Senin, 03 Oktober 2016

Nikah dengan Wanita Kafir Bukan Ahli Kitab

Nikah dengan Wanita Kafir Bukan Ahli Kitab

          Pada Juni tahun 2003 ada kejadian mengejutkan di Islamic Study Center Paramadina kompleks Pondok Indah Plaza Jakarta Selatan. Seorang pemuda muslim bernama Ahmad Nurcholis menikahi seorang amoy (gadis Tionghua) beragama Kong Hucu bernama Ang Mei Yong. Bertindak sebagai penghulu adalah Dr. Kautsar Azhari Noer salah seorang guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah). Kautsar Azhari Noer yang diminta tanggapannya tentang hal itu menjelaskan bahwa sejak dulu dia sudah berpaham seperti itu (bolehnya pemuda muslim menikahi wanita Budha atau Kong Hucu).[1]


          Selain Kautsar ada pula Zainun Kamal, lulusan Al Azhar Mesir yang juga menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini juga berpendapat bahwa ahli kitab tidak hanya terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Dia mengatakan,
”Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya, al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.”[2]

Menikahi wanita kafir selain ahli kitab haram berdasarkan ijmak

          Apakah sudah ada ijmak dalam hal ini? Mari kita lihat pernyataan para ulama panutan umat:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan, ”Semua orang kafir selain ahli kitab seperti mereka yang menyembah berhala, batu, pohon dan hewan, maka tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharaman menikahi wanitanya dan memakan sembelihannya.”[3]      
Ibnu Abril Barr juga menegaskan, “Para ulama sudah sepakat bahwa haram menikahi wanita Majusi dan penyembah berhala.”[4]
          Bila Majusi yang sudah dikenal di masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mempunyai nabi dan kitab tersendiri saja dilarang menikahi wanitanya, apalagi semisal Hindu, Buda dan Kong Hucu yang jelas-jelas lebih banyak menyembah berhala.

          Kesepakatan para ulama ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah,
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman…” (Qs. Al-Baqarah: 221).
          Ayat ini menegaskan bahwa wanita musyrik haram dinikahi, lalu pada ayat kelima surah Al-Maidah Allah Ta’ala membuat pengecualian dengan membolehkan menikahi wanita ahli kitab.
         
Benarkah ada ahli kitab lain selain Yahudi dan Nashrani?
          Mengkritisi dalil yang dikemukakan Zainun Kamal dan kelompok Islam liberal pada umumnya bahwa ahli kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja lantaran banyak pula agama yang memiliki kitab dan nabi. Bahkan, hampir semua agama punya nabi dan kitab suci. Sebut saja agama Buda yang punya Nabi bernama Sidharta Gautama dengan kitab suci bernama Tri Pittaka, Kong Hucu punya nabi bernama Kong Fu Tse dengan kitab suci bernama Wu Jing dan Si Shu.
          Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa memang madzhab Hanafi memberi keluasan makna ahli kitab yaitu mereka yang mengikuti ajaran Nabi-Nabi tertentu yang diutus oleh Allah dan memiliki kitab suci. Akan tetapi, pendapat Hanafiah itu hanya terbatas pada nabi-nabi yang telah ditetapkan dalam Islam, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Daud dan lainnya.
          Sedangkan Budha, Kong Fu Tse, Hindu, Shinto dan lain-lain tidak ada ketetapan bahwa mereka benar-benar nabi yang diutus oleh Allah kepada kaumnya, dan bukan mereka yang dimaksud oleh Abu Hanifah. Memang betul bahwa Allah mengutus nabi dan rasul untuk setiap umat sebagaimana dalam firman-Nya,
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& ×Aqߧ ( #sŒÎ*sù uä!$y_ óOßgä9qßu zÓÅÓè% OßgoY÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÍÐÈ  
”Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang Rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.” (Qs. Yunus : 47).

$tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ  
”....Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Qs. Al-Isra` : 15).

          Dalam ayat ini tersirat bahwa setiap umat akan diberikan Allah seorang rasul agar menjelaskan kepada mereka bagaimana beribadah yang benar kepada-Nya. Sebab, suatu umat tidak akan disiksa atas perbuatan dosanya bila memang tidak ada utusan Allah kepada mereka yang mengajarkan mana yang haq dan mana yang bathil.

          Lalu dari mana bisa menetapkan bahwa rasul yang diutus oleh Allah kepada umat di Nepal sana adalah Sidharta Gautama, atau kepada bangsa Cina adalah Kong Fu Tse? Tidak ada jalan untuk menetapkan itu kecuali prasangka tanpa dasar yang kuat dan ini tidak boleh dijadikan landasan dalam mengambil hukum halal dan haram, karena hukum halal dan haram harus berdasarkan dalil yang pasti.
          Menetapkan suatu hukum dengan dalil kira-kira atau dalil ”bisa jadi” seperti yang diterapkan oleh kelompok Islam Liberal ini adalah sesuatu yang sudah dikecam oleh Allah dalam Al-Qur`an,
$tBur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran....” (Qs. Yunus : 36).

          Di sini jelas Allah mengecam orang yang main kira-kira atau prasangka dengan metode ”bisa jadi iya bisa jadi pula bukan” dalam menetapkan keyakinan. Maka, mereka yang menetapkan bahwa agama-agama selain Yahudi dan Nashrani sebagai ahli kitab hanya lantaran teranggap punya nabi dan kitab suci masuk pula dalam kecaman ayat ini secara umum.
          Agama Hindu dan Buda itu sudah ada di masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan ketika Al-Qur`an diturunkan, tapi tidak sedikitpun Allah menyinggungnya sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak mungkin lupa. Sehingga, kelancangan orang-orang liberal menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah benar-benar hanya dengan prasangka dan memperturutkan hawa nafsu semata, sebagaimana firman Allah,
÷bÎ) }Ïd HwÎ) Öä!$oÿôœr& !$ydqßJçGø®ÿxœ öNçFRr& /ä.ät!$t/#uäur !$¨B tAtRr& ª!$# $pkÍ5 `ÏB ?`»sÜù=ß 4 bÎ) tbqãèÎ7­Ftƒ žwÎ) £`©à9$# $tBur uqôgs? ߧàÿRF{$# ( ôs)s9ur Nèduä!%y` `ÏiB ãNÍkÍh5§ #yçlù;$# ÇËÌÈ  
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (Qs. An-Najm: 23).
          Ayat ini jelas mengena untuk mereka, keadaan mereka sama dengan orang-orang kafir yang menetapkan nama-nama Latta dan Uzza serta Manaah sebagai anak perempuan Allah, padahal Allah tidak pernah menjelaskan itu. Begitu pula mereka yang menetapkan Hindu, Bunda, Kong Hucu dan lain-lain sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak pernah menyebutkan demikian sedangkan Allah tidak mungkin lupa.

          Berdasarkan ini semua maka akad nikah yang dilakukan oleh pria muslim dengan wanita selain agama Yahudi dan Nashrani adalah batal dan hasilnya adalah zina sehingga konsekuensi hukumnya sama dengan zina.

Apakah Majusi Termasuk Ahli Kitab?

          Dalam diskursus yang dibahas para ulama salaf memang ada riwayat dari beberapa tokoh yang menyatakan bahwa Majusi termasuk ahli kitab, sehingga berkonsekuensi halal sembelihannya dan para wanitanya boleh dinikahi.
          Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata, ”Majusi itu, wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak boleh dimakan. Aku tidak tahu ada yang berpendapat lain kecuali pelaku bid’ah.”[5]
          Ibnu Abdil Bar berkata, ”Mereka (para ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa seorang muslim tidak boleh menikahi wanita Majusi atau wanita penyembah berhala. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[6]
          Tapi apa yang diklaim Ibnu Abdil Barr sebagai ijmak di sini terbantahkan dengan pendapat Abu Tsaur yang membolehkan pernikahan dengan wanita Majusi lantaran menganggapnya sebagai ahli kitab. Pendapat Abu Tsaur ini kemudian diiyakan oleh Ibnu Hazm sebagaimana ditegaskannya dalam kitabnya Al-Muhalla, “Diperbolehkan menikahi wanita ahli kitab yaitu Yahudi, Nashrani dan Majusi, tapi tidak halal baginya untuk menyetubuhi budak wanita non muslimah dengan cara kepemilikan budak.”[7]
          Abu Tsaur berdalil bahwa Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi. Tapi itu dibantah oleh Imam Ahmad bahwa riwayat yang benar adalah yang dinikahi Hudzaifah itu adalah Yahudi.[8]
          Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik, Ibnu Juraij dan Hatim bin Ismail, semuanya dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (yaitu Muhammad bin Ali bin Husain –pen) bahwa Umar bin Al-Khaththab ra duduk di antara mimbar dari kuburan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sambil berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap Majusi, padahal mereka bukan ahli kitab. Maka berkatalah, Abdurrahman bin Auf, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Perlakukan mereka seperti ahli kitab.”[9]
          Riwayat ini sanadnya terputus karena Muhammad bin Ali bin Husain tidak bertemu dengan Umar maupun Abdurrahman bin Auf. Ada pula riwayat yang menyebutkan tambahan ”dari kakeknya” yang berarti dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra, tetapi Ali bin Husain pun tidak bertemu dengan Umar maupun Abdurrahman. Tapi Ibnu Abdil Barr mengatakan maknanya shahih berdasarkan beberapa versi riwayat lain dengan jalur yang hasan.[10]
          Akan tetapi para ulama menganggap isi hadits ini hanya dalam masalah jizyah. Artinya, perlakukan Majusi sebagaimana ahli kitab dalam hal pewajiban membayar jizyah kepada negara Islam, bukan kebolehan menikahi para wanitanya dan memakan sembelihannya.[11]
          Lagi pula jumhur ulama justru memakai hadits tersebut untuk membuktikan bahwa Majusi itu bukan ahli kitab. Sebab kalau mereka termasuk ahli kitab tentu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam akan berkata, ”Mereka adalah ahli kitab” bukan berkata, ”Perlakukan mereka seperti ahli kitab”. Karena memperlakukan orang seperti sebuah kelompok berarti orang itu bukan bagian dari kelompok itu.
          Ada sebuah riwayat dari Ibnu Abi ’Ashim dalam kitab nikah, dia berkata, Ibrahim yakni Ibnu Al-Hajjaj As-Sami menceritakan kepada kami, Abu Raja` -tetangganya Hammad bin Salamah- menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada kami, dari Zaid bin Wahb yang berkata, ”Aku pernah bersama Umar bin Al-Khaththab dan dia menanyakan siapa yang punya pengetahuan tentang Majusi, maka melompatlah Abdurrahman bin Auf dan berkata, ”Aku bersaksi atas nama Allah bahwa aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الْمَجُوسُ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ، فَاحْمِلُوهُمْ عَلَى مَا تَحْمِلُوْنَ عَلَيْهِ أَهْلَ الْكِتَابِ
”Sesungguhnya Majusi itu hanyalah salah satu kelompok dari ahli kitab, maka perlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan ahli kitab.”[12]
          Andai riwayat ini shahih maka dia akan menjadi kata putus bahwa Majusi termasuk ahli kitab. Akan tetapi dalam sanadnya ada nama Abu Raja` tetangga Hammad bin Salamah. Dia adalah Rauh bin Al-Musayyib yang berkunyah Abu Raja`.
Ibnu ’Adi memasukkannya dalam Al-Kamil fid Dhu’afa`, ”Dia meriwayatkan dari Tsabit dan Yazid Ar-Raqqasyi hadits-hadits yang tidak terpelihara.”
Yahya bin Ma’in mengatakannya shuwailih,
Abu Hatim mengatakannya, ”shalih tapi tidak kuat”,
Ibnu Hibban bahkan mengatakannya, ”Meriwayatkan hadits-hadits palsu dari orang-orang tsiqah, biasa memarfu’ yang mauquf. Dia lebih mungkar daripada Rauh bin Ghathif, tidak halal meriwayatkan darinya bahkan menulis haditsnya kecuali sekedar menjadikannya pelajaran.”
Adz-Dzahabi memasukkannya dalam kitab Al-Mughni fid Dhu’afa` dan itu menunjukkan dia mendhaifkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Lisan Al-Mizan dan menyebutkan riwayat tentang jizyah ini sebagai salah satu riwayat darinya yang gharib jiddan (asing sekali, karena hanya diriwayatkan oleh dia sendiri dari Al-A’masy).
Tapi Al-Ijli menyatakannya tsiqah, demikian pula Al-Bazzar dalam musnadnya, Ibnu Syahin juga memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Tapi dalam hal ini perkataan yang menjarh lebih didahulukan karena lebih mu’tabar dan mufassar.[13]
          Ada pula riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dalam Al-Umm tentang kisah perselisihan antara Farwah Al-Asyja’i dengan Mustaurid. Singkat cerita mereka kemudian dihadapkan ke Ali, kemudian Ali menceritakan,
”Aku adalah orang yang paling tahu tentang Majusi. Mereka punya ilmu yang mereka pelajari dan kitab yang mereka kaji. Hanya saja raja mereka pernah mabuk sehingga berzina dengan putrinya sendiri (atau saudarinya). Hal itu diketahui oleh sebagian keluarga kerajaan. Ketika dia sadar maka dia pun takut kalau mereka akan menghukum perbuatannya itu, akhirnya dia menjaga diri dari mereka dan memanggil keluarga kerajaannya. Dia berkata kepada mereka, ”Apakah kalian tahu ada agama yang lebih baik daripada agama Adam? Adam sendiri menikahkan putranya dengan putrinya dan aku ini melaksanakan agama Adam. Apa yang membuat kalian benci pada agama Adam?” Akhirnya mereka membaiatnya dan memerangi siapa saja yang menentangnya. Dia pun memerangi para penentang dan menyurutkan kitab mereka sampai akhirnya kitab itu diangkat dari punggung mereka sehingga hilanglah ilmu yang ada di dada mereka. Mereka adalah ahli kitab.”
          Kemudian Asy-Syafi’i mengomentari, ”Apa yang diriwayatkan dari Ali ini menguatkan teori saya bahwa Majusi itu adalah ahli kitab....”[14]
          Di sini jelas bahwa Asy-Syafi’i berpendapat bahwa Majusi termasuk ahli kitab. Tapi sebagaimana diketahui Asy-Syafi’i termasuk yang menyatakan keharaman menikahi wanita Majusi dan memakan sembelihan mereka. Ini dikarenakan menurutnya ahli kitab yang dimaksud dalam surah Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah Yahudi dan Nashrani, bukan ahli-ahli kitab yang lain, termasuk Majusi. Wallahu a’lam.
          Sanad Asy-Syafi’i ini punya kelemahan karena di dalamnya ada Abu Sa’d Al-Baqqal Sa’id bin Al-Marzuban. Sekalipun Asy-Syafi’i menganggapnya tsiqah tapi Yahya Al-Qaththan mengatakan, ”Aku tidak menghalalkan riwayat darinya.” Al-Bukhari juga menganggapnya munkarul hadits, Al-Fallas menganggapnya matruk, Ibnu Ma’in mengatakan, ”Tidak boleh ditulis haditsnya”, Abu Zur’ah mengatakan, ”jujur tapi mudallis”, Abu Hatim mengatakan, ”Tidak bisa berhujjah dengan haditsnya”, Ibnu ’Adi mengatakan, ”Dia termasuk ahli hadits lemah tapi haditsnya masih bisa dikumpulkan dan tidak ditinggalkan.”[15]
          Akan tetapi dia dikuatkan oleh riwayat Abd bin Humaid dan Al-Baihaqi dari Ja’far bin Abu Al-Mughirah, dari Abdurrahman bin Abza bahwa Ali bin Abi Thalib menceritakan dengan kisah yang mirip di atas dan intinya menyebutkan bahwa Majusi itu adalah ahli kitab. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan riwayat Abd bin Humaid ini dalam Talkhish Al-Habir dan mengatakan sanadnya hasan, sedangkan dalam kitab Fath Al-Bari dia sebutkan sanadnya shahih.[16]
          Sedangkan Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar 13/369, no. 18507-18508 dengan isnad Abu Manshur Ad-Damighani secara ijazah, dari Abu Bakar Al-Ismaili, dari Yusuf bin Ya’qub Al-Qadhi, dari Abu Ar-Rabi’, dari Ya’qub Al-Qummi, dari Ja’far bin Abi Al-Mughirah, dari Ibnu Abza dari Ali bin Abi Thalib.
          Kemudian Al-Baihaqi mengomentarinya, ”Di dalamnya mengandung penguatan terhadap Sa’id bin Al-Marzuban, karena Sa’id membutuhkan sokongan riwayat orang lain.”
          Dengan begitu jelaslah kebenaran pendapat Asy-Syafi’i bahwa memang Majusi itu dulunya adalah ahli kitab. Tapi biarpun mereka termasuk ahli kitab tetap tidak diperbolehkan menikahi para wanita dan makan sembelihannya lantaran yang dimaksud ahli kitab dalam surah Al-Maidah di atas hanyalah Yahudi dan Nashrani sesuai pendapat jumhur.
          Apalagi dalam riwayat mursal dari Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menulis surat kepada Majusi Hajar (nama daerah dekat Mekah) menawarkan Islam kepada mereka. Kalau mereka mau masuk Islam maka mereka akan diterima. Siapa yang menolak maka mereka diwajibkan membayar jizyah tapi sembelihan mereka tidak boleh dimakan (oleh kaum muslimin) dan wanita mereka tidak boleh dinikahi.[17]

          Ada pandangan bijak dari Ibnu Taimiyah dalam menyikapi perbedaan pendapat dan riwayat ini
Ibnu Taimiyah berkata,
”Adapun wanita Majusi, sudah kami sebutkan bahwa pembahasan mengenainya terbangun atas dua dasar:
Salah satunya, bahwa Majusi itu tidak dihalalkan sembelihan mereka dan para wanita mereka tidak boleh dinikahi. Dalil untuk ini ada beberapa sisi:
Pertama, dengan mengatakan bahwa mereka bukan ahli kitab dan siapa saja yang bukan ahli kitab berarti tidak halal memakan makanannya (sembelihannya) dan juga para wanitanya.
          Premis pertama ini mengandung perbedaan pendapat yang syadz dan dalil yang membantahkan adalah firman Allah Subhaanahu,

#x»ydur ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& Ô8u$t6ãB çnqãèÎ7¨?$$sù (#qà)¨?$#ur öNä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÎÎÈ   br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏŠ šúüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ  
”Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat.
(kami turunkan Al-Quran itu) agar kalian (tidak) mengatakan, ”kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami, dan kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”
(Qs. Al-An’am : 155-156).
          Maka jelaslah bahwa Allah menurunkan Al-Quran karena tidak suka kalau mereka mengatakan bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada Yahudi dan Nashrani. Allah cegah jangan sampai mereka mengatakan itu. Kalau memang kitab Allah itu pernah diturunkan lebih dari kedua kelompok tersebut tentu tidak perlu mencegah perkataan itu.
          Lagi pula Allah telah berfirman,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur }¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uŽõ°r& ¨bÎ) ©!$# ã@ÅÁøÿtƒ óOßgoY÷t/ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat......”
(Qs. Al-Hajj : 17).
          Allah menyebutkan keenam agama dan keyakinan dan Dia akan memberi kata putus kepada mereka di hari kiamat, tetapi ketika menyebutkan agama-agama yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat Dia berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh……..” (Qs. Al-Baqarah : 62) di dua tempat Dia tidak menyebutkan Majusi dan kaum musyrik. Kalau saja kedua keyakinan tersebut akan bahagia pula di akhirat seperti halnya shabi`un, Yahudi dan Nashrani tentu Dia akan menyebut mereka. Kalau saja mereka punya kitab tentulah mereka berada dalam petunjuk Allah sebelum kitab itu diselewengkan atau dihapus hukumnya dan mereka akan masuk surga kalau mengamalkan syariat mereka seperti halnya Yahudi dan Nashrani sebelum adanya penyelewengan terhadap kitab mereka. Ketika Majusi tidak disebutkan  berarti ketahuanlah bahwa mereka tidak punya kitab. Malah Allah menyebut shabi`un tanpa menyebut Majusi padahal Shabi`un juga tidak punya kitab, mereka hanya mengikuti salah satu agama dari dua ahli kitab yang ada. Ini adalah dalil bahwa Majusi itu lebih tidak mungkin lagi punya kitab bila dibandingkan dengan Shabi’un.
          Juga ada riwayat dalam musnad dan sunan At-Tirmidzi dan kitab-kitab hadits, tafsir, dan kisah perang yang lain. Hadits ini cukup terkenal,
“Tatkala Persia dan Romawi berperang maka menanglah Persia. Hal itu menggembirakan kaum musyrikin, karena segolongan dengan mereka yang sama-sama tidak punya kitab. Sedangkan para sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menerima kabar gembira lantaran Nashrani lebih dekat kepada mereka karena mereka punya kitab yang diturunkan Allah Ta’ala. Allah berfirman,
”Alif laam Miim, Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan sesudah dikalahkan itu mereka akan mengalahkan, dalam beberapa tahun lagi.”
(Qs. Ar-Ruum : 1-4), sampai akhir ayat.
          Ini menjelaskan bahwa Majusi di mata Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau tidak punya sebuah kitab. Juga dalam hadits Al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiyyah dan lainnya dari kalangan tabi’in disebutkan bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengambil jizyah dari kalangan Majusi dan bersabda, ”Perlakukan mereka seperti perlakuan terhadap ahli kitab hanya saja tidak boleh menikahi para wanita mereka dan tidak boleh memakan sembelihan mereka.” Ini adalah riwayat yang mursal.
          Ada riwayat dari lima orang sahabat yang bersesuaian dengan ini dan belum diketahui ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Adapun Hudzaifah maka disebutkan dari Ahmad bahwa dia menikahi wanita Yahudi.
          Riwayat yang mursal diamalkan oleh banyak ahli ilmu. Mursal sendiri merupakan hujjah menurut salah satu dari dua pendapat ulama, seperti yang dipakai dalam madzhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad berdasarkan salah satu riwayat darinya, sedangkan dalam riwayat lain dinyatakan mursal itu akan menjadi hujjah kalau didukung oleh pendapat jumhur dan zahir Al-Quran, atau ada riwayat senada yang juga mursal. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i.
          Sehingga, mursal semacam ini adalah hujjah berdasarkan kesepakatan para ulama. Mursal ini adalah nash untuk masalah ini dan tidak perlu lagi dibangun berdasarkan dua premis.
          Kalau ada yang mengatakan, ada riwayat dari Ali bahwa Majusi itu pernah punya kitab kemudian diangkat, maka jawabnya hadits itu dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya. Kalaupun dia shahih maka itu hanya menunjukkan bahwa mereka pernah punya kitab kemudian diangkat dan sekarang tidak ada lagi kitab di tangan mereka, sehingga merekapun tidak bisa dikategorikan sebagai ahli kitab, karena kitab itu sudah tidak ada baik yang sudah diubah maupun yang belum, baik yang mansukh maupun tidak.
          Hanya saja, bila mereka memang pernah menjadi ahli kitab kemudian diangkat maka masih ada kemiripan dan ini berpengaruh untuk menjaga nyawa mereka dengan membayar jizyah kalau dikaitkan dengan ahli kitab. Beda halnya dengan pernikahan dan sembelihan, yang kehalalannya dikhususkan hanya kepada ahli kitab.
          Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya memerintahkan agar mereka diperlakukan sama dengan ahli kitab dalam hal mengambil jizyah (upeti) dari mereka dan kalimat, ”perlakukan mereka sebagai memperlakukan ahli kitab” menunjukkan bahwa mereka bukanlah ahli kitab, melainkan hanya diperintahkan untuk memperlakukan mereka menggunakan peraturan yang berlaku untuk ahli kitab dalam hal mengambil jizyah sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para sahabat. Sebab, mereka tidak memahami lain dari sabda beliau tersebut kecuali demikian dan tidak menikahi wanita mereka atau makan sembelihan mereka, malah ada riwayat yang merinci, ”tidak boleh menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka”.
          Siapa yang membolehkan pengambilan jizyah dari kalangan penyembah berhala maka dalilnya adalah qiyas dari perlakuan terhadap Majusi ini. Tapi yang mengkhususkan hukum itu hanya untuk Majusi (di luar ahli kitab) berpendapat bawah mereka punya syubhat pernah punya kitab, dan itu berbeda dengan umat lainnyam. Sementara nyawa akan terjaga lantaran adanya syubhat semacam itu, tapi kemaluan dan hewan sembelihan tidak bisa halal dengan syubhat.
          Makanya, ketika Ali dan Ibnu Abbas berselisih tentang sembelihan Bani Taghlib maka Ali berkata, ”Mereka itu (Nashrani Bani Taghlib) tidak mengamalkan ajaran Nashrani kecuali sekedar ingin menghalalkan khamer semata.” Sementara Ibnu Abbas membacakan ayat, (        ) (Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka orang itu termasuk golongan mereka) (Qs. Al-Maidah : 50). Ali melarang untuk makan sembelihan mereka meski meyakini haramnya darah mereka (tak boleh dibunuh) padahal dialah yang meriwayatkan hadits bahwa Majusi itu punya kitab. Sehingga dia tahu akan kemiripannya dengan ahli kitab di sebagian hukum yaitu keharaman darah, tapi tidak berarti wanita dan sembelihan mereka menjadi halal.”

Selesai nukilan dari Majmu’ Al-Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 32 hal. 187-190.

          Apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di atas juga bisa menjawab syubhat orang-orang Islam Liberal yang mengatakan bahwa Hindu, Buda dan lain-lain juga termasuk ahli kitab. Sebab, andaipun mereka benar pernah punya kitab, tapi bukan mereka yang dimaksud oleh Allah sebagai ahli kitab yang halal sembelihan dan wanitanya. Kasusnya bisa disamakan dengan kasus Majusi di atas. Wallahu a’lam.

* * * * *

Anshari Taslim
Dari Buku saya yang belum terbit tentang pernikahan dan hubungan seks terlarang atau kontroversial.



[1] Lihat detil peristiwanya dalam buku Bahaya Islam Liberal hal. 87-90 karya Hartono Ahmad Jaiz, mengutip dari majalah GATRA.
[3] Al-Mughni 7/101, kitab Nikah, bab: Maa yahrumu nikaahuhu wal jam’i bainahu wa baina ghairih.
[4] Al-Istidzkar 16/268.
[5] Ahkam Ahlil Milal, hal. 160, no. 450.
[6] Al-Istidzkar 16/268.
[7] (Al-Muhalla 9/445).
[8] Ahkam Ahlil Milal hal. 161.
[9] Al-Muwaththa` 2/395, no. 968, Mushannaf Abdurrazzaq 6/68, no. 10025, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 7/71, no. 10870.
[10] At-Tamhid 2/114-116, Al-Badrul Munir 7/617-618, Talkhish Al-Habir 3/353.
[11] Ahkam Ahlil Milal, hal. 161, As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/280.
[12] Tanqih At-Tahqiq oleh Ibnu Abdil Hadi 4/618, Nashb Ar-Rayah 3/449, Al-Badr Al-Munir 7/618, At-Talkhish Al-Habir 3/353. Semuanya menukil dari Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqih At-Tahqiq. Wallahu a’lam.
Juga dikeluarkan oleh Aht-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 3/375, no. 3442. Ath-Thabarani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-A’masy kecuali Abu Raja` dan dia adalah Rauh bin Al-Musayyib.”
[13] Al-Kamil fii Dhu’afa` Ar-Rijal 4/58-59, no. 664, Al-Jarh wa At-Ta’dil 3/496, Al-Mughni fid dhu’afa` 1/358, no. 2149 (tahqiq Hazim Al-Qadhi), Kitab Al-Majruhin oleh Ibnu Hibban 1/370, no. 342 (tahqiq Hamdi As-Salafi), Mizan Al-I’tidal 3/91, Lisan Al-Mizan 3/486-487, no. 3175 (tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah), Ats-Tsiqat oleh Al-Ijli 1/365, no. 485, Tarikh Asma` Ats-Tsiqat oleh Ibnu Syahin, hal. 87, no. 364, Musnad Al-Bazzar 13/339, no. 6962.
[14] Al-Umm 4/183.
[15] Lihat Tahdzib Al-Kamal 11/54-55, Mizan Al-I’tidal 3/228-229.
[16] Lihat Fath Al-Bari 7/445-446 ketika menjelaskan hadits-hadits pada kitab Al-Jizyah wal Muwada’ah nomor 3156-3160, juga Talkhish Al-Habir 3/358. Riwayat Abd bin Humaid ini juga disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mantsur 8/467 ketika menafsirkan surah Al-Buruj ayat 4.
[17] Mushannaf Abdurrazzaq 6/69, no. 10028, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 17/407, no. 33313.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar