Tanya:
Saya membeli beras 3 kg seharga 50 rb,
dan saya membayar dengan uang 100 rb, tapi si penjual tidak punya uang
kembalian dan berjanji akan mengembalikannya besok. Tapi ada yang mengatakan
transaksi seperti ini termasuk riba karena termasuk menukar uang (sharf) dengan
tidak tunai (taqabudh). Bagaimanakah yang sebenarnya?
Jawab:
Masalah ini telah dibahas oleh para
ulama kontemporer dan mereka berbeda pendapat dalam masalah ini.
Pendapat
pertama melarang transaksi seperti itu dan menggolongkannya sebagai sharf yang tidak
tunai, itu dilarang.
Diantara para ulama yang berpendapat
melarang adalah:
1.Syekh
Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi dalam
rekaman tanya jawab yang bisa dilihat di youtube: https://www.youtube.com/watch?v=K-Ah2_VkEtw
2.Syekh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam fatwa Liqa Al-Bab Al-Maftuh (72/17):
السؤال
فضيلة الشيخ! ذكرت في شريط: الأسلوب
الأمثل في الدعوة: أنك إذا اشتريت مثلاً من صاحب بقالة بقيمة أربعين ريالاً فأعطيته
خمسين وبقي لك عشرة ريال فقلت: إنه ربا نسيئة، ما هو الدليل على ذلك لأن كثيراً من
الناس وقع في ذلك؟
الجواب
هذه الصفقة بارك الله فيك جمعت
بين بيع وصرف، الخمسين ريالاً الآن صارت عوضاً لصرف وبضاعة فأما البضاعة فمعروف أنه
ليس بينها وبين الدراهم ربا، وأما الصرف الذي هو باقي قيمة الخمسين فهو بيع نقد بنقد،
فلا يجوز أن تفارقه حتى تأخذ منه ما بقي من الخمسين، وحل هذه المشكلة سهل بدلاً من
أن يقول: هذه الخمسين ويبقى عندك لي عشرة ريالات يذهب إلى جاره ويصرف الخمسين ويعطيه
أربعين .
Terjemahan:
Tanya:
“Wahai
Fadhilah Syekh, anda telah menyebutkan dalam rekaman kaset “Gaya Bahasa Terbaik
dalam Dakwah” bahwa jika anda membeli sesuatu di warung seharga 40 riyal dan
anda bayar dengan 50 riyal dan itu ditinggal (kepada pembeli) maka itu adalah
riba nasi`ah. Apa dalil tentang hal itu?”
Jawab:
Barakallahu
fiik, transaksi model begini mencampur antara jual beli dengan sharf. Lima puluh
riyal itu sekarang menjadi pengganti bagi sepuluh riyal bersama barang yang dibeli.
Adapun barangnya tidak ada masalah karena tidak ada riba antara dia dengan dirham,
tapi terjadi sharf (pertukaran uang) antara sisanya maka itu sama dengan jual
beli mata uang dengan mata uang. Maka, anda tidak boleh berpisah dengan pedagang
sampai dia mengembalikan yang sepuluh riyal itu.
Solusi
bagi masalah ini gampang, lebih baik daripada anda katakana pada penjual itu, “Ini
lima puluh riyal. Uang saya masih ada sama kamu sepuluh riyal”. Hendaknya dia
(si pembeli) tukarkan dulu uang itu ke tetangganya guna menukar uang lima puluh
lalu dia berikan saja uang 40 riyal (ke penjual).”
Pendapat
kedua:
Pendapat ini mengatakan bahwa hal itu
bukanlah sharf hingga harus ditunaikan saat transaksi. Itu adalah jual beli dan
uang kembalian itu statusnya adalah amanah di tangan penjual, bukan sharf.
Para
ulama yang berpendapat seperti ini antara lain:
1.Komisi
Fatwa Kerajaan Arab Saudi.
Dalam fatwa nomor 18203 yang termuat
dalam kompilasi fatwa lajnah da`imah kumpulan pertama di jilid 13 hal. 180-181:
Tanya:
Saya sampaikan bahwa saya seorang pedagang kelontong, saya sering menghadapi
masalah dalam jual beli yaitu kadang ada pembeli yang membeli sesuatu tapi
uangnya ada sisa. Kalau saya tak punya uang kembalian maka dia berkata, “Besok
saja saya datang lagi dan ambil uang kembaliannya.”
Contohnya
dia beli barang seharga 50 riyal dengan membayar uang seratus, dan saya tak
punya kembalian 50 maka dia berkata, “Simpan saja dulu sampai lain kali.”
Ada
sebagian orang yang mengatakan ini adalah bentuk riba dan saya tak bisa meyakinkan
para pembeli. Maka saya mohon fatwa dari para syekh sekalian, agar saya menjadi
jelas.
Jawab:
Pembali yang
meninggalkan uang kembaliannya kepada penjual tidak termasuk riba,
karena ini termasuk jual beli dan titipan si pembeli terhadap uang kembalian
dan bukan termasuk akad sharf (penukaran uang).
TTD
Komisi Tetap untuk Kajian Ilmiyyah dan Fatwa
Ketua:
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil
ketua: Abdul Aziz Alu Syaikh
Anggota:
Bakr Abu Zaid, Shalih Al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan.
2.Dr
Husamuddin Affanah, ketua Dewan Pengawas Syariah Bank Islam Palestina dan Bank
Al-Aqsha.
Beliau memberikan tanggapan terhadap
fatwa Syekh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithi yang telah disebut di
atas dengan jawaban rinci yang bisa dilihat di youtube: https://www.youtube.com/watch?v=kHNR83N75Cc
3.Situs
IslamQA di bawah pimpinan Syekh Shalih Al-Munajjid.
Bisa
diakses di situs resminya: https://islamqa.info/ar/120696
Beliau
menukil dari beberapa kitab rujukan madzhab Hanbali yaitu Kasysyaf Al-Qina’
sebagai berikut:
ولو اشترى فضة
بدينار ونصف دينار ودفع المشتري إلى البائع دينارين ليأخذ قدر حقه منه ، فأخذ
البائع قدر حقه من الدينارين ، ولو بعد التفرق صح الصرف لحصول التقابض قبل التفرق
، والذي تأخر إنما هو تمييز حقه من حق الآخر ، والزائد من الدينارين أمانة في يد
البائع
“Kalau
dia membeli perak senilai satu setengah dinar dan si pembeli ini membayar
kepada penjual sebanyak dua dinar, dan penjual mengambil haknya dari dua dinar
itu meskipun setelah berpisah tetap dianggap sah sharfnya karena telah terjadi
serah terima sebelum berpisah. Yang tertunda hanyalah hak satu sama lain, dan
kelebihan dari dua dinar itu (setengah dinarnya –penerj) adalah amanah di
tangan penjual.” (Kasysyaf Al-Qina’ 3/269).
4.Situs
IslamWEB di bawah Syekh Abdullah Al-Faqih
Bisa diakses di situsnya di sini
Setelah
mengetengahkan kedua pendapat berbeda maka beliau berkesimpulan:
والراجح إن شاء
الله هو القول بالجواز، لأن الصرف في مثل هذه الصفقة ليس مقصودا؛ ولأن أهل العلم
لم يتفقوا على امتناع اجتماع البيع والصرف في عقد واحد. ومن منع ذلك منهم علل
المنع بالاختلاف في بعض الأحكام. وذهب المالكية إلى جواز اجتماع البيع والصرف في
نحو الدينار معللين ذلك بأن قلة ما اجتمعا فيه تفيد أن اجتماعهما ليس مقصودا.
“Yang rajah
insya Allah adalah pendapat yang membolehkan, karena sharf dalam bentuk
transaksi seperti ini bukanlah tujuan utama, karena para ulama telah sepakat
tidakbolehnya menggabung sharf dengan jual beli dalam satu akad. Mereka yang melarang
beralasan adanya perbedaan di beberapa hukum. Sedangkan Malikiyyah berpendapat
bolehnya akad jual beli dan sharf digabung untuk sekitar satu dinar dengan alasan
bahwa itu jumlahnya yang sedikit itu menunjukkan bahwa terrgabungnya kedua akad
itu bukanlah tujuan utama.”
Tarjih
(Pemilihan Pendapat Terkuat)
Yang rajih (yang paling kuat) adalah
pendapat yang membolehkan karena alasan bahwa masalah ini sering terjadi di
masyarakat (umum al-balwa) dan hajat hidup orang banyak terhadapnya. Padahal
salah satu tujuan syariat adalah memberi kemudahan kepada masyarakat, selama
tidak mengakibatkan mudharat umum yang lebih besar. Makanya gharar dibolehkan
bila hanya sedikit dan tidak terlalu kentara.
Lagi pula tidak ada maksud menukar uang dengan
riba di sini, dan lebih tepat bila uang kembalian tersebut dianggap amanah
ataupun qardh di tangan penjual sampai dia mengembalikannya.
Dalam kaidah fikih dikenal istilah: (يغتفر في الشيء ضمنًا ما
لا يغتفر فيه قصدًا) (apa yang terikut
dibolehkan dimana saat dia sebagai maksud tidak dibolehkan), atau dengan ungkapan
lain: (يثبت تبعًا وضمنًا ما لا يثبت استقلالاً وقصدًا) contohnya membunuh orang muslim
tidak boleh, tapi jadi termaafkan ketika itu hanya terikut dan bukan maksud,
yaitu pada kasus dimana terjadi peperangan lalu orang-orang kafir menjadikan
sebagian muslim sebagai tameng, maka boleh mengebom mereka semua demi membunuh
orang kafir meski ada sedikit muslim yang ikut jadi korban.
Contoh lain
adalah kalau orang bersumpah tidak mau beli bulu wol lalu dia beli satu ekor
domba utuh lengkap dengan bulunya maka dia tidak melanggar sumpah, karena dia
mau beli domba bukan bulu.[1]
Contoh lain,
dilarang jual beli buah sebelum matang, tapi boleh kalau yang dibeli adalah
pohon atau kebunnya, sehingga buah itu hanya ikutan bukan maksud tujuan.
Wallahu
a’lam bis Shawab.
Anshari
Taslim
23
Desember 2015.
[1] Lihat
Talqih Al-Afham Al-‘Aliyyah bi syarh Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah oleh Walid bin
Rasyid As-Su’aidan jild 3 hal. 78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar