Rabu, 19 Juli 2017

BERBURU DEGAN SENAPAN ANGIN

Tanya:
        Apakah berburu dengan senapan angin diperbolehkan dan hasil buruannya boleh dimakan? Saya dengan factor peluru ikut mempengaruhi kehalalan buruan, yaitu tidak dihalalkan menggunakan peluru tumpul.
M. Yusron, Pekalongan.


Jawab:
        Berburu diperbolehkan dalam Islam dan hewan buruan yang mati terkena tembakan seorang muslim maupun bidikannya adalah halal dengan dua syarat:
1.   membaca basmalah kala melepas tembakan atau lemparan,
2.   hewan itu mati akibat luka terkena sisi tajam alat tersebut.
        Ini berdasarkan hadits Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنْ رَمَيْتَ الصَّيْدَ فَوَجَدْتَهُ بَعْدَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَيْسَ بِهِ إِلَّا أَثَرُ سَهْمِكَ فَكُلْ وَإِنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ
“Jika kamu menembak buran lalu kamu dapati setelah satu atau dua hari yang tak ada bekas lain selain bekas panahmu maka silahkan kamumakan, tapi kalau dia jatuh ke air maka jangan dimakan.” (Hr. Al-Bukhari, no. 5484).
        Maksudnya, kalau dia jatuh ke air ada kemungkinan dia mati karena tenggelam bukan karena panah itu.
        Masalah senapan sendiri merupakan hal baru yang belum pernah dikenal di masa turunnya syariat bahkan di masa para imam fikih. Tapi memang sudah dikenal suatu alat sejak masa Rasulullah pun yang bernama bandaqah. Bandaqah klasik adalah alat lempar seperti panah yang pelurunya adalah tanah yang menghantam secara tumpul dan berdaya rusak tinggi, bisa menghancurkan bangunan atau mematikan sasaran. Bandaqah seperti ini biasa digunakan berburu tapi kalau hewan buruan langsung mati karena terkena tembakannya dan tak sempat disembelih maka itulah yang menurut mayoritas ulama diharamkan karena masuk kategori mauquudzah (hewan yang mati lantaran terhantam benda keras). Mauquudzah diharamkan berdasarkan surah Al-Maidah ayat 3.
        Sedangkan senapan yang dalam bahasa arab juga disebut bandaqah atau bunduqiyyah masa kini tidak bisa lagi disamakan dengan yang lalu, karena bukan lagi menghancurkan melainkan menembus dan melukai, sehingga memancarkan darah dari korban. Itulah tujuan dari perburuan dimana hewan buruan harus mengeluarkan darahnya sebanyak mungkin sebagaimana sembelihan agar dia halal dimakan tak menyisakan darah beku dalam tubuhnya.
        Melukai atau menembus kulit hingga memancarkan darah inilah yang menjadi kebolehan suatu alat dipakai berburu sebagaimana dalam hadits Adi bin Hatim pula yang bertanya kepada Rasulullah tentang penggunaan mi’raadh (sejenis lembing bermata lebar) untuk berburu, maka beliau menjawab,
إِذَا أَصَابَ بِحَدِّهِ فَكُلْ وَإِذَا أَصَابَ بِعَرْضِهِ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّهُ وَقِيذٌ
“Apa yang menembus maka makanlah sedangkan kalau mati akibat terkena sisi tumpul alat itu maka jangan dimakan, karena itu waqidz (hewan yang mati karena tertimpa benda tumpul).” (HR. Al-Bukhari, no. 2054).
        Juga berdasarkan keumuman hadits dari Rafi’ bin Khudaij, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan alat apa yang bisa dipakai menyembelih,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلْ
“Apa yang mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah padanya maka makanlah.” (Hr. Al-Bukhari dan Muslim).
        Maka dari itulah para ulama yang kebetulan mendapati alat bernama senapan modern ini menghalalkan perburuan menggunakannya. Misalnya Ash-Shan’ani yang menyatakan dalam kitab Subul As-Salam (4/159), “Adapun senapan yang dikenal masa kini (masa Ash-Shan’ani abad ke-17 M) menembak dengan peluru timah yang keluar karena dorongan mesiu sehingga bisa membunuh dengan ketajamannya bukan hantamannya. Dengan begitu, yang tampak berdasarkan dalil adalah kehalalan hewan buruan dengan senapan itu.”[1]
        Demikian pula Shiddiq Hasan Khan dalam kitab Ar-Raudhah An-Nadiyyah (2/284) mengatakan hal yang sama, “Diantara alat yang halal dipakai berburu adalah senapan-senapan yang ada masa kini (masa abad ke-18 M) yang ditembakkan dengan mesiu karena peluru timahnya bisa menembus bahkan lebih dahsyat daripada panah, tombak dan pedang.”[2]
        Kini ditemukan lagi senapan dengan tenaga angin atau gas tanpa mesiu yang juga bisa menembus kulit dan melukai tubuh hewan buruan dan mengeluarkan darah sehingga bisa disamakan dengan senapan bertenaga mesiu meski daya tembusnya lebih lemah.
        Factor tumpul tajamnya peluru dalam pandangan kami mempengaruhi kehalalan hewan buruan. Peluru yang dipakai haruslan peluru tajam yang menembus kulit dan daging bukan hanya karena kecepatan lesatan tapi juga karena ketajaman ujungnya. Kalau pelurunya tumpul maka bisa diqiyaskan dengan batu atau peluru yang menghantam, bukan menembus. Wallahu a’lam bis shawab.


Anshari Taslim, pernah dimuat di majalah SABILIKU.



[1] Subulus Salam, terbitan Dar Al-Fikr tahun 1992.
[2] Ar-Raudhah An-Nadiyyah terbitan Dar Al-Aqidah tahun 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar