Ketika menyusun buku 40 hadits motivasi
bisnis, saya ingin memasukkan sebuah hadits yang cukup terkenal dan pernah saya
hafal dari kitab Bulugh Al-Maram. Hadits itu –sebagaimana dalam kitab Bulugh
Al-Maram- adalah riwayat Rifa’ah bin Rafi’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab,
عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perdagangan yang mabrur (halal dan
baik, tidak merugikan pihak manapun).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannafnya, Ahmad dalam musnadnya, Al-Baihaqi dalam As-Sunan
dan Asy-Syu’ab serta dishahihkan oleh Al-Hakim dalam al-Mustadrak. Semua
melalui jalur Wa`il bin Daud. Tapi kemudian setelah diperiksa hadits ini ada
beberapa cacat terutama idhthirab pada Wa`il bin Daud, yang kadang meriwayatkan
dari Sa’id bin Umair secara mursal, kadang pula dari Jumai’ bin Umair dari
pamannya yaitu Abu Burdah, kadang pula dari ‘Abayah bin Rafi’ bin Khudaij dari
ayahnya. Al-Baihaqi sendiri berkesimpulan sama dengan Al-Bukhari bahwa hadits
ini mursal, karena yang benar adalah dari Sa’id bin Umair secara mursal kepada
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Baiklah kita tinggalkan riwayat yang mursal
ini, lalu saya gembira karena ada riwayat lain yang menguatkan hadits ini yaitu
dari Ibnu Umar, dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan
Al-Awsath. Sanad dan matan dari Al-Kabir:
حدثنا علي بن سعيد الرازي ثنا الحسن بن عرفة ثنا قدامة بن شهاب المازني
عن إسماعيل بن أبي خالد عن وبرة عن ابن عمر قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي
الكسب أطيب ؟ قال : " [عمل] الرجل بيده وكل بيع مبرور " .
“Ali bin
Sa’id Ar-Razi menceritakan kepada kami, Hasan bin ‘Arafah menceritakan kepada
kami, Qudamah bin Syihab Al-Mazini menceritakan kepada kami, dari Ismail bin
Abi Khalid, dari Wabarah, dari Ibnu Umar, dia berkata, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam ditanya tentang pekerjaan apa yang paling baik, maka beliau
menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang
mabrur.”
Demikian
dalam Al-Kabir sedangkan dalam Al-Ausath dia meriwayatkannya dari Ahmad bin
Zuhair dari Hasan bin Arafah.
Hadits riwayat Ibnu Umar ini dikomentari
oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/102, no. 6212), “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani dalam Al-Awsath juga Al-Kabir dan para perawinya tsiqah.”
Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitab At-Talkhish Al-Habir mengatakan, “Para perawinya tidak
bermasalah”. Itu menunjukkan sanadnya minimal hasan.
Terakhir Syekh Al-Albani memasukkan
hadits ini dalam As-Silsilah Ash-Shahihah nomor 607 dan menyebut sanad hadits
Ibnu Umar ini shahih.
Akan tetapi hadits riwayat Ibnu Umar ini
dianggap bathil oleh Abu Hatim, sebagaimana kata Ibnu Abi Hatim dalam kitab
Al-Ilal (1/391),
وسألتُ أبِي عَن حدِيثٍ ؛ رواهُ قُدامةُ بنُ شِهابٍ المازِنِيُّ ، عن
إِسماعِيل بنِ أبِي خالِدٍ ، عن وبرة ، عنِ ابنِ عُمر ، قال : سُئِل رسُولُ اللهِ صلى
الله عليه وسلم عن أطيبِ الكسبِ قال : عملُ الرّجُلِ بِيدِهِ ، وكُلُّ بيعٍ مبرُورٍ.
فقال أبِي : هذا حدِيثٌ باطِلٌ ، وقُدامةُ ليس بِقوِيٍّ.
“Aku
tanyakan kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Qudamah bin Syihab
Al-Mazini, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Wabarah, dari Ibnu Umar yang berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang pekerjaan yang paling
baik, maka beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap
perdagangan yang mabrur.”
Ayahku
berkata, “Hadits ini batil, Qudamah itu tidak kuat.”
Mari kita perhatikan penilaian para
ulama jarh wat ta’dil sejati (bukan ulama jarh wat ta’dil KW yang ada di abad
ini) tentang Qudamah bin Syihab:
Abu
Hatim sendiri sebagaimana dalam kitab anaknya “Al-Jarh wa At-Ta’dil (7/128)
mengatakan, “Menurutku posisinya adalah jujur”, sementara Abu Zur’ah
mengatakannya, “Tidak ada masalah padanya.”
Ibnu
Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat dan mengatakannya, “Barangkali
menyelisihi orang lain.” Ini adalah indikasi bahwa dia perlu ditinjau ulang.
Akhirnya
Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif menilainya, “wutstsiqa” (dianggap tsiqah)
menunjukkan ketsiqahannya tidak terlalu kuat.
Lalu
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakannya, “shaduq”. (At-Taqrib 2/20).
Baiklah, kita anggap penilaian akhir dia
shaduq menurut istilah muta`akhkhirin seperti Ibnu Hajar. Maka, hadits yang diriwayatkan
oleh rawi shaduq bila bersendirian (gharib) dari seorang ulama tsiqah yang terkenal
banyak murid biasanya dianggap munkar oleh para ulama naqd. Dan terbukti bahwa
Abu Hatim menilainya demikian.
Alasannya adalah, di sini dia meriwayatkan
dari Ismail bin Abi Khalid. Sedangkan Ismail bin Abi Khalid ini adalah seorang
hafizh yang punya banyak murid terkenal, seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri dan
Ibnu Uyainah, Za`idah bin Qudamah, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Numair,
Zuhair bin Muawiyah dan masih banyak lagi yang lain. Kenapa tak satupun dari
para huffazh terkenal ini yang meriwayatkan hadits ini.
Qudamah
bin Syihab bersendirian meriwayatkannya dari Ismail, padahal dia tidak dikenal
sebagai orang yang punya kedekatan khusus dengan Ismail? Padahal dia
menggunakan kata “haddatsana” (kami diceritakan) sebagaimana dalam riwayat di
Al-Awsathnya Ath-Thabarani. Isi dari hadits ini termasuk penting dan seharusnya
disampaikan ke banyak orang karena masalah pekerjaan adalah masalah krusial.
Selai itu tidak ada kejadian khusus yang menunjukkan bahwa Ismail sengaja
menceritakannya hanya untuk Qudamah. Akan berbeda halnya kalau Qudamah punya
hubungan kedekatan khusus dengan Ismail seperti keluarga, budak, atau teman
perjalanan di suatu waktu tertentu.
Di
sinilah letak nakarah (keganjilan) yang oleh ulama mutaqaddimin
merupakan indikasi kelemahan riwayat.
Riwayat seperti ini masuk kategori
tafarrud ats-tsiqah atau shaduq yang memang punya bahasan tersendiri dalam
khazanah ilmu kritik hadits.
Dengan demikian, sangat sulit menolak
perkataan Abu Hatim bahwa hadits dengan sanad ini batil, lantaran factor ketersendirian
Qudamah bin Syihab yang hanya berpredikat maksimal shaduq dan bukan seorang
hafizh yang mutqin. Hanya saja, saya masih belum paham mengapa Abu Hatim
mengatakannya bathil, karena sebagaimana dalam muqaddimah kitab Al-Jarh wa
At-Ta’dil karya anaknya, ditunjukkan kalau kata bathil itu bermakna hadits yang
tidak ada asalnya atau palsu. Sementara Qudamah bukanlah pemalsu hadits bahkan
Abu Hatim sendiri menganggapnya jujur. Andai dia mengatakan “munkar” tentu akan
mudah memahaminya. Wallaahu a’lam.
Anshari
Taslim
Di sela
hujan lebat Bekasi, 4 Desember 2014 M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar