Tanya:
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh para assatidz
sekalian,
Ada yang bertanya seperti ini : Seseorang punya hutang misal 7 juta...apakah boleh
membayar hutangnya dg logam mulia ...yg ketika awal beli bernilai 7 juta...dan
apakah....dibayarkan harus dikurskan dulu dg harga emas ter update (menjual ke
antam misal dg segala administrasi). Mohon faidah jawabannya.
Jazakumullahu ahsanal jazaa
Jawab:
Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.
Kalau mau dibayar dengan emas maka harus dinilaikan dulu
emas tersebut senilai tujuh juta pada saat pembayaran, bukan pada saat akad
utang piutang.
Jadi, karena utangnya adalah 7 juta maka boleh dibayarkan
dengan emas senilai tujuh juta saat mau bayar, dan itu bisa lebih, bisa pula
kurang dari harga emas saat berutang.
Para ulama umumnya berpendapat bahwa membayar utang dengan
mata uang berbeda itu diperbolehkan dengan dua syarat:
- 1. Tidak ada kesepakatan di awal untuk
membayar dengan mata uang berbeda. Artinya pembayaran itu terjadi spontan.
- 2. Mata uang pembayaran disesuaikan dengan
harga kurs pada saat pembayaran bukan pada saat akad pinjaman.
Dalil untuk masalah ini adalah hadits Ibnu Umar yang cukup
terkenal di kalangan ahli fikih mu’amalah yaitu riwayat Simak dari Sa’id bin
Jubair, dari Ibnu Umar yang berkata,
كنتُ
أبيعُ الإبلَ بالبقيع، فأبيعُ بالدنانير وآخذُ الدراهمَ، وأبيعُ بالدراهمِ وآخذُ
الدنانيرَ، آخذُ هذه من هذه، وأُعطي هذه من هذه، فأتيتُ رسولَ الله -صلَّى الله
عليه وسلم- وهو في بيت حفصةَ، فقلت: يا رسول الله، رُوَيْدَك أسألْك، إني أبيعُ
الإبلَ بالبقيع، فأبيعُ بالدنانير وآخذُ الدراهمَ، وأبيعُ بالدراهمِ وآخذُ
الدنانيرَ، آخذُ هذه من هذه، وأُعطي هذه من هذه، فقال رسولُ الله - صلَّى الله
عليه وسلم -: "لا بَأسَ أن تأخُذَها بسعْرِ يومِها، ما لم تَفْترِقا
وبينكُما شيءٌ"
“Aku pernah menjual onta di Baqi’. Aku menjualnya dengan harga
dinar tapi pembayarannya kuambil dengan dirham. Kadang pula kujual sekian
dirham tapi pembayaran kuambil dengan dinar. Aku ambil yang ini sesuai harga yang
ini. Akupun menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
saat itu berada di rumah Hafshah, “Ya Rasulullah, tunggu sebentar aku mau tanya
nih... Aku menjual unta di Baqi’ dengan sekian dinar tapi pembayarannya kuambil
dengan dirham, begitu pula kadang kujual sekian dirham tapi pembayarannya
kuambil dengan dinar. Maka Rasulullah pun menjawab, “Tidak mengapa jika kau
menerima pembayaran sesuai dengan kurs saat itu asalkan kalian berdua (dengan pembeli
–penerj) belum berpisah dengan menyisakan utang pembayaran.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud, dan ini redaksinya, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad.
Semua melalui jalur Simak bin Harb dari Sa’id bin Jubair secara marfu’, berupa
pertanyaan Ibnu Umar kepada Rasulullah.
Tapi sanad
ini mu’allal (cacat) karena bertentangan dengan riwayat orang lain yang lebih
tsiqah, sehingga At-Tirmidzi mengomentari dalam sunannya, “Hadits ini tidak
kami ketahui ada yang meriwayatkannya secara marfu’ selain Simak bin Harb dari
Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Umar. Sementara Daud bin Abi Hind meriwayatkan
hadits ini dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Umar secara mauquf.”[1]
Riwayat yang
dimaksud oleh At-Tirmdzi ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
mushannafnya:
حَدَّثنا
ابنُ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ، قَالَ: رَأَيْتُ ابنَ عُمَرَ يَكُونُ عَلَيْهِ الْوَرِقُ، فَيُعْطِي
قِيمَتَها دَنَانِيرَ إِذَا قَامَتْ عَلَى سِعْرٍ، وَيَكُونُ عَلَيْهِ
الدَّنَانِيرُ، فَيُعْطِي الْوَرِقَ بِقِيمَتِهَا.
“Ibnu Abi Za`idah menceritakan kepada kami, dari Daud bin
Abi Hind, dari Sa’id bin Jubair yang berkata, Aku melihat Ibnu Umar punya kewajiban
membayar seharga uang perak lalu dia mebayar dengan uang emas seharga dengan uang
perak tadi. Atau kadang pula sebaliknya, dia punya kewajiban membayar dengan harga
emas tapi dia membayarnya dengan uang perak seharga uang emas tersebut.”
Riwayat Daud
bin Abi Hind tentu lebih dikedepankan karena dia lebih tsiqah dibanding Simak
bin Harb. Daud dapat predikat tsiqah mutqin dari A-Hafizh Ibnu Hajar
sebagaimana dalam At-Taqrib[2]
sementara Simak sudah terkenal sedikit kontroversial, karena banyak yang menganggapnya
dhaif meski dia adalah perawi Muslim.
Selain itu
juga dipersoalkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Ma’rifatu Sunan wa Al-Atsar di
mana Syu’bah melemahkan riwayat Simak, karena hanya dia sendiri yang
meriwayatkan secara marfu’ sementara yang lain meriwayatkan secara mauquf.[3]
Dengan demikian
hadits ini sebenarnya mauquf hanya perbuatan Ibnu Umar sebagaimana dalam
riwayat Daud bin Abi Hind.
Meski
demikian dia tetap menjadi dalil karena perbuatan sahabat adalah salah satu
dalil, pun kalau tak mau disebut berhukum marfu’, karena di sini masih ada
peluang ijtihad. Makanya At-Tirmidzi mengatakan, “Ini diamalkan oleh sebagian
ahli ilmu bahwa tidak ada masalah bila membayarkan emas sebagai ganti uang
perak atau sebaliknya. Ini adalah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama di
kalangan sahabat Nabi dan beberapa ulama lain tidak menyukainya.”[4]
Al-Mubarakfuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi menukil dari Asy-Syaukani dalam Nailul Awthar yang menambahkan
ini juga pendapat Umar, Hasan Al-Bashri, Hakam, Thawus, Az-Zuhri, juga menjadi
madzhab Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi’i. Sedangkan yang memakruhkan adalah
salah satu qaul Syafi’i, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Sa’id bin Musayyib.[5]
Pendapat ini
sepertinya diadopsi oleh mayoritas (kalau tak dikatakan hampir semua) ahli
ekonomi Islam kontemporer seperti yang tertuang dalam keputusan Asosiasi Fikih
Internasional di bawah Muktamar Alam Islami berpusat di Mekah dalam sidang
mereka di Brunei Darussalam tahun 1993 yang salah satu keputusannya adalah:
Kedua: Diperbolehkan kreditur dengan debitur bersepakat
pada saat pembayaran –bukan sebelumnya- untuk membayar utang dengan mata uang yang
berbeda dari saat berutang, tapi harus sesuai harga mata uang saat berutan di
masa pembayaran.[6]
Kesimpulan:
Boleh membayar dengan mata uang berbeda, dan emas
termasuk mata uang tersendiri asal tidak disepakati sejak awal sesuai dengan kurs
pada saat pembayaran, bukan pada saat peminjaman.
Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
17 Januari 2020.
[1] Sunan At-Tirmidzi, no. 1242, bab: maa ja`a
fis sharf.
[2] At-Taqrib nomor rawi 1989 (1/195 cetakan
maktabah taufiqiyyah).
[3] Lihat Ma’rifatu Sunan wa Al Atsar 8/113.
[4] Sunan At-Tirmidzi op.cit.
[5] Lihat Tuhfatul Ahwadzi jilid 4 hal. 371.
[6] Qararat wa Taushiyaat Majma’ Al-Fiqh
Ad-Duwali 1/140, via maktabah shamela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar