Kamis, 24 Maret 2016

Keputihan Pada Wanita Najis Atau Bukan?


Tanya:
        Apakah keputihan yang biasa keluar pada wanita itu termasuk najis, sehingga pakaian yang terkena harus dicuci?

Para santri Bina Insan Kamil.


Jawab:
        Keputihan adalah getah atau cairan yang keluar dari vagina,  yang ditimbulkan oleh jamur. Dalam ilmu Kedokteran disebut jamur candida. Kelembaban dan kehangatan vagina, merupakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan berkembang biaknya jamur. Getah atau cairan yang ditimbulkan keputihan berwarna putih, kental, keruh dan     kekuning-kuningan. Biasanya rasanya gatal, membuat vagina meradang dan luka.
        Mengenai suci atau najisnya keputihan maka para ulama berbeda pendapat. Berdasarkan apa yang disebut dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fiqih dari Kuwait) entri kata (Ruthubah = keputihan) vol. 22, hal. 259-260 sebagai berikut:
“Para ulama fikih berbeda pendapat tentang status kesucian cairan lendir (keputihan) ini, yaitu cairan putih antara madzi dan keringat. Abu Hanifah dan para ulama madzhab Hanbali berpendapat bahwa keputihan itu suci (bukan najis), karena cairan yang keluar saat melahirkan (ketuban) dihukumi suci. Menurut ulama madzhab Maliki kesucian itu selama dia bukan darah dan tidak tercampur dengan madzi atau mani pria ataupun wanita.
Sementara madzhab Maliki dan Abu Yusuf serta Muhammad (bin Hasan) dari kalangan murid Abu Hanifah berpendapat bahwa keputihan wanita itu najis, akibatnya kemaluan pria yang mengenai kemaluan wanita menjadi bernajis, begitu pula kalau memasukkan jari atau kain ke dalam vagina (akan terkena najis akibat kena keputihan –penerj).
Sedangkan madzhab Syafi’I membagi cairan lendir pada wanita itu menjadi tiga kategori:
1.   Yang pasti suci (bukan najis) yaitu yang terletak pada sisi yang tampak ketika wanita sedang jongkok dan sisi itu wajib dicuci saat mandi maupun cebok.
2.   Yang pasti najis, yaitu yang berada di liang vagina yang tidak terjangkau oleh penis pria yang menyetubuhi.
3.   Suci menurut pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafi’i yaitu cairan yang masih berada dalam vagina dan tersentuh kemaluan pria yang menyetubuhi.

Madzhab Asy-Syafi’i
        Di kalangan ulama Syafi’iyyah sendiri ada dua pandangan dalam masalah ini. Sebagian mereka menganggap keputihan itu suci dan sebagian lagi menganggapnya najis. An-Nawawi merangkumnya dalam Al-Majmu’ ketika menjelaskan keterangan Asy-Syirazi,
رُطُوبَةُ الْفَرْجِ مَاءٌ أَبْيَضُ مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ الْمَذْيِ وَالْعَرَقِ فَلِهَذَا اُخْتُلِفَ فِيهَا ثُمَّ إنَّ الْمُصَنِّفَ رَحِمَهُ اللَّهُ رَجَّحَ هُنَا وَفِي التَّنْبِيهِ النَّجَاسَةَ وَرَجَّحَهُ أَيْضًا الْبَنْدَنِيجِيُّ: وَقَالَ الْبَغَوِيّ وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا الْأَصَحُّ الطَّهَارَةُ وَقَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي فِي بَابِ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ نَصَّ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ عَلَى طَهَارَةِ رُطُوبَةِ الْفَرْجِ وَحُكِيَ التَّنْجِيسُ عَنْ ابْنِ سُرَيْجٍ فَحَصَلَ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلَانِ مَنْصُوصَانِ لِلشَّافِعِيِّ أَحَدُهُمَا مَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ وَالْآخَرُ نَقَلَهُ صَاحِبُ الْحَاوِي وَالْأَصَحُّ طهارتها
“Basah yang ada pada kemaluan wanita (keputihan) adalah cairan putih antara madzi dan keringat. Makanya ada perbedaan pendapat padanya. Kemudian, penulis (Asy-Syirazi) rahimahullah menguatkan pendapat bahwa itu najis di sini (di kitab Al-Muhadzdzab) juga dalam kitab At-Tanbih. Demikian pula Al-Bandaniji menguatkan pendapat tersebut.
Sementara Al-Baghawi, Ar-Rafi’i dan lainnya mengatakan bahwa yang paling benar adalah sucinya keputihan itu. Penulis kitab Al-Hawi (Al-Mawardi –penerj) menyatakan dalam bab hal-hal yang mewajbkan mandi, “Asy-Syafi’I dalam beberapa kitabnya menegaskan sucinya keputihan wanita.”
Tapi diriwayatkan dari Ibnu Suraij bahwa itu najis, sehingga dalam masalah ini ada dua nash (pernyataan) dari Asy-Syafi’I sendiri, salah satunya adalah najis sebagaimana yang dikuatkan oleh Asy-Syirazi dan pendapat lain dinukil oleh penulis kitab Al-Hawi. Yang paling benar adalah suci.”[1]
        Dengan demikian menurut An-Nawawi yang paling kuat adalah sucinya keputihan pada wanita.
        Akan tetapi An-Nawawi juga mengungkapkan dalil yang mengatakan najis adalah hadits Ubay bin Ka’b dan hadits Utsman bin Affan dimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan orang yang habis menyetubuhi istrinya untuk mencuci kemaluannya. Pemahaman dari hadits ini perintah mencuci itu menunjukkan bahwa kemaluan yang masuk ke vagina pastinya akan terkena cairan wanita di dalam vaginanya dan itu indikasi najis, kalau tidak najis mengapa harus dicuci?
        Tapi ini bisa dijawab bahwa bisa jadi itu bukan lantaran keputihan tapi lantaran bersentuhan dengan madzi wanita yang ada di dalam, sementara madzi baik pria maupun wanita para ulama sepakat dia adalah najis.
        Kesimpulan ini juga didukung oleh Ibnu Taimiyah dalam Syarh Umdatul Fiqh 1/112:
وأما الرطوبة التي في فرج المرأة فطاهر في اقوى الروايتين
“Adapun keputihan yang ada pada vagina wanita maka itu suci (bukan najis) menurut yang terkuat diantara dua riwayat yang ada.”

Memang tidak ada dalil yang tegas menyatakan suci atau najisnya keputihan ini. Inilah yang membuat sebagian ulama menyatakan sucinya keputihan itu, karena untuk menghukumi suatu benda sebagai najis harus ada dalil yang shahih dan tegas.
        Makanya, Syekh Musthafa Al-Adawi dalam bukunya Al-Jami’ fii Ahkam An-Nisaa`, jilid 1 hal. 66 menyatakan:
“Dengan melihat lebih mendalam terhadap keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil tegas yang menunjukkan keputihan wanita hukumnya najis. Sementara hadis yang dibawakan Al-Bukhari, yang ada pernyataan, “Dia harus berwudhu sempurna dan mencuci kemaluannya” tidaklah menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci kemaluan dalam kasus itu disebabkan keputihan wanita, karena bisa jadi lantaran madzi. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan al-Miqdad ketika dia bertanya tentang madzi, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia harus berwudhu dan mencuci kemaluannya.’”
        Dari sini kami mengambil kesimpulan bahwa keputihan itu suci dan tidak najis, sehingga pakaian yang terkenanya tidak ternajisi. Namun begitu dia tetaplah harus dibersihkan sebagaimana ingus dan dahak, yang bukan najis, tapi tetap harus dibersihkan demi kesopanan dan kepantasan apalagi dalam shalat. Wallahu a’lam.

Anshari Taslim
24 Maret 2016



[1] Al-Majmu’ syarh Al-Muhadzdzab 2/570.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar