli kitab karena dia tidak
tetap dalam agamanya. Kalau dia terlanjur menikah dan sempat menyetubuhi salah
satu dari para wanita jenis tersebut maka para wanita itu berhak mendapatkan
mahar mitsl, tapi pernikahannya mafsukh (dibatalkan). Orang murtad juga tidak
boleh menikahkan putrinya atau budaknya atau wanita-wanita lain yang berada di
bawah perwaliannya baik yang muslimah maupun yang msuyrikah, baik kepada sesama
muslim maupun kepada orang musyrik pula. Kalau dia menikahkan (menjadi wali
nikah) maka pernikahan itu batil. Wallahu muwaffiq.”[21]
As-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsuth:
”Orang murtad
tidak boleh menikahi wanita murtad, muslimah, atau yang kafir asli, karena
nikah itu berpatokan pada agama dan tidak ada agama bagi orang murtad.”[22]
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Wanita murtad
itu haram dinikahi apapun agama yang dimasukinya. Sebab, tidak berlaku padanya
hukum-hukum penganut agama yang dimasukinya itu.”[23]
Bahaya Menikahi
Wanita Ahli Kitab
Meski kita telah menyimpulkan bahwa
pernikahan dengan wanita ahli kitab itu sah dan berimplikasi hukum, tapi tetap
saja dia membawa dampak yang tidak baik untuk kehidupan umat ini. Itu sebabnya
mengapa Umar ra sempat melarang para sahabat menikahi wanita ahli kitab bahkan
memerintahkan kepada mereka yang sudah terlanjur menikahi wanita ahli kitab
untuk menceraikan istri-istrinya tersebut.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, Abdullah
bin Idris menceritakan kepada kami, dari Ash-Shalt bin Bahram, dari Syaqiq yang
berkata, ”Hudzaifah menikahi seorang wanita Yahudi, lalu Umar pun menulis surat
kepadanya agar menceraikan istrinya itu. Hudzaifah membalas surat dengan
mengatakan, ”Kalau memang haram aku akan menceraikannya.” Kemudian dibalas lagi
oleh Umar, ”Aku tidak menganggapnya haram, tapi akau khawatir kamu menikahi
wanita jalang dari kalangan mereka.”[24]
Dalam riwayat Al-Baihaqi berbunyi, Umar
mengatakan, ”Aku khawatir kalian meninggalkan wanita-wanita muslimah dan malah
menikahi para wanita jalang.”[25]
Dari riwayat ini jelas bahwa Umar tidak
mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab, hanya saja dia khawatir itu akan
berdampak buruk pada diri Hudzaifah maupun pada kaum muslimin terutama wanita
muslimah yang bisa jadi tersingkirkan bila orang-orang memudahkan urusan dalam
menikahi wanita-wanita ahli kitan tanpa memikirkan efek sampingnya.
Selain itu, dapat dipahami pula bahwa
madzhab Umar bin Khaththab ra adalah kata muhshan pada ayat kelima surah
Al-Maidah di atas hanya berlaku untuk wanita baik-baik, bukan sembarang wanita
merdeka. Karena kalau tidak buat apa Umar mengkhawatirkan jatuhnya Hudzaifah ke
pelukan wanita jalan ahli kitab?!
Hikmah dan
Renungan
”Mereka tidak
akan rela kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka”
Ketika kita menghukumi sebuah pernikahan
itu sah atau tidak, maka yang dituju adalah dampak hukum dari pernikahan itu
sendiri seperti hak nasab anak, hak waris anak dan lain-lain. Tapi belum
menyentuh dampak buruk dari pernikahan tersebut.
Sebuah pernikahan yang telah disepakati
oleh semua ulama bahwa itu adalah pernikahan yang sah, belum tentu tidak
berdampak buruk. Contoh, menikahi orang yang buruk akhlaknya, dimana banyak
orang tergiur harta sehingga masa bodoh dengan akhlak calon pasangan. Mereka
pikir dengan harta hidup akan bahagia, akhirnya hanya penyesalan yang diterima,
karena harta tak menjamin rumah tangga sejahtera.
Begitu pula dalam masalah menikahi
wanita ahli kitab ini. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama pernikahan itu sah.
Artinya, kalau itu terjadi maka si pelaku tidak boleh dikenai hukuman zina baik
cambuk maupun rajam, anak yang lahir dari hasil pernikahan itu juga harus
dinasabkan kepada bapaknya dan berhak mendapat hukum waris bila tidak ada
penghalang lain.
Berdasarkan contoh dari salafus shalih
bahwa penguasa berhak melarang orang muslim untuk menikah dengan wanita ahli
kitab setelah mempertimbangkan maslahat dan mafsadat yang akan ditimbulkan.
Inilah yang terlihat jelas dari pelarangan Umar terhadap Hudzaifah dan dalam
riwayat lain Umar juga memerintahkan Thalhah bin Ubaidullah untuk menceraikan
istrinya yang ahli kitab. Semua itu dilakukan Umar demi
mempertimbangkan kemaslahatan umat dan menjaga ketertiban hidup beragama. Atas
dasar perbuatan Umar inilah pemerintah muslim berhak melarang perkawinan beda
agama di negerinya. Tapi tetap tidak boleh menganggapnya haram.
Dalam kasus di Indonesia misalnya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya nikah
beda agama termasuk dengan wanita ahli kitab. Hal ini bisa dibenarkan apalagi
kalau negara atau MUI berpedoman pada pendapat madzhab Asy-Syafi’i yang
menyatakan ahli kitab itu hanya terbatas pada keturunan asli ahli kitab semata,
bukan orang masuk Kristen hasil binaan para zending jaman penjajahan.
Allah Ta’ala telah menegaskan,
`s9ur
4ÓyÌös? y7Ytã
ßqåkuø9$#
wur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3
”Orang-orang
Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela kepadamu (wahai Muhammad) sampai
kamu mengikuti agama mereka.” (Qs. Al-Baqarah : 120).
Kalau kepada junjungan kita nabi besar
Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam saja mereka akan berusaha membuat
beliau mengikuti mereka, apalagi kita para pengikutnya yang masanya sudah
semakin jauh dari masa beliau. Makanya, menikahi wanita ahli kitab itu hanya
akan diperbolehkan kalau kita benar-benar dalam keadaan dominan dan tidak
dikhawatirkan terpengaruh dengan akidah mereka. Banyak bukti para pria muslim
yang menikahi wanita Kristen di negeri ini malah ikut agama istrinya. Mengingat
wanita di jaman sekarang bisa jadi lebih dominan daripada suami, atau memang
suaminya yang kurang iman sehingga menganggap agama hanyalah pelengkap hidup
semata.
Akhirnya, menikahi wanita ahli kitab
meskipun halal secara hukum wadh’i belum tentu baik dan yang pasti dia dimakruhkan.
Sehingga kalau saja gara-gara itu seseorang harus melakukan dosa baik langsung
maupun tidak, tentu tidak disangsikan lagi keharamannya, bukan secara zatnya
tapi karena ada faktor lain yang menjadi akibatnya.
* * * * *
Dari buku Ranjang Ternoda yang belum terbit.
Dari buku Ranjang Ternoda yang belum terbit.
[1] Tafsir Ath-Thabari 4/362, Tafsir
Ibnu Abi Hatim 2/397. Ali bin Abi Thalhah dinyatakan tidak pernah bertemu
dengan Ibnu Abbas sehingga riwayatnya dari Ibnu Abbas tergolong mursal. Tapi
dia memang biasa mendengar dari Mujahid murid Ibnu Abbas. Lihat Tahdzib
Al-Kamal 20/490.
[2] Tafsir Ibnu Katsir2/31-32, riwayat
ini tidak saya temukan dalam tafsir Ibnu Abi Hatim yang ditahqiq As’ad Muhammad
Thayyib. Abu Malik Al-Ghifari namanya Ghazwan, seorang tabi’in yang tsiqah,
biasa meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Al-Bara` bin ‘Azib, Abdurrahman bin Abza,
sebagaimana keterangan Al-Mizzin dalam Tahdzib Al-Kamal 23/100. Jadi, riwayat
ini mursal.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Ath-Thabari 9/581-582.
[5] Ibid. 9/584-585.
[6] Ibid. 9/589.
[7] Mungkin maksudnya adalah kitab
Ighatsatul Lahfan min Mashayidis Syaithan, karena memang di sana Ibnu Al-Qayyim
membantah pendapat yang menganggap sah menikahi wanita pezina.
[8] Ahkam Ahli Dzimmah 2/794-795.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 2/31.
[10] Lihat Ma’ani Al-Qur`an oleh
An-Nahhas 2/267, juga Al-Mufradat fii Gharib Al-Quran hal. 239.
[11] Al-Fiqh
Al-Islami, juz 7, hal. 155.
[12] Al-Umm
5/8, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 7/280, no. 13987, Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf 7/186, no. 12712 dari Ibnu Juraij.
[13] Al-Umm 5/8,
[14] Lihat lengkap
cacian para ulama padanya dalam kitab Tahdzib Al-Kamal 2/184-191, no. 236.
[15] Al-Mushannaf
oleh Ibnu Abi Syaibah 9/88, no. 16431.
Sementara
Ath-Thabari meriwayatkannya dalam tafsir 9/588 dengan isnad sampai kepada
Al-Fazari, dari Husain bin Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas.
Bukan dari Mujahid sebagaimana riwayat Abbad bin Awwam. Dalam riwayat
Ath-Thabari ada tambahan, “Siapa yang membayar jizyah maka halallah wanitanya
bagi kita, sedangkan yang tidak membayar jizyah maka wanitanya tidak halal bagi
kita.”
Terlepas apakah
yang benar dari Mujahid maupun dari Miqsam maka sanad ini shahih sampai kepada
Ibnu Abbas sehingga bisa dianggap pendapat tsabit dari Ibnu Abbas ra.
[16] Abu Iyadh
adalah salah satu pembesar tabi’in yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu
Abbas dan berfatwa semasa hidup mereka berdua. Dia juga sempat bertemu dengan
Umar, ada yang mengatakan namanya adalah Qais bin Tsa’labah. (Al-Istdzkar
16/271-272).
Yang benar
namanya adalah Amr bin Al-Aswad Al-Ansi sebagaimana dijelaskan muhaqqiq kitab
Al-Istidzkar tersebut yaitu Abdul Mu’thi Amin Qal’aji.
[17] Al-Istdizkar
16/272.
[18] Ibid 497.
[19] Lihat
Al-Inshaf oleh Al-Mardawi 8/135.
[21] Al-Umm
6/177.
[22] Al-Mabsuth
oleh As-Sarakhsi 5/7.
[23] Al-Mughni 7/101.
[24] Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah 9/85, no. 16417.
[25] As-Sunan
Al-Kubra 7/280, no. 13984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar