Dusta adalah
salah satu perbuatan tercela bahkan ada ungkapan yang menyebutnya sebagai
pangkal dari segala dosa. Tak terhitung pula banyaknya ayat Al-Quran dan hadits
yang mengecam perbuatan buruk ini. Sehingga semua orang muslim tahu bahwa
berdusta bukan hanya dosa kepada Allah tapi juga mentalitas rusak yang dapat
merugikan pemiliknya.
Di antara
hadits yang sering diungkapkan oleh para khathib dan dai di mimbar-mimbar
ceramah agama[1]
sebagai dalil keharaman dusta dan betapa tak pantasnya perbuatan ini disandang
orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah hadits dengan redaksi
sebegai berikut, Ath-Thabari meriwayatkan,
وَحَدَّثَنِي
عُمَرُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْهَمْدَانِيُّ، قَالَ:حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ
الْأَشْدَقِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَرَادٍ، قَالَ: قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ يَسْرِقُ الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «قَدْ يَكُونُ ذَلِكَ» .
قَالَ: فَهَلْ يَزْنِي الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «بَلَى، وَإِنْ كَرِهَ أَبُو
الدَّرْدَاءِ» قَالَ: هَلْ يَكْذِبُ الْمُؤْمِنُ؟ قَالَ: «إِنَّمَا يَفْتَرِي
الْكَذِبَ مَنْ لَا يُؤْمِنُ، إِنَّ الْعَبْدَ يَزِلُّ الزَّلَّةَ ثُمَّ يَرْجِعُ
إِلَى رَبِّهِ فَيَتُوبُ، فَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِ»
“Umar bin Ismail Al-Hamdani menceritakan kepadaku, dia
berkata, Ya’la bin Al-Asydaq menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin Jarad,
dia berkata, Abu Ad-Darda` berkata, “Wahai Rasulullah, apakah seorang mukmin
mungkin berdusta? Beliau menjawab, “Kadang ada.” Dia bertanya lagi, “Apakah
seorang mukmin mungkin berzina?” Beliau
menjawab, “Bisa jadi. Meski Abu Ad-Darda` tidak suka.” Dia bertanya lagi,
“Apakah seorang mukmin berdusta?” Beliau menjawab, “Tidak, karena yang berdusta
itu hanyalah orang yang tidak beriman. Sesungguhnya seorang hamba bisa saja
tergelincir (dalam dosa) kemudian kembali kepada Tuhannya dan bertaubat lalu
Allah pun menerima taubatnya.”
(Ini yang terdapat dalam Tahdzib Al-Atsar oleh
Ath-Thabari di juz musnad Ali bin Abi Thalib yang ditahqiq oleh Mahmud Syakir,
nomor hadits 244).
Takhrij:
Hadits ini diriwayatkan oleh, Ath-Thabari dalam Tahdzib
Al-Atsar, Ibnu Abi Ad-Dunya dalam kitab Ash-Shamt wa Adab Al-Lisan (tahqiq
Al-Huwaini), no. 474, Al-Khara`ithi dalam Masawi` Al-Akhlaq, no. 132,
Al-Khathib Al-Baghdadi dalam tarikhnya jilid 6 hal. 272, biografi Ismail bin
Khalid bin Sulaiman Al-Marwazi, semua melalui jalur Ya’la bin Al-Asydaq,
Abdullah bin Jarad menceritakan kepada kami, Abu Ad-Darda` berkata, Ibnu Asakir
dalam Tarikh Dimasyq jilid 27 hal. 241.
Semua bermuara pada rawi yang bernama Ya’la bin
Al-Asydaq. Mari kita lihat apa komentar para ulama jarh wa ta’dil terhadap
orang ini:
v Al-Bukhari mengatakan, “Tidak boleh
ditulis haditsnya”.[2]
v Abu Hatim mengatakan dia itu “laisa
bi syai`in dhaiful hadits” (tak teranggap, haditsnya lemah).[3]
v Abu Zur’ah mengatakan, “Bagiku dia
itu tidak jujur, bukan apa-apa dalam bidang hadits. Dia pernah datang ke Riqqah
lalu mengatakan, “Aku bertemu dengan seorang sahabat Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam bernama Abdullah bin Jarad”, lalu mereka (penduduk Riqqah)
membayarnya agar dia bersedia meriwayatkan dari sahabat Nabi itu, kemudian dia
memalsukan empat puluh hadits.”[4]
v Ibnu Hibban mengatakan, “Tidak halal
meriwayatkan darinya dalam keadaan apapun dan tidak boleh pula berhujjah
dengannya, tidak boleh menulis haditsnya kecuali bagi orang-orang khusus bila
untuk mempelajari saja.”[5]
v Ibnu Adi mengatakan, “Dia biasa
meriwayatkan hadits-hadits munkar dari pamannya dari Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam. Dia dan pamannya (Abdullah Jarad) tidak dikenal.”[6]
v Adz-Dzahabi memasukkannya dalam
kitab Al-Mughni Fid Dhu’afa` 2/760, no. 7208 dan menukil pernyataan Al-Bukhari
dan Ibnu Hibban dan menyetujuinya.
v Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id
(3/219) nomor hadits 4394 mengatakan, “Ya’la ini matruk”, dan di (3/480) kitab
Haji dan Umrah, bab: Keutaman Haji dan Umrah hadits nomor 5277 dia katakan, “Di
dalamnya ada Ya’la Al-Asydaq dan dia itu pendusta”.
Dengan
demikian maka hadits dari Abu Ad-Darda` dengan redaksi di atas adalah hadits
palsu lantaran Ya’la bin Al-Asydaq yang matruk dan sering meriwayatkan hadits
yang munkar.
Ayat senada:
Meski demikian potongan akhir dari hadits di atas benar
dan selaras dengan firman Allah:
إِنَّمَا
يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَاذِبُونَ
”Sesungguhnya
yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka Itulah orang-orang pendusta.”
(Qs. An-Nahl : 105).
Dalam ayat
ini Allah menegaskan bahwa sifat dusta itu hanya orang kafir, karena mereka
tidak berharap pahala dari kejujuran dan tak takut dosa bilapun berdusta.
Demikian yang dijelaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya terhadap
ayat ini.
Hadits senada:
Adapun
riwayat hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa`
tapi redaksinya berbeda yaitu dari Shafwan bin Sulaim, Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam ditanya, ”Apakah seorang mukmin memungkinkan untuk jadi
penakut?” Beliau menjawab, ”Mungkin saja.” Beliau ditanya lagi, ”Apakah seorang
mukmin mungkin bersifat bakhil?” Beliau menjawab, ”Mungkin saja.” Lalu beliau
ditanya lagi, ”Apakah seorang mukmin mungkin jadi pendusta?” Beliau menjawab,
”Tidak bisa.”[7]
Riwayat
Malik ini dha’if karena mursal, sebab Shafwan bin Sulaim bukan sahabat Nabi
bahkan tabi’in junior, sehingga isnadnya terputus dari tabi’in kepada Nabi
(mursal).
Ibnu Abdul
Barr mengomentari riwayat ini dalam kitabnya At-Tamhid (16/253), ”Saya tidak
tahu ada riwayat yang bersambung dan tsabit dengan redaksi seperti ini, tapi
dia hadits hasan.”
Saya tidak
mengerti apa maksud kalimat Ibnu Abdil Barr bahwa hadits ini hasan. Yang jelas
dari segi sanad tidak bisa menjadi hasan, kecuali kalau Ibnu Abdil Barr punya
maksud lain dari kalimat itu, misalnya dia menganggap makna hadits itu yang
bagus. Tapi dalam keterangan selanjutnya Ibnu Abdil Barr menyebutkan beberapa
hadits yang lebih baik sanadnya bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
menjauhkan seorang mukmin dari sifat bakhil dan pengecut.
Kemudian
Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Abu Umamah secara marfu’,
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ: سَمِعْتُ الْأَعْمَشَ قَالَ: حُدِّثْتُ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُطْبَعُ
الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلَالِ كُلِّهَا إِلَّا الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ "
”Waki’ menceritakan kepada kami, dia berkata, Aku
mendengar Al-A’masy berkata, Aku diceritakan dari Abu Umamah yang berkata,
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, ”Seorang mukmin itu
diciptakan dalam dirinya semua jenis sifat jelek kecuali dusta dan khianat”.
Akan tetapi
isnadnya dha’if karena Al-A’masy tidak menyebutkan siapa yang menceritakannya
dari Abu Umamah.[8]
Kesimpulan:
Hadits
dengan redaksi yang kita bahas di atas tidak boleh diriwayatkan atas nama
hadits Rasulullah karena kelemahannya sangat parah bahkan bisa jadi palsu
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah
nomor hadits 5521.
Anshari Taslim
Bekasi, 11 Desember 2011.
[1]
Saya juga pernah ditanya tentang hadits ini di sebuah majlis pengajian,
kebetulan waktu itu saya hanya sebagai pendengar dan bukan penyampai materi,
tapi ketika ada jamaah yang menanyakan hal itu, si ustadznya melempar
pertanyaan kepada saya karena dia tahu saya sedikit mengerti tentang hadits.
Lalu saya jawab saja memang ada hadits dengan bunyi seperti itu, tapi saya
tidak mengomentari apakah dia shahih atau tidak karena saya memang belum tahu.
Ketika pulang ke rumah barulah saya mencarinya di kitab-kitab dan menemukan
hadits itu sangat lemah. Semoga saya
bisa bertemu dengan penanya tadi dan menjelaskan kepadanya.
[2]
At-Tarikh Al-Awsath, tahqiq: Taisir bin Sa’d, terbitan Dar Ar-Rusyd – Riyadh
tahun 2005, jilid 4 hal. 654, nomor rawi: 1002.
[3] Al-Jarh wa At-Ta’dil 9/303-304.
[4] Ibid.
[5] Kitab Al-Majruhin 3/142, nomor
rawi: 1246, tahqiq: Mahmud Ibrahim Zayid.
[6]
Al-Kamil fii Adh-Dhu’afa` 9/184
[7] Al-Muwaththa`, no. 3630, tahqiq
Al-A’zhami.
[8] Lihat keterangan lengkap Syekh Syuaib
Al-Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad 36/504, nomor hadits: 22170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar