Rabu, 25 Februari 2015

Menakar Efektivitas Hukuman Penjara


Menurut laporan situs Rakyat Merdeka online 21 Juni 2011 Kementerian Hukum dan HAM meminta tambahan anggaran 1,6 Trilyun untuk membangun lembaga pemasyarakatan (penjara) baru karena penjara-penjara yang ada di Indonesia sudah banyak yang melebihi kapasitas.

          Bagaimana tidak melebihi kapasitas kalau setiap kesalahan semuanya diganjar dengan penjara. Pembunuh dipenjara, pemabok dipenjara, narkoba dipenjara, penghina agama dipenjara, kelalaian lalu lintas dipenjara, pencuri dipenjara, pemerkosa dipenjara, jelas penjara bakal penuh. Sebab, disamping membebani keuangan negara hukuman berupa penjara itu kurang menimbulkan efek jera, sehingga orang merasa tak terlalu masalah masuk penjara asal keinginannya berbuat dosa bisa terpenuhi.
          Selain itu, hukuman penjara untuk kasus-kasus tertentu juga malah menyakiti perasaan korban kejahatan. Sebagaimana pernah saya singgung dalam sebuah tulisan terdahulu bahwa di negeri ini pembunuh ditanggung negara hidupnya. Sumber dananya bisa jadi berasal dari pajak yang dibayarkan oleh si korban atau keluarganya. Bagaimana tidak, dalam penjara mereka makan gratis, dapat listrik gratis, padahal bisa jadi di rumahnya listrik sudah diputus karena tak mampu bayar, belum lagi pengamanan super ketat ditambah berbagai pelatihan yang akan mereka terima dengan gratis karena mereka dipenjara.
          Lihatlah kasus pemerkosaan hanya terancam hukuman penjara sampai 12 tahun. Padahal si korban sudah menderita seumur hidup, tapi tak ada kompensasi apapun baginya atas kejahatan yang telah dia terima, tidak dari negara tidak pula dari pelaku. Ini bisa membuat seorang pengangguran yang hidup susah dan tak tahu lagi harus bagaimana membiayai hidup ditambah orang-orang yang akan mengejarnya karena hutang dan lain-lain akan memilih untuk memperkosa, karena dia tahu setelah dapat enak dia juga akan masuk penjara dan kehidupannya ditanggung negara selama 12 tahun. Lumayan untuk hidup, karena biasanya di dalam penjara mereka juga akan mendapat keterampilan agar bisa hidup normal di masyarakat setelah keluar nanti.
          Beberapa tahun lalu negara tetangga kita Malaysia pernah mengancam akan memenjarakan para pekerja ilegal, tapi tidak begitu efektif karena mereka merasa hukum penjara tidaklah terlalu menakutkan. Akhirnya pemerintahan Mahathir Mohamad mengubah jenis hukuman dari penjara ke hukuman cambuk dan terbukti cukup efektif membuat pendatang haram ketakutan lalu berlomba agar bisa keluar dari negeri melayu itu demi terhindar dari cemeti polis diraja.

Hukuman dalam syariat Islam.  
          Dalam Islam sendiri penjara memang sudah dikenal setidaknya sejak pemerintahan Umar bin Al-Khaththab[1]. Penjara dalam hukum pidana Islam berfungsi untuk menahan orang atau memberikan hukuman ta’zir yang tidak diatur dalam teks Al-Qur`an dan sunnah. Tapi tentu saja tidak semua kejahatan harus diganjar terali besi. Kalau membunuh, ya harus diqisas, hukuman diserahkan kepada keluarga korban, apakah menunutut qisas ataukah menerima diyat, kalau berzina termasuk memperkosa harus dirajam atau didera tergantung subyeknya. Kalau dalam pemerkosaan akan ditambah lagi kasus penganiayaan yang menyebabkan seseorang cacat setidaknya cacat kehormatan dan itu harus dibayar oleh pelaku dengan sejumlah uang kepada korban disamping dera atau rajam itu sendiri. Pencuri dipotong tangannya. Jadi, keuangan negara pun tidak terbebani hanya demi ngasi makan para penjahat.
          Sedangkan untuk kasus yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah maka diserahkan kepada ijtihad penguasa untuk menetapkan hukumannya dengan tetap berlandaskan pada ketentuan umum syariah. Kebanyakan hukuman ta’zir itu adalah cambukan, atau denda. Bahkan, di negara-negara barat sendiri kita melihat ada jenis hukuman yang cukup mendidik, misalnya seorang terpidana diwajibkan menjadi pekerja sosial misalnya menjadi pengakut sampah dalam waktu tertentu sesuai masa hukumannya. Hukuman seperti ini bisa saja diadopsi selama tidak bertentangan dengan ketentuan pokok syariat Islam.
          Jadi, tak ada kata lain memang selain kembali kepada Islam. Segala cara harus ditempuh demi mengembalikan hukum Allah itu di bumi tercinta ini. Sebab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri sudah mengingatkan, Wahai sekalian Muhajirin, kalau kalian sudah tertimpa lima hal, tapi aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak menemui lima hal ini: 
1.   Tidak akan merajalela suatu perbuatan keji (zina dan sejenisnya) pada suatu kaum sampai-sampai mereka berani melakukannya terang-terangan kecuali Allah akan mewabahkan penyakit Tha’un dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah ada sebelum mereka.
2.   Kalau mereka sudah mengurangi takaran dan timbangan maka mereka akan ditimpa paceklik dan beban hidup yang berat serta kebegisan penguasa. 
3.   Kalau mereka tidak mau mengeluarkan zakat harta mereka maka hujan akan ditahan dari langit dan kalau bukan karena hewan mereka tidak akan diberi hujan. 
4.   Tidaklah mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya kecuali mereka akan dikuasai oleh musuh dari kelompok di luar mereka yang merampas sebagian yang ada di tangan mereka. 
5.   Selama para pemimpin mereka TIDAK MAU BERHUKUM DENGAN KITAB Allah DAN SELAMA MEREKA TIDAK MENCARI KEBAIKAN DALAM APA YANG DITURUNKAN Allah niscaya Allah akan membuat mereka saling menyakiti satu sama lain. 
(HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 8623 dan dia menshahihkannya serta disetujui oleh Adz-Dzahabi, dianggap shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 105, no. 106).

          Faktor mereka menyakiti satu sama lain adalah karena merasa tidak puas terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang sudah menzalimi mereka. Hal itu tidak bersifat langsung, bisa jadi bentuk penyakitan terhadap yang lain itu bukan karena dendam pada pelaku, tapi justru mencontoh perbuatan pelaku demi melampiaskan keinginannya karena merasa hukuman yang diterima pelaku sebelumnya tak menimbulkan efek jera.

”Apakah hukum jahiliah yang kalian cari, siapa sih yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?!” (Qs. Al-Maidah: 50).



Bekasi, 17 September 2011
Anshari Taslim.




[1][1] Disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya secara ta’liq bahwa Nafi’ bin Abdul Harits membeli rumah dari Shafwan bin Umayyah untuk dijadikan Umar sebagai penjara. Lihat Shahih Al-Bukhari kitab Al-Khushuumaat, bab: Ar-Rabth wal Habs fil Haram.
Disebutkan secara bersanad oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, no. 23662:
حَدَّثنا ابنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ فَرُّوخَ؛ أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ اشْتَرَى دَار السّجْنِ مِنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ بِأَرْبَعَةِ آلاَفِ دِرْهَمٍ، فَإِنْ رَضِيَ عُمَرُ فَالْبَيْعُ لَهُ، وَإِنْ عُمَرَ لَمْ يَرْضَ فَأَرْبَعُ مِئَةٍ لِصَفْوَانَ.

2 komentar:

  1. Salah seorang dosen saya dimasa kuliah pernah mengatakan bahwa di Australia gelandangan bahkan pengangguran diberi gaji oleh negara, tujuannya untuk mengurangi kejahatan di negara tersebut dan mengurangi cost mengurus pelaku kriminal di penjara yang ternyata lebih besar.
    Saya yakin kalau hukum syari'at Islam yang digunakan akan jauh lebih efektif dalam menurunkan tingkat kejahatan dalam negeri. Tapi sebagai orang biasa (bukan pembuat kebijakan dlm pemerintahan) hal konkret sederhana apa yg kira2 bisa kita lakukan?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus