Sudah lama dan sering saya dengar atsar yang menceritakan kisah Ibnu Umar
dengan seorang pengembala kambing, terutama saat menjadikannya dalil tentang
bolehnya menyatakan ”di mana Allah” dan bahwa Allah itu di langit, sebagai
bantahan terhadap klaim sebagian orang yang mengatakan tidak boleh bertanya
atau mengatakan ”dimana Allah”.
Tapi kali ini fokus
bahasannya bukan masalah itu melainkan renungan akan makna dan kandungan hadits
dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika sedang melaksanakan
rutinitas menerjemah kitab saya kembali bertemu hadits ini dari kitab Syu’ab Al
Iman tulisan Al Imam Al Hafizh Al-Baihaqi.
4908 - أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ، ثنا
أَبُو أَحْمَدَ الْحَافِظُ، أنا أَبُو الْعَبَّاسِ الثَّقَفِيُّ، ثنا قُتَيْبَةُ، قَالَ:
ثنا الْخُنَيْسِيُّ يَعْنِي مُحَمَّدَ بْنَ يَزِيدَ بْنِ خُنَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ
بْنِ أَبِي رَوَّادٍ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ:
خَرَجَ ابْنُ عُمَرَ فِي بَعْضِ نَوَاحِي الْمَدِينَةِ
وَمَعَهُ أَصْحَابُ لَهُ، وَوَضَعُوا سَفْرَةً لَهُ، فَمَرَّ بِهِمْ رَاعِي غَنَمٍ،
قَالَ: فَسَلَّمَ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: " هَلُمَّ يَا رَاعِي، هَلُمَّ
"، فَأَصِبْ مِنْ هَذِهِ السُّفْرَةِ، فَقَالَ لَهُ: إِنِّي صَائِمٌ، فَقَالَ
ابْنُ عُمَرَ: " أَتَصُومُ فِي مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ الْحَارِّ شَدِيدٍ سُمُومُهُ
وَأَنْتَ فِي هَذِهِ الْجِبَالِ تَرْعَى هَذَا الْغَنَمَ ؟ " فَقَالَ لَهُ: أَيْ
وَاللهِ أُبَادِرُ أَيَّامِي الْخَالِيَةَ، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يُرِيدُ
يَخْتَبِرُ وَرَعَهُ : " فَهَلْ لَكَ أَنْ تَبِيعَنَا شَاةً مِنْ غَنَمِكَ هَذِهِ
فَنُعْطِيكَ ثَمَنَهَا وَنُعْطِيكَ مِنْ لَحْمِهَا فَتُفْطِرَ عَلَيْهِ ؟ " فَقَالَ:
إِنَّهَا لَيْسَتْ لِي بِغَنَمٍ، إِنَّهَا غَنَمُ سَيِّدِي، فَقَالَ لَهُ ابْنُ عُمَرَ:
" فَمَا عَسَى سَيِّدُكَ فَاعِلًا إِذَا فَقْدَهَا، فَقُلْتَ: أَكْلَهَا الذِّئْبُ
" فَوَلَّى الرَّاعِي عَنْهُ وَهُوَ رَافِعٌ أُصْبُعَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَهُوَ
يَقُولُ: أَيْنَ اللهُ، قَالَ: فَجَعَلَ ابْنُ عُمَرَ يُرَدِّدُ قَوْلَ الرَّاعِي وَهُوَ
يَقُولُ: قَالَ الرَّاعِي: فَأَيْنَ اللهُ ؟ قَالَ: فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بَعَثَ
إِلَى مَوْلَاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ الْغَنَمَ وَالرَّاعِي فَأَعْتَقَ الرَّاعِيَ، وَوَهَبَ
لَهُ الْغَنَمَ
Abu Nashr bin Qatadah mengabarkan kepada kami, Abu
Ahmad Al Hafizh menceritakan kepada kami, Abu Al Abbas Ats-Tsaqafi mengabarkan
kepada kami, Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Al Khunaisi yakni
Muhammad bin Yazid bin Khunais menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin
Abi Rawwad, dari Nafi’, dia berkata, “Ibnu Umar keluar ke salah satu pelosok
kota Madinah bersama beberapa orang sahabatnya. Lalu mereka meletakkan bekal
makanan untuknya. Kemudian lewatlah seorang pengembala kambing di hadapan
mereka. Si pengembala ini memberi salam dan Ibnu Umarpun berkata padanya, “Hei
Pengembala, marilah ke sini makan bersama kami.”
Dia menjawab, “Saya sedang
puasa.”
Mendengar itu Ibnu Umar berkata padanya, “Di hari panas terik begini
kamu masih puasa padahal kamu sedang mengembala kambing?”
Dia menjawab, “Demi
Allah, saya berlomba dengan hari-hari saya yang telah sirna (hari-hari di
dunia).”
Ibnu Umar kemudian tergerak
untuk mengujinya lalu dia berkata, “Maukah kamu menjual sati ekor kambing yang
kamu gembalai ini kepada kami, kami memberi kamu uangnya dan membagikan
dagingnya kepadamu lalu kamu bisa berbuka puasa dengannya?”
Si Pengembala ini
menjawab, “Ini bukan kambing saya, ini kambing tuan saya.”
Ibnu Umar berkata
lagi, “Aku rasa tuanmu tidak akan berbuat apa-apa kalau hilang satu dan kamu
katakan dimakan srigala.”
Akhirnya si pengembala ini
meninggalkan Ibnu Umar sambil menunjukkan jarinya ke
langit dan berkata, “Allah dimana?”
Ibnu Umar lalu
mengulang-ngulang kata-kata si pengembala tadi, “Allahnya di mana?!” akhirnya
ketika sampai di Madinah dia mengutus orang menemui tuan si pengembala tadi dan
membeli kambing beserta si pengembala tersebut (yang tadinya adalah budak
–penerj) lalu memerdekakannya dan memberikan kambing-kambing itu untuknya.”
(Syu’ab Al-Iman jilid 7, hal. 223, no. 4908)
Isnadnya
hasan.
- Abu Nashr bin Qatadah namanya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Umar bin Qatadah. Al-Baihaqi banyak sekali meriwayatkan darinya dan dia menganggapnya shahihus sama' (pendengarannya terhadap hadits adalah shahih). Itu artinya dia mentautsiq gurunya ini. (Lihat biografinya dalam kitab Ithaf Al-Murtaqi fii Tarajum Syuyuukh Al-Baihaqi karya Mahmud bin Abdul Fattah An-Nahhal, hal. 365 - 369).
- Abu Ahmad adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Ishaq An-Naisaburi Al Karabisi, Al Hakim. (Abu Ahmad Al Hakim penulis kitab Al Kuna, bukan Al Hakim Abu Abdullah penulis kitab Al Mustadrak. Penerj).
- Abu Al Abbas Ats-Tsaqafi adalah Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama As-Sarraj.
- Qutaibah bin Sa'id sudah terkenal tsiqah
- Muhammad bin Yazid bin Khunais, Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakannya maqbul, tapi kalau dilihat penilaian para ulama dalam Tahdzib Al-Kamal maka dia minimal hasan. Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat mengatakannya, (كان من خيار الناس ربما أخطأ يجب أن يعتبر بحديثه إذا بين السماع في خبره) "Dia termasuk manusia pilihan, kemungkinan salah tapi wajib menjadikan riwayatnya i'tibar jika dia memastikan dia mendengar dalam haditsnya). Abu Hatim mengatakannya, "Dia adalah seorang yang shalih, kami menulis haditsnya di Mekah."
- Abdul Aziz bin Abi Rawwad, sudah terkenal tsiqah dan dia memang biasa meriwayatkan dari Nafi'.
Hadits ini juga disebut oleh Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lam An-Nubala`
(3/216) secara ringkas dari jalur Zaid bin Aslam dari Ibnu Umar sebagaimana dia
juga menyebutkan dari jalur Usmah bin Zaid dari Nafi’ dari Ibnu Umar.
Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma' Az Zawa`id (9/347) dari Zaid bin Aslam
dan dia komentari, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan para perawinya adalah
perawi kitab shahih selain Abdullah bin Harits Al Hathibi dan dia itu tsiqah.”
Hadits ini juga dikeluarkan
oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (12/263) dengan redaksi lebih
ringkas dengan sanad:
Muhammad bin Nashr Ash-Sha`igh menceritakan kepada
kami, Abu Mush’ab menceritakan kepada kami, Abdullah bin Harits Al-Jumahi
menceritakan kepada kami, Zaid bin Aslam menceritakan kepada kami, dia berkata,
Ibnu Umar melewati seorang pengembala….” Selanjutnya mirip dengan riwayat Al
Baihaqi di atas.
Sanad Ath-Thabarani ini
shahih:
·
Zaid bin Aslam memang biasa
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang memang merupakan gurunya. (Lihat
Tahdzib Al-Kamal 10/13).
·
Abdullah bin Harits, tsiqah
sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami dan Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakannya
shaduq sebagaimana dalam At-Taqrib 1/324, no. 3613, Ibnu Hibban memasukkannya
dalam Ats-Tsiqaat dan dia memang biasa meriwayatkan dari Zaid bin Aslam
sebagaimana kata Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal jilid 14 hal. 35.
·
Abu Mush’ab di sini adalah Ahmad
bin Abi Bakr bin Harits bin Zurarah bin Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf,
seorang ahli fikih yang jujur. Lihat At-Taqrib 1/25, no. 18.
·
Dan guru Ath-Thabarani adalah
Muhammad bin Nashr Ash-Sha`igh, Ad-Daraquthni menganggapnya shaduq, ahli
ibadah. Lihat Tarikh Bagdad 3/319.
# # # # #
Renungan:
Banyak hikmah dan pelajaran
yang terkandung dalam kisah Ibnu Umar dan si pengembala ini. Kita akan sangat
terharu ketika Ibnu Umar menguji si pengembala yang masih merupakan budak
belian ini untuk menghianati majikannya dengan menjual kambing dan membohongi
bahwa kambing itu dimakan srigala. Dia menolak dan penuh makna menatap ke
langit sambil mengatakan: “Kalau begitu dimana Allah?” Artinya tuan saya memang
tak melihat dan bisa saja saya tipu, tapi Allah tetap melihat dan suatu saat di
pengadilan akhirat akan memberitahu kepada tuan saya itu dan menuntut saya
karenanya.
Sebuah tingkat keimanan
tertinggi ketika seseorang sudah merasa diawasi oleh sang khaliq yang maha
mengetahui, sehingga tak berharga semua tawaran duniawi kalau toh akibatnya
harus dihukum oleh Allah di akhirat nanti.
Tampak pula kemuliaan hati
seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abdullah bin Umar bin
Khaththab bersedia mengajak makan sang pengembala miskin yang hanya seorang
budak, lalu tergetar hatinya kala mendengar nama Allah disebut dan bersegera
menolong agama Allah dengan cara memerdekakan si budak tadi serta memberinya
hadiah berupa kambing gembalaan sang budak itu sendiri.
Beginilah kalau takwa selalu
dibawa kemana pergi, si budak pengembala tentu tak mengira kalau sikap amanah
dan ketakutannya kepada Allah akan diganjar tunai melalui perantaraan Ibnu Umar
ra yang membebaskannya dari perbudakan. Tak sampai di situ dia juga tak
dipisahkan dari kambing-kambing kesayangan yang telah menjadi teman hidupnya
sehari-hari. Biasalah, kalau seseorang sudah lama mengurus suatu benda tentu
dia akan sangat sayang pada benda itu meski bukan miliknya. Andai suatu ketika
dia harus meninggalkan pekerjaan maka pastilah dia akan selalu terkenang dengan
barang yang dia kerjakan.
Satu lagi bukti firman Allah, ”Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Allah
akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak dia
sangka.....” (Qs.
Ath-Thalaq : 2-3).
Pindang ikan di dalam panci
Siap dimakan di siang hari
Dipandang majikan bisa sembunyi
Dipandang Tuhan kemana nak lari?
Anshari Taslim
Bekasi, 3 Juni 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar