Rabu, 26 Desember 2018

Shalat dengan Pakaian Bernajis karena Terpaksa.


Tanya:
Assalamualaikum pa..Mw tnya nh.
Pa,kl qt lg d luar rumah (kerja/dlm prjalanan/kperluan lain'y) truz pakaian yg qt pke kna ktoran/najis sdangkan ud msuk wkt untk shalat..Truz sah atow ngga y pa shalat yg qt krjain?? Saiia bingung n ragu ngerjain shalat kl dlm k'adaan ky gtu..Tp ad tmn saiia yg lbih milih untk g shalat. Duuh,saiia g mw ninggalin shalat ky gtu,pa..
Kl bpa tw,mohon pnjelasan'y..Makasi sblum'y y pa. Wasalam


Seorang teman melalui in box di facebook.

Jawab:

wa alaikum salam warahmatullah,
Ringkasnya coba keringkan nasjis itu sebisa mungkin. Misalnya bekas pipis maka dilap dgn tisu atau gesekkan ke benda keras, setelah itu boleh shalat dgn pakaian itu insya Allah. Demikian seingat saya jawaban Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya pertanyaan yg sama. Wallahu a'lam.

Berikut Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang saya maksud:
وسئل فضيلته : عمن أتي عليه وقت الصلاة وهو في سفر وثيابه نجسة ولا يمكنه أن يطهرها ويخشى من خروج وقت الصلاة ؟
فأجاب بقوله : إذا كانت النجاسة في سؤال السائل الذي يقول أنه أتي عليه وقت الصلاة وهو في سفر وثيابه نجسة ولا يمكنه أن يطهرها ويخشى من خروج وقت الصلاة فإننا نقول له : خفف عنك ما أمكن من هذه النجاسة، فإذا كانت ي ثوبه وعليه ثوب آخر فاخلع هذا الثوب النجس وصل بالطاهر، وإذا كان عليك ثوبان أو ثلاثة وكل منها نجس فخفف ما أمكن من النجاسة، وما لا يمكن إزالته أو تخفيفه من النجاسة فإنه لا حرج عليه فيه. يقول الله تعالى ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ). فتصلي بالثوب ولو كان نجساً ولا إعادة عليك على القول الراجح، فإن هذا من تقوى الله تعالى ما استطعت فالإنسان إذا اتقى الله ما استطاع فقد أتي بما أوجب عليه، ومن أتي بما أوجب عليه فقد أبرأ ذمته .

* * *

Beliau ditanya: tentang orang yang mendapati waktu shalat sedangkan dia berada dalam perjalanan, padahal pakaiannya bernajis serta tidak mungkin membersihkannya dan dia khawatir akan habis waktu shalat tersebut (sebelum menemukan pakaian pengganti atau membersihkan najis –penerj).

Beliau menjawab:
Apabila najis yang ditanyakan penanya di atas tidak mungkin dihilangkan, padahal telah tiba waktu shalat sedang ia dalam perjalanan dan ia khawatir akan habisnya waktu shalat, maka kami katakan kepadanya, coba anda minimalisir najis yang ada pada pakaian anda itu sebisa mungkin. Kalau dia punya pakaian dalam di bawah pakaian yang terkena najis maka hendaklah dia buka pakaian yang bernajis dan shalat dengan pakaian dalam tersebut, tapi bila anda memakai dua atau tiga lapis pakaian dan semuanya najis, maka minimalisirlah najis dari pakaian tersebut sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau diringankan dari kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah, karena Allah telah berfirman “bertakwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu.” (Qs. At-Taghabun :16).
Jadi, anda bisa shalat dengan pakaian tersebut walaupun najis, dan tidak wajib mengulangi shalat itu berdasarkan pendapat yang lebih kuat, karena yang demikian itu adalah bagian dari takwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupan. Apabila seseorang telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuannya maka dia telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa saja yang telah melaksanakan apa yang diwajibkan atas dirinya maka dia telah membebaskan dirinya dari segala kewajiban.

(Dari kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin jilid 12, hal. 368, terbitan Dar Al-Wathan tahun 1413 H.)

        Fatwa ini senada dengan fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa jilid 22, hal. 34-35:
وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إلَّا ثَوْبًا نَجِسًا فَقِيلَ : يُصَلِّي عُرْيَانَا ، وَقِيلَ : يُصَلِّي فِيهِ وَيُعِيدُ ، وَقِيلَ : يُصَلِّي فِيهِ وَلَا يُعِيدُ : ، وَهَذَا أَصَحُّ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْ الْعَبْدَ أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ مَرَّتَيْنِ ، إلَّا إذَا لَمْ يَفْعَلْ الْوَاجِبَ الَّذِي يَقْدِرُ عَلَيْهِ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ، مِثْلَ أَنْ يُصَلِّيَ بِلَا طُمَأْنِينَةٍ ، فَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ ، كَمَا { أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى وَلَمْ يَطْمَئِنَّ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ . وَقَالَ : ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّك لَمْ تُصَلِّ } . وَكَذَلِكَ مَنْ نَسِيَ الطَّهَارَةَ وَصَلَّى بِلَا وُضُوءٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ ، كَمَا { أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ لَمْعَةً فِي قَدَمِهِ لَمْ يُمِسَّهَا الْمَاءُ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ } .
فَأَمَّا مَنْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ بِحَسَبِ قُدْرَتِهِ ، فَقَدْ قَالَ تَعَالَى : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ }
“Bagi siapa saja yang tidak mendapatkan pakaian lain selain yang bernajid maka ada pendapat mengatakan bahwa dia harus shalat dengan telanjang. Ada pula yang mengatakan dia shalat (dengan pakaian najis itu) dan harus mengulang (kalau sudah dapat pakaian bersih –penerj). Pendapat lain mengatakan, dia shalat dengan pakaian itu tanpa harus mengulang dan inilah pendapat yang paling benar dari beberapa pendapat para ulama. Sebab, Allah tidak memerintahkan seorang hamba untuk shalat wajib sebanyak dua kali, kecuali kalau dia belum sempurna melaksanakan kewajiban pada kali pertama seperti orang yang shalat tanpa tuma’ninah maka dia harus mengulang sebagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat tanpa tuma’ninah untuk mengulangi shalatnya itu dan beliau berkata, “Ulangi, karena kamu sebenarnya belum shalat”!. Sama pula orang yang lupa melaksanakan thaharah sehingga dia shalat tanpa wudhu maka dia harus mengulangi shalatnya, sebagaimana Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang di tumitnya ada yang belum terkena air untuk mengulang wudhu dan shalatnya lagi.
Sedangkan orang yang sudah melaksanakan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya maka Allah berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs. At-Taghabun : 16). Juga sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, “Jika kau perintahkan kepada kalian untuk melaksanakan sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.”

        Ini sesuai dengan pendapat madzhab Hanafi di mana mereka mengatakan kalau pakaian kena najis dan kurang dari seperempat luas pakaian maka wajib shalat dengan pakaian najis tersebut serta tidak perlu mengulang, tidak boleh shalat tanpa pakaian.
        Sedangkan kalau semua pakaiannya terkena najis maka dia boleh memilih antara shalat dengan pakaian tersebut atau shalat tanpa pakaian, tapi shalat dengan pakaian bernajis lebih afdhal dan tidak perlu mengulang bila nanti dapat pakaian bersih.
        Ibnu Nujaim mengatakan,
لِأَنَّ الثِّيَابَ لَوْ كَانَتْ كُلُّهَا نَجِسَةً كَانَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي بَعْضِهَا ثُمَّ لَا يُعِيدُ صَلَاتَهُ؛ لِأَنَّهُ مُضْطَرٌّ عَلَى الصَّلَاةِ
“Karena pakaian itu kalau semuanya bernajis maka dia boleh shalat menggunakan sebagiannya kemudian tidak perlu mengulang shalat tersebut, karena dia terpaksa memakainya untuk shalat.”
(Al-Bahr Ar-Raqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq jilid 8 hal. 546).

Inilah pendapat yang kami pilih karena lebih meringankan dan juga secara adab, berpakaian meski bernajis lebih baik daripada telanjang. Apalagi memakai pakaian bernajis yang sudah kering dengan kondisi badan juga kering diperbolehkan di luar shalat dan hanya dilarang dalam shalat. Selain itu, menurut sebagian ulama madzhab Maliki bersih najis bukanlah syarat sah shalat, tapi menutup aurat disepakati sebagai syarat sah shalat. Wallahu a’lam.


Anshari Taslim
Bekasi, 15 Maret 2011.
Diedit ulang 26 Desember 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar