Makna Kufu`
Kufu` dalam bahasa arab tertulis (كُفْءٌ) biasa pula disebut kafa`ah (كَفَاءَةٌ) artinya secara bahasa adalah bandingan
atau persamaan pasangan. Secara istilah dalam pernikahan berarti suami yang
sepadan dengan istri dalam hal kedudukan, agama, keturunan, rumah dan
lain-lain.[1]
Dalam kenyataan memang kesetaraan itu
dipandang sebagai ukuran untuk menerima pinangan seorang pria terhadap seorang
wanita, misalnya dalam hal kedudukan di tengah masyarakat, masalah ekonomi,
intelektualitas, pendidikan dan profesi.
Islam memang menganjurkan adanya
kesetaraan karena itu adalah salah satu faktor pelanggeng kehidupan rumah
tangga dan supaya tak terjadi sesal di kemudian hari. Dalam hadits Rasulullah
SAW disebutkan
تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ ، وَانْكِحُوا إلَيْهِمْ
”Pilihlah
tempat untuk air mani kalian, menikahlah dengan yang sekufu` dan nikahkanlah
mereka.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)[2]
Kedudukan
kafa`ah dalam pernikahan
Sebagian ulama
ada yang menganggap bahwa kafa`ah adalah syarat sah pernikahan. Dengan kata
lain, pernikahan dianggap tidak sah bila antara pria dan wanita tidak
sederajat. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, sebagian ulama Hanafiyyah
dan Malikiyyah.
Ibnu Qudamah mengatakan, ”Ada
perbedaan riwayat dari Ahmad tentang apakah kafa`ah ini menjadi syarat sah
pernikahan. Ada sebuah riwayat darinya yang menyatakan bahwa kafa`ah adalah
syarat sah. Dia (Ahmad) berkata, ”Bila seorang mawla (keturunan budak) menikahi
seorang wanita arab maka mereka dipisahkan.” Ini adalah pendapat Sufyan.
Ahmad berkata pula tentang seorang
laki-laki peminum suatu jenis minuman (yang dianggap memabukkan –penerj), ”Dia
tidak sekufu` (setara, sederajat) dengan wanita itu maka mereka berdua harus
dipisahkan.”
Ahmad juga pernah berkata, ”Kalau si
mempelai pria menderita penyakit gatal niscaya aku akan memisahkan mereka
berdua, berdasarkan perkataan Umar, ”Sungguh aku akan melarang wanita dinikahi
kecuali dengan laki-laki sekufu`.” Ini diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan isnadnya.
Juga diriwayatkan dari Abu Ishaq
Al-Hamdani, dia berkata, ”Salman dan Jarir melakukan sebuah perjalanan (safar),
lalu diqamatkanlah shalat, maka Jarirpun berkata kepada Salman, ”Silahkan kamu
menjadi imam.” Salman menjawab, ”Kamulah yang harus maju, karena kalian ini
wahai sekalian orang arab, tidak ada yang boleh mengimami kalian dan wanita
kalian tidak boleh dinikahi bangsa lain. Sesungguhnya Allah melebihkan kalian
dengan adanya Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam di antara kalian.”
Selain itu, proses menikahkan tanpa
disertai kesetaraan sama artinya melakukan tindakan tanpa persetujuan sang wali
dan itu tidak sah, sama halnya dengan menikahkan si wanita tanpa izinnya.
Juga ada riwayat dari Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
لَا تُنْكِحُوا
النِّسَاءَ إلَّا مِنَ الْأَكْفَاءِ، وَلَا يُزَوِّجُهُنَّ إلَّا الْأَوْلِيَاءُ
”Janganlah
kalian nikahkan wanita kecuali dengan lelaki yang setara (sekufu`) dan jangan
ada yang menikahkan mereka kecuali para wali.”
Ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni.
Hanya saja Ibnu Abdil Barr mengatakan, ”Ini dha’if, tidak ada asalnya dan yang
sepertinya tidak bisa dijadikan hujjah.”
Selain riwayat
dari Ahmad, pendapat senada juga diperoleh dari sebagian ulama Hanafiyyah dan
beberapa ulama kalangan Malikiyyah.[4]
Dalil lain yang juga dijadikan dasar
akan syarat kafa`ah ini adalah:
Hadits Ibnu
Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْعَرَبُ
أَكْفَاءٌ بَعْضُهَا بَعْضًا قَبِيلٌ بِقَبِيلٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ وَالْمَوَالِي
أَكْفَاءٌ بَعْضُهَا بَعْضًا قَبِيلٌ بِقَبِيلٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ إِلَّا حَائِكٌ
أَوْ حَجَّامٌ
“Orang arab itu sekufu` satu sama
lain, suku dengan suku, lelaki dengan lelaki, sedangkan mawali (para mantan
budak) sekufu` dengan sesama mereka, suku dengan suku, lelaki dengan lelaki,
kecuali tukang tenun dan tukang bekam.”
Hadits
senada juga diperoleh dari Aisyah dan Mu’adz bin Jabal.
Ada
riwayat lain dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, secara marfu’:
تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ لَا تَضَعُوهَا إِلَّا فِي الْأَكْفَاءِ
Pendapat kedua:
Akan tetapi riwayat lain dari Ahmad –dan inilah yang menjadi pegangan dalam
madzhab- serta mayoritas kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah serta Syafi’iyyah
sendiri mengatakan bahwa kafa`ah bukanlah syarat sah. Melainkan hanya
syarat luzum (syarat keberlangsungan), kalau mau bisa diteruskan, tapi kalau
tidak bisa dihentikan.
Maksudnya, bila ada yang menikahkah
putrinya dengan yang tidak sekufu maka akad awalnya sah, tapi kalau ternyata
ada wali yang menolak maka akad tersebut bisa langsung difasakh (dibatalkan).
Tapi kalau semua setuju maka boleh diteruskan sehingga langgeng bersuami istri.
Beberapa dalil yang dikemukakan oleh
jumhur seperti dituliskan oleh Ibnu Qudamah sendiri dalam Al-Mughni membantah
riwayat yang mengatakan itu adalah syarat sah antara lain:
-
Abu Hudzaifah
bin Utbah bin Rabi’ah menikahkan anak angkatnya yaitu Salim yang merupakan
mawla (keturunan budak) dengan adik sepupunya yaitu Hindun binti Al-Walid bin
Utbah.[6]
-
Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan Fathimah binti Qais seorang
wanita keturunan Quraisy dengan Usamah bin Zaid yang merupakan anak dari mantan
budak Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.[7]
-
Sabda Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada para bangsawan Arab, ”Wahai keturunan
putih nikahkanlah Abu Hind dengan putri-putri kalian.” Padahal Abu Hind hanyalah
seorang tukang bekam.[8]
-
Ibnu Mas’ud
pernah berkata kepada saudarinya, ”Aku mohon kepada Allah agar kau menikahi
pria muslim, baik dia berkulit merah Romawi, ataupun hitam Habasyi.”
-
Juga Bilal bin
Rabah seorang mantan budak keturunan Habasyah dinikahkan dengan
-
Salah satu isi
khutbah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di haji wada’:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ
أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ
عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ،
إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, sesungguhnya bapak kalian juga satu
(Adam –penerj). Ingatlah tidak ada kelebihan orang arab atas ajam (non arab),
atau ajam atas arab, atau si kulit merah atas si kulit hitam atau si kulit
hitam di atas si kulit mereka kecuali lantaran takwa.”[9]
Tarjih:
Dalil-dalil yang dikemukakan oleh
jumhur yang menganggap kafa`ah bukanlah syarat sah lebih kuat. Sedangkan
dalil yang menganggap kafa`ah adalah syarat sah sebagiannya lemah tak
bisa dijadikan hujjah, dan yang kuat sanadnya tidak dengan tegas menunjukkan
pensyaratan kafa`ah tersebut:
Hadits:
لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ
إِلَّا الْأَكْفَاءَ وَلَا يُزَوِّجُهُنَّ إِلَّا الْأَوْلِيَاءُ وَلَا مَهْرَ
دُونَ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ
”Janganlah
kalian nikahkan wanita kecuali dengan lelaki yang setara (sekufu`) dan jangan
ada yang menikahkan mereka kecuali para wali, serta mahar tidak boleh kurang
dari sepuluh dirham.”
Ini adalah
hadits yang sangat lemah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni[10] dan Al-Baihaqi[11] dari Jabir bin
Abdullah ra. Dalam sanadnya terdapat Mubasysyir bin Ubaid yang dikatakan oleh
Ad-Daraquthni setelah dia mengeluarkan hadits ini: ”Mubasysyir bin Ubaid
matrukul hadits, hadits-haditsnya tidak ada yang menguatkan.”[12]
Atsar mauquf
dari Umar bin Khaththab dengan kalimat senada,
لَأَمْنَعَنَّ
تَزَوُّجَ ذَاتِ الْأَحْسَابِ إِلَّا مِنَ الْأَكْفَاءِ
Sanadnya tidak
shahih sampai ke Umar, karena diriwayatkan dari jalan Ibrahim bin Muhammad bin
Thalhah dari Umar, padahal dia tidak pernah bertemu dengan Umar, sehingga sanad
ini terputus (munqathi’).[14]
Sedangkan atsar
dari Salman, memang secara zahir adalah shahih sanadnya sampai kepada Salman.
Tetapi, hanya merupakan pendapat pribadi yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk
tawadhu’nya Salman dalam mengutamakan bangsa Arab di atas bangsanya. Lagi pula
perbuatan para sahabat dan perbuatan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
sendiri menunjukkan bahwa hal itu tidak berlaku sebagai syarat sah sebagaimana
terungkap dari dalil-dalil kelompok yang mengatakan kafa`ah ini bukan syarat
sah pernikahan.
Hadits-hadits
dari Ibnu Umar, Aisyah dan Mu’adz bin Jabal yang mengatakan bahwa orang arab
sekufu` satu sama lain adalah hadits munkar yang sangat lemah. diterangkan
panjang lebar oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil jilid 6 hal. 268 –
270, dimana setelah menyebutkan kesemua jalur hadits-hadits tersebut beliau
berkesimpulan:
”Kesimpulannya
bahwa jalur-jalur hadits ini kebanyakan sangat lemah, sehingga hati tidak
tenang menguatkannya dengan riwayat ini. Apalagi para hafizh telah memvonisnya
sebagai hadits palsu seperti Ibnu Abdil Barr dan lannya. Adapun masalah
pen-dhaif-annya maka ini telah menjadi kesepakatan, tapi hati ini malah
cenderung menganggapnya palsu karena kandungannya sangat jauh dari nash-nash
yang telah dipastikan keshahihannya.”
Al-Albani tidak sendirian. Jauh
sebelumnya para ulama rujukan di bidang hadits dan fikih telah melemahkan
hadits ini dengan sangat. Ibnu Abdil Bar misalnya, dia mengatakan hadits ini munkar
maudhu’. Sebelum Ibnu Abdil Barr ada Abu Hatim yang menganggap hadits ini
bathil, tidak ada asalnya. Di lain waktu dia mengatakan, ”hadits munkar”.[15]
Hadits Aisyah yang diriwayatkan dari
jalur Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dari Aisyah. Banyak orang yang
meriwayatkannya dari Hisyam antara lain Al-Harits bin Imran Al-Ja’fari, Abu
Umayyah bin Ya’la Ats-Tsaqafi, Ikrimah bin Ibrahim, Ayyub bin Waqid, Muhammad
bin Marwan As-Suddi, Shalih bin Musa, Hisyam mawla Utsman, Al-Hakam bin Hisyam[16]. Semuanya adalah
perawi yang bermasalah kecuali Al-Hakam bin Hisyam yang haditsnya hasan. Dengan
begitu maka hadits Aisyah ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syekh Al-Albani
dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah vol. 3 hal. 56-57, nomor hadits, 1067.
Riwayat tersebut
ada dalam Tarikh Dimasyq oleh Ibnu ’Asakir dengan isnadnya sampai kepada Abu
Bakr Ahmad bin Al-Qasim, Abu Zur’ah memberitakan kepada kami, Abu An-Nadhr
mengabarkan kepada kami, Al-Hakam bin Hisyam mengabarkan kepada kami, Hisyam
bin Urwah menceritakan kepadaku, dari Urwah, dari Aisyah yang berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
تَخَيَّرُوْا لِنُطَفِكُمْ
فَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ وَاخْطُبُوْا إِلَيْهِمْ
”Pilihlah untuk
mani kalian, menikahlah (putri kalian) dengan lelaki yang sekufu’ dan lamarlah
(putri-putri) mereka.”
Isnad ini mulai dari Abu Zur’ah sampai
ke Al-Hakam adalah shahih atau minimal hasan. Sedangkan Abu Bakar Ahmad bin
Al-Qasim di sini adalah Ahmad bin Al-Qasim bin Ma’ruf karena memang dalam
Tarikh Dimasyq banyak ditemukan riwayat dengan jalur seperti ini darinya dan
dia dianggap tsiqah oleh Abdul Aziz Al-Kattani sebagaimana yang dinukil oleh
Ibnu ’Asakir sendiri dalam Tarikh Dimasyq 5/174.
Akan tetapi Syekh Al-Albani sendiri
memberikan tafsiran bahwa yang dimaksud sekufu` di sini adalah masalah agama
dan akhlak. Tapi bisa saja dipahami bahwa ini adalah anjuran sunnah, bukan
syarat sah, karena memang secara logikapun seorang wanita hendaklah dinikahkan
dengan yang setaraf dalam hal kedudukan, harta, pekerjaan suku bangsa dan lain
sebagainya. Tidak ada yang membantah bahwa itu lebih baik, hanya saja dalam
riwayat yang shahih ini tidak secara tegas menunjukkan bahwa itu adalah syarat
sah, bahkan untuk syarat luzum (sebagaimana yang akan dibahas nanti)pun
tidak. Wallahu a’lam.
Kafa`ah adalah
hak mempelai wanita.
Kafa`ah adalah hak wanita, bukan pria.
Artinya, hanya pihak wanitalah yang berhak mengajukan syarat kesetaraan
dimaksud. Sedangkan dari pihak pria tidak ada syarat demikian, sehingga dia
bebas menikahi wanita dari kalangan paling bawah dan paling hina sekalipun,
asal bukan wanita-wanita yang terlarang untuk dinikahi, seperti non ahli kitab
atau pelacur.
Hal ini baru akan menjadi masalah bila
ada salah satu wali dari pihak wanita tidak menyetujui. Misalnya, si wanita
ingin menikah dengan pria pujaannya, lalu si wali tidak menyetujui dengan
alasan pria itu tidak sekufu` dengan keluarga mereka. Bagi pendapat yang mengatakan
kafa`ah itu adalah syarat keberlangsungan maka wali berhak melarang anak
perempuannya untuk melanjutkan pernikahan dan tidak dianggap ’adhil (menghalang-halangi
pernikahan). Akibatnya, wali hakim tidak berhak mencabut perwalian dari wali
nasab bila alasannya adalah kafa`ah.
Sedangkan bagi pendapat yang tidak
mensyaratkan kafa`ah sama sekali, maka selama tidak dilarang dalam agama dan si
wanitanya sudah bersedia menikah, maka si wali tidak berhak melarang. Bila
masih bersikeras melarang berarti dianggap ’adhil dan hak perwaliannya
bisa dicabut oleh hakim (penguasa yang berwenang).
Lalu apa yang menjadi ukuran
kesetaraan itu?
Para ulama sepakat bahwa yang menjadi
ukuran kesetaraan seorang wanita dan pria untuk bisa menikah adalah agama,
sehingga seorang pria diharuskan beragama Islam. Hal lain adalah akhlak,
sehingga menjadi hak wanita untuk minta hanya dinikahi oleh pria yang berakhlak
mulia.
Selanjutnya ada perbedaan dalam beberapa
hal antara lain, keturunan. Dalam literatur klasik disebutkan bahwa orang Arab
lebih tinggi derajatnya daripada non Arab sehingga itu menjadi salah satu
pertimbangan dalam kafa`ah untuk menikah. Juga masalah kesukuan, misalnya
antara Quraisy dengan non Quraisy, dan antara Bani Hasyim dengan orang selain
mereka.
Juga dibahas masalah harta, apakah
wanita kaya boleh menikah dengan pria miskin, dan seterusnya.
Yang jadi persoalan, bolehkah tetap
menikah dengan yang tidak sekufu`, andai terjadi pernikahan yang tidak sekufu`
apakah wali sang wanita (bila memiliki lebih dari satu wali) berhak mengajukan
keberatan dan membatalkan pernikahan?
Faktor-Faktor
Paramater Kafa`ah
Dalam kajian fiqh ada beberapa faktor
yang dijadikan ukuran dalam masalah kafa`ah pernikahan, yaitu:
a.dalam hal
nasab (keturunan)
Pendapat para
ulama tentang kafa`ah dalam hal nasab
Di sini kita hanya akan mempertimbangkan
perbedaan pendapat antara ulama yang mengatakan bahwa kafa`ah adalah syarat
keberlangsungan dengan yang tidak menganggapnya sebagai syarat apapun.
Sedangkan yang menganggap kafa`ah dalam hal nasab sebagai syarat sah sudah kita
nyatakan kelemahannya sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi.
1.Madzhab
pertama, nasab adalah syarat luzum (syarat keberlangsungan)
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari
tiga madzhab yaitu Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Konsekuensinya adalah kalau
misalkan seorang wanita menikah dengan wali saudaranya dengan orang yang
dianggap berketurunan rendah (antara Arab dengan non Arab) lalu ada salah satu
saudaranya yang lain dengan kedudukan sama kuat dalam hal perwalian menentang,
maka dia berhak membatalkan pernikahan itu. Atau si wanitanya mau tapi wali
tidak mau, maka si wanita tidak berhak mengajukan tuntutan kepada hakim untuk
menikahkannya.
b.Merdeka dan
bukan budak
Para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i
serta pendapat yang dipegang dalam madzhab Hanbali bahwa kemerdekaan menjadi
parameter kafa`ah. Menurut mereka lelaki yang masih berstatus budak tidak
sekufu` dengan wanita merdeka, sehingga kafa`ah dalam masalah perbudakan ini
menjadi syarat luzum dalam pernikahan. Artinya, kalau si wanita rela
bersuamikan seorang budak maka itu tidak masalah baginya, tapi kalau tidak maka
walinya tidak boleh menikahkannya dengan pria itu.[17]
Dalil yang biasa dipakai dalam
penentuan kemerdekaan sebagai parameter kafa`ah adalah hadits Barirah yang
terkenal. Hadits Barirah ini terdapat dalam Shahih dan sunan, antara lain dalam
Shahih Al-Bukhari, Muhammad menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab mengabarkan
kepada kami, Khalid menceritakan kepada kami, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
yang berkata,
”Suami Barirah
adalah seorang budak bernama Mughits. Aku pernah melihatnya berkeliling di
belakang Barirah sambil menangis, bahkan air mata membasahi jenggotnya. Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata kepada Abbas, ”Wahai Abbas, tidakkah
kau heran betapa cintanya Mughits kepada Barirah dan betapa bencinya Barirah
kepada Mughits?” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata
kepada Barirah, ”Maukah kau rujuk kembali kepadanya (Mughits)?” Barirah
bertanya dulu kepada beliau, ”Wahai Rasulullah, apakah ini perintah?” Beliau
menjawab, ”Bukan, aku hanya berusaha menolongnya.” Barirah menjawab, ”Kalau
begitu, aku tidak lagi punya hajat terhadapnya.”
(Shahih
Al-Bukhari no. 5283 kitab Nikah bab: ”Syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk suami Barirah”).
Jelas di sini status budak Mughits
membuatnya tak selevel dengan Barirah, meski mereka adalah suami istri ketika
sama-sama berstatus budak tapi ketika Barirah sudah dimerdekakan oleh Aisyah
maka dia punya hak apakah masih tetap rela menjadi istri Mughits yang masih
sebagai budak atau memilih jalan hidupnya sendiri. Maklum, mempunyai suami
sebagai budak tidaklah mudah. Budak dimiliki oleh tuannya, sehingga wajar bila
Islam memberikan pilihan bagi wanita untuk meneruskan atau membatalkan
pernikahan karena itu. Status budak itulah yang menyebabkan Barirah punya hak
untuk memilih, dan bila Mughits bukan budak maka Rasulullah tidak akan
memberikan pilihan kepada Barirah untuk lepas dari Mughits sebagaimana
diterangkan oleh Aisyah ra,
”Suami Barirah
adalah seorang budak, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun
memberinya pilihan (apakah tetap rela menjadi istrinya atau berpisah –penerj),
dan dia memilih dirinya (berpisah). Kalau saja suaminya bukan budak tentu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberinya pilihan.”[18]
Jadi, jelaslah dalil bahwa kemerdekaan
merupakan salah satu parameter yang shahih dalam kafa`ah sebagai sebuah syarat
luzum. Wallahu a’lam.
c.Pekerjaan.
Para ulama fikih sejak dulu mempersoalkan
pekerjaan sang pria sebagai salah satu parameter kafaah dalam pernikahan.
Banyak perincian yang dibuat dalam hal ini yang intinya jenis pekerjaan
tertentu dianggap tidak sepadan dengan wanita yang orang tuanya bekerja di
bidang tertentu pula. Sehingga bila yang melamar anak gadis seseorang berasal
dari jenis pekerjaan yang dianggap rendahan maka para wali punya hak menolak
dan tidak dianggap ’adhil oleh hakim.
Fenomena itu bisa diterjemahkan pada
masa kini dengan menyatakan bahwa memang pekerjaan kadang dianggap sebagai
salah satu hal yang menjadi pertimbangan pernikahan. Akan tetapi di masa
sekarang biasanya yang dilihat bukan sisi pekerjaannya melainkan dari hasil
dari pekerjaan itu sendiri. Di masa materialistis seperti ini orang lebih
melihat akan hasil sehingga mungkin ini lebih tepat dimasukkan pada parameter
kekayaan.
Apapun itu, menjadikan pekerjaan
sebagai salah satu parameter kafa`ah tidak punya landasan yang kuat. Apalagi
hadits yang menyinggung pekerjaan sebagai parameter kafa`ah sudah dinyatakan
lemah yaitu hadits Ibnu Umar yang sudah dijelaskan derajatnya di atas dimana di
sana ada penyebutan tukang tenun dan tukang bekam sebagai profesi rendahan
sehingga tidak sekufu` dengan para wanita. Akan tetapi hadits tersebut tidak
sah sebagaimana pendapat Abu Hatim dan Ibnu Abdil Barr. Lagi pula terbantahkan dengan perintah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam golongan putih menikahkan puteri mereka dengan Abu Hind yang
merupakan tukang bekam.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa segi pekerjaan tidaklah terpakai dalam parameter dari segi prestisenya di
mata masyarakat. Apakah pekerjaan itu dianggap rendahan seperti pemulung,
tukang sedot wc dan lain-lain. Semua itu tidak menjadi ukuran. Akan tetapi yang
jadi ukuran adalah pandangan syariat dari pekerjaan tersebut. Bila sebuah
pekerjaan dinyatakan negatif dalam pandangan agama berarti orang tua berhak
melarang anak gadisnya menikah dengan pria yang punya pekerjaan tersebut.
Contohnya adalah pekerjaan sebagai
pemusik, penyanyi dangdut atau pop, rok dan lagu-lagu jahiliah lainnya, pegawai
bank yang sehari-hari berkutat dengan riba. Semua itu adalah jenis pekerjaan
yang mentereng di mata manusia tapi rendah di mata agama. Agama jelas mengharamkan
jenis-jenis lagu dan musik yang menampakkan para wanita membuka aurat, berjoget
menyerupai orang-orang fasik dengan lirik-lirik lagu cinta. Agama ini juga
melaknat mereka yang terlibat aktif dalam transaksi riba, baik yang menjadi
peminjan dengan bunga (debitur) maupun yang meminjam (kreditur), yang mencatat
dan juga para saksinya. Jabir ra berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ
الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
”Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang membayarkan riba,
pencatatnya dan kedua saksinya. Beliau bersabda, ”Mereka semua sama.” (HR. Muslim
dari Jabir, Juga oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`iy dan Ibnu Majah dari
Abdullah bin Mas’ud ra.).
Jadi, ketika ada orang tua yang tidak
setuju anaknya menikah dengan mereka yang bekerja di sektor tersebut maka
ketidaksetujuannya itu sesuai dengan syariat sehingga dalam hukum Islam orang
tua atau wali seperti itu tidak dikategorikan wali ’adhil atau wali yang
menghalangi wanita dalam perwaliannya menikah tanpa alasan kuat. Bahkan, bila
anak wanitanya atau siapa saja yang berada di bawah perwaliannya membantah
berarti dia termasuk durhaka kepada Allah dan orang tua sekaligus. Hukumnya
sama dengan orang tua yang melarang anaknya menikah dengan orang fasik dan ini
akan jelas dibahas pada point kafa`ah dari segi agama dan akhlak.
d.Agama dan
Akhlak.
Satu-satunya point yang disepakati
dalam hal kafa`ah adalah dari sisi agama dan akhlak, dimana seorang wanita
muslimah tidak sah menikah dengan pria non muslim dan ini sudah dibahas di
pernikahan beda agama.[19] Selain itu, pertimbangan
sikap keagamaan dan akhlak menjadi salah satu faktor wajib bagi sang wanita
maupun walinya untuk menerima atau menolak pria yang melamar.
Sedangkan menurut jumhur ulama,
kafa`ah dalam agama tidak terbatas hanya pada asal agama orang itu saja tapi
juga sikap beragamanya. Maksudnya tidak cukup bahwa si calon suami ini beragama
Islam, tapi juga harus sebagai orang yang melaksanakan ajaran agama itu
sendiri, atau setidaknya bukan orang yang kentara sebagai penentang agama, baik
dari sisi perbuatan, perkataan maupun keyakinan.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata, “Apabila
seorang wanita yang merupakan anak orang shaleh menikahkan dirinya dengan
lelaki fasik[20] maka para wali
punya hak untuk menolak. Sebab, membanggakan diri dengan keagamaan lebih pantas
dilakukan daripada membanggakan diri dengan keturunan, kemerdekaan dan harta.
Kehinaan lantaran kefasikan merupakan tingkat kehinaan yang paling parah.”
Tapi Muhammad bin Hasan mengatakan,
”Kafa`ah dari sikap beragama tidak dianggap (sebagai parameter), karena itu
merupakan perkara akhirat sedangkan kafa`ah merupakan perkara duniawi, kecuali
kalau kefasikan itu merupakan perkara yang keji yang menjadi bahan olokan dan
tertawaan.”
Ada pula pendapat dari Abu Yusuf bahwa
orang fasik yang melakukan kefasikannya terang-terangan maka dia tidak sekufu`
(dengan wanita shalehah) tapi kalau tidak melakukannya terang-terangan maka dia
tetap sekufu`.
Sedangkan kalangan
madzhab Malik mengatakan, “Yang dimaksud dengan kafa`ah dalam agama adalah
keislaman sang pria disertai sikapnya yang terhindar dari kefasikan. Tapi tidak
disyaratkan bahwa kebaikan mereka harus setara. Kalau saja seorang pria tidak
punya kesetaraan dalam agama dan dia fasik berarti dia bukan sekufu`.”
Ulama madzhab Syafi’iyyah mengatakan
bahwa standar kufu` dalam agama adalah kebaikan akhlak serta terhindarnya dia
dari hal-hal yang haram. Orang fasik tidak sekufu` dengan wanita ‘afifah.
Sedangkan yang tidak fasik –baik dia adil maupun tidak diketahui adil tidaknya-
maka tetap sekufu`. Ketenaran akan baiknya seseorang
juga bukan parameter kafa`ah dalam agama. Seorang pria yang tidak terkenal
kebaikannya tetap sekufu` dengan wanita yang terkenal kebaikannya. Sebaliknya
laki-laki yang fasik akan sekufu` dengan wanita yang fasik pula secara umum,
kecuali kalau si laki-laki ini bertambah kefasikannya atau jenis kefasikan
mereka berbeda sebagaimana yang dibahas oleh Al-Isnawi. Laki-laki mubtadi’
tidaklah sekufu` dengan wanita ’afifah dan dengan wanita ahlus sunnah.”
Sedangkan ulama madzhab Hanbali
mengatakan, ”Agama merupakan hal yang dianggap dalam kafa`ah. Makanya tidak
boleh menikahkan seorang wanita yang suci dari zina dengan pria yang seorang
durjana baik durjana dari segi perkataan, perbuatan ataupun akidahnya.”
Dalam riwayat Abu Bakar, Ahmad
mengatakan, ”Tidak boleh seseorang menikahkan putrinya dengan Haruri (sekte
Khawarij) yang telah keluar dari agama. Juga tidak boleh dengan orang rafidhah
atau Qadariyyah. Tapi kalau dia bukan penyeru pada kesesatan itu maka tidak
mengapa. Tidak boleh pula menikahkan wanita yang adil dengan laki-laki fasik
seperti peminum arak karena lelaki itu tidak sekufu` dengan si wanitanya, baik
si pria itu mabuk maupun tidak akibat minuman tersebut.....”
Ishaq mengatakan, ”Apabila dia
menikahkan karimahnya (anak perempuan atau saudari) dengan pria fasik berarti
dia telah memutuskan hubungan silatur rahim dengan karimahnya itu.”[21]
Hanya saja ada yang perlu diperhatikan
di sini. Masalah agama dan akhlak berbeda dengan parameter kafa`ah lainnya
karena menyangkut kehidupan akhirat yang merupakan tujuan kehidupan yang
sejati. Menikahkan wanita yang ada di bawah perwalian kita dengan pria fasik
apapun jenis kefasikannya itu sama saja dengan memasukkannya ke lembah dosa.
Istri akan berada di bawah kekuasaan suami, sehingga suami yang seharusnya
menjadi imam dalam keluarga justru akan membawa istrinya ke jurang neraka. Maka
dari itu, orang tua, atau saudara yang menikahkan putri atau saudarinya dengan pria
fasik pastilah akan mendapatkan dosa bila dia tahu keadaan pria itu sejak awal.
Sehingga, memasukkan parameter ini ke
dalam syarat luzum adalah pendapat yang tak terbantahkan.
e. Kekayaan.
Para ulama berbeda pendapat dalam
masalah kekayaan apakah dijadikan parameter dalam kafa`ah sebagai syarat luzum
atau tidak. Dalam artian, ketika seorang wanita ingin menikah dengan pria
pujaan hati dambaan jantung tapi si orang tua atau wali tidak setuju lantaran
si pria dianggap kere, apakah itu akan teranggap sebagai ’adhal atau tidak?
Kalau harta kekayaan dianggap parameter mu’tabar dalam kafa`ah maka si wali
yang melarang tidak dianggap wali ’adhil dan si wanita boleh dipaksa untuk
tidak menikahi pria tersebut. Tapi bila harta bukan parameter kafa`ah maka wali
yang melarang bisa dianggap wali ’adhil sehingga pernikahan bisa diajukan si
wanita ke penghulu hakim dengan mencabut perwalian dari wali nasabnya.
Tapi secara ringkas dapat kita
perhatikan tak ada satupun dalil naqli yang bisa dijadikan pegangan untuk
menganggap kekayaan sebagai ukuran kafa`ah pernikahan. Semuanya hanya pandangan
pribadi yang kadang didasari adat istiadat dan kondisi sosial tertentu.
Kalaupun ada dalil maka itu tidak shahih seperti hadits Ibnu Umar yang sudah
dibahas di atas. Atau dalil yang shahih tapi tidak menunjukkan bahwa itu bisa
diberlakukan untuk kafa`ah harta, misalnya hadits Buraidah, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ الْمَالُ
Tapi hadits ini tidak menunjukkan
bahwa harta dianggap sebagai ukuran kesetaraan dalam pernikahan. Hadits ini hanya
berisi informasi bahwa harta itulah yang menjadi kebanggaan penduduk dunia tapi
tidak ada sangkut pautnya dengan syarat dan ketentuan pernikahan. Wallahu
a’lam.
Juga hadits dimana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada Fathimah binti Qais bahwa
Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu miskin, sehingga beliau tidak menyarankan untuk
menikah dengannya. Tapi ini juga tidak menunjukkan bahwa faktor kaya itu yang menjadi
syarat. Karena tidak ada yang memungkiri bahwa kekayaan itu penting dan
seyognyalah seorang wanita mendapatkan suami yang kaya, ganteng, baik, sholeh
dan lain-lain. Tapi itu bukan syarat, karena banyak pula yang kaya malah
menyakiti. Uang melimpah tapi menelantarkan anak istri. Semua itu sering
terjadi.
Bahkan, Allah sendiri malah
menganjurkan untuk menikahkan para bujangan meski mereka miskin sebelum
menikah, karena bisa jadi setelah menikah rezeki mereka bertambah, dan ini
adalah iming-iming langsung dari Allah:
(#qßsÅ3Rr&ur
4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB
ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur
4 bÎ) (#qçRqä3t
uä!#ts)èù
ãNÎgÏYøóã
ª!$#
`ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(Qs. An-Nuur : 32).
Terbetik janji dari Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya. Karena mereka yang menikah demi melaksanakan
perintah Allah dan rasulnya untuk menyempurnakan separuh agama berarti menolong
agama Allah, dan siapa yang menolong agama Allah niscya Allah akan menolongnya
pula.
Tapi ini hendaknya tidak disalahpahami
menikah hanya dengan modal nekad. Karena kesiapan ekonomi merupakan elemen
penting dalam pernikahan. Tidak ada wali yang mau putri atau saudarinya
sengsara hidup dengan calon suami yang tak mampu memberi nafkah. Sehingga
kemampuan dari segi membayar mahar dan memberi nafkah itu adalah hal yang harus
terpenuhi. Bahkan seorang istri punya hak untuk mengajukan perpisahan dan hakim
bisa mentalakkan istri dari suami yang tidak mampu memberinya nafkah bila memang
si istri menuntut untuk itu, dengan mekanisme talak atau fasakh dan bukan
khulu’, sehingga si istri tidak berkewajiban mengembalikan mahar.
Lelaki sejati harus mampu menafkahi
anak dan istri!!!
f.selamat dari
cacat dan penyakit
Bagaimana kalau ada seorang wanita
jatuh hati kepada pria yang cacat tubuh atau penyakit yang menistakan?
Penyakit atau cacat pada diri
seseorang dalam fikih pernikahan dijadikan salah satu alat untuk khiyar.
Maksudnya, bila seseorang baik laki-laki maupun perempuan menikah kemudian dia
baru tahu setelah akad terlaksana bahwa pasangannya memiliki cacat yang tidak
bisa dia terima maka dia punya hak untuk memilih apakah akan melanjutkan
pernikahan ataukah memfasakh.
Fakta ini menunjukkan bahwa cacat
fisik adalah salah satu parameter kafa`ah sebagai syarat luzum pernikahan.
Berikut pandangan madzhab yang empat
tentang masalah kufu` dalam hal cacat ini yang saya kutipkan utuh dari kitab
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 34 hal. 279-281:
Para ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah,
Ibnu ’Aqil dan lainnya dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa semua aib
(cacat) yang menyebabkan terjadinya khiyar untuk memfasakh pernikahan merupakan
kafa`ah dalam pernikahan.
Ibnu Rusyd dari kalangan Malikiyyah
mengatakan bahwa maksud dari ini adalah kesamaan kedua mempelai dalam hal
kesehatan, artinya mereka sama-sama bebas dari cacat yang parah. Inilah yang
dipahami dari pernyataan Ibnu Basyir, Ibnu Syas dan selain mereka dari kalangan
madzhab Maliki.
Sementara
madzhab Syafi’iyah mengatakan, di antara criteria-kriteria yang teranggap dalam
masalah kafa`ah adalah kesehatan dari berbagai cacat yang dijadikan
pertimbangan untuk khiyar. Siapa yang mengidap sebagiannya misalnya kegilaan,
kusta, sopak, maka dia dianggap tidak sekufu` dengan wanita muslimah yang sehat
dari penyakit-penyakit tersebut, karena setiap jiwa pasti menjauhi orang yang
punya penyakit seperti itu dan bisa menyebabkan rusaknya tujuan pernikahan.
Alasan
yang dikemukakan para imam madzhab mengenai kafa`ah dari segi kesehatan ini
sangat logis, sehingga ketetapan mereka layak diamalkan. Wallahu a’lam.
Dari buku saya yang belum terbit Ranjang Ternoda"
[1]
An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits wa Al-Atsar, juz 4 hal. 337, entri kata
كفأ.
[2]
Sunan Ibni Majah, no. 1968, kitab An-Nikah, bab: Al-Akfa`, Ad-Daraquthni dalam
sunannya no. 3732/198 (tahqiq: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwidh),
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/176, no. 2687.
Disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
At-Talkhish Al-Habir, juz 3 hal. 304. Disana dia mengatakan, “Muaranya
adalah orang-orang yang dha’if. Mereka meriwayatkannya dari Hisyam. Yang paling
bagus diantara mereka dalah (dari jalur) Shalih bin Musa Ath-Thalhi dan Al-Harits
bin ’Imran Al-Ja’fari dan dia (hadits ini) hasan.”
Al-Albani memasukkan hadits ini dalam As-Silsilah
Ash-Shahihah, no. 1067 dan menjelaskan jalur-jalur penguatnya.
[3]
Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/26.
[4]
Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 34/269-270.
[5] HR. Ibnu Majah, no. 1968, Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak
[6] Berdasarkan hadits riwayat
Al-Bukhari dalam shahihnya, nomor 4000 dan 5088 kitab
[7] Berdasarkan hadits riwayat Muslim
dalam shahihnya nomor 1480 kitab Thalaq bab: “Al-Muthallaqah tsalaatsan laa
nafaqata lahaa”.
[8] HR. Abu Daud, no. 2104, Ibnu Hibban dalam
shahihnya, no. 4067, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2693, Al-Hakim dan
Adz-Dzahabi mengatakannya sesuai syarat Muslim. Ibnu Hajar Al-Asqalani
mengatakan isnadnya hasan dalam At-Talkhish Al-Habir 3/337, Al-Albani
memasukkannya ke dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2446.
[9] HR. Ahmad dalam musnadnya nomor 23489,
dianggap shahih sanadnya oleh Al-Arnauth, dengan sanad, Ismail menceritakan
kepada kami, Sa’id Al-Jurairi menceritakan kepada kami, dari Abu Nadhar, dari
seorang yang mendengar khutbah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di
pertengahan hari tasyriq….
Abu Nu’aim
juga mengeluarkannya dalam Al-Hilyah 3/100 dengan sanadnya sampai kepada Syaibah
Abu Qilabah Al-Qaisi yang selanjutnya sama dengan sanad Ahmad tapi dia
menyebutkan nama sahabat tersebut adalah Jabir. Lalu Abu Nu’aim berkomentar,
“Gharib dari hadits Abu Nadhrah dari Jabir, kami tidak menulisnya (dari Jabir)
kecuali dari hadits Abu Qilabah. Abu Nadhrah adalah Al-Mundzir bin Malik bin
Qith’ah Al-Abdi, seorang tabi’in yang memang biasa meriwayatkan dari banyak
sahabat antara lain Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Samurah bin Jundab,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Dia dipakai oleh Muslim,
dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, An-Nasa`iy, Abu Hatim dan Ibnu
Hibban. Lihat Tahdzib Al-Kamal 28/508-510, no. 6183.
Sanad Ahmad shahih dan tidak
diketahuinya nama sahabat tidak berpengaruh sebagaimana sudah maklum dalam ilmu
hadits.
[10] Sunan Ad-Daraquthni 4/358, no. 3601.
[11] As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/215,
no. 13760.
[12] Sunan Ad-Daraquthni 4/358.
[13] Sunan Ad-Daraquthni 4/457, no. 3785, As-Sunan
Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/215, no. 13762.
[14] Lihat Irwa` Al-Ghalil 6/265, Tahdzib
Al-Kamal 2/172, no. 229, Tahdzib At-Tahdzib 1/133.
[15] Lihat Al-Ilal oleh Ibnu Abi Hatim 4/41,
77 dan 84-85, Al-Badr Al-Munir 7/583-586, At-Tamhid 19/165.
[16] Sebagaimana dalam Tarikh Dimasyq 15/84.
[17] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah
Al-Kuwaitiyyah 34/276.
[18]
HR. Abu Daud, no. 2235, At-Tirmidzi, no. 1154.
[19]
Lihat Fath Al-Bari 11/360, kitab Nikah bab: Al-Akfa` fid Diin, Al-Hafizh
berkata, “Menjadikan kafa`ah dalam agama sebagai parameter adalah hal yang
disepakati, maka tidak sah menikahkan muslimah dengan orang kafir sedari awal.”
[20]
Sebagaimana diketahui bahwa dalam madzhab Hanafi seorang wanita sah menikahkan
dirinya sendiri tanpa wali bila pria yang dinikahinya sekufu`.
[21]
Dinukil dengan sedikit meringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 34/271-272.
[22]
HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no. 22990, An-Nasa`iy, no. 3225, Ibnu Hibban, no.
700 dengan isnad yang hasan lantaran adanya Al-Husain bin Waqid.
Baarokallaah fiik ustadz.. Syukron jaziilan.
BalasHapus