Nikah dengan
Wanita Kafir Bukan Ahli Kitab
Pada Juni tahun
2003 ada kejadian mengejutkan di Islamic Study Center Paramadina kompleks
Pondok Indah Plaza Jakarta Selatan. Seorang pemuda muslim bernama Ahmad
Nurcholis menikahi seorang amoy (gadis Tionghua) beragama Kong Hucu bernama Ang
Mei Yong. Bertindak sebagai penghulu adalah Dr. Kautsar Azhari Noer salah
seorang guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN Syarif
Hidayatullah). Kautsar Azhari Noer yang diminta tanggapannya tentang hal itu
menjelaskan bahwa sejak dulu dia sudah berpaham seperti itu (bolehnya pemuda
muslim menikahi wanita Budha atau Kong Hucu).[1]
Selain
Kautsar ada pula Zainun Kamal, lulusan Al Azhar Mesir yang juga menjadi dosen
di UIN Syarif Hidayatullah ini juga berpendapat bahwa ahli kitab tidak hanya
terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja. Dia mengatakan,
”Kalau dalam konteks Indonesia, agama Budha, agama Hindu, atau agama
Konghucu, agama Shinto, menurut Mohammad Abduh, dalam kitab tafsirnya,
al-Manar, juga disebut ahlul kitab. Alasannya karena ada kitab sucinya. Dan
tentu saja, kitab suci tersebut dibawa oleh seorang nabi. Pengertian nabi di
sini diartikan sebagai pembawa pesan moral. Itu dikaitkan dengan ajaran Alquran
bahwa “Allah mengutus kepada setiap umat seorang rasul (fabaatsna likulli
ummatin rasula).” Jadi setiap umat itu ada nabinya. Dalam hal agama Budha, bisa
dikatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang nabi yang membawa kitab suci.”[2]
Menikahi wanita kafir selain ahli
kitab haram berdasarkan ijmak
Apakah
sudah ada ijmak dalam hal ini? Mari kita lihat pernyataan para
ulama panutan umat:
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi mengatakan,
”Semua orang kafir selain ahli kitab seperti mereka yang menyembah berhala,
batu, pohon dan hewan, maka tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
tentang keharaman menikahi wanitanya dan memakan sembelihannya.”[3]
Ibnu Abril Barr juga menegaskan,
“Para ulama sudah sepakat bahwa haram menikahi wanita Majusi dan penyembah
berhala.”[4]
Bila
Majusi yang sudah dikenal di masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
mempunyai nabi dan kitab tersendiri saja dilarang menikahi wanitanya, apalagi
semisal Hindu, Buda dan Kong Hucu yang jelas-jelas lebih banyak menyembah
berhala.
Kesepakatan
para ulama ini berdasarkan pemahaman mereka terhadap firman Allah,
wur (#qßsÅ3Zs?
ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym
£`ÏB÷sã
4
“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman…” (Qs. Al-Baqarah: 221).
Ayat
ini menegaskan bahwa wanita musyrik haram dinikahi, lalu pada ayat kelima surah
Al-Maidah Allah Ta’ala membuat pengecualian dengan membolehkan menikahi wanita
ahli kitab.
Benarkah ada ahli kitab lain selain
Yahudi dan Nashrani?
Mengkritisi
dalil yang dikemukakan Zainun Kamal dan kelompok Islam liberal pada umumnya
bahwa ahli kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nashrani saja lantaran banyak
pula agama yang memiliki kitab dan nabi. Bahkan, hampir semua agama punya nabi
dan kitab suci. Sebut saja agama Buda yang punya Nabi bernama Sidharta Gautama
dengan kitab suci bernama Tri Pittaka, Kong Hucu punya nabi bernama Kong Fu Tse
dengan kitab suci bernama Wu Jing dan Si Shu.
Satu
hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa memang madzhab Hanafi memberi keluasan
makna ahli kitab yaitu mereka yang mengikuti ajaran Nabi-Nabi tertentu yang
diutus oleh Allah dan memiliki kitab suci. Akan tetapi, pendapat Hanafiah itu
hanya terbatas pada nabi-nabi yang telah ditetapkan dalam Islam, seperti Nabi
Ibrahim, Nabi Daud dan lainnya.
Sedangkan
Budha, Kong Fu Tse, Hindu, Shinto dan lain-lain tidak ada ketetapan bahwa
mereka benar-benar nabi yang diutus oleh Allah kepada kaumnya, dan bukan mereka
yang dimaksud oleh Abu Hanifah. Memang betul bahwa Allah mengutus nabi dan
rasul untuk setiap umat sebagaimana dalam firman-Nya,
Èe@à6Ï9ur
7p¨Bé&
×Aqߧ ( #sÎ*sù
uä!$y_
óOßgä9qßu zÓÅÓè%
OßgoY÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/
öNèdur
w
tbqßJn=ôàã ÇÍÐÈ
”Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang Rasul
mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka
(sedikitpun) tidak dianiaya.” (Qs. Yunus : 47).
$tBur
$¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB
4Ó®Lym
y]yèö6tR
Zwqßu ÇÊÎÈ
”....Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang
rasul.” (Qs. Al-Isra` : 15).
Dalam ayat ini tersirat bahwa setiap
umat akan diberikan Allah seorang rasul agar menjelaskan kepada mereka
bagaimana beribadah yang benar kepada-Nya. Sebab, suatu umat tidak akan disiksa
atas perbuatan dosanya bila memang tidak ada utusan Allah kepada mereka yang
mengajarkan mana yang haq dan mana yang bathil.
Lalu
dari mana bisa menetapkan bahwa rasul yang diutus oleh Allah kepada umat di
Nepal sana adalah Sidharta Gautama, atau kepada bangsa Cina adalah Kong Fu Tse?
Tidak ada jalan untuk menetapkan itu kecuali prasangka tanpa dasar yang kuat
dan ini tidak boleh dijadikan landasan dalam mengambil hukum halal dan haram,
karena hukum halal dan haram harus berdasarkan dalil yang pasti.
Menetapkan
suatu hukum dengan dalil kira-kira atau dalil ”bisa jadi” seperti yang
diterapkan oleh kelompok Islam Liberal ini adalah sesuatu yang sudah dikecam
oleh Allah dalam Al-Qur`an,
$tBur
ßìÎ7Gt
óOèdçsYø.r&
wÎ)
$Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# w
ÓÍ_øóã z`ÏB
Èd,ptø:$# $º«øx© 4
”Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran....” (Qs. Yunus : 36).
Di
sini jelas Allah mengecam orang yang main kira-kira atau prasangka dengan
metode ”bisa jadi iya bisa jadi pula bukan” dalam menetapkan keyakinan. Maka,
mereka yang menetapkan bahwa agama-agama selain Yahudi dan Nashrani sebagai
ahli kitab hanya lantaran teranggap punya nabi dan kitab suci masuk pula dalam
kecaman ayat ini secara umum.
Agama
Hindu dan Buda itu sudah ada di masa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa
sallam dan ketika Al-Qur`an diturunkan, tapi tidak sedikitpun Allah
menyinggungnya sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak mungkin lupa. Sehingga,
kelancangan orang-orang liberal menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh
Allah benar-benar hanya dengan prasangka dan memperturutkan hawa nafsu semata,
sebagaimana firman Allah,
÷bÎ) }Ïd
HwÎ)
Öä!$oÿôr&
!$ydqßJçGø®ÿx öNçFRr& /ä.ät!$t/#uäur
!$¨B
tAtRr& ª!$#
$pkÍ5 `ÏB ?`»sÜù=ß 4 bÎ)
tbqãèÎ7Ft wÎ)
£`©à9$# $tBur uqôgs? ߧàÿRF{$# ( ôs)s9ur Nèduä!%y` `ÏiB
ãNÍkÍh5§ #yçlù;$#
ÇËÌÈ
”Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak
kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk itu. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh
hawa nafsu mereka dan Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari
Tuhan mereka.” (Qs. An-Najm: 23).
Ayat
ini jelas mengena untuk mereka, keadaan mereka sama dengan orang-orang kafir
yang menetapkan nama-nama Latta dan Uzza serta Manaah
sebagai anak perempuan Allah, padahal Allah tidak pernah menjelaskan itu.
Begitu pula mereka yang menetapkan Hindu, Bunda, Kong Hucu dan lain-lain
sebagai ahli kitab, padahal Allah tidak pernah menyebutkan demikian sedangkan
Allah tidak mungkin lupa.
Berdasarkan
ini semua maka akad nikah yang dilakukan oleh pria muslim dengan wanita selain
agama Yahudi dan Nashrani adalah batal dan hasilnya adalah zina sehingga
konsekuensi hukumnya sama dengan zina.
Apakah Majusi Termasuk Ahli Kitab?
Dalam
diskursus yang dibahas para ulama salaf memang ada riwayat dari beberapa tokoh
yang menyatakan bahwa Majusi termasuk ahli kitab, sehingga berkonsekuensi halal
sembelihannya dan para wanitanya boleh dinikahi.
Al-Imam
Ahmad bin Hanbal berkata, ”Majusi itu, wanitanya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya
tidak boleh dimakan. Aku tidak tahu ada yang berpendapat lain kecuali pelaku
bid’ah.”[5]
Ibnu
Abdil Bar berkata, ”Mereka (para ulama) telah sepakat (ijmak) bahwa seorang
muslim tidak boleh menikahi wanita Majusi atau wanita penyembah berhala. Tidak
ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.”[6]
Tapi
apa yang diklaim Ibnu Abdil Barr sebagai ijmak di sini terbantahkan dengan
pendapat Abu Tsaur yang membolehkan pernikahan dengan wanita Majusi lantaran
menganggapnya sebagai ahli kitab. Pendapat Abu Tsaur ini kemudian diiyakan oleh
Ibnu Hazm sebagaimana ditegaskannya dalam kitabnya Al-Muhalla, “Diperbolehkan
menikahi wanita ahli kitab yaitu Yahudi, Nashrani dan Majusi, tapi tidak halal
baginya untuk menyetubuhi budak wanita non muslimah dengan cara kepemilikan
budak.”[7]
Abu
Tsaur berdalil bahwa Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi. Tapi itu dibantah
oleh Imam Ahmad bahwa riwayat yang benar adalah yang dinikahi Hudzaifah itu
adalah Yahudi.[8]
Dalil
lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik, Ibnu Juraij dan Hatim bin
Ismail, semuanya dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya (yaitu Muhammad bin Ali
bin Husain –pen) bahwa Umar bin Al-Khaththab ra duduk di antara mimbar dari
kuburan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sambil berkata, “Aku tidak
tahu apa yang harus aku lakukan terhadap Majusi, padahal mereka bukan ahli
kitab. Maka berkatalah, Abdurrahman bin Auf, Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda,
سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ
Riwayat
ini sanadnya terputus karena Muhammad bin Ali bin Husain tidak bertemu dengan
Umar maupun Abdurrahman bin Auf. Ada pula riwayat yang menyebutkan tambahan
”dari kakeknya” yang berarti dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra,
tetapi Ali bin Husain pun tidak bertemu dengan Umar maupun Abdurrahman. Tapi
Ibnu Abdil Barr mengatakan maknanya shahih berdasarkan beberapa versi riwayat
lain dengan jalur yang hasan.[10]
Akan
tetapi para ulama menganggap isi hadits ini hanya dalam masalah jizyah.
Artinya, perlakukan Majusi sebagaimana ahli kitab dalam hal pewajiban membayar
jizyah kepada negara Islam, bukan kebolehan menikahi para wanitanya dan memakan
sembelihannya.[11]
Lagi
pula jumhur ulama justru memakai hadits tersebut untuk membuktikan bahwa Majusi
itu bukan ahli kitab. Sebab kalau mereka termasuk ahli kitab tentu beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam akan berkata, ”Mereka adalah ahli kitab” bukan
berkata, ”Perlakukan mereka seperti ahli kitab”. Karena memperlakukan orang
seperti sebuah kelompok berarti orang itu bukan bagian dari kelompok itu.
Ada
sebuah riwayat dari Ibnu Abi ’Ashim dalam kitab nikah, dia berkata, Ibrahim
yakni Ibnu Al-Hajjaj As-Sami menceritakan kepada kami, Abu Raja` -tetangganya
Hammad bin Salamah- menceritakan kepada kami, Al-A’masy menceritakan kepada
kami, dari Zaid bin Wahb yang berkata, ”Aku pernah bersama Umar bin
Al-Khaththab dan dia menanyakan siapa yang punya pengetahuan tentang Majusi,
maka melompatlah Abdurrahman bin Auf dan berkata, ”Aku bersaksi atas nama Allah
bahwa aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الْمَجُوسُ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ،
فَاحْمِلُوهُمْ عَلَى مَا تَحْمِلُوْنَ عَلَيْهِ أَهْلَ الْكِتَابِ
”Sesungguhnya Majusi itu hanyalah
salah satu kelompok dari ahli kitab, maka perlakukan mereka sebagaimana kalian
memperlakukan ahli kitab.”[12]
Andai
riwayat ini shahih maka dia akan menjadi kata putus bahwa Majusi termasuk ahli
kitab. Akan tetapi dalam sanadnya ada nama Abu Raja` tetangga Hammad bin
Salamah. Dia adalah Rauh bin Al-Musayyib yang berkunyah Abu Raja`.
Ibnu ’Adi memasukkannya dalam
Al-Kamil fid Dhu’afa`, ”Dia meriwayatkan dari Tsabit dan Yazid Ar-Raqqasyi
hadits-hadits yang tidak terpelihara.”
Yahya bin Ma’in mengatakannya shuwailih,
Abu Hatim mengatakannya, ”shalih
tapi tidak kuat”,
Ibnu Hibban bahkan mengatakannya, ”Meriwayatkan
hadits-hadits palsu dari orang-orang tsiqah, biasa memarfu’ yang mauquf. Dia
lebih mungkar daripada Rauh bin Ghathif, tidak halal meriwayatkan darinya
bahkan menulis haditsnya kecuali sekedar menjadikannya pelajaran.”
Adz-Dzahabi memasukkannya dalam
kitab Al-Mughni fid Dhu’afa` dan itu menunjukkan dia mendhaifkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkannya
dalam Lisan Al-Mizan dan menyebutkan riwayat tentang jizyah ini sebagai salah
satu riwayat darinya yang gharib jiddan (asing sekali, karena hanya
diriwayatkan oleh dia sendiri dari Al-A’masy).
Tapi Al-Ijli menyatakannya tsiqah,
demikian pula Al-Bazzar dalam musnadnya, Ibnu Syahin juga memasukkannya dalam
kitab Ats-Tsiqaat. Tapi dalam hal ini perkataan yang menjarh lebih didahulukan
karena lebih mu’tabar dan mufassar.[13]
Ada
pula riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i dalam
Al-Umm tentang kisah perselisihan antara Farwah Al-Asyja’i dengan Mustaurid.
Singkat cerita mereka kemudian dihadapkan ke Ali, kemudian Ali menceritakan,
”Aku adalah orang yang paling tahu
tentang Majusi. Mereka punya ilmu yang mereka pelajari dan kitab yang mereka
kaji. Hanya saja raja mereka pernah mabuk sehingga berzina dengan putrinya
sendiri (atau saudarinya). Hal itu diketahui oleh sebagian keluarga kerajaan.
Ketika dia sadar maka dia pun takut kalau mereka akan menghukum perbuatannya
itu, akhirnya dia menjaga diri dari mereka dan memanggil keluarga kerajaannya.
Dia berkata kepada mereka, ”Apakah kalian tahu ada agama yang lebih baik
daripada agama Adam? Adam sendiri menikahkan putranya dengan putrinya dan aku
ini melaksanakan agama Adam. Apa yang membuat kalian benci pada agama Adam?”
Akhirnya mereka membaiatnya dan memerangi siapa saja yang menentangnya. Dia pun
memerangi para penentang dan menyurutkan kitab mereka sampai akhirnya kitab itu
diangkat dari punggung mereka sehingga hilanglah ilmu yang ada di dada mereka.
Mereka adalah ahli kitab.”
Kemudian
Asy-Syafi’i mengomentari, ”Apa yang diriwayatkan dari Ali ini menguatkan teori
saya bahwa Majusi itu adalah ahli kitab....”[14]
Di
sini jelas bahwa Asy-Syafi’i berpendapat bahwa Majusi termasuk ahli kitab. Tapi
sebagaimana diketahui Asy-Syafi’i termasuk yang menyatakan keharaman menikahi
wanita Majusi dan memakan sembelihan mereka. Ini dikarenakan menurutnya ahli
kitab yang dimaksud dalam surah Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah Yahudi dan
Nashrani, bukan ahli-ahli kitab yang lain, termasuk Majusi. Wallahu a’lam.
Sanad
Asy-Syafi’i ini punya kelemahan karena di dalamnya ada Abu Sa’d Al-Baqqal Sa’id
bin Al-Marzuban. Sekalipun Asy-Syafi’i menganggapnya tsiqah tapi Yahya
Al-Qaththan mengatakan, ”Aku tidak menghalalkan riwayat darinya.” Al-Bukhari
juga menganggapnya munkarul hadits, Al-Fallas menganggapnya matruk, Ibnu Ma’in
mengatakan, ”Tidak boleh ditulis haditsnya”, Abu Zur’ah mengatakan, ”jujur tapi
mudallis”, Abu Hatim mengatakan, ”Tidak bisa berhujjah dengan haditsnya”, Ibnu
’Adi mengatakan, ”Dia termasuk ahli hadits lemah tapi haditsnya masih bisa
dikumpulkan dan tidak ditinggalkan.”[15]
Akan
tetapi dia dikuatkan oleh riwayat Abd bin Humaid dan Al-Baihaqi dari Ja’far bin
Abu Al-Mughirah, dari Abdurrahman bin Abza bahwa Ali bin Abi Thalib
menceritakan dengan kisah yang mirip di atas dan intinya menyebutkan bahwa
Majusi itu adalah ahli kitab. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan
riwayat Abd bin Humaid ini dalam Talkhish Al-Habir dan mengatakan sanadnya
hasan, sedangkan dalam kitab Fath Al-Bari dia sebutkan sanadnya shahih.[16]
Sedangkan
Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar 13/369,
no. 18507-18508 dengan isnad Abu Manshur Ad-Damighani secara ijazah, dari Abu
Bakar Al-Ismaili, dari Yusuf bin Ya’qub Al-Qadhi, dari Abu Ar-Rabi’, dari
Ya’qub Al-Qummi, dari Ja’far bin Abi Al-Mughirah, dari Ibnu Abza dari Ali bin
Abi Thalib.
Kemudian
Al-Baihaqi mengomentarinya, ”Di dalamnya mengandung penguatan terhadap Sa’id
bin Al-Marzuban, karena Sa’id membutuhkan sokongan riwayat orang lain.”
Dengan
begitu jelaslah kebenaran pendapat Asy-Syafi’i bahwa memang Majusi itu dulunya
adalah ahli kitab. Tapi biarpun mereka termasuk ahli kitab tetap tidak
diperbolehkan menikahi para wanita dan makan sembelihannya lantaran yang
dimaksud ahli kitab dalam surah Al-Maidah di atas hanyalah Yahudi dan Nashrani
sesuai pendapat jumhur.
Apalagi
dalam riwayat mursal dari Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib
disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menulis surat kepada
Majusi Hajar (nama daerah dekat Mekah) menawarkan Islam kepada mereka. Kalau
mereka mau masuk Islam maka mereka akan diterima. Siapa yang menolak maka
mereka diwajibkan membayar jizyah tapi sembelihan mereka tidak boleh dimakan
(oleh kaum muslimin) dan wanita mereka tidak boleh dinikahi.[17]
Ada
pandangan bijak dari Ibnu Taimiyah dalam menyikapi perbedaan pendapat dan
riwayat ini
Ibnu Taimiyah berkata,
”Adapun wanita Majusi, sudah kami
sebutkan bahwa pembahasan mengenainya terbangun atas dua dasar:
Salah satunya, bahwa Majusi itu
tidak dihalalkan sembelihan mereka dan para wanita mereka tidak boleh dinikahi.
Dalil untuk ini ada beberapa sisi:
Pertama, dengan mengatakan bahwa
mereka bukan ahli kitab dan siapa saja yang bukan ahli kitab berarti tidak
halal memakan makanannya (sembelihannya) dan juga para wanitanya.
Premis
pertama ini mengandung perbedaan pendapat yang syadz dan dalil yang
membantahkan adalah firman Allah Subhaanahu,
#x»ydur ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr&
Ô8u$t6ãB çnqãèÎ7¨?$$sù (#qà)¨?$#ur öNä3ª=yès9
tbqçHxqöè? ÇÊÎÎÈ br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ)
tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã
Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ
`ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏ úüÎ=Ïÿ»tós9
ÇÊÎÏÈ
”Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati,
maka ikutilah ia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat.
(kami turunkan Al-Quran itu) agar kalian (tidak)
mengatakan, ”kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami,
dan kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.”
(Qs. Al-An’am : 155-156).
Maka
jelaslah bahwa Allah menurunkan Al-Quran karena tidak suka kalau mereka
mengatakan bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada Yahudi dan Nashrani. Allah
cegah jangan sampai mereka mengatakan itu. Kalau memang kitab Allah itu pernah
diturunkan lebih dari kedua kelompok tersebut tentu tidak perlu mencegah perkataan
itu.
Lagi
pula Allah telah berfirman,
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
tûïÏ%©!$#ur (#rß$yd
tûüÏ«Î7»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur
}¨qàfyJø9$#ur tûïÏ%©!$#ur (#þqà2uõ°r&
¨bÎ)
©!$#
ã@ÅÁøÿt
óOßgoY÷t/
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$# 4
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang
musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat......”
(Qs. Al-Hajj : 17).
Allah
menyebutkan keenam agama dan keyakinan dan Dia akan memberi kata putus kepada
mereka di hari kiamat, tetapi ketika menyebutkan agama-agama yang akan mendapat
kebahagiaan di akhirat Dia berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa
saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh……..” (Qs. Al-Baqarah : 62) di dua tempat
Dia tidak menyebutkan Majusi dan kaum musyrik. Kalau saja kedua keyakinan
tersebut akan bahagia pula di akhirat seperti halnya shabi`un, Yahudi dan
Nashrani tentu Dia akan menyebut mereka. Kalau saja mereka punya kitab tentulah
mereka berada dalam petunjuk Allah sebelum kitab itu diselewengkan atau dihapus
hukumnya dan mereka akan masuk surga kalau mengamalkan syariat mereka seperti
halnya Yahudi dan Nashrani sebelum adanya penyelewengan terhadap kitab mereka.
Ketika Majusi tidak disebutkan berarti
ketahuanlah bahwa mereka tidak punya kitab. Malah Allah menyebut shabi`un tanpa
menyebut Majusi padahal Shabi`un juga tidak punya kitab, mereka hanya mengikuti
salah satu agama dari dua ahli kitab yang ada. Ini adalah dalil bahwa Majusi
itu lebih tidak mungkin lagi punya kitab bila dibandingkan dengan Shabi’un.
Juga
ada riwayat dalam musnad dan sunan At-Tirmidzi dan kitab-kitab hadits, tafsir,
dan kisah perang yang lain. Hadits ini cukup terkenal,
“Tatkala Persia dan Romawi berperang
maka menanglah Persia. Hal itu menggembirakan kaum musyrikin, karena segolongan
dengan mereka yang sama-sama tidak punya kitab. Sedangkan para sahabat Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam menerima kabar gembira lantaran Nashrani lebih
dekat kepada mereka karena mereka punya kitab yang diturunkan Allah Ta’ala.
Allah berfirman,
”Alif laam Miim, Romawi telah dikalahkan, di negeri yang
terdekat dan sesudah dikalahkan itu mereka akan mengalahkan, dalam beberapa
tahun lagi.”
(Qs. Ar-Ruum : 1-4), sampai akhir
ayat.
Ini
menjelaskan bahwa Majusi di mata Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan para
sahabat beliau tidak punya sebuah kitab. Juga dalam hadits Al-Hasan bin
Muhammad bin Hanafiyyah dan lainnya dari kalangan tabi’in disebutkan bahwa Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam mengambil jizyah dari kalangan Majusi dan
bersabda, ”Perlakukan mereka seperti perlakuan terhadap ahli kitab hanya saja tidak
boleh menikahi para wanita mereka dan tidak boleh memakan sembelihan mereka.”
Ini adalah riwayat yang mursal.
Ada
riwayat dari lima orang sahabat yang bersesuaian dengan ini dan belum diketahui
ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. Adapun Hudzaifah maka disebutkan
dari Ahmad bahwa dia menikahi wanita Yahudi.
Riwayat
yang mursal diamalkan oleh banyak ahli ilmu. Mursal sendiri merupakan hujjah
menurut salah satu dari dua pendapat ulama, seperti yang dipakai dalam madzhab
Abu Hanifah, Malik, Ahmad berdasarkan salah satu riwayat darinya, sedangkan
dalam riwayat lain dinyatakan mursal itu akan menjadi hujjah kalau didukung
oleh pendapat jumhur dan zahir Al-Quran, atau ada riwayat senada yang juga
mursal. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i.
Sehingga,
mursal semacam ini adalah hujjah berdasarkan kesepakatan para ulama. Mursal ini
adalah nash untuk masalah ini dan tidak perlu lagi dibangun berdasarkan dua
premis.
Kalau
ada yang mengatakan, ada riwayat dari Ali bahwa Majusi itu pernah punya kitab
kemudian diangkat, maka jawabnya hadits itu dilemahkan oleh Ahmad dan lainnya. Kalaupun
dia shahih maka itu hanya menunjukkan bahwa mereka pernah punya kitab kemudian
diangkat dan sekarang tidak ada lagi kitab di tangan mereka, sehingga merekapun
tidak bisa dikategorikan sebagai ahli kitab, karena kitab itu sudah tidak
ada baik yang sudah diubah maupun yang belum, baik yang mansukh maupun tidak.
Hanya
saja, bila mereka memang pernah menjadi ahli kitab kemudian diangkat maka masih
ada kemiripan dan ini berpengaruh untuk menjaga nyawa mereka dengan membayar jizyah
kalau dikaitkan dengan ahli kitab. Beda halnya dengan pernikahan dan
sembelihan, yang kehalalannya dikhususkan hanya kepada ahli kitab.
Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam hanya memerintahkan agar mereka diperlakukan
sama dengan ahli kitab dalam hal mengambil jizyah (upeti) dari mereka dan
kalimat, ”perlakukan mereka sebagai memperlakukan ahli kitab” menunjukkan bahwa
mereka bukanlah ahli kitab, melainkan hanya diperintahkan untuk memperlakukan
mereka menggunakan peraturan yang berlaku untuk ahli kitab dalam hal mengambil
jizyah sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para sahabat. Sebab, mereka tidak
memahami lain dari sabda beliau tersebut kecuali demikian dan tidak menikahi
wanita mereka atau makan sembelihan mereka, malah ada riwayat yang merinci,
”tidak boleh menikahi wanita mereka dan memakan sembelihan mereka”.
Siapa
yang membolehkan pengambilan jizyah dari kalangan penyembah berhala maka
dalilnya adalah qiyas dari perlakuan terhadap Majusi ini. Tapi yang mengkhususkan
hukum itu hanya untuk Majusi (di luar ahli kitab) berpendapat bawah mereka
punya syubhat pernah punya kitab, dan itu berbeda dengan umat lainnyam.
Sementara nyawa akan terjaga lantaran adanya syubhat semacam itu, tapi kemaluan
dan hewan sembelihan tidak bisa halal dengan syubhat.
Makanya,
ketika Ali dan Ibnu Abbas berselisih tentang sembelihan Bani Taghlib maka Ali
berkata, ”Mereka itu (Nashrani Bani Taghlib) tidak mengamalkan ajaran Nashrani
kecuali sekedar ingin menghalalkan khamer semata.” Sementara Ibnu Abbas
membacakan ayat, (ﭟ ﭠ ﭡ
ﭢ
ﭣ) (Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka orang itu termasuk golongan mereka) (Qs.
Al-Maidah : 50). Ali melarang untuk makan sembelihan mereka meski meyakini
haramnya darah mereka (tak boleh dibunuh) padahal dialah yang meriwayatkan
hadits bahwa Majusi itu punya kitab. Sehingga dia tahu akan kemiripannya dengan
ahli kitab di sebagian hukum yaitu keharaman darah, tapi tidak berarti wanita
dan sembelihan mereka menjadi halal.”
Selesai nukilan dari Majmu’ Al-Fatawa
Ibnu Taimiyah jilid 32 hal. 187-190.
Apa
yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di atas juga bisa menjawab syubhat
orang-orang Islam Liberal yang mengatakan bahwa Hindu, Buda dan lain-lain juga
termasuk ahli kitab. Sebab, andaipun mereka benar pernah punya kitab, tapi
bukan mereka yang dimaksud oleh Allah sebagai ahli kitab yang halal sembelihan
dan wanitanya. Kasusnya bisa disamakan dengan kasus Majusi di atas. Wallahu
a’lam.
* * * * *
Anshari Taslim
Dari Buku saya yang belum terbit tentang pernikahan dan
hubungan seks terlarang atau kontroversial.
[1] Lihat detil peristiwanya dalam
buku Bahaya Islam Liberal hal. 87-90 karya Hartono Ahmad Jaiz, mengutip dari
majalah GATRA.
[3]
Al-Mughni 7/101, kitab Nikah, bab: Maa yahrumu nikaahuhu wal jam’i bainahu wa
baina ghairih.
[4]
Al-Istidzkar 16/268.
[5]
Ahkam Ahlil Milal, hal. 160, no. 450.
[6]
Al-Istidzkar 16/268.
[7]
(Al-Muhalla 9/445).
[8]
Ahkam Ahlil Milal hal. 161.
[9]
Al-Muwaththa` 2/395, no. 968, Mushannaf Abdurrazzaq 6/68, no. 10025, Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah 7/71, no. 10870.
[10]
At-Tamhid 2/114-116, Al-Badrul Munir 7/617-618, Talkhish Al-Habir 3/353.
[11]
Ahkam Ahlil Milal, hal. 161, As-Sunan Al-Kubra oleh Al-Baihaqi 7/280.
[12]
Tanqih At-Tahqiq oleh Ibnu Abdil Hadi 4/618, Nashb Ar-Rayah 3/449, Al-Badr
Al-Munir 7/618, At-Talkhish Al-Habir 3/353. Semuanya menukil dari Ibnu Abdil
Hadi dalam Tanqih At-Tahqiq. Wallahu a’lam.
Juga
dikeluarkan oleh Aht-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 3/375, no. 3442.
Ath-Thabarani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari
Al-A’masy kecuali Abu Raja` dan dia adalah Rauh bin Al-Musayyib.”
[13]
Al-Kamil fii Dhu’afa` Ar-Rijal 4/58-59, no. 664, Al-Jarh wa At-Ta’dil 3/496,
Al-Mughni fid dhu’afa` 1/358, no. 2149 (tahqiq Hazim Al-Qadhi), Kitab
Al-Majruhin oleh Ibnu Hibban 1/370, no. 342 (tahqiq Hamdi As-Salafi), Mizan
Al-I’tidal 3/91, Lisan Al-Mizan 3/486-487, no. 3175 (tahqiq Abdul Fattah Abu
Ghuddah), Ats-Tsiqat oleh Al-Ijli 1/365, no. 485, Tarikh Asma` Ats-Tsiqat oleh
Ibnu Syahin, hal. 87, no. 364, Musnad Al-Bazzar 13/339, no. 6962.
[14] Al-Umm 4/183.
[15] Lihat Tahdzib Al-Kamal 11/54-55, Mizan
Al-I’tidal 3/228-229.
[16] Lihat Fath Al-Bari 7/445-446 ketika
menjelaskan hadits-hadits pada kitab Al-Jizyah wal Muwada’ah nomor 3156-3160,
juga Talkhish Al-Habir 3/358. Riwayat Abd bin Humaid ini juga disebutkan oleh
As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mantsur 8/467 ketika menafsirkan surah Al-Buruj
ayat 4.
[17] Mushannaf Abdurrazzaq 6/69, no. 10028,
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 17/407, no. 33313.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar