Jumat, 25 Oktober 2019

Menikahi Wanita Ahli Kitab



        Pada bab perkawinan terlarang kita sudah membahas masalah pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim dan sudah menjelaskan mana saja yang sudah menjadi ketetapan ijmak dan mana yang menjadi masalah khilafiyah.

        Pria muslim boleh menikahi wanita ahli kitab, dan ini sudah ditetapkan dalam firman Allah,
ٱلۡيَوۡمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُۖ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ حِلّٞ لَّكُمۡ وَطَعَامُكُمۡ حِلّٞ لَّهُمۡۖ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡمُحۡصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ مُحۡصِنِينَ غَيۡرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِيٓ أَخۡدَانٖۗ
 “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dihalalkan pula mangawini) wanita muhshanat diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang muhshanat dari kalangan ahli kitab sebelum kalian, jika kalian memberikan mahar mereka dalam keadaan kalian menjaga kehormatan (benar-benar ingin menikah), bukan lantaran ingin berzina atau atau mendapat gundik-gundik......” (QS. Al-Maidah : 5).
        Ayat ini dianggap sebagai pengkhusus bagi ayat ke-221 surah Al-Baqarah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsir mereka dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, ayat (        ) (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman) (Qs. Al-Baqarah : 221), kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita ahli kitab (            ) (Dan para wanita muhshanah di kalangan ahli kitab) (Qs. Al-Maidah : 5).....”[1]
        Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan, ”Ayahku menceritakan kepada kami, Muhammad bin Hatim bin Sulaiman Al-Muaddib menceritakan kepada kami, Al-Qasim bin Malik yaitu Al-Muzani menceritakan kepada kami, Ismail bin Sami’ menceritakan kepada kami, dari Abu Malik Al-Ghifari yang mengatakan, ”Ayat ini (        ) turun sehingga orang-orang tidak mau menikahi mereka sampai turunlah ayat setelah ini, (                ) , sehingga orang-orang pun menikahi para wanita ahli kitab.[2]
        Ibnu Katsir mengomentari, ”Sebagian sahabat juga menikahi wanita Nashrani dan mereka tidak mempersoalkan itu berdalil dengan ayat ini.”
Dia berkata lagi, ”Mereka menganggap ayat ini sebagai pengkhususan bagi surah Al-Baqarah, (Dan Janganlah kalian menikahi para wanita musyrik sampai mereka beriman).[3]

Pengertian Muhshanah ahli kitab

        Dalam ayat ini dengan tegas Allah membolehkan menikahi wanita ahli kitab dengan syarat mereka adalah muhshan. Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna muhshan yang terdapat dalam ayat ini. Sebagian ulama mengatakan yang dimaksud adalah para wanita merdeka di kalangan ahli kitab.
        Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan adanya pendapat yang mengkhususkan kata muhshan di ayat ini adalah wanita merdeka. Makanya, mereka menghalalkan pernikahan wanita ahli kitab yang merdeka baik wanita baik-baik maupun wanita jalang. Lalu mereka mengharamkan untuk menikahi budak ahli kitab, karena dalam ayat lain yaitu ayat ke-25 surah An-Nisa` Allah mensyaratkan kalau ingin menikahi budak maka nikahilah budak wanita yang mukminah.[4]
        Pendapat lain menyatakan bahwa yang dimaksud muhshanah di sini adalah para wanita baik-baik, baik yang merdeka maupun yang budak. Mereka membolehkan untuk menikahi budak dari kalangan ahli kitab jika mereka adalah wanita terhormat dan menjaga kemaluannya. Sebaliknya, mereka mengharamkan pernikahan dengan wanita ahli kitab yang tidak menjaga kehormatan diri baik yang merdeka apalagi budak.[5]
        Lalu Ibnu Jarir sendiri memilih pendapat pertama. Bahkan dia menegaskan, “Menikahi wanita merdeka baik mukminah maupun ahli kitab adalah halal bagi kaum mukminin, baik mereka telah berbuat keji maupun tidak, baik berstatus dzimmi maupun harbi jika mereka berada dalam posisi yang membuat lelaki yang menikahinya tidak khawatir anak-anaknya akan dipaksa menjadi kafir.”[6]
        Sementara Ibnu Al-Qayyim menguatkan tafsiran bahwa kata muhshanat dalam ayat ini adalah para wanita yang menjaga kehormatannya, baik dia budak maupun wanita merdeka. Konsekuensinya yang halal dinikahi baik dari kalangan wanita muslimah maupun ahli kitab hanyalah wanita yang menjaga kemaluan dan bukan wanita jalang. Makanya Ibnu Al-Qayyim berpendapat pernikahan dengan wanita muslimah pezina (pelacur dan sejenisnya) tidak sah alias batil.
        Dia berkata dalam kitabnya ahkam ahli dzimmah

        ”Diperbolehkan menikahi wanita kitabiyyah berdasarkan nash Al-Qur`an.” Lalu dia menyebutkan firman Allah di surah Al-Maidah ayat 5 ini, kemudian berkata, “Al-Muhshanat adalah para wanita baik-baik. Sedangkan muhshanat yang haram dinikahi dalam surah An-Nisa` adalah para wanita yang sudah bersuami. Ada yang mengatakan bahwa muhshanah di sini adalah para wanita merdeka, olehnya para budak wanita ahli kitab tidak dihalalkan. Tapi yang benar adalah pendapat pertama berdasarkan beberapa alasan:
v Pertama, kemerdekaan bukanlah syarat untuk menikahi seorang muslimah.
v Kedua, Allah menyebutkan sifat ihshan (terjaga diri) untuk sifat seorang laki-laki sebagaimana pula yang Dia katakan menyifati wanitanya. Allah berfirman, (       ) (Jika kalian memberikan mahar mereka dalam keadaan kalian menjaga kehormatan). Ihshan (menjaga kehormatan) di sini tak lain adalah sifat laki-laki yang menjaga kemaluannya (dari zina), maka begitu pula yang berlaku pada kata ihshan yang ada pada wanita.
v Ketiga, Allah SWT menyebutkan kata thayyibat (yang baik-baik) untuk penghalalan makanan dan juga yang baik-baik dalam hal pernikahan. Terbukti dalam firman-Nya, ” Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dihalalkan pula mangawini) wanita muhshanat diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang muhshanat dari kalangan ahli kitab sebelum kalian”.
          Sedangkan wanita pezina adalah wanita yang keji berdasarkan nash Al-Quran dan Allah SWT mengharamkannya bagi para hamba-Nya makanan dan minuman yang buruk begitu pula dalam hal pernikahan. Allah tidak membolehkan kecuali yang baik-baik aja. Dengan ini jelaslah batalnya pendapat orang yang membolehkan untuk menikahi wanita pezina dan kami telah menjelaskan kebatilan pendapat tersebut dengan lebih dari dua puluh alasan di kitab lain.[7]
        Intinya di sini adalah bahwa Allah Ta’ala membolehkan kita menikahi wanita ahli kitab yang mushanah, dan itu pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Utsman pernah menikahi seorang wanita Nashrani, Thalhah bin Ubaidulah pernah menikahi wanita Nashrani dan Hudzaifah pernah menikahi wanita Yahudi.”[8]
        Tafsiran ini juga didukung oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dengan mengatakan, ”Yang lebih tampak bahwa maksud dari kata muhshanah dalam ayat ini adalah yang bersih dari zina......”[9]

        Kata Muhshan sendiri dalam Al-Qur`an mengandung tiga makna berbeda[10], dua disepakati dan satu masih diperselisihkan sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir di tempatnya masing-masing.
Terkadang dia bermakna wanita yang menjaga kehormatannya, tak pernah berzina, atau pesolek yang menggairahkan mata memandang. Inilah makna muhshan yang terdapat dalam surah An-Nur ayat 4, “Dan orang-orang yang menuduh para wanita muhshanah berzina padahal mereka tak bisa mendatangkan empat orang saksi maka cambuklah mereka (para penuduh itu) sebanyak delapan puluh kali dan jangan lagi terima persaksian mereka selamanya.”
Artinya, mereka yang menuduh para wanita terhormat yang tak pernah berzina sebelumnya atau terkenal mempertontonkan aurat, baik wanita itu sudah pernah menikah ataupun belum, baik budak ataupun merdeka. Ini adalah kesepakatan para ulama.
Makna kedua adalah wanita atau pria yang telah menikah. Inilah makna muhshan yang terdapat dalam surah An-Nisa` ayat 35, “Dan Para wanita muhshanah kecuali yang merupakan budak-budak kalian…..”
Artinya, diharamkan menikahi para wanita yang masih bersuami. Ini juga merupakan kesepakatan para ulama.
Makna ketiga adalah para wanita merdeka dan tidak berstatus sebagai budak. Itulah makna yang terkandung dalam ayat 5 surah Al-Maidah ini berdasarkan pendapat sebagian ulama seperti Mujahid di kalangan tabi’in, Ibnu Jarir Ath-Thabari dan para ulama madzhab. Tapi banyak pula para ulama salaf seperti Al-Hasan Al-Bashri, ’Amir Asy-Sya’bi, an-Nakha’i dan Adh-Dhahhak, Abu Hanifah, maupun khalaf seperti para pengikut madzhab Abu Hanifah, Ibnu Al-Qayyim di kalangan madzhab Hanbali yang menyatakan bahwa maknanya adalah wanita terjaga atau sama dengan makna kedua di atas.

Siapa Ahli Kitab itu?
        Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud ahli kitab hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani, tidak termasuk agama lain seperti Majusi, Hindu, Buda, Kong Huchu dan lain sebagainya.
        Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa ahli kitab adalah Yahudi dan Nashrani, mereka menghalalkan wanita ahli kitab ini tanpa syarat. Sedangkan yang terkenal dalam madzhab Syafi’i adanya ketentuan khusus wanita ahli kitab seperti apa yang dihalalkan itu. Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili memberi penjelasan batasan yang dibuat oleh madzhab Syafi’i mengenai wanita ahli kitab yang dihalalkan,
”Mereka (ulama Syafi’iyah) mengatakan, dibolehkan menikahi wanita ahli kitab hanya saja dimakruhkan menikahi wanita dari negeri yang diperangi (harbi), demikian halnya dengan yang dzimmiyyah (non muslim di negeri Islam – pen). Ini berdasarkan pendapat shahih (dalam madzhab Asy-Syafi’i).
Untuk Bani Israil maka boleh menikahi wanitanya bila tidak diketahui siapa saja di antara leluhur mereka yang masuk agama Yahudi sebelum terjadi penyelewengan dan penghapusan agama itu, atau tidak diketahui pastinya. Sebab, pada dasarnya mereka menganut agama yang pada dasarnya adalah benar. Bila tidak, maka tidak diperbolehkan karena gugurlah keutamaan agama tersebut.
Sedangkan Nashrani boleh dinikahi bila diketahui bahwa leluhur mereka yang pertama kali masuk agama itu ketika masih murni (sebagaimana dibawa oleh Nabi Isa AS). Bila leluhur mereka masuk agama itu setelah terjadi penyelewengan, maka tidak diperbolehkan menurut pendapat yang benar (dalam madzhab). Sedangkan bila mereka adalah wanita Nashrani yang berpegang kepada ajaran yang belum diselewengkan maka menurut pendapat yang kuat diperbolehkan menikahi mereka.
Tapi yang terkuat menurut saya (Prof. Az-Zuhaili) adalah pendapat jumhur lantaran dalil-dalil yang ada tidak menetapkan syarat (seperti syarat madzhab Syafi’i -pen) untuk menikahi wanita ahli kitab.”[11]
        Jadi, menurut mazhab Syafi’i para wanita Nashrani di Indonesia ini tidak ada yang halal, karena sudah pasti leluhur mereka dahulu masuk agama Kristen yang dibawa oleh zending dan itu sudah diselewengkan. Penyelewengan itu antara lain adanya keyakinan trinitas, penghapusan dosa, kepercayaan kepada Paulus dan lain sebagainya.
        Pendapat madzhab Syafi’i ini punya dasar dari pendapat para ulama salaf, seperti yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i sendiri dalam Al-Umm, Abdul Majid mengabarkan kepada kami, dari Ibnu Juraij yang berkata, ’Atha` berkata, ”Orang-orang Nashrani arab bukanlah ahli kitab. Ahli kitab itu hanyalah Bani Israil yang kepada merekalah Taurat dan Injil diturunkan. Adapun bangsa lain yang masuk agama mereka maka tidak termasuk bagian dari mereka.”[12]
        Asy-Syafi’i juga meriwayatkan dalam Al-Umm, Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, dari Abdullah bin Dinar, dari Sa’d Al-Haritsi mawla Umar atau Abdullah bin Sa’d, dari Umar yang berkata, ”Orang Nashrani arab itu bukanlah ahli kitab dan tidak halal bagi kita makan sembelihan mereka, dan aku tidak akan membiarkan mereka sampai mereka masuk Islam. Kalau tidak mau akan aku penggal kepala mereka.”[13]
        Tapi sayang riwayat ini sangat lemah, tak bisa dijadikan apapun karena Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya yang merupakan syekh Asy-Syafi’i di atas dianggap pendusta oleh Yahya bin Sa’id, Al-Imam Malik mengatakan dia tidak tsiqah bahkan dalam agamanya sendiri, Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan ”dia itu Qadariy, Mu’tazili, Jahmiy semua malapetaka agama ada padanya”. Para ahli fikih Madinah juga mengatakannya pendusta, Ibnu Ma’in juga mengatakannya pendusta.[14]

Ahli Kitab di Negeri Harbi

        Salah satu yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama adalah apakah bolehnya menikahi wanita ahli kitab di sini juga mencakup ahli kitab yang ada di negeri harbi, atau negeri yang tidak punya perjanjian dengan negeri Islam atau memerangi kaum muslimin, misalnya Amerika Serikat, Rusia, Israel, dan semua negeri yang memerangi kaum muslimin?
         Ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menyatakan keharaman menikahi wanita ahli kitab harbiyyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya, Abbad bin Awwam menceritakan kepada kami, dari Sufyan bin Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang berkata, ”Tidak halal menikahi wanita ahli kitab jika mereka harbi.”
Al-Hakam berkata, ”Akupun menceritakannya kepada Ibrahim dan dia kagum dengan itu.”[15]
        Ini pula yang menjadi pendapat Al-Hakam bin Abi Utbah, Qatadah dan Abu Iyadh[16] di kalangan tabi’in. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan bahwa Al-Hakam pernah bertemu dengan Ibrahim dan berkata padanya, ”Apakah kamu tahu bahwa ada di antara wanita ahli kitab yang haram dinikahi?” Ibrahim menjawab, ”Tidak.” Al-Hakam berkata, ”Aku pernah mendengar dari Abu Iyadh bahwa para wanita ahli kitab itu haram dinikahi di negeri mereka. Aku lalu mengabarkannya kepada Ibrahim dan dia membenarkannya dan mengaguminya.”[17]
        Selanjutnya Ibnu Abdil Barr berkata, ”Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i sepakat bahwa menikahi wanita ahli kitab di negeri harbi adalah halal, hanya saja mereka memakruhkan hal itu lantaran anak dan istri.”[18]
        Sedangkan dalam madzhab Ahmad ada dua riwayat, yang terkenal dalam madzhab adalah sah. Sedangkan dalam riwayat lain dan yang merupakan nash dari Imam Ahmad adalah tidak boleh menikahi wanita harbi.[19]

Menikahi wanita murtad

        Murtad artinya orang yang tadinya sudah beragama Islam baik sedari lahir maupun masuk Islam ketika dewasa, kemudian berpindah agama ke selain Islam, apapun agama itu. Termasuk di dalamnya orang yang masuk Kristen dan itu paling banyak di negeri ini.
        Dalam Islam orang murtad tidak dikatakan beragama dengan agama yang baru dianutnya, sehingga status mereka hanya satu yaitu murtad. Akibatnya, tidak berlaku bagi mereka status hukum yang diberikan kepada ahli kitab seperti halnya wanita yang memang sedari lahir dalam keadaan Nashrani dan belum pernah masuk Islam.
        Para ulama sepakat bahwa pernikahan wanita murtad tidak sah karena dia tidak memiliki agama.[20] Demikian pula lelaki murtad maka pernikahannya tidak sah dengan siapapun. Bila dia masuk Kristen misalnya maka dalam hukum Islam dia tidaklah dianggap Kristen dan tidak termasuk ahli dzimmah, sehingga pernikahannya dengan orang Kristen asli dianggap tidak sah. Semua hak perwaliannya juga dihapus sehingga dia tidak boleh menikahkan anaknya yang masih muslim, dan kalau dia yang menikahkan maka pernikahan itu tidak sah karena dinikahkan oleh wali yang tidak sah.
        Al-Imam Asy-Syafi’i menegaskan dalam kitab Al-Umm:
”Orang murtad tidak boleh menikah baik sebelum ditahan maupun setelahnya. Baik dengan wanita muslimah karena dia sudah berubah jadi musyrik, tidak pula boleh menikah dengan penyembah berhla karena tidak halal baginya kecuali apa yang halal bagi kaum muslimin, tidak pula mereka boleh menikahi wanita ahli kitab karena dia tidak tetap dalam agamanya. Kalau dia terlanjur menikah dan sempat menyetubuhi salah satu dari para wanita jenis tersebut maka para wanita itu berhak mendapatkan mahar mitsl, tapi pernikahannya mafsukh (dibatalkan). Orang murtad juga tidak boleh menikahkan putrinya atau budaknya atau wanita-wanita lain yang berada di bawah perwaliannya baik yang muslimah maupun yang msuyrikah, baik kepada sesama muslim maupun kepada orang musyrik pula. Kalau dia menikahkan (menjadi wali nikah) maka pernikahan itu batil. Wallahu muwaffiq.”[21]
        As-Sarakhsi dalam kitabnya Al-Mabsuth:
”Orang murtad tidak boleh menikahi wanita murtad, muslimah, atau yang kafir asli, karena nikah itu berpatokan pada agama dan tidak ada agama bagi orang murtad.”[22]
        Ibnu Qudamah mengatakan, ”Wanita murtad itu haram dinikahi apapun agama yang dimasukinya. Sebab, tidak berlaku padanya hukum-hukum penganut agama yang dimasukinya itu.”[23]

Bahaya Menikahi Wanita Ahli Kitab

        Meski kita telah menyimpulkan bahwa pernikahan dengan wanita ahli kitab itu sah dan berimplikasi hukum, tapi tetap saja dia membawa dampak yang tidak baik untuk kehidupan umat ini. Itu sebabnya mengapa Umar ra sempat melarang para sahabat menikahi wanita ahli kitab bahkan memerintahkan kepada mereka yang sudah terlanjur menikahi wanita ahli kitab untuk menceraikan istri-istrinya tersebut.
        Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, Abdullah bin Idris menceritakan kepada kami, dari Ash-Shalt bin Bahram, dari Syaqiq yang berkata, ”Hudzaifah menikahi seorang wanita Yahudi, lalu Umar pun menulis surat kepadanya agar menceraikan istrinya itu. Hudzaifah membalas surat dengan mengatakan, ”Kalau memang haram aku akan menceraikannya.” Kemudian dibalas lagi oleh Umar, ”Aku tidak menganggapnya haram, tapi akau khawatir kamu menikahi wanita jalang dari kalangan mereka.”[24]
        Dalam riwayat Al-Baihaqi berbunyi, Umar mengatakan, ”Aku khawatir kalian meninggalkan wanita-wanita muslimah dan malah menikahi para wanita jalang.”[25]
        Dari riwayat ini jelas bahwa Umar tidak mengharamkan pernikahan dengan ahli kitab, hanya saja dia khawatir itu akan berdampak buruk pada diri Hudzaifah maupun pada kaum muslimin terutama wanita muslimah yang bisa jadi tersingkirkan bila orang-orang memudahkan urusan dalam menikahi wanita-wanita ahli kitan tanpa memikirkan efek sampingnya.
        Selain itu, dapat dipahami pula bahwa madzhab Umar bin Khaththab ra adalah kata muhshan pada ayat kelima surah Al-Maidah di atas hanya berlaku untuk wanita baik-baik, bukan sembarang wanita merdeka. Karena kalau tidak buat apa Umar mengkhawatirkan jatuhnya Hudzaifah ke pelukan wanita jalan ahli kitab?!

Hikmah dan Renungan

”Mereka tidak akan rela kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka”

        Ketika kita menghukumi sebuah pernikahan itu sah atau tidak, maka yang dituju adalah dampak hukum dari pernikahan itu sendiri seperti hak nasab anak, hak waris anak dan lain-lain. Tapi belum menyentuh dampak buruk dari pernikahan tersebut.
        Sebuah pernikahan yang telah disepakati oleh semua ulama bahwa itu adalah pernikahan yang sah, belum tentu tidak berdampak buruk. Contoh, menikahi orang yang buruk akhlaknya, dimana banyak orang tergiur harta sehingga masa bodoh dengan akhlak calon pasangan. Mereka pikir dengan harta hidup akan bahagia, akhirnya hanya penyesalan yang diterima, karena harta tak menjamin rumah tangga sejahtera.
        Begitu pula dalam masalah menikahi wanita ahli kitab ini. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama pernikahan itu sah. Artinya, kalau itu terjadi maka si pelaku tidak boleh dikenai hukuman zina baik cambuk maupun rajam, anak yang lahir dari hasil pernikahan itu juga harus dinasabkan kepada bapaknya dan berhak mendapat hukum waris bila tidak ada penghalang lain.
        Berdasarkan contoh dari salafus shalih bahwa penguasa berhak melarang orang muslim untuk menikah dengan wanita ahli kitab setelah mempertimbangkan maslahat dan mafsadat yang akan ditimbulkan. Inilah yang terlihat jelas dari pelarangan Umar terhadap Hudzaifah dan dalam riwayat lain Umar juga memerintahkan Thalhah bin Ubaidullah untuk menceraikan istrinya yang ahli kitab. Semua itu dilakukan Umar demi mempertimbangkan kemaslahatan umat dan menjaga ketertiban hidup beragama. Atas dasar perbuatan Umar inilah pemerintah muslim berhak melarang perkawinan beda agama di negerinya. Tapi tetap tidak boleh menganggapnya haram.
        Dalam kasus di Indonesia misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa tentang haramnya nikah beda agama termasuk dengan wanita ahli kitab. Hal ini bisa dibenarkan apalagi kalau negara atau MUI berpedoman pada pendapat madzhab Asy-Syafi’i yang menyatakan ahli kitab itu hanya terbatas pada keturunan asli ahli kitab semata, bukan orang masuk Kristen hasil binaan para zending jaman penjajahan.
        Allah Ta’ala telah menegaskan,
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3
”Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela kepadamu (wahai Muhammad) sampai kamu mengikuti agama mereka.” (Qs. Al-Baqarah : 120).
        Kalau kepada junjungan kita nabi besar Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam saja mereka akan berusaha membuat beliau mengikuti mereka, apalagi kita para pengikutnya yang masanya sudah semakin jauh dari masa beliau. Makanya, menikahi wanita ahli kitab itu hanya akan diperbolehkan kalau kita benar-benar dalam keadaan dominan dan tidak dikhawatirkan terpengaruh dengan akidah mereka. Banyak bukti para pria muslim yang menikahi wanita Kristen di negeri ini malah ikut agama istrinya. Mengingat wanita di jaman sekarang bisa jadi lebih dominan daripada suami, atau memang suaminya yang kurang iman sehingga menganggap agama hanyalah pelengkap hidup semata.
        Akhirnya, menikahi wanita ahli kitab meskipun halal secara hukum wadh’i belum tentu baik dan yang pasti dia dimakruhkan. Sehingga kalau saja gara-gara itu seseorang harus melakukan dosa baik langsung maupun tidak, tentu tidak disangsikan lagi keharamannya, bukan secara zatnya tapi karena ada faktor lain yang menjadi akibatnya.


* * * * *

Dari buku Ranjang Ternoda yang belum terbit.



[1] Tafsir Ath-Thabari 4/362, Tafsir Ibnu Abi Hatim 2/397. Ali bin Abi Thalhah dinyatakan tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas sehingga riwayatnya dari Ibnu Abbas tergolong mursal. Tapi dia memang biasa mendengar dari Mujahid murid Ibnu Abbas. Lihat Tahdzib Al-Kamal 20/490.
[2] Tafsir Ibnu Katsir2/31-32, riwayat ini tidak saya temukan dalam tafsir Ibnu Abi Hatim yang ditahqiq As’ad Muhammad Thayyib. Abu Malik Al-Ghifari namanya Ghazwan, seorang tabi’in yang tsiqah, biasa meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Al-Bara` bin ‘Azib, Abdurrahman bin Abza, sebagaimana keterangan Al-Mizzin dalam Tahdzib Al-Kamal 23/100. Jadi, riwayat ini mursal.
[3] Ibid.
[4] Lihat Tafsir Ath-Thabari 9/581-582.
[5] Ibid. 9/584-585.
[6] Ibid. 9/589.
[7] Mungkin maksudnya adalah kitab Ighatsatul Lahfan min Mashayidis Syaithan, karena memang di sana Ibnu Al-Qayyim membantah pendapat yang menganggap sah menikahi wanita pezina.
[8] Ahkam Ahli Dzimmah 2/794-795.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 2/31.
[10] Lihat Ma’ani Al-Qur`an oleh An-Nahhas 2/267, juga Al-Mufradat fii Gharib Al-Quran hal. 239.
[11] Al-Fiqh Al-Islami, juz 7, hal. 155.
[12] Al-Umm 5/8, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 7/280, no. 13987, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 7/186, no. 12712 dari Ibnu Juraij.
[13] Al-Umm 5/8,
[14] Lihat lengkap cacian para ulama padanya dalam kitab Tahdzib Al-Kamal 2/184-191, no. 236.
[15] Al-Mushannaf oleh Ibnu Abi Syaibah 9/88, no. 16431.
Sementara Ath-Thabari meriwayatkannya dalam tafsir 9/588 dengan isnad sampai kepada Al-Fazari, dari Husain bin Sufyan, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas. Bukan dari Mujahid sebagaimana riwayat Abbad bin Awwam. Dalam riwayat Ath-Thabari ada tambahan, “Siapa yang membayar jizyah maka halallah wanitanya bagi kita, sedangkan yang tidak membayar jizyah maka wanitanya tidak halal bagi kita.”
Terlepas apakah yang benar dari Mujahid maupun dari Miqsam maka sanad ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas sehingga bisa dianggap pendapat tsabit dari Ibnu Abbas ra.
[16] Abu Iyadh adalah salah satu pembesar tabi’in yang meriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dan berfatwa semasa hidup mereka berdua. Dia juga sempat bertemu dengan Umar, ada yang mengatakan namanya adalah Qais bin Tsa’labah. (Al-Istdzkar 16/271-272).
Yang benar namanya adalah Amr bin Al-Aswad Al-Ansi sebagaimana dijelaskan muhaqqiq kitab Al-Istidzkar tersebut yaitu Abdul Mu’thi Amin Qal’aji.
[17] Al-Istdizkar 16/272.
[18] Ibid 497.
[19] Lihat Al-Inshaf oleh Al-Mardawi 8/135.
[20] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 22/198 entri kata (ردة).
[21] Al-Umm 6/177.
[22] Al-Mabsuth oleh As-Sarakhsi 5/7.
[23] Al-Mughni 7/101.
[24] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 9/85, no. 16417.
[25] As-Sunan Al-Kubra 7/280, no. 13984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar