Kamis, 04 Desember 2014

Hadits Dagang yang Mabrur Sebagai Pekerjaan Terbaik


        Ketika menyusun buku 40 hadits motivasi bisnis, saya ingin memasukkan sebuah hadits yang cukup terkenal dan pernah saya hafal dari kitab Bulugh Al-Maram. Hadits itu –sebagaimana dalam kitab Bulugh Al-Maram- adalah riwayat Rifa’ah bin Rafi’ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab,

عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
“Pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perdagangan yang mabrur (halal dan baik, tidak merugikan pihak manapun).”
        Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, Ahmad dalam musnadnya, Al-Baihaqi dalam As-Sunan dan Asy-Syu’ab serta dishahihkan oleh Al-Hakim dalam al-Mustadrak. Semua melalui jalur Wa`il bin Daud. Tapi kemudian setelah diperiksa hadits ini ada beberapa cacat terutama idhthirab pada Wa`il bin Daud, yang kadang meriwayatkan dari Sa’id bin Umair secara mursal, kadang pula dari Jumai’ bin Umair dari pamannya yaitu Abu Burdah, kadang pula dari ‘Abayah bin Rafi’ bin Khudaij dari ayahnya. Al-Baihaqi sendiri berkesimpulan sama dengan Al-Bukhari bahwa hadits ini mursal, karena yang benar adalah dari Sa’id bin Umair secara mursal kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
        Baiklah kita tinggalkan riwayat yang mursal ini, lalu saya gembira karena ada riwayat lain yang menguatkan hadits ini yaitu dari Ibnu Umar, dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-Awsath. Sanad dan matan dari Al-Kabir:
حدثنا علي بن سعيد الرازي ثنا الحسن بن عرفة ثنا قدامة بن شهاب المازني عن إسماعيل بن أبي خالد عن وبرة عن ابن عمر قال سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الكسب أطيب ؟ قال : " [عمل] الرجل بيده وكل بيع مبرور " .
“Ali bin Sa’id Ar-Razi menceritakan kepada kami, Hasan bin ‘Arafah menceritakan kepada kami, Qudamah bin Syihab Al-Mazini menceritakan kepada kami, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Wabarah, dari Ibnu Umar, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang pekerjaan apa yang paling baik, maka beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang mabrur.”
Demikian dalam Al-Kabir sedangkan dalam Al-Ausath dia meriwayatkannya dari Ahmad bin Zuhair dari Hasan bin Arafah.
        Hadits riwayat Ibnu Umar ini dikomentari oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id (4/102, no. 6212), “Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Awsath juga Al-Kabir dan para perawinya tsiqah.”
        Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab At-Talkhish Al-Habir mengatakan, “Para perawinya tidak bermasalah”. Itu menunjukkan sanadnya minimal hasan.
        Terakhir Syekh Al-Albani memasukkan hadits ini dalam As-Silsilah Ash-Shahihah nomor 607 dan menyebut sanad hadits Ibnu Umar ini shahih.
        Akan tetapi hadits riwayat Ibnu Umar ini dianggap bathil oleh Abu Hatim, sebagaimana kata Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al-Ilal (1/391),
وسألتُ أبِي عَن حدِيثٍ ؛ رواهُ قُدامةُ بنُ شِهابٍ المازِنِيُّ ، عن إِسماعِيل بنِ أبِي خالِدٍ ، عن وبرة ، عنِ ابنِ عُمر ، قال : سُئِل رسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عن أطيبِ الكسبِ قال : عملُ الرّجُلِ بِيدِهِ ، وكُلُّ بيعٍ مبرُورٍ.
فقال أبِي : هذا حدِيثٌ باطِلٌ ، وقُدامةُ ليس بِقوِيٍّ.

“Aku tanyakan kepada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Qudamah bin Syihab Al-Mazini, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Wabarah, dari Ibnu Umar yang berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang pekerjaan yang paling baik, maka beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang mabrur.”
Ayahku berkata, “Hadits ini batil, Qudamah itu tidak kuat.”
        Mari kita perhatikan penilaian para ulama jarh wat ta’dil sejati (bukan ulama jarh wat ta’dil KW yang ada di abad ini) tentang Qudamah bin Syihab:
Abu Hatim sendiri sebagaimana dalam kitab anaknya “Al-Jarh wa At-Ta’dil (7/128) mengatakan, “Menurutku posisinya adalah jujur”, sementara Abu Zur’ah mengatakannya, “Tidak ada masalah padanya.”
Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat dan mengatakannya, “Barangkali menyelisihi orang lain.” Ini adalah indikasi bahwa dia perlu ditinjau ulang.
Akhirnya Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif menilainya, “wutstsiqa” (dianggap tsiqah) menunjukkan ketsiqahannya tidak terlalu kuat.
Lalu Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakannya, “shaduq”. (At-Taqrib 2/20).
        Baiklah, kita anggap penilaian akhir dia shaduq menurut istilah muta`akhkhirin seperti Ibnu Hajar. Maka, hadits yang diriwayatkan oleh rawi shaduq bila bersendirian (gharib) dari seorang ulama tsiqah yang terkenal banyak murid biasanya dianggap munkar oleh para ulama naqd. Dan terbukti bahwa Abu Hatim menilainya demikian.
        Alasannya adalah, di sini dia meriwayatkan dari Ismail bin Abi Khalid. Sedangkan Ismail bin Abi Khalid ini adalah seorang hafizh yang punya banyak murid terkenal, seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Uyainah, Za`idah bin Qudamah, Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Numair, Zuhair bin Muawiyah dan masih banyak lagi yang lain. Kenapa tak satupun dari para huffazh terkenal ini yang meriwayatkan hadits ini.
Qudamah bin Syihab bersendirian meriwayatkannya dari Ismail, padahal dia tidak dikenal sebagai orang yang punya kedekatan khusus dengan Ismail? Padahal dia menggunakan kata “haddatsana” (kami diceritakan) sebagaimana dalam riwayat di Al-Awsathnya Ath-Thabarani. Isi dari hadits ini termasuk penting dan seharusnya disampaikan ke banyak orang karena masalah pekerjaan adalah masalah krusial. Selai itu tidak ada kejadian khusus yang menunjukkan bahwa Ismail sengaja menceritakannya hanya untuk Qudamah. Akan berbeda halnya kalau Qudamah punya hubungan kedekatan khusus dengan Ismail seperti keluarga, budak, atau teman perjalanan di suatu waktu tertentu.
Di sinilah letak nakarah (keganjilan) yang oleh ulama mutaqaddimin merupakan indikasi kelemahan riwayat.
        Riwayat seperti ini masuk kategori tafarrud ats-tsiqah atau shaduq yang memang punya bahasan tersendiri dalam khazanah ilmu kritik hadits.
        Dengan demikian, sangat sulit menolak perkataan Abu Hatim bahwa hadits dengan sanad ini batil, lantaran factor ketersendirian Qudamah bin Syihab yang hanya berpredikat maksimal shaduq dan bukan seorang hafizh yang mutqin. Hanya saja, saya masih belum paham mengapa Abu Hatim mengatakannya bathil, karena sebagaimana dalam muqaddimah kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil karya anaknya, ditunjukkan kalau kata bathil itu bermakna hadits yang tidak ada asalnya atau palsu. Sementara Qudamah bukanlah pemalsu hadits bahkan Abu Hatim sendiri menganggapnya jujur. Andai dia mengatakan “munkar” tentu akan mudah memahaminya. Wallaahu a’lam.

Anshari Taslim

Di sela hujan lebat Bekasi, 4 Desember 2014 M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar