Masbuq
yang masuk ke dalam shalat bersama imam wajib bertabiratul ihram dalam keadaan
berdiri (kalau dia mampu berdiri). Ini adalah kesepakatan para ulama.
Apakah
dia wajib juga takbir intiqal (takbir perpindahan dari satu rukun ke rukun
lain)? Dalam masalah ini ada beberapa rincian para fukaha.
Madzhab Hanafi
Dalam
madzhab Hanafi kita dapati penjelasan salah satu kitab rujukannya yaitu Bada`I’
Ash-Shana`I’ (1/129) karya Abu Bakar Al-Kasani sebagai berikut:
ثُمَّ الْمُقْتَدِي إذَا وَجَدَ الْإِمَامَ فِي حَالِ الْقِيَامِ يُكَبِّرُ
لِلِافْتِتَاحِ قَائِمًا، ثُمَّ يُتَابِعُهُ فِي الْقِيَامِ وَيَأْتِي بِالثَّنَاءِ
وَإِنْ وَجَدَهُ فِي الرُّكُوعِ يُكَبِّرُ لِلِافْتِتَاحِ قَائِمًا، ثُمَّ يُكَبِّرُ
أُخْرَى مَعَ الِانْحِطَاطِ لِلرُّكُوعِ، وَيُتَابِعُهُ فِي الرُّكُوعِ، وَيَأْتِي
بِتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَإِنْ وَجَدَهُ فِي الْقَوْمَةِ الَّتِي بَيْنَ الرُّكُوعِ
وَالسُّجُودِ، أَوْ فِي الْقَعْدَةِ الَّتِي بَيْن السَّجْدَتَيْنِ يُتَابِعُهُ فِي
ذَلِكَ وَيَسْكُتُ
“Kemudian, seorang makmum bila mendapati imam
sedang berdiri maka dia harus bertakbir untuk pembuka shalat (takbiratul ihram)
dalam keadaan berdiri, kemudian mengikuti imamnya dalam hal berdiri, dia juga
membaca doa pujian (doa iftitah –penerj). Kalau dia mendapati imam dalam
keadaan ruku’ maka dia bertakbir iftitah (ihram –penerj) dalam keadaan berdiri,
kemudian takbir lagi disertai membungkuk
untuk ruku’, lalu dia mengikuti imamnya itu dalam ruku’, membaca tasbih-tasbih
ruku’.
Jika dia mendapatinya dalam keadaan berdiri antara
ruku’ dan sujud atau ketika duduk antara dua sujud maka dia ikut dalam hal itu
dan diam.”
Secara
lahiriah pernyataan Al-Kasani ini menunjukkan kalau masbuq mendapati imam
sedang I’tidal maka dia tidak lagi takbir (karena memang I’tidal tidak ada
takbirnya) dengan tetap takbiratul ihram tentunya. Begitu pula ketika
mendapatinya sedang duduk antara dua sujud, maka cukup sekali takbir yaitu
takbiratul ihram tanpa takbir menuju duduk dua sujud.
Akan
tetapi Ibnu Nujaim dalam kitab Al-Bahr Ar-Ra`iq syarh Kanz Ad-Daqa`iq (1/329) menjelaskan,
وَإِنْ أَدْرَكَ إمَامَهُ فِي الْقَعْدَةِ فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي بِالثَّنَاءِ
بَلْ يُكَبِّرُ لِلِافْتِتَاحِ، ثُمَّ لِلِانْحِطَاطِ، ثُمَّ يَقْعُدُ، وَقِيلَ
يَأْتِي بِالثَّنَاءِ
“Apabila dia mendapati imam dalam keadaan duduk
maka dia tak perlu membaca dzikir pujian (doa iftitah –penerj), melainkan
takbir iftitah (ihram) kemudian takbir lagi untuk duduk. Ada pula yang mengatakan
dia membaca dzikir pujian (doa iftitah).”
Madzhab Maliki
Penjelasan
para ulama Malikiyyah bisa dilihat antara lain dalam kitab Asy-Syarh Al-Kabir
oleh Ad-Dardir yang merupakan penjelasan kitab ringkas yang disusun oleh
Al-Khalil yang terkenal dengan nama Mukhtashar Khalil sebagai berikut:
(وَكَبَّرَ
الْمَسْبُوقُ) تَكْبِيرَةً غَيْرَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ (لِرُكُوعٍ) وَجَدَ الْإِمَامَ
مُتَلَبِّسًا بِهِ وَيَعْتَدُّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ إنْ أَدْرَكَهَا (أَوْ سُجُودٍ)
أَيْ وَكَبَّرَ لِسُجُودٍ وَجَدَ الْإِمَامَ بِهِ غَيْرَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ
أَيْضًا وَلَا يَعْتَدُّ بِرَكْعَةٍ
“Kemudian masbuq bertakbir satu kali lagi selain
takbiratul ihram untuk ruku’ ketika dia mendapati imam melakukan itu dan dia
terhitung dapat raka’at tersebut kalau mendapatinya. Atau sujud, maksudnya dia
bertakbir lagi untuk sujud jika mendapati imam sedang sujud selain dari
takbiratul ihram, tapi kali ini tidak dapat raka’at tersebut.” (Asy-Syarh Al-Kabir oleh Ad-Dardir jilid 1 hal.
345).
Kemudian
dia menjelaskan untuk yang mendapati imam dalam posisi duduk,
(لَا)
يُكَبِّرُ غَيْرَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ (لِجُلُوسٍ) أَوَّلٍ أَوْ ثَانٍ وَجَدَ
الْإِمَامَ بِهِ بَلْ يُكَبِّرُ لِلْإِحْرَامِ مِنْ قِيَامٍ وَيَجْلِسُ بِلَا تَكْبِيرٍ
“Tidak lagi bertakbir selain takbiratul ihram
untuk duduk baik duduk pertama (duduk antara dua sujud) maupun duduk kedua
(duduk tasyahhud) jika dia mendapati imam dalam posisi tersebut. Dia cukup
takbiratul ihram dari posisi berdiri dan duduk tanpa takbir.” (ibid).
Dengan
demikian menurut madzhab Maliki kalau mendapati imam sedang ruku’ atau sujud
maka masbuq bertakbir dua kali yaitu takbiratul ihram dan takbir intiqal
(perpindahan) menuju ruku’ dan sujud. Sedangkan kalau mendapati imam sedang duduk
maka takbirnya cukup satu kali yaitu takbiratul ihram dan langsung duduk.
Madzhab Asy-Syafi’i
Untuk
mengetahui pendapat madzhab Asy-Syafi’I dalam hal ini kita perhatikan
pernyataan Asy-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab ():
وإن أدركه وهو راكع كبر للإحرام وهو قائم ثم كبر للركوع ويركع
“Jika dia mendapati imam sedang ruku’ maka
hendaklah dia bertakbir ihram dalam keadaan berdiri lalu bertakbir lagi untuk
ruku’ baru kemudian ruku’.”
Dalam
hal ini sama dengan pendapat-pendapat sebelumnya bahwa disyariatkan takbir
intiqal ke ruku’. Kemudian Asy-Syirazi melanjutkan,
وإن أدركه ساجدا كبر للإحرام ثم سجد من غير تكبير
“Apabila dia mendapati imam itu sedang sujud maka
dia bertakbir ihram kemudian sujud tanpa takbir lagi (takbir intiqal –penerj).”
Di
sini berbeda dengan dua madzhab sebelumnya yaitu untuk sujud juga dilakukan takbir
intiqal. Namun Asy-Syirazi setelah itu menyebutkan adanya perbedaan pendapat di
kalangan madzhab Syafi’iyyah sendiri,
ومن أصحابنا من قال: يكبر كما يكبر للركوع
“Sebagian ulama kami (madzhab Syafi’i) mengatakan
dia tetap harus takbir sebagaimana takbirnya untuk ruku’.”
Tapi
yang menjadi pegangan madzhab adalah tidak takbir ke sujud sebagaimana
dilanjutkan oleh Asy-Syirazi,
والمذهب الأول لأنه لم يدرك محل التكبير في السجود ويخالف إذا أدركه راكعا هذا موضع ركوعه ألا ترى يجزئه عن فرضه فصار كالمنفرد
“Yang dipegang dalam madzhab
adalah yang pertama (tidak takbir untuk sujud) karena dia tidak mendapati
tempat untuk bertakbir ketika sujud, beda halnya ketika akan ruku’ karena
memang itulah tempat takbirnya ke ruku’. Bukankah anda perhatikan bahwa dengan
mendapati ruku’ itu dia mendapati yang wajibnya sehingga sama seperti shalat
sendirian.”
Madzhab Hanbali
Ibnu
Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,
وعليه أن يأتي بالتكبيرة منتصبا فإن أتى بها بعد أن انتهى في الانحناء
إلى قدر الركوع أو ببعضها لم يجزه لأنه أتى بها في غير محلها إلَّا فِي النَّافِلَةِ ولأنه يفوته القيام وهو من
أركان الصلاة ثم يأتي بتكبيرة أخرى للركوع في حال انحطاطه إليه فألاولى ركن لا تسقط
بحال والثانية تكبيرة الركوع
“Dia (masbuq) harus melakukan takbir dalam keadaan
tegak berdiri. Kalau dia mengucapkannya ketika menunduk sampai seperti ruku’
atau sebagiannya maka tidak memadai karena dia melakukannya di luar tempat
seharusnya, kecuali dalam shalat sunnah. Sebab, dia telah ketinggalan ikut
berdiri (bersama imam) padahal itu adalah rukun shalat. Kemudian dia ucapkan
lagi takbir yang lain untuk ruku’.”
Demikian
kata Ibnu Qudamah, selanjutnya dia mengakui bahwa yang ditegaskan oleh Imam
Ahmad berdasarkan riwayat Abu Daud dan Shalih justru tidak ada takbir lagi
untuk ruku’ dan cukup takbiratul ihram.
Kemudian
selain ruku’ maka Ibnu Qudamah menjelaskan,
وَإِنْ أَدْرَكَ الْإِمَامَ فِي رُكْنٍ غَيْرِ الرُّكُوعِ، لَمْ يُكَبِّرْ
إلَّا تَكْبِيرَةَ الِافْتِتَاحِ، وَيَنْحَطُّ بِغَيْرِ تَكْبِيرٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يُعْتَدُّ
لَهُ بِهِ، وَقَدْ فَاتَهُ مَحَلُّ التَّكْبِيرِ.
“Kalau dia mendapati imam di salah satu rukun
selain ruku’ maka dia tak perlu lagi takbir selain takbir ihram. Dia langsung
saja turun tanpa takbir, karena takbir itupun tak terhitung untuknya karena dia
memang telah ketinggalan tempat untuk bertakbir.”
(Al-Mughni cetakan Maktabah Qahirah 1968 jilid 1
hal. 363-364).
Dengan
demikian pendapat Ibnu Qudamah yang mewakili madzhab Hanbali ini sesuai dengan pendapat
madzhab Syafi’iyyah.
Akan
tetapi memang diperoleh pernyataan berbeda dari Imam Ahmad yang juga dinukil
oleh Ibnu Qudamah sendiri dalam Al-Mughni dimana kalau masbuq mendapati imam
sedang ruku’ maka dia mengucapkan biratul ihram kemudian langsung ruku’ tanpa
takbir lagi. Namun Imam Ahmad tetap menyunnahkan takbir untuk itu karena ketika
ditanya oleh Abu Daud,
قُلْت لِأَحْمَدَ يُكَبِّرُ مَرَّتَيْنِ أَحَبُّ إلَيْك؟ قَالَ: إنْ كَبَّرَ
تَكْبِيرَتَيْنِ، لَيْسَ فِيهِ اخْتِلَافٌ.
“Aku katakana kepada Ahmad, apakah takbir dua kali
(ihram dan intiqal –penerj) lebih anda sukai? Dia menjawab, “Kalau dia takbir
dua kali maka tak ada perbedaan pendapat (akan bolehnya- penerj).”
Pendapat Para Sahabat dan Tabi’in.
Ibnu
Abi Syaibah dalam Mushannafnya menyebutkan beberapa riwayat terkait pendapat
dan pengamalan para sahabat dan tabi’in dalam masalah ini.
Di kitab Shalat beliau membuat bahasan dengan judul:
(في الرجل يدرك الإِمَامَ وَهُوَ رَاكِعٌ، هَلْ تُجْزِئُهُ تَكْبِيرَةٌ)
(Orang yang mendapati imam sedang ruku’ apakah cukup baginya hanya satu kali
takbir?)
Lalu
beliau menurunkan bebarapa atsar antara lain:
2520- حَدَّثنا عَبْدُ الأَعْلَى،
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَالِمٍ، عَنِ ابنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
قَالاَ: إِذَا أَدْرَكَ الرَّجُلُ الْقَوْمَ رُكُوعًا، فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ تَكْبِيرَةٌ
وَاحِدَةٌ.
“Abdul A’la menceritakan kepada kami, dari Ma’mar,
dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu Umar dan Zaid bin Tsabit yang berkata, “Apabila
seseorang mendapati jamaah telah ruku’ maka cukup baginya untuk bertakbir satu
kali.”
2521- حَدَّثنا وَكِيعٌ، عَنْ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ إِسْمَاعِيلَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ
وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ؛ أَنَّهُمَا كَانَا يَجِيئَانِ وَالإِمَامُ رَاكِعٌ فَيُكَبِّرَانِ
تَكْبِيرَةَ الافْتِتَاحِ لِلصَّلاَةِ وَلِلرَّكْعَةِ.
“Waki’ menceritakan kepada kami, dari Ibrahim bin
Ismail, dari Az-Zuhri, dari Urwah bin Zubair dan Zaid bin Tsabit bahwa mereka
kalau mendapati imam sedang ruku’ maka mereka bertakbir satu kali untuk
takbiratul ihram dan ruku’.”
2522- حَدَّثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ
عَيَّاشٍ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: وَاحِدَةٌ تُجْزِئَك.
“Abu Bakar bin Ayyasy menceritakan kepada kami,
dari Mughirah, dari Ibrahim, dia berkata, “Satu saja (takbir) sudah cukup
bagimu.”
2523- حَدَّثنا ابنُ عُلَيَّةَ،
قَالَ: قُلْتُ لابنِ أَبِي نَجِيحٍ: الرَّجُلُ يَنْتَهِي إِلَى الْقَوْمِ وَهُمْ رُكُوعٌ
فَيُكَبِّرُ تَكْبِيرَةً وَيَرْكَعُ؟ قَالَ: كَانَ مُجَاهِدٌ يَقُولُ: تُجْزِئهُ.
“Ibnu Ulayyah menceritakan kepada kami, dia
berkata, Aku bertanya kepada Ibnu Abi Najih, “Orang yang mendapati jamaah
sedang ruku’ lalu dia bertakbir satu kali saja lalu ruku’?” Dia menjawab, “Mujahid
pernah mengatakan bahwa itu telah mencukupinya.”
2524- حَدَّثنا ابنُ نُمَيْرٍ،
عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: تُجْزِئهُ التَّكْبِيرَةُ وَإِنْ زَادَ
فَهُوَ أَفْضَلُ.
“Ibnu Numair menceritakan kepada kami, dari Abdul
Malik, dari ‘Atha` yang berkata, “Cukup baginya satu kali takbir, tapi kalau
dia menambah (satu takbir lagi –penerj) maka lebih bagus.”
2525- حَدَّثنا غُنْدَرٌ، عَنْ
سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ ابنِ المُسَيَّبِ، قَالَ: تُجْزِئهُ التَّكْبِيرَةُ
“Ghundar menceritakan kepada kami, dari Sa’id,
dari Qatadah, dari Ibnu Al-Musayyib, dia berkata, “Cukup baginya satu kali
takbir.”
2526- حَدَّثنا ابنُ مَهْدِيٍّ،
عَنْ أَبِي عُمَارَةَ، عَنْ بَكْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: كَبِّرْ تَكْبِيرَةً.
“Ibnu Mahdi menceritakan kepada kami, dari Abu
Umarah, dari Bakr, dia berkata, Aku mendengarnya berkata, “Takbirlah satu kali
saja.”
2527- حَدَّثنا خَالِدُ بْنُ حَيَّانَ،
عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ مَيْمُونٍ: تُجْزِئهُ تَكْبِيرَةٌ.
“Khalid bin Hayyan menceritakan kepada kami, dari
Ja’far, dari Maimun, “Cukup baginya bertakbir satu kali.”
2528- حَدَّثنا ابنُ عُلَيَّةَ،
عَنْ يُونُسَ، عَنِ الْحَسَنِ؛ أَنَّهُ كَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُكَبِّرَ تَكْبِيرَتَيْنِ،
فَإِنْ عَجِلَ أَوْ نَسِيَ فَكَبَّرَ تَكْبِيرَةً أَجْزَأَهُ.
“Ibnu Ulayyah menceritakan kepada kami, dari
Yunus, dari Hasan, bahwa dia menyukai untuk takbir dua kali, tapi kalau mau
buru-buru atau lupa dan takbir satu kali saja maka itu mencukupi.”
2529- حَدَّثنا وَكِيعٌ، عَنْ
شُعْبَةَ، قَالَ: سَأَلْتُ الْحَكَمَ، فَقَالَ: تُجْزِئُهُ تَكْبِيرَةٌ.
“Waki’ menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dia
berkata, Aku bertanya kepada Al-Hakam (tentang hal ini) maka dia menjawab, “Cukup
satu kali takbir saja.”
Kemudian
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan siapa saja yang berpendapat harus dua kali takbir
(takbir ihram dan tkabir intiqal ke ruku’):
2530- حَدَّثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
عَيَّاشٍ، عَنْ عَمْرو بْنِ مُهَاجِرِ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَالَ:
يُكَبِّرُ تَكْبِيرَتَيْنِ.
“Ismail bin Ayyasy menceritakan kepada kami, dari
Amr bin Muhajir, dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata, “Dia harus takbir dua
kali.”
2531- حَدَّثنا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ،
عَنْ رَبِيعٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ الْحَنَفيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ ابنَ سِيرِينَ عَنِ
الرَّجُلِ يَجِيءُ إِلَى الإِمَامِ وَهُوَ رَاكِعٌ؟ قَالَ: لِيَفْتَتِح الصَّلاَةَ
بِتَكْبِيرَةٍ، وَيُكَبِّرُ لِلرُّكُوعِ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلا يُجْزِئُهُ.
“Zaid bin Hubab menceritakan kepada kami, dari
Rabi’, dari Ibrahim Al-Hanafi yang berkata, Aku bertanya kepada Ibnu Sirin tentang
seorang yang mendapati imam sedang ruku’ maka dia menjawab, “Dia harus takbir
iftitah shalat dulu baru kemudian takbir untuk ruku’. Kalau tidak demikian maka
tidak sah baginya.”
2532- حَدَّثنا إِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ، عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: يُكَبِّرُ تَكْبِيرَةً الافْتِتَاح وَيُكَبِّرُ لِلرُّكُوعِ.
“Ishaq bin MAnshur menceritakan kepada kami, dari
Hammad bin Salamah, dari ‘Atha` bin Sa`ib, dari Abu Abdurrahman yang berkata, “Dia
harus takbir untuk iftitah dan takbir juga untuk ruku’.”
Demikian riwayat-riwayat yang dipaparkan oleh Ibnu
Abi Syaibah, jadi bisa dilihat dua orang sahabat Nabi yaitu Abdullah bin Umar
dan Zaid bin Tsabit mencukupkan diri dengan satu kali takbir saja dan tak perlu
lagi takbir ruku’. Sedangkan tabi’in yang mengikuti pendapat ini adalah Urwah
bin Zubair, Ibrahim An-Nakha’I, Hasan Al-Bashri, Al-Hakam bin Utaibah, Maimun
bin Mihran, ‘Atha` bin Abi Rabah, Mujahid, Sa’id bin Al-Musayyib dan Bakr (saya
belum tahu Bakr siapa yang dimaksud di sini).
Sedangkan
yang mengatakan harus takbir dua kali tidak diperoleh dari sahabat tapi hanya
dari tabi’in yaitu Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Sirin dan Abu Abdurrahman
(kemungkinan adalah As-Sulami).
Kesimpulan
Dalam
hal ini penulis berkesimpulan bahwa disyariatkan takbir intiqal ketika ruku’
dan tidak disyariatkan lagi untuk selain ruku’ seperti dalam madzhab Hanbali.
Tapi kalau mau bertakbir juga maka tak masalah. Kalau untuk ke ruku’ saja tidak
disyariatkan apalagi rukun yang lain seperti di kala sujud, duduk dan I’tidal yang
memang tidak ada takbirnya. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim, 3 April 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar