Tanya:
Apakah keputihan yang biasa keluar pada
wanita itu termasuk najis, sehingga pakaian yang terkena harus dicuci?
Para
santri Bina Insan Kamil.
Jawab:
Keputihan adalah getah atau cairan yang keluar dari vagina,
yang ditimbulkan oleh jamur. Dalam ilmu Kedokteran disebut jamur candida.
Kelembaban dan kehangatan vagina, merupakan lingkungan yang ideal untuk
pertumbuhan dan berkembang biaknya jamur. Getah atau cairan yang ditimbulkan
keputihan berwarna putih, kental, keruh dan
kekuning-kuningan. Biasanya rasanya gatal, membuat vagina meradang dan luka.
Mengenai suci atau najisnya keputihan
maka para ulama berbeda pendapat. Berdasarkan apa yang disebut dalam
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fiqih dari Kuwait) entri
kata (Ruthubah = keputihan) vol. 22, hal. 259-260 sebagai berikut:
“Para ulama fikih
berbeda pendapat tentang status kesucian cairan lendir (keputihan) ini, yaitu
cairan putih antara madzi dan keringat. Abu Hanifah dan para ulama madzhab
Hanbali berpendapat bahwa keputihan itu suci (bukan najis), karena cairan yang
keluar saat melahirkan (ketuban) dihukumi suci. Menurut ulama madzhab Maliki
kesucian itu selama dia bukan darah dan tidak tercampur dengan madzi atau mani
pria ataupun wanita.
Sementara madzhab
Maliki dan Abu Yusuf serta Muhammad (bin Hasan) dari kalangan murid Abu Hanifah
berpendapat bahwa keputihan wanita itu najis, akibatnya kemaluan pria yang
mengenai kemaluan wanita menjadi bernajis, begitu pula kalau memasukkan jari
atau kain ke dalam vagina (akan terkena najis akibat kena keputihan –penerj).
Sedangkan madzhab
Syafi’I membagi cairan lendir pada wanita itu menjadi tiga kategori:
1. Yang pasti suci (bukan najis) yaitu yang terletak pada sisi
yang tampak ketika wanita sedang jongkok dan sisi itu wajib dicuci saat mandi
maupun cebok.
2. Yang pasti najis, yaitu yang berada di liang vagina yang
tidak terjangkau oleh penis pria yang menyetubuhi.
3. Suci menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab
Syafi’i yaitu cairan yang masih berada dalam vagina dan tersentuh kemaluan pria
yang menyetubuhi.
Madzhab Asy-Syafi’i
Di kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri
ada dua pandangan dalam masalah ini. Sebagian mereka menganggap keputihan itu
suci dan sebagian lagi menganggapnya najis. An-Nawawi merangkumnya dalam
Al-Majmu’ ketika menjelaskan keterangan Asy-Syirazi,
رُطُوبَةُ الْفَرْجِ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ
فَلِهَذَا اُخْتُلِفَ فِيهَا ثُمَّ إنَّ الْمُصَنِّفَ رَحِمَهُ اللَّهُ رَجَّحَ هُنَا
وَفِي التَّنْبِيهِ النَّجَاسَةَ وَرَجَّحَهُ أَيْضًا الْبَنْدَنِيجِيُّ: وَقَالَ الْبَغَوِيّ
وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا الْأَصَحُّ الطَّهَارَةُ وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي
فِي بَابِ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ نَصَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي بَعْضِ
كُتُبِهِ عَلَى طَهَارَةِ رُطُوبَةِ الْفَرْجِ وَحُكِيَ التَّنْجِيسُ عَنْ ابْنِ سُرَيْجٍ
فَحَصَلَ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ لِلشَّافِعِيِّ أَحَدُهُمَا مَا
نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْآخَرُ نَقَلَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي وَالْأَصَحُّ طهارتها
“Basah yang ada pada kemaluan wanita (keputihan) adalah cairan putih
antara madzi dan keringat. Makanya ada perbedaan pendapat padanya. Kemudian,
penulis (Asy-Syirazi) rahimahullah menguatkan pendapat bahwa itu najis di sini
(di kitab Al-Muhadzdzab) juga dalam kitab At-Tanbih. Demikian pula Al-Bandaniji
menguatkan pendapat tersebut.
Sementara Al-Baghawi, Ar-Rafi’i dan lainnya mengatakan bahwa yang paling
benar adalah sucinya keputihan itu. Penulis kitab Al-Hawi (Al-Mawardi –penerj)
menyatakan dalam bab hal-hal yang mewajbkan mandi, “Asy-Syafi’I dalam beberapa
kitabnya menegaskan sucinya keputihan wanita.”
Tapi diriwayatkan dari Ibnu Suraij bahwa itu najis, sehingga dalam
masalah ini ada dua nash (pernyataan) dari Asy-Syafi’I sendiri, salah satunya
adalah najis sebagaimana yang dikuatkan oleh Asy-Syirazi dan pendapat lain
dinukil oleh penulis kitab Al-Hawi. Yang paling benar adalah suci.”[1]
Dengan demikian menurut An-Nawawi yang paling
kuat adalah sucinya keputihan pada wanita.
Akan tetapi An-Nawawi juga mengungkapkan
dalil yang mengatakan najis adalah hadits Ubay bin Ka’b dan hadits Utsman bin
Affan dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan orang yang habis
menyetubuhi istrinya untuk mencuci kemaluannya. Pemahaman dari hadits ini
perintah mencuci itu menunjukkan bahwa kemaluan yang masuk ke vagina pastinya
akan terkena cairan wanita di dalam vaginanya dan itu indikasi najis, kalau tidak
najis mengapa harus dicuci?
Tapi ini bisa dijawab bahwa bisa jadi
itu bukan lantaran keputihan tapi lantaran bersentuhan dengan madzi wanita yang
ada di dalam, sementara madzi baik pria maupun wanita para ulama sepakat dia
adalah najis.
Kesimpulan ini juga didukung oleh Ibnu
Taimiyah dalam Syarh Umdatul Fiqh 1/112:
وأما الرطوبة التي في فرج المرأة فطاهر في اقوى الروايتين
“Adapun keputihan yang
ada pada vagina wanita maka itu suci (bukan najis) menurut yang terkuat
diantara dua riwayat yang ada.”
Memang tidak ada dalil yang tegas menyatakan suci atau najisnya
keputihan ini. Inilah yang membuat sebagian ulama menyatakan sucinya keputihan
itu, karena untuk menghukumi suatu benda sebagai najis harus ada dalil yang
shahih dan tegas.
Makanya, Syekh
Musthafa Al-Adawi dalam bukunya Al-Jami’ fii Ahkam An-Nisaa`, jilid 1 hal. 66
menyatakan:
“Dengan melihat lebih mendalam terhadap keterangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada dalil tegas yang menunjukkan keputihan wanita
hukumnya najis. Sementara hadis yang dibawakan Al-Bukhari, yang ada pernyataan,
“Dia harus berwudhu sempurna dan mencuci kemaluannya” tidaklah
menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci kemaluan dalam kasus itu disebabkan
keputihan wanita, karena bisa jadi lantaran madzi. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan al-Miqdad ketika dia
bertanya tentang madzi, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia harus
berwudhu dan mencuci kemaluannya.’”
Dari sini kami
mengambil kesimpulan bahwa keputihan itu suci dan tidak najis, sehingga pakaian
yang terkenanya tidak ternajisi. Namun begitu dia tetaplah harus dibersihkan
sebagaimana ingus dan dahak, yang bukan najis, tapi tetap harus dibersihkan
demi kesopanan dan kepantasan apalagi dalam shalat. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
24 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar