Selasa, 18 September 2018

Menikah dengan Yang Tak Sekufu`



Makna Kufu`
          Kufu` dalam bahasa arab tertulis (كُفْءٌ) biasa pula disebut kafa`ah (كَفَاءَةٌ) artinya secara bahasa adalah bandingan atau persamaan pasangan. Secara istilah dalam pernikahan berarti suami yang sepadan dengan istri dalam hal kedudukan, agama, keturunan, rumah dan lain-lain.[1]

          Dalam kenyataan memang kesetaraan itu dipandang sebagai ukuran untuk menerima pinangan seorang pria terhadap seorang wanita, misalnya dalam hal kedudukan di tengah masyarakat, masalah ekonomi, intelektualitas, pendidikan dan profesi.
          Islam memang menganjurkan adanya kesetaraan karena itu adalah salah satu faktor pelanggeng kehidupan rumah tangga dan supaya tak terjadi sesal di kemudian hari. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ ، وَانْكِحُوا إلَيْهِمْ
”Pilihlah tempat untuk air mani kalian, menikahlah dengan yang sekufu` dan nikahkanlah mereka.” (HR. Ibnu Majah, Ad-Daraquthni dan Al-Hakim)[2]

Kedudukan kafa`ah dalam pernikahan

          Sebagian ulama ada yang menganggap bahwa kafa`ah adalah syarat sah pernikahan. Dengan kata lain, pernikahan dianggap tidak sah bila antara pria dan wanita tidak sederajat. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, sebagian ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah.
          Ibnu Qudamah mengatakan, ”Ada perbedaan riwayat dari Ahmad tentang apakah kafa`ah ini menjadi syarat sah pernikahan. Ada sebuah riwayat darinya yang menyatakan bahwa kafa`ah adalah syarat sah. Dia (Ahmad) berkata, ”Bila seorang mawla (keturunan budak) menikahi seorang wanita arab maka mereka dipisahkan.” Ini adalah pendapat Sufyan.
          Ahmad berkata pula tentang seorang laki-laki peminum suatu jenis minuman (yang dianggap memabukkan –penerj), ”Dia tidak sekufu` (setara, sederajat) dengan wanita itu maka mereka berdua harus dipisahkan.”
          Ahmad juga pernah berkata, ”Kalau si mempelai pria menderita penyakit gatal niscaya aku akan memisahkan mereka berdua, berdasarkan perkataan Umar, ”Sungguh aku akan melarang wanita dinikahi kecuali dengan laki-laki sekufu`.” Ini diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan isnadnya.
          Juga diriwayatkan dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dia berkata, ”Salman dan Jarir melakukan sebuah perjalanan (safar), lalu diqamatkanlah shalat, maka Jarirpun berkata kepada Salman, ”Silahkan kamu menjadi imam.” Salman menjawab, ”Kamulah yang harus maju, karena kalian ini wahai sekalian orang arab, tidak ada yang boleh mengimami kalian dan wanita kalian tidak boleh dinikahi bangsa lain. Sesungguhnya Allah melebihkan kalian dengan adanya Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam di antara kalian.”
          Selain itu, proses menikahkan tanpa disertai kesetaraan sama artinya melakukan tindakan tanpa persetujuan sang wali dan itu tidak sah, sama halnya dengan menikahkan si wanita tanpa izinnya.
          Juga ada riwayat dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
لَا تُنْكِحُوا النِّسَاءَ إلَّا مِنَ الْأَكْفَاءِ، وَلَا يُزَوِّجُهُنَّ إلَّا الْأَوْلِيَاءُ
”Janganlah kalian nikahkan wanita kecuali dengan lelaki yang setara (sekufu`) dan jangan ada yang menikahkan mereka kecuali para wali.”
          Ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni. Hanya saja Ibnu Abdil Barr mengatakan, ”Ini dha’if, tidak ada asalnya dan yang sepertinya tidak bisa dijadikan hujjah.”
          Selesai nukilan dari Al-Mughni[3].
Selain riwayat dari Ahmad, pendapat senada juga diperoleh dari sebagian ulama Hanafiyyah dan beberapa ulama kalangan Malikiyyah.[4]
          Dalil lain yang juga dijadikan dasar akan syarat kafa`ah ini adalah:
Hadits Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
الْعَرَبُ أَكْفَاءٌ بَعْضُهَا بَعْضًا قَبِيلٌ بِقَبِيلٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ وَالْمَوَالِي أَكْفَاءٌ بَعْضُهَا بَعْضًا قَبِيلٌ بِقَبِيلٍ، وَرَجُلٌ بِرَجُلٍ إِلَّا حَائِكٌ أَوْ حَجَّامٌ
“Orang arab itu sekufu` satu sama lain, suku dengan suku, lelaki dengan lelaki, sedangkan mawali (para mantan budak) sekufu` dengan sesama mereka, suku dengan suku, lelaki dengan lelaki, kecuali tukang tenun dan tukang bekam.”
          Hadits senada juga diperoleh dari Aisyah dan Mu’adz bin Jabal.
          Ada riwayat lain dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, secara marfu’:
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ لَا تَضَعُوهَا إِلَّا فِي الْأَكْفَاءِ
“Pilihlah tempat untuk mani kalian, jangan letakkan dia kecuali pada tempat yang setara.”[5]

Pendapat kedua:
          Akan tetapi  riwayat lain dari Ahmad –dan inilah yang menjadi pegangan dalam madzhab- serta mayoritas kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah serta Syafi’iyyah sendiri mengatakan bahwa kafa`ah bukanlah syarat sah. Melainkan hanya syarat luzum (syarat keberlangsungan), kalau mau bisa diteruskan, tapi kalau tidak bisa dihentikan.
          Maksudnya, bila ada yang menikahkah putrinya dengan yang tidak sekufu maka akad awalnya sah, tapi kalau ternyata ada wali yang menolak maka akad tersebut bisa langsung difasakh (dibatalkan). Tapi kalau semua setuju maka boleh diteruskan sehingga langgeng bersuami istri.
          Beberapa dalil yang dikemukakan oleh jumhur seperti dituliskan oleh Ibnu Qudamah sendiri dalam Al-Mughni membantah riwayat yang mengatakan itu adalah syarat sah antara lain:
-      Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah menikahkan anak angkatnya yaitu Salim yang merupakan mawla (keturunan budak) dengan adik sepupunya yaitu Hindun binti Al-Walid bin Utbah.[6]
-      Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam juga memerintahkan Fathimah binti Qais seorang wanita keturunan Quraisy dengan Usamah bin Zaid yang merupakan anak dari mantan budak Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.[7]
-      Sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam kepada para bangsawan Arab, ”Wahai keturunan putih nikahkanlah Abu Hind dengan putri-putri kalian.” Padahal Abu Hind hanyalah seorang tukang bekam.[8]
-      Ibnu Mas’ud pernah berkata kepada saudarinya, ”Aku mohon kepada Allah agar kau menikahi pria muslim, baik dia berkulit merah Romawi, ataupun hitam Habasyi.”
-      Juga Bilal bin Rabah seorang mantan budak keturunan Habasyah dinikahkan dengan
-      Salah satu isi khutbah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di haji wada’:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, sesungguhnya bapak kalian juga satu (Adam –penerj). Ingatlah tidak ada kelebihan orang arab atas ajam (non arab), atau ajam atas arab, atau si kulit merah atas si kulit hitam atau si kulit hitam di atas si kulit mereka kecuali lantaran takwa.”[9]

Tarjih:
          Dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur yang menganggap kafa`ah bukanlah syarat sah lebih kuat. Sedangkan dalil yang menganggap kafa`ah adalah syarat sah sebagiannya lemah tak bisa dijadikan hujjah, dan yang kuat sanadnya tidak dengan tegas menunjukkan pensyaratan kafa`ah tersebut:
Hadits:
لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ إِلَّا الْأَكْفَاءَ وَلَا يُزَوِّجُهُنَّ إِلَّا الْأَوْلِيَاءُ وَلَا مَهْرَ دُونَ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ
”Janganlah kalian nikahkan wanita kecuali dengan lelaki yang setara (sekufu`) dan jangan ada yang menikahkan mereka kecuali para wali, serta mahar tidak boleh kurang dari sepuluh dirham.”
Ini adalah hadits yang sangat lemah seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni[10] dan Al-Baihaqi[11] dari Jabir bin Abdullah ra. Dalam sanadnya terdapat Mubasysyir bin Ubaid yang dikatakan oleh Ad-Daraquthni setelah dia mengeluarkan hadits ini: ”Mubasysyir bin Ubaid matrukul hadits, hadits-haditsnya tidak ada yang menguatkan.”[12]
Atsar mauquf dari Umar bin Khaththab dengan kalimat senada,
لَأَمْنَعَنَّ تَزَوُّجَ ذَاتِ الْأَحْسَابِ إِلَّا مِنَ الْأَكْفَاءِ
”Sungguh aku akan melarang wanita dinikahi kecuali dengan laki-laki sekufu`.”[13]
Sanadnya tidak shahih sampai ke Umar, karena diriwayatkan dari jalan Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah dari Umar, padahal dia tidak pernah bertemu dengan Umar, sehingga sanad ini terputus (munqathi’).[14]
Sedangkan atsar dari Salman, memang secara zahir adalah shahih sanadnya sampai kepada Salman. Tetapi, hanya merupakan pendapat pribadi yang bisa ditafsirkan sebagai bentuk tawadhu’nya Salman dalam mengutamakan bangsa Arab di atas bangsanya. Lagi pula perbuatan para sahabat dan perbuatan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri menunjukkan bahwa hal itu tidak berlaku sebagai syarat sah sebagaimana terungkap dari dalil-dalil kelompok yang mengatakan kafa`ah ini bukan syarat sah pernikahan.
Hadits-hadits dari Ibnu Umar, Aisyah dan Mu’adz bin Jabal yang mengatakan bahwa orang arab sekufu` satu sama lain adalah hadits munkar yang sangat lemah. diterangkan panjang lebar oleh Syekh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil jilid 6 hal. 268 – 270, dimana setelah menyebutkan kesemua jalur hadits-hadits tersebut beliau berkesimpulan:
”Kesimpulannya bahwa jalur-jalur hadits ini kebanyakan sangat lemah, sehingga hati tidak tenang menguatkannya dengan riwayat ini. Apalagi para hafizh telah memvonisnya sebagai hadits palsu seperti Ibnu Abdil Barr dan lannya. Adapun masalah pen-dhaif-annya maka ini telah menjadi kesepakatan, tapi hati ini malah cenderung menganggapnya palsu karena kandungannya sangat jauh dari nash-nash yang telah dipastikan keshahihannya.”
          Al-Albani tidak sendirian. Jauh sebelumnya para ulama rujukan di bidang hadits dan fikih telah melemahkan hadits ini dengan sangat. Ibnu Abdil Bar misalnya, dia mengatakan hadits ini munkar maudhu’. Sebelum Ibnu Abdil Barr ada Abu Hatim yang menganggap hadits ini bathil, tidak ada asalnya. Di lain waktu dia mengatakan, ”hadits munkar”.[15]
          Hadits Aisyah yang diriwayatkan dari jalur Hisyam bin Urwah dari ayahnya, dari Aisyah. Banyak orang yang meriwayatkannya dari Hisyam antara lain Al-Harits bin Imran Al-Ja’fari, Abu Umayyah bin Ya’la Ats-Tsaqafi, Ikrimah bin Ibrahim, Ayyub bin Waqid, Muhammad bin Marwan As-Suddi, Shalih bin Musa, Hisyam mawla Utsman, Al-Hakam bin Hisyam[16]. Semuanya adalah perawi yang bermasalah kecuali Al-Hakam bin Hisyam yang haditsnya hasan. Dengan begitu maka hadits Aisyah ini shahih sebagaimana dikatakan oleh Syekh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah vol. 3 hal. 56-57, nomor hadits, 1067.
Riwayat tersebut ada dalam Tarikh Dimasyq oleh Ibnu ’Asakir dengan isnadnya sampai kepada Abu Bakr Ahmad bin Al-Qasim, Abu Zur’ah memberitakan kepada kami, Abu An-Nadhr mengabarkan kepada kami, Al-Hakam bin Hisyam mengabarkan kepada kami, Hisyam bin Urwah menceritakan kepadaku, dari Urwah, dari Aisyah yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
تَخَيَّرُوْا لِنُطَفِكُمْ فَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ وَاخْطُبُوْا إِلَيْهِمْ
”Pilihlah untuk mani kalian, menikahlah (putri kalian) dengan lelaki yang sekufu’ dan lamarlah (putri-putri) mereka.”
          Isnad ini mulai dari Abu Zur’ah sampai ke Al-Hakam adalah shahih atau minimal hasan. Sedangkan Abu Bakar Ahmad bin Al-Qasim di sini adalah Ahmad bin Al-Qasim bin Ma’ruf karena memang dalam Tarikh Dimasyq banyak ditemukan riwayat dengan jalur seperti ini darinya dan dia dianggap tsiqah oleh Abdul Aziz Al-Kattani sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu ’Asakir sendiri dalam Tarikh Dimasyq 5/174.
          Akan tetapi Syekh Al-Albani sendiri memberikan tafsiran bahwa yang dimaksud sekufu` di sini adalah masalah agama dan akhlak. Tapi bisa saja dipahami bahwa ini adalah anjuran sunnah, bukan syarat sah, karena memang secara logikapun seorang wanita hendaklah dinikahkan dengan yang setaraf dalam hal kedudukan, harta, pekerjaan suku bangsa dan lain sebagainya. Tidak ada yang membantah bahwa itu lebih baik, hanya saja dalam riwayat yang shahih ini tidak secara tegas menunjukkan bahwa itu adalah syarat sah, bahkan untuk syarat luzum (sebagaimana yang akan dibahas nanti)pun tidak. Wallahu a’lam.

Kafa`ah adalah hak mempelai wanita.

          Kafa`ah adalah hak wanita, bukan pria. Artinya, hanya pihak wanitalah yang berhak mengajukan syarat kesetaraan dimaksud. Sedangkan dari pihak pria tidak ada syarat demikian, sehingga dia bebas menikahi wanita dari kalangan paling bawah dan paling hina sekalipun, asal bukan wanita-wanita yang terlarang untuk dinikahi, seperti non ahli kitab atau pelacur.
          Hal ini baru akan menjadi masalah bila ada salah satu wali dari pihak wanita tidak menyetujui. Misalnya, si wanita ingin menikah dengan pria pujaannya, lalu si wali tidak menyetujui dengan alasan pria itu tidak sekufu` dengan keluarga mereka. Bagi pendapat yang mengatakan kafa`ah itu adalah syarat keberlangsungan maka wali berhak melarang anak perempuannya untuk melanjutkan pernikahan dan tidak dianggap ’adhil (menghalang-halangi pernikahan). Akibatnya, wali hakim tidak berhak mencabut perwalian dari wali nasab bila alasannya adalah kafa`ah.
          Sedangkan bagi pendapat yang tidak mensyaratkan kafa`ah sama sekali, maka selama tidak dilarang dalam agama dan si wanitanya sudah bersedia menikah, maka si wali tidak berhak melarang. Bila masih bersikeras melarang berarti dianggap ’adhil dan hak perwaliannya bisa dicabut oleh hakim (penguasa yang berwenang).
          Lalu apa yang menjadi ukuran kesetaraan itu?
          Para ulama sepakat bahwa yang menjadi ukuran kesetaraan seorang wanita dan pria untuk bisa menikah adalah agama, sehingga seorang pria diharuskan beragama Islam. Hal lain adalah akhlak, sehingga menjadi hak wanita untuk minta hanya dinikahi oleh pria yang berakhlak mulia.
          Selanjutnya ada perbedaan dalam beberapa hal antara lain, keturunan. Dalam literatur klasik disebutkan bahwa orang Arab lebih tinggi derajatnya daripada non Arab sehingga itu menjadi salah satu pertimbangan dalam kafa`ah untuk menikah. Juga masalah kesukuan, misalnya antara Quraisy dengan non Quraisy, dan antara Bani Hasyim dengan orang selain mereka.
          Juga dibahas masalah harta, apakah wanita kaya boleh menikah dengan pria miskin, dan seterusnya.
          Yang jadi persoalan, bolehkah tetap menikah dengan yang tidak sekufu`, andai terjadi pernikahan yang tidak sekufu` apakah wali sang wanita (bila memiliki lebih dari satu wali) berhak mengajukan keberatan dan membatalkan pernikahan?

Faktor-Faktor Paramater Kafa`ah

          Dalam kajian fiqh ada beberapa faktor yang dijadikan ukuran dalam masalah kafa`ah pernikahan, yaitu:
a.dalam hal nasab (keturunan)
         
Pendapat para ulama tentang kafa`ah dalam hal nasab
          Di sini kita hanya akan mempertimbangkan perbedaan pendapat antara ulama yang mengatakan bahwa kafa`ah adalah syarat keberlangsungan dengan yang tidak menganggapnya sebagai syarat apapun. Sedangkan yang menganggap kafa`ah dalam hal nasab sebagai syarat sah sudah kita nyatakan kelemahannya sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi.
         
1.Madzhab pertama, nasab adalah syarat luzum (syarat keberlangsungan)
          Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari tiga madzhab yaitu Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Konsekuensinya adalah kalau misalkan seorang wanita menikah dengan wali saudaranya dengan orang yang dianggap berketurunan rendah (antara Arab dengan non Arab) lalu ada salah satu saudaranya yang lain dengan kedudukan sama kuat dalam hal perwalian menentang, maka dia berhak membatalkan pernikahan itu. Atau si wanitanya mau tapi wali tidak mau, maka si wanita tidak berhak mengajukan tuntutan kepada hakim untuk menikahkannya.

b.Merdeka dan bukan budak
          Para ulama madzhab Hanafi dan Syafi’i serta pendapat yang dipegang dalam madzhab Hanbali bahwa kemerdekaan menjadi parameter kafa`ah. Menurut mereka lelaki yang masih berstatus budak tidak sekufu` dengan wanita merdeka, sehingga kafa`ah dalam masalah perbudakan ini menjadi syarat luzum dalam pernikahan. Artinya, kalau si wanita rela bersuamikan seorang budak maka itu tidak masalah baginya, tapi kalau tidak maka walinya tidak boleh menikahkannya dengan pria itu.[17]
          Dalil yang biasa dipakai dalam penentuan kemerdekaan sebagai parameter kafa`ah adalah hadits Barirah yang terkenal. Hadits Barirah ini terdapat dalam Shahih dan sunan, antara lain dalam Shahih Al-Bukhari, Muhammad menceritakan kepada kami, Abdul Wahhab mengabarkan kepada kami, Khalid menceritakan kepada kami, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yang berkata,
”Suami Barirah adalah seorang budak bernama Mughits. Aku pernah melihatnya berkeliling di belakang Barirah sambil menangis, bahkan air mata membasahi jenggotnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata kepada Abbas, ”Wahai Abbas, tidakkah kau heran betapa cintanya Mughits kepada Barirah dan betapa bencinya Barirah kepada Mughits?” Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah, ”Maukah kau rujuk kembali kepadanya (Mughits)?” Barirah bertanya dulu kepada beliau, ”Wahai Rasulullah, apakah ini perintah?” Beliau menjawab, ”Bukan, aku hanya berusaha menolongnya.” Barirah menjawab, ”Kalau begitu, aku tidak lagi punya hajat terhadapnya.”
(Shahih Al-Bukhari no. 5283 kitab Nikah bab: ”Syafaat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk suami Barirah”).
          Jelas di sini status budak Mughits membuatnya tak selevel dengan Barirah, meski mereka adalah suami istri ketika sama-sama berstatus budak tapi ketika Barirah sudah dimerdekakan oleh Aisyah maka dia punya hak apakah masih tetap rela menjadi istri Mughits yang masih sebagai budak atau memilih jalan hidupnya sendiri. Maklum, mempunyai suami sebagai budak tidaklah mudah. Budak dimiliki oleh tuannya, sehingga wajar bila Islam memberikan pilihan bagi wanita untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan karena itu. Status budak itulah yang menyebabkan Barirah punya hak untuk memilih, dan bila Mughits bukan budak maka Rasulullah tidak akan memberikan pilihan kepada Barirah untuk lepas dari Mughits sebagaimana diterangkan oleh Aisyah ra,
”Suami Barirah adalah seorang budak, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memberinya pilihan (apakah tetap rela menjadi istrinya atau berpisah –penerj), dan dia memilih dirinya (berpisah). Kalau saja suaminya bukan budak tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberinya pilihan.”[18]
          Jadi, jelaslah dalil bahwa kemerdekaan merupakan salah satu parameter yang shahih dalam kafa`ah sebagai sebuah syarat luzum. Wallahu a’lam.

c.Pekerjaan.

          Para ulama fikih sejak dulu mempersoalkan pekerjaan sang pria sebagai salah satu parameter kafaah dalam pernikahan. Banyak perincian yang dibuat dalam hal ini yang intinya jenis pekerjaan tertentu dianggap tidak sepadan dengan wanita yang orang tuanya bekerja di bidang tertentu pula. Sehingga bila yang melamar anak gadis seseorang berasal dari jenis pekerjaan yang dianggap rendahan maka para wali punya hak menolak dan tidak dianggap ’adhil oleh hakim.
          Fenomena itu bisa diterjemahkan pada masa kini dengan menyatakan bahwa memang pekerjaan kadang dianggap sebagai salah satu hal yang menjadi pertimbangan pernikahan. Akan tetapi di masa sekarang biasanya yang dilihat bukan sisi pekerjaannya melainkan dari hasil dari pekerjaan itu sendiri. Di masa materialistis seperti ini orang lebih melihat akan hasil sehingga mungkin ini lebih tepat dimasukkan pada parameter kekayaan.
          Apapun itu, menjadikan pekerjaan sebagai salah satu parameter kafa`ah tidak punya landasan yang kuat. Apalagi hadits yang menyinggung pekerjaan sebagai parameter kafa`ah sudah dinyatakan lemah yaitu hadits Ibnu Umar yang sudah dijelaskan derajatnya di atas dimana di sana ada penyebutan tukang tenun dan tukang bekam sebagai profesi rendahan sehingga tidak sekufu` dengan para wanita. Akan tetapi hadits tersebut tidak sah sebagaimana pendapat Abu Hatim dan Ibnu Abdil Barr. Lagi pula  terbantahkan dengan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam golongan putih menikahkan puteri mereka dengan Abu Hind yang merupakan tukang bekam.
          Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa segi pekerjaan tidaklah terpakai dalam parameter dari segi prestisenya di mata masyarakat. Apakah pekerjaan itu dianggap rendahan seperti pemulung, tukang sedot wc dan lain-lain. Semua itu tidak menjadi ukuran. Akan tetapi yang jadi ukuran adalah pandangan syariat dari pekerjaan tersebut. Bila sebuah pekerjaan dinyatakan negatif dalam pandangan agama berarti orang tua berhak melarang anak gadisnya menikah dengan pria yang punya pekerjaan tersebut.
          Contohnya adalah pekerjaan sebagai pemusik, penyanyi dangdut atau pop, rok dan lagu-lagu jahiliah lainnya, pegawai bank yang sehari-hari berkutat dengan riba. Semua itu adalah jenis pekerjaan yang mentereng di mata manusia tapi rendah di mata agama. Agama jelas mengharamkan jenis-jenis lagu dan musik yang menampakkan para wanita membuka aurat, berjoget menyerupai orang-orang fasik dengan lirik-lirik lagu cinta. Agama ini juga melaknat mereka yang terlibat aktif dalam transaksi riba, baik yang menjadi peminjan dengan bunga (debitur) maupun yang meminjam (kreditur), yang mencatat dan juga para saksinya. Jabir ra berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang membayarkan riba, pencatatnya dan kedua saksinya. Beliau bersabda, ”Mereka semua sama.” (HR. Muslim dari Jabir, Juga oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`iy dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas’ud ra.).
          Jadi, ketika ada orang tua yang tidak setuju anaknya menikah dengan mereka yang bekerja di sektor tersebut maka ketidaksetujuannya itu sesuai dengan syariat sehingga dalam hukum Islam orang tua atau wali seperti itu tidak dikategorikan wali ’adhil atau wali yang menghalangi wanita dalam perwaliannya menikah tanpa alasan kuat. Bahkan, bila anak wanitanya atau siapa saja yang berada di bawah perwaliannya membantah berarti dia termasuk durhaka kepada Allah dan orang tua sekaligus. Hukumnya sama dengan orang tua yang melarang anaknya menikah dengan orang fasik dan ini akan jelas dibahas pada point kafa`ah dari segi agama dan akhlak.

d.Agama dan Akhlak.

          Satu-satunya point yang disepakati dalam hal kafa`ah adalah dari sisi agama dan akhlak, dimana seorang wanita muslimah tidak sah menikah dengan pria non muslim dan ini sudah dibahas di pernikahan beda agama.[19] Selain itu, pertimbangan sikap keagamaan dan akhlak menjadi salah satu faktor wajib bagi sang wanita maupun walinya untuk menerima atau menolak pria yang melamar.
          Sedangkan menurut jumhur ulama, kafa`ah dalam agama tidak terbatas hanya pada asal agama orang itu saja tapi juga sikap beragamanya. Maksudnya tidak cukup bahwa si calon suami ini beragama Islam, tapi juga harus sebagai orang yang melaksanakan ajaran agama itu sendiri, atau setidaknya bukan orang yang kentara sebagai penentang agama, baik dari sisi perbuatan, perkataan maupun keyakinan.
          Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata, “Apabila seorang wanita yang merupakan anak orang shaleh menikahkan dirinya dengan lelaki fasik[20] maka para wali punya hak untuk menolak. Sebab, membanggakan diri dengan keagamaan lebih pantas dilakukan daripada membanggakan diri dengan keturunan, kemerdekaan dan harta. Kehinaan lantaran kefasikan merupakan tingkat kehinaan yang paling parah.”
          Tapi Muhammad bin Hasan mengatakan, ”Kafa`ah dari sikap beragama tidak dianggap (sebagai parameter), karena itu merupakan perkara akhirat sedangkan kafa`ah merupakan perkara duniawi, kecuali kalau kefasikan itu merupakan perkara yang keji yang menjadi bahan olokan dan tertawaan.”
          Ada pula pendapat dari Abu Yusuf bahwa orang fasik yang melakukan kefasikannya terang-terangan maka dia tidak sekufu` (dengan wanita shalehah) tapi kalau tidak melakukannya terang-terangan maka dia tetap sekufu`.
          Sedangkan kalangan madzhab Malik mengatakan, “Yang dimaksud dengan kafa`ah dalam agama adalah keislaman sang pria disertai sikapnya yang terhindar dari kefasikan. Tapi tidak disyaratkan bahwa kebaikan mereka harus setara. Kalau saja seorang pria tidak punya kesetaraan dalam agama dan dia fasik berarti dia bukan sekufu`.”
          Ulama madzhab Syafi’iyyah mengatakan bahwa standar kufu` dalam agama adalah kebaikan akhlak serta terhindarnya dia dari hal-hal yang haram. Orang fasik tidak sekufu` dengan wanita ‘afifah. Sedangkan yang tidak fasik –baik dia adil maupun tidak diketahui adil tidaknya- maka tetap sekufu`. Ketenaran akan baiknya seseorang juga bukan parameter kafa`ah dalam agama. Seorang pria yang tidak terkenal kebaikannya tetap sekufu` dengan wanita yang terkenal kebaikannya. Sebaliknya laki-laki yang fasik akan sekufu` dengan wanita yang fasik pula secara umum, kecuali kalau si laki-laki ini bertambah kefasikannya atau jenis kefasikan mereka berbeda sebagaimana yang dibahas oleh Al-Isnawi. Laki-laki mubtadi’ tidaklah sekufu` dengan wanita ’afifah dan dengan wanita ahlus sunnah.”
          Sedangkan ulama madzhab Hanbali mengatakan, ”Agama merupakan hal yang dianggap dalam kafa`ah. Makanya tidak boleh menikahkan seorang wanita yang suci dari zina dengan pria yang seorang durjana baik durjana dari segi perkataan, perbuatan ataupun akidahnya.”
          Dalam riwayat Abu Bakar, Ahmad mengatakan, ”Tidak boleh seseorang menikahkan putrinya dengan Haruri (sekte Khawarij) yang telah keluar dari agama. Juga tidak boleh dengan orang rafidhah atau Qadariyyah. Tapi kalau dia bukan penyeru pada kesesatan itu maka tidak mengapa. Tidak boleh pula menikahkan wanita yang adil dengan laki-laki fasik seperti peminum arak karena lelaki itu tidak sekufu` dengan si wanitanya, baik si pria itu mabuk maupun tidak akibat minuman tersebut.....”
          Ishaq mengatakan, ”Apabila dia menikahkan karimahnya (anak perempuan atau saudari) dengan pria fasik berarti dia telah memutuskan hubungan silatur rahim dengan karimahnya itu.”[21]
         
          Hanya saja ada yang perlu diperhatikan di sini. Masalah agama dan akhlak berbeda dengan parameter kafa`ah lainnya karena menyangkut kehidupan akhirat yang merupakan tujuan kehidupan yang sejati. Menikahkan wanita yang ada di bawah perwalian kita dengan pria fasik apapun jenis kefasikannya itu sama saja dengan memasukkannya ke lembah dosa. Istri akan berada di bawah kekuasaan suami, sehingga suami yang seharusnya menjadi imam dalam keluarga justru akan membawa istrinya ke jurang neraka. Maka dari itu, orang tua, atau saudara yang menikahkan putri atau saudarinya dengan pria fasik pastilah akan mendapatkan dosa bila dia tahu keadaan pria itu sejak awal.
          Sehingga, memasukkan parameter ini ke dalam syarat luzum adalah pendapat yang tak terbantahkan.

e. Kekayaan.

          Para ulama berbeda pendapat dalam masalah kekayaan apakah dijadikan parameter dalam kafa`ah sebagai syarat luzum atau tidak. Dalam artian, ketika seorang wanita ingin menikah dengan pria pujaan hati dambaan jantung tapi si orang tua atau wali tidak setuju lantaran si pria dianggap kere, apakah itu akan teranggap sebagai ’adhal atau tidak? Kalau harta kekayaan dianggap parameter mu’tabar dalam kafa`ah maka si wali yang melarang tidak dianggap wali ’adhil dan si wanita boleh dipaksa untuk tidak menikahi pria tersebut. Tapi bila harta bukan parameter kafa`ah maka wali yang melarang bisa dianggap wali ’adhil sehingga pernikahan bisa diajukan si wanita ke penghulu hakim dengan mencabut perwalian dari wali nasabnya.
          Tapi secara ringkas dapat kita perhatikan tak ada satupun dalil naqli yang bisa dijadikan pegangan untuk menganggap kekayaan sebagai ukuran kafa`ah pernikahan. Semuanya hanya pandangan pribadi yang kadang didasari adat istiadat dan kondisi sosial tertentu. Kalaupun ada dalil maka itu tidak shahih seperti hadits Ibnu Umar yang sudah dibahas di atas. Atau dalil yang shahih tapi tidak menunjukkan bahwa itu bisa diberlakukan untuk kafa`ah harta, misalnya hadits Buraidah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ الْمَالُ

“Sesungguhnya kemuliaan penduduk dunia yang kalian datangi adalah harta.”[22]
          Tapi hadits ini tidak menunjukkan bahwa harta dianggap sebagai ukuran kesetaraan dalam pernikahan. Hadits ini hanya berisi informasi bahwa harta itulah yang menjadi kebanggaan penduduk dunia tapi tidak ada sangkut pautnya dengan syarat dan ketentuan pernikahan. Wallahu a’lam.
          Juga hadits dimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada Fathimah binti Qais bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu miskin, sehingga beliau tidak menyarankan untuk menikah dengannya. Tapi ini juga tidak menunjukkan bahwa faktor kaya itu yang menjadi syarat. Karena tidak ada yang memungkiri bahwa kekayaan itu penting dan seyognyalah seorang wanita mendapatkan suami yang kaya, ganteng, baik, sholeh dan lain-lain. Tapi itu bukan syarat, karena banyak pula yang kaya malah menyakiti. Uang melimpah tapi menelantarkan anak istri. Semua itu sering terjadi.
          Bahkan, Allah sendiri malah menganjurkan untuk menikahkan para bujangan meski mereka miskin sebelum menikah, karena bisa jadi setelah menikah rezeki mereka bertambah, dan ini adalah iming-iming langsung dari Allah:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”
(Qs. An-Nuur : 32).
          Terbetik janji dari Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Karena mereka yang menikah demi melaksanakan perintah Allah dan rasulnya untuk menyempurnakan separuh agama berarti menolong agama Allah, dan siapa yang menolong agama Allah niscya Allah akan menolongnya pula.
          Tapi ini hendaknya tidak disalahpahami menikah hanya dengan modal nekad. Karena kesiapan ekonomi merupakan elemen penting dalam pernikahan. Tidak ada wali yang mau putri atau saudarinya sengsara hidup dengan calon suami yang tak mampu memberi nafkah. Sehingga kemampuan dari segi membayar mahar dan memberi nafkah itu adalah hal yang harus terpenuhi. Bahkan seorang istri punya hak untuk mengajukan perpisahan dan hakim bisa mentalakkan istri dari suami yang tidak mampu memberinya nafkah bila memang si istri menuntut untuk itu, dengan mekanisme talak atau fasakh dan bukan khulu’, sehingga si istri tidak berkewajiban mengembalikan mahar.
          Lelaki sejati harus mampu menafkahi anak dan istri!!!

f.selamat dari cacat dan penyakit

          Bagaimana kalau ada seorang wanita jatuh hati kepada pria yang cacat tubuh atau penyakit yang menistakan?
          Penyakit atau cacat pada diri seseorang dalam fikih pernikahan dijadikan salah satu alat untuk khiyar. Maksudnya, bila seseorang baik laki-laki maupun perempuan menikah kemudian dia baru tahu setelah akad terlaksana bahwa pasangannya memiliki cacat yang tidak bisa dia terima maka dia punya hak untuk memilih apakah akan melanjutkan pernikahan ataukah memfasakh.
          Fakta ini menunjukkan bahwa cacat fisik adalah salah satu parameter kafa`ah sebagai syarat luzum pernikahan.
          Berikut pandangan madzhab yang empat tentang masalah kufu` dalam hal cacat ini yang saya kutipkan utuh dari kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah jilid 34 hal. 279-281:
          Para ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, Ibnu ’Aqil dan lainnya dari kalangan Hanabilah berpendapat bahwa semua aib (cacat) yang menyebabkan terjadinya khiyar untuk memfasakh pernikahan merupakan kafa`ah dalam pernikahan.
          Ibnu Rusyd dari kalangan Malikiyyah mengatakan bahwa maksud dari ini adalah kesamaan kedua mempelai dalam hal kesehatan, artinya mereka sama-sama bebas dari cacat yang parah. Inilah yang dipahami dari pernyataan Ibnu Basyir, Ibnu Syas dan selain mereka dari kalangan madzhab Maliki.
          Sementara madzhab Syafi’iyah mengatakan, di antara criteria-kriteria yang teranggap dalam masalah kafa`ah adalah kesehatan dari berbagai cacat yang dijadikan pertimbangan untuk khiyar. Siapa yang mengidap sebagiannya misalnya kegilaan, kusta, sopak, maka dia dianggap tidak sekufu` dengan wanita muslimah yang sehat dari penyakit-penyakit tersebut, karena setiap jiwa pasti menjauhi orang yang punya penyakit seperti itu dan bisa menyebabkan rusaknya tujuan pernikahan.
          Alasan yang dikemukakan para imam madzhab mengenai kafa`ah dari segi kesehatan ini sangat logis, sehingga ketetapan mereka layak diamalkan. Wallahu a’lam.



Dari buku saya yang belum terbit Ranjang Ternoda"






[1] An-Nihayah fii Ghariib Al-Hadits wa Al-Atsar, juz 4 hal. 337, entri kata كفأ.
[2] Sunan Ibni Majah, no. 1968, kitab An-Nikah, bab: Al-Akfa`, Ad-Daraquthni dalam sunannya no. 3732/198 (tahqiq: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwidh), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/176, no. 2687.
Disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir, juz 3 hal. 304. Disana dia mengatakan, “Muaranya adalah orang-orang yang dha’if. Mereka meriwayatkannya dari Hisyam. Yang paling bagus diantara mereka dalah (dari jalur) Shalih bin Musa Ath-Thalhi dan Al-Harits bin ’Imran Al-Ja’fari dan dia (hadits ini) hasan.”
Al-Albani memasukkan hadits ini dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1067 dan menjelaskan jalur-jalur penguatnya.
[3] Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/26.
[4] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 34/269-270.
[5] HR. Ibnu Majah, no. 1968, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
[6] Berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dalam shahihnya, nomor 4000 dan 5088 kitab
[7] Berdasarkan hadits riwayat Muslim dalam shahihnya nomor 1480 kitab Thalaq bab: “Al-Muthallaqah tsalaatsan laa nafaqata lahaa”.
[8] HR. Abu Daud, no. 2104, Ibnu Hibban dalam shahihnya, no. 4067, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2693, Al-Hakim dan Adz-Dzahabi mengatakannya sesuai syarat Muslim. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan isnadnya hasan dalam At-Talkhish Al-Habir 3/337, Al-Albani memasukkannya ke dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2446.
[9] HR. Ahmad dalam musnadnya nomor 23489, dianggap shahih sanadnya oleh Al-Arnauth, dengan sanad, Ismail menceritakan kepada kami, Sa’id Al-Jurairi menceritakan kepada kami, dari Abu Nadhar, dari seorang yang mendengar khutbah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam di pertengahan hari tasyriq….
Abu Nu’aim juga mengeluarkannya dalam Al-Hilyah 3/100 dengan sanadnya sampai kepada Syaibah Abu Qilabah Al-Qaisi yang selanjutnya sama dengan sanad Ahmad tapi dia menyebutkan nama sahabat tersebut adalah Jabir. Lalu Abu Nu’aim berkomentar, “Gharib dari hadits Abu Nadhrah dari Jabir, kami tidak menulisnya (dari Jabir) kecuali dari hadits Abu Qilabah. Abu Nadhrah adalah Al-Mundzir bin Malik bin Qith’ah Al-Abdi, seorang tabi’in yang memang biasa meriwayatkan dari banyak sahabat antara lain Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Samurah bin Jundab, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan lain-lain. Dia dipakai oleh Muslim, dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, An-Nasa`iy, Abu Hatim dan Ibnu Hibban. Lihat Tahdzib Al-Kamal 28/508-510, no. 6183.
                Sanad Ahmad shahih dan tidak diketahuinya nama sahabat tidak berpengaruh sebagaimana sudah maklum dalam ilmu hadits.
[10] Sunan Ad-Daraquthni 4/358, no. 3601.
[11] As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/215, no. 13760.
[12] Sunan Ad-Daraquthni 4/358.
[13] Sunan Ad-Daraquthni 4/457, no. 3785, As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/215, no. 13762.
[14] Lihat Irwa` Al-Ghalil 6/265, Tahdzib Al-Kamal 2/172, no. 229, Tahdzib At-Tahdzib 1/133.
[15] Lihat Al-Ilal oleh Ibnu Abi Hatim 4/41, 77 dan 84-85, Al-Badr Al-Munir 7/583-586, At-Tamhid 19/165.
[16] Sebagaimana dalam Tarikh Dimasyq 15/84.
[17] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 34/276.
[18] HR. Abu Daud, no. 2235, At-Tirmidzi, no. 1154.
[19] Lihat Fath Al-Bari 11/360, kitab Nikah bab: Al-Akfa` fid Diin, Al-Hafizh berkata, “Menjadikan kafa`ah dalam agama sebagai parameter adalah hal yang disepakati, maka tidak sah menikahkan muslimah dengan orang kafir sedari awal.”
[20] Sebagaimana diketahui bahwa dalam madzhab Hanafi seorang wanita sah menikahkan dirinya sendiri tanpa wali bila pria yang dinikahinya sekufu`.
[21] Dinukil dengan sedikit meringkas dari Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 34/271-272.
[22] HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no. 22990, An-Nasa`iy, no. 3225, Ibnu Hibban, no. 700 dengan isnad yang hasan lantaran adanya Al-Husain bin Waqid.

1 komentar: