Sering
muncul pertanyaan kepada saya, “bolehkah berkurban untuk (atas
nama) orang tua atau saudara yang telah meninggal dunia?” Masalah
ini memang telah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu kala. Akan
tetapi, sebelum masuk pada masalah yang diperselisihkan maka
hendaknya kita terlebih dahulu memisahkan mana point yang menjadi
kesepakatan para ulama dan mana yang diperselisihkan.
- Para ulama sepakat bahwa jika si mayyit (orang yang telah meninggal) berwasiat kepada keluarganya yang masih hidup agar berkurban atas namanya maka itu boleh dilaksanakan khusus atas nama si mayyit tadi. Atau, dia mewakafkan hartanya untuk dikurbankan atas namanya. Demikian pula kalau dia pernah bernadzar untuk kurban tapi wafat sebelum melaksanakan nadzarnya itu maka boleh bagi ahli warisnya untuk melaksanakan nadzar tersebut.1
- Apabila seseorang berkurban atas nama dirinya lalu menyertakan keluarganya baik yang masih hidup maupun telah meninggal dunia maka menurut pendapat yang membolehkan adanya hadiah pahala kepada mayyit hal ini diperbolehkan, apalagi kalau dari anak ke orang tuanya2.
- Yang jadi perbedaan pendapat adalah orang berkurban hanya atas nama orang yang telah meninggal dunia, baik itu orang tuanya maupun siapapun yang dikehendakinya, keluarga maupun bukan.
Yang
jadi bahasan kita kali ini hanya fokus pada point ketiga.
Ada
tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat
Pertama
Dibolehkan
tanpa kemakruhan. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali3.
Pendapat ini jadi pegangan para muhaqqiqin dan ahli tarjih di
kalangan mereka seperti Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam Majmu’
Fatawanya (26/306):
وَتَجُوزُ
الْأُضْحِيَّةُ
عَنْ
الْمَيِّتِ
كَمَا
يَجُوزُ
الْحَجُّ
عَنْهُ
وَالصَّدَقَةُ
عَنْهُ
وَيُضَحَّى
عَنْهُ
فِي
الْبَيْتِ
وَلَا
يُذْبَحُ
عِنْدَ
الْقَبْرِ
أُضْحِيَّةً
وَلَا
غَيْرَهَا
“Dibolehkan
kurban atas nama mayyit sebagaimana bolehnya haji dan sedekah atas
namanya. Tapi hendaknya menyembelih kurban untuk mayit itu dilakukan
di rumah dan jangan di kuburan baik sembelihan kurban atau sembelihan
lain.”
Pendapat
ini juga didukung oleh Al-Baghawi dan Abu Hasan Al-Abbadi di kalangan
Syafi’iyyah. Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah (4/358) mengatakan,
(ولو
ضحى
عن
ميت
جاز)
(kalau
dia berkurban atas nama mayyit maka itu boleh).
Kemudian
dia mendalilinya dengan hadits Ali yang akan disebutkan nanti.
Adapun
pendapat Abu Hasan Al-Abbadi dinukil oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu’
syarh Al-Muhadzdzab.
Sedangkan
di kalangan ulama madzhab Maliki ada Ibnu Al-'Arabi yang mendukung
pendapat ini sebagaimana diungkapkannya dalam kitab Al-Qabs syarh
Al-Muwaththa` jilid 1 hal. 647:
فعلى
هذا يُستحب للرجل أن يضحي
عن وليّه في وقت الأضحية،
كما يستحب أن يحج عنه في وقت الحج، وأن
يتصدَّق عنه في كل وقت؛ فإن منفعة فعل
الحي عن الميت تصل إليه باتفاق من الأمة،
وإن كان في تفصيل ذلك اختلاف، والصحيح
عندي أنه يصل إليه كل عمل، وبالله التوفيق.
"Berdasarkan
ini (hadits Ali -penerj) maka disunnahkan untuk berkurban atas nama
walinya di waktu kurban, sebagaimana disunnahkan pula dia berhaji
atas namanya di waktu haji serta bersedekah atas namanya di setiap
waktu, karena manfaat dari perbuatan orang hidup bisa sampai kepada
mayyit menurut kesepakatan para ulama, meski mereka ada perbedaan
pendapat dalam rinciannya. Yang benar menurut pendapatku adalah
setiap amal orang yang hidup bisa sampai kepada mayyit."
Dalil
bagi pendapat ini ada dua, hadits dan qiyas.
Dalil
hadits yang paling terkenal adalah hadits Ali bin Abi Thalib, yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi, semua bermuara
pada Syarik, dari Abu Hasna`, dari Al-Hakam, dari Hanasy yang
berkata, Aku melihat Ali berkurban dengan dua ekor domba jantan, maka
aku bertanya, “Untuk siapa ini?” Maka Ali menjawab,
أَوْصَانِي
رَسُولُ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَنْ
أُضَحِّيَ
عَنْهُ
“Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah berwasiat agar aku berkurban atas
nama beliau.”4
Dalam
redaksi At-Tirmidzi, Ali mengucapkan, “Beliau
(Rasulullah) memerintahkanku untuk melakukannya maka aku tidak akan
meninggalkannya selamanya.”
At-Tirmidzi
mengomentari hadits ini, “Hadits ini gharib, kami tidak
mengetahuinya kecuali dari hadits Syarik. Sebagian ulama member
keringanan untuk berkurban atas nama mayit, sementara sebagian yang
lain tidak membolehkannya.”
Dalam
sanad hadits ini ada Abu Hasna` yang dianggap majhul dan Syarik bin
Abdullah An-Nakha'i yang hafalannya kurang bagus, serta Hanasy yang
dianggap dhaif oleh sebagian ulama meski dianggap tsiqah oleh
sebagian yang lain. Itulah yang menjadikan alasan para ulama
melemahkan hadits ini seperti Syekh Syu'aib Al-Arnauth dalam
takhrijnya terhadap sunan Abi Daud dan Musnad Ahmad, dan Syekh
Al-Albani dalam Dha'if Sunan Abi Daud (kitab induk) jilid 2, hal.
371.
Hadits
lain yang dijadikan dalil bagi pendapat ini adalah hadits shahih dari
Aisyah
(Shahih
Muslim, no. 1967),
Jabir
(Abu Daud, no. 2795),
dan Abu Rafi’ (Musnad
Ahmad, no. 27190) tentang
Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berkurban dengan dua ekor
kambing, yang satu untuk beliau dan keluarg dan satu lagi untuk
ummatnya yang belum berkurban. Sisi pendalilannya adalah diantara
ummat beliau tentu ada yang sudah mati dan beliau berkurban atas nama
mereka juga.
Dalil
qiyas adalah mengqiyaskan kurban dengan sedekah, dimana mereka
berpandangan bahwa sedekah atas nama mayyit itu dibolehkan dan
pahalanya sampai kepadanya, demikian pula kurban atas namanya meski
dia tidak mewasiatkan.
Sepertinya
dalil inilah yang paling banyak diterapkan dalam kasus ini bagi
kalangan yang membolehkan.
Pendapat
kedua
Dibolehkan
tapi makruh. Ini adalah pendapat madzhab Maliki, Khalil bin Ishaq
Al-Jundi dalam Mukhtasharnya menyebutkan beberapa hal yang makruh
dalam berkurban antara lain melakukannya atas nama mayit, kecuali
kalau dia sudah membeli hewan itu sebelum meninggal maka hendaklah
ahli waris meneruskannya. Ini sama dengan pendapat madzhab Hanafi.
Bedanya madzhab Maliki memakruhkan hal itu karena tidak pernah
dicontohkan oleh salaf.
Al-Baji
dalam kitab Al-Muntaqa syarh Al-Muwaththa` (3/100) mengatakan
(وَقَدْ
رَوَى
مُحَمَّدٌ
عَنْ
مَالِكٍ
لَا
يُعْجِبُنِي
أَنْ
يُضَحِّيَ
الرَّجُلُ
عَنْ
أَبَوَيْهِ
الْمَيِّتَيْنِ)
(Muhammad
meriwayatkan dari Malik, “Tidaklah aku sukai seseorang berkurban
atas nama kedua orang tuanya yang telah meninggal”).
Muhammad
di sini sepertinya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad
Al-Iskandarani yang dikenal dengan nama Ibnu Al-Mawwaz, karena Khalil
bin Ishaq Al-Jundi dalam kitabnya At-Taudhih syarh Mukhtashar Ibnu
Al-Hajib (3/89 terbitan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah)5
mengatakan, “Malik berkata dalam Al-Mawwaziyyah6,…”
lalu dia menukil kalimat senada dengan Al-Baji di atas.
Inilah
yang dipegang dalam madzhab Maliki bahwa berkurban atas nama mayit
itu adalah makruh kecuali kalau hewannya sudah dibeli, atau
diwasiatkan atau ada nadzar dari mayit yang belum terlaksana.
Pendapat
ketiga.
Tidak
dibolehkan kurban atas nama mayit bahkan tidak sah. Demikian pendapat
dalam madzhab Asy-Syafi’i. An-Nawawi berkata dalam Minhaj
At-Thalibin (hal. 321),
(ولا
يضحي
مكاتب
بلا
إذن
ولا
تضحية
عن
الغير
بغير
إذنه
ولا
عن
ميت
إن
لم
يوص
بها.)
(dan
tidak boleh seorang mukatab7
berkurban tanpa izin, juga tidak boleh berkurban atas nama orang lain
tanpa izinnya, juga tidak boleh atas nama mayyit kalau dia tidak
mewasiatkan untuk itu.)
Lalu
Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj (8/144) menjelaskannya bahwa itu
tidak sah dan tidak berlaku yaitu kurban atas nama mayyit yang tidak
mewasiatkan atau telah menentukan hewan sebelum meninggal dunia.
Tarjih
Condong
kepada pendapat yang membolehkan, karena selain sesuai dengan qiyas
shadaqah, puasa dan haji juga adanya hadits shahih di mana Rasulullah
berkurban atas nama ummatnya yang tentunya ada yang sudah meninggal
kala itu. wallahu a'lam bis shawab.
Anshari
Taslim
Diselesaikan
di BIK Jakarta 23 Juli 2019.
1
Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 5/106.
2
Lihat Ahkam Al-Udhhiyyah oleh Al-Utsaimin, hal. 17.
3
Lihat Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/106, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuh 4/2744.
Sementara kalau kita baca
kitab-kitab madzhab Hanafi seperti Bada`I’ Ash-Shana`I’ 5/72,
Tabyin Al-Haqa`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq (6/8), Al-Bahr Ar-Ra`iq
syarh Kanz Ad-Daqa`iq (8/202), Al-Binayah syarh Al-Hidayah
(12/49-50), semua menceritakan tentang kasus ada tujuh orang yang
patungan kurban lalu sebelum tiba hari penyembelihan salah satu dari
mereka meninggal dunia tanpa wasiat apa-apa. Maka menurut pendapat
pegangan madzhab ahli warisnya berhak mengizinkan untuk melanjutkan
pemotongan kurban itu atas nama yang telah mati tadi. Sementara
salah satu riwayat dari Abu Yusuf bahwa hal itu tidak dibolehkan.
Sedangkan madzhab
Hanbali memang secara tegas menyatakan kebolehan kurban atas nama
mayit meski dia tidak berwasiat atau memerintahkannya. Misalnya bisa
dilihat dengan tegas dalam Al-Iqna’ karya Al-Hijawi dan syarhnya
Kasysyaf Al-Qina’ oleh Al-Buhuti (3/21), bahkan dalam kitab
Mathalib Ulin Nuha syarh Ghayatul Muntaha (2/472) disebutkan,
(
و
)
التضحية
(
عن
ميت
أفضل
منها
عن
حي
)
لعجزه
واحتياجه
للثواب
(
ويعمل
بها
)
أي
:
الأضحية
عن
ميت
(
ك
)
أضحية
(
عن
حي
)
من
أكل
وصدقة
وهدية
“Kurban atas nama mayit
lebih afdhal daripada kurban atas nama orang yang masih hidup,
karena mayit itu lebih membutuhkan pahala. Kurban atas nama mayit
diperlakukan sama dengan kurban atas nama yang masih hidup dari sisi
kebolehan memakannya, menyedekahkannya atau menghadiahkannya.”
Ibnu Muflih dalam kitab
Al-Furu’ (3/406) juga menukil dari gurunya yaitu Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, bahwa kurban atas nama si mayit lebih utama daripada
bersedekah atas namanya.
4
Sunan Abi Daud, no. 2790, At-Tirmidzi, no. 1495, Musnad Ahmad, no.
843 dan Abdullah bin Ahmad dalam tambahannya terhadap musnad ayahnya
di hadits nomor 1286.
5
Sedangkan dalam terbitan Dar Ibnu Hazm terdapat di jilid 2 hal. 692.
6
Al-Mawwaziyyah adalah salah satu kitab pegangan dalam madzhab Maliki
yang ditulis oleh Ibnu Al-Mawwaz, makanya dinamakan Al-Mawwaziyyah.
7
Mukatab artinya budak yang terikat perjanjian dengan tuannya akan
membebaskan diri dengan mencicil pembayaran dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar