Tanya:
Assalamualaikum pa..Mw tnya nh.
Pa,kl qt lg d luar rumah (kerja/dlm prjalanan/kperluan
lain'y) truz pakaian yg qt pke kna ktoran/najis sdangkan ud msuk wkt untk
shalat..Truz sah atow ngga y pa shalat yg qt krjain?? Saiia bingung n ragu
ngerjain shalat kl dlm k'adaan ky gtu..Tp ad tmn saiia yg lbih milih untk g
shalat. Duuh,saiia g mw ninggalin shalat ky gtu,pa..
Kl bpa tw,mohon pnjelasan'y..Makasi sblum'y y pa. Wasalam
Seorang teman melalui in box di facebook.
Jawab:
wa alaikum salam warahmatullah,
Ringkasnya coba keringkan nasjis itu sebisa mungkin. Misalnya
bekas pipis maka dilap dgn tisu atau gesekkan ke benda keras, setelah itu boleh
shalat dgn pakaian itu insya Allah. Demikian seingat saya jawaban Syekh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin ketika ditanya pertanyaan yg sama. Wallahu a'lam.
Berikut Fatwa Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang
saya maksud:
وسئل
فضيلته : عمن أتي عليه وقت الصلاة وهو في سفر وثيابه نجسة ولا يمكنه أن يطهرها
ويخشى من خروج وقت الصلاة ؟
فأجاب
بقوله : إذا كانت النجاسة في سؤال السائل الذي يقول أنه أتي عليه وقت الصلاة وهو
في سفر وثيابه نجسة ولا يمكنه أن يطهرها ويخشى من خروج وقت الصلاة فإننا نقول له :
خفف عنك ما أمكن من هذه النجاسة، فإذا كانت ي ثوبه وعليه ثوب آخر فاخلع هذا الثوب
النجس وصل بالطاهر، وإذا كان عليك ثوبان أو ثلاثة وكل منها نجس فخفف ما أمكن من
النجاسة، وما لا يمكن إزالته أو تخفيفه من النجاسة فإنه لا حرج عليه فيه. يقول
الله تعالى ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ). فتصلي بالثوب ولو
كان نجساً ولا إعادة عليك على القول الراجح، فإن هذا من تقوى الله تعالى ما استطعت
فالإنسان إذا اتقى الله ما استطاع فقد أتي بما أوجب عليه، ومن أتي بما أوجب عليه
فقد أبرأ ذمته .
* * *
Beliau
ditanya: tentang orang yang mendapati waktu shalat sedangkan dia berada dalam
perjalanan, padahal pakaiannya bernajis serta tidak mungkin membersihkannya dan
dia khawatir akan habis waktu shalat tersebut (sebelum menemukan pakaian
pengganti atau membersihkan najis –penerj).
Beliau
menjawab:
Apabila
najis yang ditanyakan penanya di atas tidak mungkin dihilangkan, padahal telah
tiba waktu shalat sedang ia dalam perjalanan dan ia khawatir akan habisnya
waktu shalat, maka kami katakan kepadanya, coba anda minimalisir najis yang ada
pada pakaian anda itu sebisa mungkin. Kalau dia punya pakaian dalam di bawah
pakaian yang terkena najis maka hendaklah dia buka pakaian yang bernajis dan
shalat dengan pakaian dalam tersebut, tapi bila anda memakai dua atau tiga
lapis pakaian dan semuanya najis, maka minimalisirlah najis dari pakaian
tersebut sebisa mungkin. Yang tidak mungkin dihilangkan atau diringankan dari
kenajisan tersebut berarti tidak menjadi masalah, karena Allah telah berfirman “bertakwalah
kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu.” (Qs. At-Taghabun :16).
Jadi,
anda bisa shalat dengan pakaian tersebut walaupun najis, dan tidak wajib
mengulangi shalat itu berdasarkan pendapat yang lebih kuat, karena yang
demikian itu adalah bagian dari takwa kepada Allah sesuai dengan kesanggupan. Apabila
seseorang telah melaksanakan ketakwaan sesuai dengan kemampuannya maka dia
telah melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas dirinya, dan siapa saja yang
telah melaksanakan apa yang diwajibkan atas dirinya maka dia telah membebaskan
dirinya dari segala kewajiban.
(Dari
kitab Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Fadhilat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin jilid 12, hal. 368, terbitan Dar Al-Wathan tahun 1413 H.)
Fatwa ini senada dengan fatwa syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa jilid 22, hal. 34-35:
وَمَنْ
لَمْ يَجِدْ إلَّا ثَوْبًا نَجِسًا فَقِيلَ : يُصَلِّي عُرْيَانَا ، وَقِيلَ :
يُصَلِّي فِيهِ وَيُعِيدُ ، وَقِيلَ : يُصَلِّي فِيهِ وَلَا يُعِيدُ : ، وَهَذَا
أَصَحُّ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْ الْعَبْدَ أَنْ
يُصَلِّيَ الْفَرْضَ مَرَّتَيْنِ ، إلَّا إذَا لَمْ يَفْعَلْ الْوَاجِبَ الَّذِي
يَقْدِرُ عَلَيْهِ فِي الْمَرَّةِ الْأُولَى ، مِثْلَ أَنْ يُصَلِّيَ بِلَا
طُمَأْنِينَةٍ ، فَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ ، كَمَا { أَمَرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى وَلَمْ يَطْمَئِنَّ أَنْ يُعِيدَ
الصَّلَاةَ . وَقَالَ : ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّك لَمْ تُصَلِّ } . وَكَذَلِكَ
مَنْ نَسِيَ الطَّهَارَةَ وَصَلَّى بِلَا وُضُوءٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُعِيدَ ، كَمَا
{ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ وَتَرَكَ
لَمْعَةً فِي قَدَمِهِ لَمْ يُمِسَّهَا الْمَاءُ أَنْ يُعِيدَ الْوُضُوءَ
وَالصَّلَاةَ } .
فَأَمَّا
مَنْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ بِحَسَبِ قُدْرَتِهِ ، فَقَدْ قَالَ تَعَالَى : {
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ }
“Bagi siapa saja yang tidak mendapatkan pakaian lain selain yang
bernajid maka ada pendapat mengatakan bahwa dia harus shalat dengan telanjang.
Ada pula yang mengatakan dia shalat (dengan pakaian najis itu) dan harus
mengulang (kalau sudah dapat pakaian bersih –penerj). Pendapat lain mengatakan,
dia shalat dengan pakaian itu tanpa harus mengulang dan inilah pendapat yang
paling benar dari beberapa pendapat para ulama. Sebab, Allah tidak
memerintahkan seorang hamba untuk shalat wajib sebanyak dua kali, kecuali kalau
dia belum sempurna melaksanakan kewajiban pada kali pertama seperti orang yang
shalat tanpa tuma’ninah maka dia harus mengulang sebagaimana Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang shalat tanpa tuma’ninah untuk
mengulangi shalatnya itu dan beliau berkata, “Ulangi, karena kamu sebenarnya
belum shalat”!. Sama pula orang yang lupa melaksanakan thaharah sehingga dia
shalat tanpa wudhu maka dia harus mengulangi shalatnya, sebagaimana Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang di tumitnya ada
yang belum terkena air untuk mengulang wudhu dan shalatnya lagi.
Sedangkan
orang yang sudah melaksanakan kewajiban sesuai dengan batas kemampuannya maka
Allah berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (Qs.
At-Taghabun : 16). Juga sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, “Jika
kau perintahkan kepada kalian untuk melaksanakan sesuatu maka lakukanlah
semampu kalian.”
Ini sesuai dengan pendapat madzhab
Hanafi di mana mereka mengatakan kalau pakaian kena najis dan kurang dari
seperempat luas pakaian maka wajib shalat dengan pakaian najis tersebut serta
tidak perlu mengulang, tidak boleh shalat tanpa pakaian.
Sedangkan kalau semua pakaiannya terkena
najis maka dia boleh memilih antara shalat dengan pakaian tersebut atau shalat
tanpa pakaian, tapi shalat dengan pakaian bernajis lebih afdhal dan tidak perlu
mengulang bila nanti dapat pakaian bersih.
Ibnu Nujaim mengatakan,
لِأَنَّ الثِّيَابَ لَوْ كَانَتْ كُلُّهَا نَجِسَةً
كَانَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي بَعْضِهَا ثُمَّ لَا يُعِيدُ صَلَاتَهُ؛ لِأَنَّهُ
مُضْطَرٌّ عَلَى الصَّلَاةِ
“Karena pakaian itu kalau semuanya bernajis maka dia boleh
shalat menggunakan sebagiannya kemudian tidak perlu mengulang shalat tersebut,
karena dia terpaksa memakainya untuk shalat.”
(Al-Bahr
Ar-Raqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq jilid 8 hal. 546).
Inilah
pendapat yang kami pilih karena lebih meringankan dan juga secara adab,
berpakaian meski bernajis lebih baik daripada telanjang. Apalagi memakai
pakaian bernajis yang sudah kering dengan kondisi badan juga kering diperbolehkan
di luar shalat dan hanya dilarang dalam shalat. Selain itu, menurut sebagian
ulama madzhab Maliki bersih najis bukanlah syarat sah shalat, tapi menutup
aurat disepakati sebagai syarat sah shalat. Wallahu a’lam.
Anshari
Taslim
Bekasi,
15 Maret 2011.
Diedit
ulang 26 Desember 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar