Tanya:
Daerah saya biasa
terjadi bencana kebakaran yang menghanguskan rumah dan isinya, sehingga para
penghuni tak tahu lagi harus tinggal dimana meski mereka sebelumnya bukan
termasuk orang miskin bahkan punya pekerjaan tetap yang mencukupi kebutuhan
mereka. Bahkan ada diantara mereka yang pegawai negeri. Apakah boleh mereka
yang saat ini rumahnya kebakaran menerima zakat maal untuk membangun kembali
rumah mereka?
Jawab:
Orang
yang rumahnya tertimpa musibah kebakaran berhak menerima zakat karena termasuk
kategori gharimin, sebagaimana penjelasan Mujahid murid Ibnu Abbas dan tabi’i
terkenal:
حَدَّثنا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ الأَسْوَد،
عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ ثَلاَثَةٌ مِنَ الْغَارِمِينَ: رَجُلٌ ذَهَبَ السَّيْلُ بِمَالِهِ
وَرَجُلٌ أَصَابَهُ حَرِيقٌ فَذَهَبَ بِمَالِهِ, وَرَجُلٌ لَهُ عِيَالٌ وَلَيْسَ لَهُ
مَالٌ, فَهُوَ يَدَّانُ وَيُنْفَقُ عَلَى عِيَالِهِ.
“Ada tiga golongan yang termasuk kategori
gharimin: orang yang hartanya hanyut oleh musibah banjir, orang yang tertimpa
musibah kebakaran yang memusnahkan hartanya dan orang yang punya keluarga tapi
tak punya harta sehingga dia berutang demi memberi nafkah untuk keluarganya
tersebut.”
(Mushnnaf Ibnu Abi Syaibah jilid 7 hal. 26, sanad
ini shahih, semua perawinya adalah perawi dalam shahihain).
Fatwa
Mujahid ini selaras dengan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang
diriwayatkan oleh Qabishah dimana ketika dia melapor kepada Rasulullah bahwa
dia punya tanggungan hutang lantaran keperluan mendamaikan pihak yang bertikai
maka Rasulullah pun memberikannya uang zakat lalu bersabda,
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ
رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ
يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ:
لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا
مِنْ عَيْشٍ - أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ - فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ
يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta itu tidak
halal kecuali bagi tiga orang:
(1) orang yang menanggung satu tanggungan (untuk
mendamaikan pihak bersengketa) maka dia halal meminta sampai dia mendapatkannya
lalu dia berhenti,
(2) orang yang tertimpa bencana yang memusnahkan
hartanya maka dia halal meminta sampai mendapatkan penghidupan yang cukup.
(3) orang yang tertimpa kemelaratan sampai ada
tiga orang tokoh di kalangan kaumnya yang bersaksi bahwa dia memang tertimpa
kemelaratan, maka halal baginya meminta sampai dia mendapatkan penghidupan yang
cukup.
Selain itu wahai Qabishah maka meminta berarti
mendapatkan harta haram yang dimakan oleh pelakunya sebagai barang haram.”
(HR. Muslim, no. 1044 dan ini adalah redaksinya,
Ahmad, no. 20601, Abu Daud, no. 1640).
Dengan
demikian korban kebakaran, banjir, gempa dan lain-lain yang memusnahkan harta
mereka berhak menerima zakat atas dasar gharim (orang yang berutang) meski dia
punya cadangan harta lain yang mengeluarkannya dari kategori miskin. Sedangkan
kalau hanya itu hartanya maka mereka juga masuk kategori miskin. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Diperbarui 27 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar