Pendahuluan
Dalam pembahasan kali ini saya ingin mengetengahkan beberapa hadits yang tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam hal apapun termasuk untuk fadhilah amal, karena kualitas sanadnya yang palsu atau sangat lemah. Selanjutnya, saya akan memisahkannya dengan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah, karena dari segi pendalilan akan berbeda, terutama bagi madzhab yang mengatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if yang tidak terlalu parah kelemahannya untuk fadhilah amal dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Dalam pembahasan kali ini saya ingin mengetengahkan beberapa hadits yang tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam hal apapun termasuk untuk fadhilah amal, karena kualitas sanadnya yang palsu atau sangat lemah. Selanjutnya, saya akan memisahkannya dengan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah, karena dari segi pendalilan akan berbeda, terutama bagi madzhab yang mengatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if yang tidak terlalu parah kelemahannya untuk fadhilah amal dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Hadits-hadits semacam ini cukup sering didengar
dalam berbagai ceramah maupun kajian di bulan Ramadhan disampaikan oleh para
ustadz yang mungkin belum mengetahui bahwa itu adalah hadits yang tidak boleh
disampaikan kepada umat kecuali dengan menjelaskan kelemahannya.
Hadits-hadits yang masuk kategori ini adalah
hadits dengan derajat maudhu’ (palsu) berdasarkan keterangan para ulama di
bidang ini. Hadits-hadits palsu Meliputi:
Hadits yang tidak jelas asal usulnya yang bisa disebut oleh para ahli ”Laa ashla lahu” (Tidak ada asalnya). Hadits semacam ini tidak ditemukan dalam kitab yang mu’tabar (dipegang sebagai acuan). Biasanya hanya terdapat dalam kitab-kitab yang berisi nasehat dan ajakan tanpa mencantumkan sanad sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Salah satu kitab yang banyak memuat hadits-hadits model begini adalah kitab Durratun Nashihin, karya Al Khubawi yang cukup terkenal di negeri ini.
Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mu’tabar dengan sanad yang lengkap, tapi salah satu atau beberapa rawinya dinyatakan sebagai pemalsu hadits, atau pembohong oleh para ulama jarh wa ta’dil.
Hadits yang tidak jelas asal usulnya yang bisa disebut oleh para ahli ”Laa ashla lahu” (Tidak ada asalnya). Hadits semacam ini tidak ditemukan dalam kitab yang mu’tabar (dipegang sebagai acuan). Biasanya hanya terdapat dalam kitab-kitab yang berisi nasehat dan ajakan tanpa mencantumkan sanad sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Salah satu kitab yang banyak memuat hadits-hadits model begini adalah kitab Durratun Nashihin, karya Al Khubawi yang cukup terkenal di negeri ini.
Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mu’tabar dengan sanad yang lengkap, tapi salah satu atau beberapa rawinya dinyatakan sebagai pemalsu hadits, atau pembohong oleh para ulama jarh wa ta’dil.
Haram hukumnya meriwayatkan hadits-hadits palsu
kecuali untuk menerangkan kepalsuannya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam telah bersabda, ”Siapa saja yang menceritakan hadits dariku dan dia
tahu itu palsu, maka dia adalah salah satu dari para pendusta.” (HR. Muslim
dalam shahihnya dari Samurah bin Jundub dan Al Mughirah bin Syu’bah).
Sedangkan hadits-hadits yang sangat lemah dalam
disiplin ilmu hadits ada dua macam:
Matruk, dimana ada rawinya yang terkenal suka berdusta, meski belum pernah ketahuan berdusta dalam hadits dan tak ada yang meriwayatkan hadits itu selain dia, atau terlalu banyak kemaksiatan yang dia kerjakan dan itu diketahui orang banyak.
Mungkar, cirinya, bermuara hanya pada satu orang, meski di bawahnya diriwayatkan oleh banyak orang darinya, dan si muara ini adalah rawi yang dha’if dan atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat rawi yang ’adil.
Matruk, dimana ada rawinya yang terkenal suka berdusta, meski belum pernah ketahuan berdusta dalam hadits dan tak ada yang meriwayatkan hadits itu selain dia, atau terlalu banyak kemaksiatan yang dia kerjakan dan itu diketahui orang banyak.
Mungkar, cirinya, bermuara hanya pada satu orang, meski di bawahnya diriwayatkan oleh banyak orang darinya, dan si muara ini adalah rawi yang dha’if dan atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat rawi yang ’adil.
Sebetulnya ada satu lagi yang biasa disebut
mathruh, tapi setelah diteliti kategori ini sebenarnya masuk ke dalam matruk.
Hadits yang sangat lemah meskipun banyak tapi
derajatnya sama, maka tidak bisa naik derajatnya ke hasan li ghairih, melainkan
tetap saja lemah dan tak bisa diamalkan, bahkan untuk fadhilah amal sebagaimana
syarat yang diajukan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
Beberapa hadits palsu dan amat lemah tentang Ramadhan dan puasa:
1.Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri,
رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبانُ شَهْرِيْ، وَرَمَضانُ
شَهْرُ أُمَّتِيْ
”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah
bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Status: Palsu (maudhu’)
Status: Palsu (maudhu’)
Alasan:
Semua jalurnya melalui Abu Bakr An Naqqasy yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai Dajjal pemalsu hadits. (Lihat: Tabyin Al-’Ajab, hal. 40-41).
Keterangan:
Hadits ini dibahas panjang lebar oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam risalahnya ”Tabyiinul ’Ajab bimaa warada fii Syahri Rajab”, dan beliau berkesimpulan hadits di atas palsu.
Semua jalurnya melalui Abu Bakr An Naqqasy yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai Dajjal pemalsu hadits. (Lihat: Tabyin Al-’Ajab, hal. 40-41).
Keterangan:
Hadits ini dibahas panjang lebar oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam risalahnya ”Tabyiinul ’Ajab bimaa warada fii Syahri Rajab”, dan beliau berkesimpulan hadits di atas palsu.
Hadits dengan makna senada juga diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dalam kitab Fadha`il Al-Awqaat, dengan sanadnya dari Ghanjar,
dari Nuh bin Abu Maryam, dari Zaid Al-Ammi, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas.
Al-Hafizh memastikannya palsu karena adanya Nuh bin Abu Maryam yang ber-kunyah
Abu ’Ishmah. (tabyiin Al-’Ajab, hal. 41).
Akan tetapi Syekh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani menyatakan hadits dengan lafaz ini hanya dha’if sebagaimana yang
beliau sebutkan dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa
Al-Maudhuu’ah, no. 4400. Riwayat yang ia bawakan adalah yang terdapat dalam
kitab At-Targhib karya Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Qiran bin Tamam, dari
Yunus, dari Al-Hasan (Al-Bashri), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda.
Demikian nukilan Syekh Al-Albani. Saya temukan
hadits ini dalam kitab At-Targhib karya Qawam As-Sunnah Al-Ashbahani dengan
sanad sebagai berikut:
أخبرنا عبد الواحد بن علي بن فهد ببغداد، ثنا أبو الفتح بن أبي الفوارس،
ثنا عبد الله بن محمد بن جعفر، ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا، ثنا يوسف بن إسحاق البابي
وكان ثقة، ثنا محمد بن بشير البغدادي، ثنا قران بن تمام، عن يونس، عن الحسن، قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((من صام يوماً من رجب عدل له بصوم سنتين، ومن صام النصف من رجب عدل له
بصوم ثلاثين سنة)) .
وقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رجب شهر الله -عز وجل-
وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي)) .
Sanad ini jelas dha’if karena mursal, Hasan
Al-Bashri bukan sahabat Nabi, melainkan tabi’in. Juga ada nama Muhammad bin
Basyir Al-Bahdadi, yaitu Muhammad bin Basyir bin Marwan bin ‘Atha` Al-Kindi
Al-Wa`izh. Biografinya disebut oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (2/98-99)
dan menukil dari Ibnu Ma’in yang mengatakannya, “Tidak tsiqah”, juga
Ad-Daraquthni yang menyebutnya, “Tidak kuat dalam hadits.”
Dengan demikian hadits ini teranggap sangat lemah. Wallahu a’lam.
2. Diriwayatkan:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَ صُمْتُهُ
تَسْبِيْحٌ وَ عَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَ دُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَ ذَنْبُهُ
مَغْفُوْرٌ
”Tidurnya orang puasa itu adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya akan dilipatgandakan, doanya terkabul dan dosanya terampuni.”
Status hadits: Sangat lemah
”Tidurnya orang puasa itu adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya akan dilipatgandakan, doanya terkabul dan dosanya terampuni.”
Status hadits: Sangat lemah
Keterangan:
Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Hadits ini sendiri diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam ”Syu’ab Al-Iman” dari Abdullah bin Abu Aufa. Dalam sanad Al-Baihaqi ada nama Sulaiman bin ’Amr An-Nakha’i yang dianggap pemalsu hadits. (Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 4696 dan Faidh Al-Qadir, karya Al-Munawi, juz 6 hal. 378, no. 9293).
Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Hadits ini sendiri diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam ”Syu’ab Al-Iman” dari Abdullah bin Abu Aufa. Dalam sanad Al-Baihaqi ada nama Sulaiman bin ’Amr An-Nakha’i yang dianggap pemalsu hadits. (Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 4696 dan Faidh Al-Qadir, karya Al-Munawi, juz 6 hal. 378, no. 9293).
Dengan demikian sanad ini palsu.
Tapi hadits ini ada syahid (penguat)nya
dijelaskan oleh Syekh Al-Albani secara panjang lebar dalam As-Silsilah
Adh-Dha’ifah juz. 10, hal. 230 – 231. Intinya, derajat hadits dengan redaksi di
atas tidak sampai palsu, melainkan hanya dha’if jiddan (sangat lemah). Wallahu
a’lam.
3. Hadits:
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ
جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرانِ
”Barangsiapa bergembira akan datangnya bulan Ramadhan, niscaya Allah akan mengharamkan jasadnya dimakan api neraka.”
”Barangsiapa bergembira akan datangnya bulan Ramadhan, niscaya Allah akan mengharamkan jasadnya dimakan api neraka.”
Status: Tidak ada asalnya.
Keterangan:
Hadits ini terdapat dalam kitab Durratun Nashihiin, karya Utsman Al-Khubawi yang terkenal memuat banyak hadits palsu dan sangat lemah, meski tak sedikit pula hadits shahih dalam kitab itu.
Hadits ini terdapat dalam kitab Durratun Nashihiin, karya Utsman Al-Khubawi yang terkenal memuat banyak hadits palsu dan sangat lemah, meski tak sedikit pula hadits shahih dalam kitab itu.
Berhubung hadits ini tidak bisa ditemukan dalam
kitab-kitab yang mu’tabar, maka penulis berkesimpulan hadits ini palsu.
4.Hadits doa malaikat Jibril: ”Ya Allah tahan puasa (jangan terima) umat Muhammad bila memasuki Ramadhan dia belum meminta maaf kepada orangtuanya, atau istri belum minta maaf kepada suami, atau orang-orang terdekat....”
Hadits ini yang belakangan berkembang, setelah
mencari-cari ternyata hadits ini tidak ada asalnya. Besar kemungkinan ini
diucapkan oleh orang yang hafalannya salah kemudian diforward ke teman-temannya
baik via internet maupun mulut ke mulut.
Memang ada hadits doa malaikat Jibril yang diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi redaksinya bukan demikian, melainkan sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallm naik ke mimbr lalu berkta, “Amin, 3X”. Pra sahabat bertanya. “Kenapa Anda berkata ‘Amin,(3X), Ya Rasulullah?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril datang kpdku dan berkata : ‘Hai Mhammd claka sseorang yg jk disbt nama engkau nmn ia tdk brshalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin’, lalu Jibril berkata lagi, ‘Claka seseorang yg masuk bln Rmadhn tp kluar dari bulan tersebut tidak diampni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi. ‘Claka sseorng yang mndptkn kdua org tuanya at slah seorng dr kduanya masih hidup tapi justru tdk memasukkan ia ke surga dan ktkanlh amin!’ maka kukatakan, ‘Amin”.
Memang ada hadits doa malaikat Jibril yang diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi redaksinya bukan demikian, melainkan sebagai berikut:
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallm naik ke mimbr lalu berkta, “Amin, 3X”. Pra sahabat bertanya. “Kenapa Anda berkata ‘Amin,(3X), Ya Rasulullah?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril datang kpdku dan berkata : ‘Hai Mhammd claka sseorang yg jk disbt nama engkau nmn ia tdk brshalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin’, lalu Jibril berkata lagi, ‘Claka seseorang yg masuk bln Rmadhn tp kluar dari bulan tersebut tidak diampni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi. ‘Claka sseorng yang mndptkn kdua org tuanya at slah seorng dr kduanya masih hidup tapi justru tdk memasukkan ia ke surga dan ktkanlh amin!’ maka kukatakan, ‘Amin”.
Hadits ini shahih sebagaimana dijelaskan oleh
Al-Haitsami dalam kitab Majma’ Az-Zawa`id. Perhatikan perbedaan redaksinya
dengan yang pertama.
5.Hadits
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ
يَكُونَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا
“Kalau saja para hamba itu tahu apa yang terdapat
di Ramadhan niscaya ummatku ini akan berharap Ramadhan itu terjadi sepanjang
tahun.”
Ini
adalah potongan hadits yang panjang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam
Shahihnya nomor 1886. Juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman,
no. 3361, Abu Ya’la dalam musnadnya, no. 5273, semua dari jalur Jarir bin Ayyub
Al-Bajali, dari Asy-Sya’bi, dari Nafi’ bin Burdah, dari Abu (Ibnu) Mas’ud
Al-Ghifari RA.
Jalur lain diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir (22/388) melalui jalur Hayyaj bin Bistham, Abbad menceritakan kepada
kami, dari Nafi’, dari Abu Mas’ud Al-Ghifari RA.
Hadits
ini dha’if bahkan sebagian ulama mengatakannya palsu karena baik Jarir bin
Ayyub Al-Bajali maupun Hayyaj bin Bistham adalah dua orang yang lemah dan tak
bisa saling menguatkan karena kelemahan mereka termasuk parah. Bahkan Ibnu
al-Jauzi memasukkannya dalam kitab Al-Maudhu’at (2/189) dan disetujui oleh
Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah (1/88).
Jarir bin Ayyub al-Bajali dianggap Yahya bin Ma’in
“tidak ada apa-apanya”, Al-Bukhari menganggapnya “munkarul hadits”, An-Nasa`iy
menganggapnya, “matrukul” bahkan Abu Nu’aim mengatakan dia memalsukan hadits.
(Lihat: Mizan Al-I’tidal 1/391).
Abu Hatim mengatakan, “dhaiful hadits, munkarul
hadits, ditulis haditsnya tapi tidak boleh dijadikan hujjah.”
Abu Zur’ah mengatakan, “munkarul hadits” (Lihat
Al-Jarh wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim jilid 2, hal. 502-503).
Sementara
Hayyaj bin Bistham dikatakan lemah oleh Ibnu Ma’in dan Abu Hatim sedangkan
Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud mengatakannya matruk. Ibnu Hibban mengatakannya
biasa meriwayatkan hadits-hadits yang parah dari orang-orang tisqah. (Lihat
Mizan Al-I’tidal 4/318, Al-Majruhin 3/96).
Dengan
demikian status hadits ini sangat lemah sehingga tak bisa dipakai meski dalam
fadhilah amal. Wallahu a’lam.
Bersambung insya Allah.
Anshari Taslim, 11 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar