Kamis, 01 September 2016

Apakah Orang Mukmin Berdusta? (kajian sanad hadits)

        Dusta adalah salah satu perbuatan tercela bahkan ada ungkapan yang menyebutnya sebagai pangkal dari segala dosa. Tak terhitung pula banyaknya ayat Al-Quran dan hadits yang mengecam perbuatan buruk ini. Sehingga semua orang muslim tahu bahwa berdusta bukan hanya dosa kepada Allah tapi juga mentalitas rusak yang dapat merugikan pemiliknya.

        Di antara hadits yang sering diungkapkan oleh para khathib dan dai di mimbar-mimbar ceramah agama[1] sebagai dalil keharaman dusta dan betapa tak pantasnya perbuatan ini disandang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hadits dengan redaksi sebegai berikut, Ath-Thabari meriwayatkan,
وَحَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَمْدَانِيُّ، قَالَ:حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ الْأَشْدَقِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَرَادٍ، قَالَ: قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ يَسْرِقُ الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «قَدْ يَكُونُ ذَلِكَ» . قَالَ: فَهَلْ يَزْنِي الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «بَلَى، وَإِنْ كَرِهَ أَبُو الدَّرْدَاءِ» قَالَ: هَلْ يَكْذِبُ الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ مَنْ لَا يُؤْمِنُ، إِنَّ الْعَبْدَ يَزِلُّ الزَّلَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى رَبِّهِ فَيَتُوبُ، فَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِ»
“Umar bin Ismail Al-Hamdani menceritakan kepadaku, dia berkata, Ya’la bin Al-Asydaq menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Jarad, dia berkata, Abu Ad-Darda` berkata, “Wahai Rasulullah, apakah seorang mukmin mungkin berdusta? Beliau menjawab, “Kadang ada.” Dia bertanya lagi, “Apakah seorang mukmin mungkin berzina?” Beliau menjawab, “Bisa jadi. Meski Abu Ad-Darda` tidak suka.” Dia bertanya lagi, “Apakah seorang mukmin berdusta?” Beliau menjawab, “Tidak, karena yang berdusta itu hanyalah orang yang tidak beriman. Sesungguhnya seorang hamba bisa saja tergelincir (dalam dosa) kemudian kembali kepada Tuhannya dan bertaubat lalu Allah pun menerima taubatnya.”
(Ini yang terdapat dalam Tahdzib Al-Atsar oleh Ath-Thabari di juz musnad Ali bin Abi Thalib yang ditahqiq oleh Mahmud Syakir, nomor hadits 244).

Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh, Ath-Thabari dalam Tahdzib Al-Atsar, Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Ash-Shamt wa Adab Al-Lisan (tahqiq Al-Huwaini), no. 474, Al-Khara`ithi dalam Masawi` Al-Akhlaq, no. 132, Al-Khathib Al-Baghdadi dalam tarikhnya jilid 6 hal. 272, biografi Ismail bin Khalid bin Sulaiman Al-Marwazi, semua melalui jalur Ya’la bin Al-Asydaq, Abdullah bin Jarad menceritakan kepada kami, Abu Ad-Darda` berkata, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq jilid 27 hal. 241.
        Semua bermuara pada rawi yang bernama Ya’la bin Al-Asydaq. Mari kita lihat apa komentar para ulama jarh wa ta’dil terhadap orang ini:
v Al-Bukhari mengatakan, “Tidak boleh ditulis haditsnya”.[2]
v Abu Hatim mengatakan dia itu “laisa bi syai`in dhaiful hadits” (tak teranggap, haditsnya lemah).[3]
v Abu Zur’ah mengatakan, “Bagiku dia itu tidak jujur, bukan apa-apa dalam bidang hadits. Dia pernah datang ke Riqqah lalu mengatakan, “Aku bertemu dengan seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bernama Abdullah bin Jarad”, lalu mereka (penduduk Riqqah) membayarnya agar dia bersedia meriwayatkan dari sahabat Nabi itu, kemudian dia memalsukan empat puluh hadits.”[4]
v Ibnu Hibban mengatakan, “Tidak halal meriwayatkan darinya dalam keadaan apapun dan tidak boleh pula berhujjah dengannya, tidak boleh menulis haditsnya kecuali bagi orang-orang khusus bila untuk mempelajari saja.”[5]
v Ibnu Adi mengatakan, “Dia biasa meriwayatkan hadits-hadits munkar dari pamannya dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Dia dan pamannya (Abdullah Jarad) tidak dikenal.”[6]
v Adz-Dzahabi memasukkannya dalam kitab Al-Mughni Fid Dhu’afa` 2/760, no. 7208 dan menukil pernyataan Al-Bukhari dan Ibnu Hibban dan menyetujuinya.
v Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (3/219) nomor hadits 4394 mengatakan, “Ya’la ini matruk”, dan di (3/480) kitab Haji dan Umrah, bab: Keutaman Haji dan Umrah hadits nomor 5277 dia katakan, “Di dalamnya ada Ya’la Al-Asydaq dan dia itu pendusta”.

        Dengan demikian maka hadits dari Abu Ad-Darda` dengan redaksi di atas adalah hadits palsu lantaran Ya’la bin Al-Asydaq yang matruk dan sering meriwayatkan hadits yang munkar.

Ayat senada:

        Meski demikian potongan akhir dari hadits di atas benar dan selaras dengan firman Allah:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.”
(Qs. An-Nahl : 105).
        Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa sifat dusta itu hanya orang kafir, karena mereka tidak berharap pahala dari kejujuran dan tak takut dosa bilapun berdusta. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya terhadap ayat ini.

Hadits senada:

        Adapun riwayat hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa` tapi redaksinya berbeda yaitu dari Shafwan bin Sulaim, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ditanya, ”Apakah seorang mukmin memungkinkan untuk jadi penakut?” Beliau menjawab, ”Mungkin saja.” Beliau ditanya lagi, ”Apakah seorang mukmin mungkin bersifat bakhil?” Beliau menjawab, ”Mungkin saja.” Lalu beliau ditanya lagi, ”Apakah seorang mukmin mungkin jadi pendusta?” Beliau menjawab, ”Tidak bisa.”[7]
        Riwayat Malik ini dha’if karena mursal, sebab Shafwan bin Sulaim bukan sahabat Nabi bahkan tabi’in junior, sehingga isnadnya terputus dari tabi’in kepada Nabi (mursal).
        Ibnu Abdul Barr mengomentari riwayat ini dalam kitabnya At-Tamhid (16/253), ”Saya tidak tahu ada riwayat yang bersambung dan tsabit dengan redaksi seperti ini, tapi dia hadits hasan.”
        Saya tidak mengerti apa maksud kalimat Ibnu Abdil Barr bahwa hadits ini hasan. Yang jelas dari segi sanad tidak bisa menjadi hasan, kecuali kalau Ibnu Abdil Barr punya maksud lain dari kalimat itu, misalnya dia menganggap makna hadits itu yang bagus. Tapi dalam keterangan selanjutnya Ibnu Abdil Barr menyebutkan beberapa hadits yang lebih baik sanadnya bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menjauhkan seorang mukmin dari sifat bakhil dan pengecut.
        Kemudian Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Abu Umamah secara marfu’,
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ: سَمِعْتُ الْأَعْمَشَ قَالَ: حُدِّثْتُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلَالِ كُلِّهَا إِلَّا الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ "
”Waki’ menceritakan kepada kami, dia berkata, Aku mendengar Al-A’masy berkata, Aku diceritakan dari Abu Umamah yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Seorang mukmin itu diciptakan dalam dirinya semua jenis sifat jelek kecuali dusta dan khianat”.
        Akan tetapi isnadnya dha’if karena Al-A’masy tidak menyebutkan siapa yang menceritakannya dari Abu Umamah.[8]

Kesimpulan:
        Hadits dengan redaksi yang kita bahas di atas tidak boleh diriwayatkan atas nama hadits Rasulullah karena kelemahannya sangat parah bahkan bisa jadi palsu sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah nomor hadits 5521.



Anshari Taslim
Bekasi, 11 Desember 2011.



[1] Saya juga pernah ditanya tentang hadits ini di sebuah majlis pengajian, kebetulan waktu itu saya hanya sebagai pendengar dan bukan penyampai materi, tapi ketika ada jamaah yang menanyakan hal itu, si ustadznya melempar pertanyaan kepada saya karena dia tahu saya sedikit mengerti tentang hadits. Lalu saya jawab saja memang ada hadits dengan bunyi seperti itu, tapi saya tidak mengomentari apakah dia shahih atau tidak karena saya memang belum tahu. Ketika pulang ke rumah barulah saya mencarinya di kitab-kitab dan menemukan hadits itu sangat lemah. Semoga saya bisa bertemu dengan penanya tadi dan menjelaskan kepadanya.
[2] At-Tarikh Al-Awsath, tahqiq: Taisir bin Sa’d, terbitan Dar Ar-Rusyd – Riyadh tahun 2005, jilid 4 hal. 654, nomor rawi: 1002.
[3] Al-Jarh wa At-Ta’dil 9/303-304.
[4] Ibid.
[5] Kitab Al-Majruhin 3/142, nomor rawi: 1246, tahqiq: Mahmud Ibrahim Zayid.
[6] Al-Kamil fii Adh-Dhu’afa` 9/184
[7] Al-Muwaththa`, no. 3630, tahqiq Al-A’zhami.
[8] Lihat keterangan lengkap Syekh Syuaib Al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad 36/504, nomor hadits: 22170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar